Saturday 26 February 2011

Puisi Terpendek Untukmu

Puisi Terpendek Untukmu




SEPANJANG apakah puisi harus ditulis? Tak ada ketentuan, kecuali untuk puisi-puisi yang memili bentuk tetap. Haiku misalnya. Puisi yang tidak tiga baris, dan tidak 17 suku kata dalam bahasa Jepang, pasti tak bisa disebut haiku. Kalau pantun pasti dia harus empat baris. Sebait gurindam isinya harus dua baris.



PUISI bebas tidak punya batasan panjang. Namanya juga bebas. Satu baris boleh. Satu kata saja pun boleh. Mau panjang? Tentu boleh juga. Ada lho puisi yang menghabiskan sembilan halaman buku.



TIDAK menulis apa-apa juga bisa disebut puisi. Beri judul lalu isikan saja titik-titik pada isinya. Asal judulnya cocok, bisa saja orang percaya bahwa apa yang kita tulis itu memang punya alasan untuk disebut puisi. Kalau pembaca tak menerima, berarti kita yang tidak bisa menyediakan alasan yang cukup untuk itu.



BEGITU juga kalau pembaca merasa puisi kita terlalu cepat berakhir. Mungkin saja dia benar, mungkin juga salah. Mungkin saja kita memang kurang menggali bahan yang tersedia untuk sebuah puisi kita. Mungkin saja kalau kita panjangkan lagi, puisi itu malah jadi tidak kompak. Isinya malah berceceran. Beberapa puisi pendek populer bisa kita beri contohnya di sini. Puisi yang panjang, cari saja sendiri contohnya.





1.



Malam Lebaran

Sajak Sitor Situmorang



Bulan di atas kuburan.





2.



Luka

Sajak Sutardji Calzhoum Bachri



Ha ha!



3.



Tuan

Sajak Sapardi Djoko Damono



Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,

saya sedang ke luar.



4.



Kepada Puisi

Sajak Joko Pinurbo



Kau adalah mata, aku airmatamu.

surat darimu

surat darimu



aku terjaga dan pagi mengantarkan selembar surat padaku. surat yang tak bisa kubaca karena aku tak tahu caranya. aku hanya menempelkannya di dahi dan menekannya ke ulu hatiku. ketika malam menjelang dengan tenang dan bintang bintang bermunculan, aku akan membentangkan suratmu di pangkuanku yang membisu. daun daun gemersik lah yang akan membacakannya untukku. embun meneteslah yang akan menyanyikan kata katanya. dan tujuh bintang nan arif yang akan melantunkannya dari langit. namun aku tak menemukan apapun dalam suratmu. aku tak memahami apa yang tertulis dalam suratmu. dan surat ini masih di pangkuanku. belum terbaca. tapi setidaknya suratmu telah meringankan bebanku. dan ijinkan aku menggubahnya menjadi sebuah lagu. tentu saja lagu itu akan kupersembahkan untukmu. sebagai jawaban suratmu yang kau berikan padaku itu...

CINTAKU DI ANDALUSIA

CINTAKU DI ANDALUSIA





hari kau dilahirkan

matahari tentu akan berduka

oleh munculnya tandingan

dari dirinya lebih bercahaya

kembang mawar kembang anyelir

demikian pun cengkeh yang wangi,

menyertai bibirmu

ketika kau tersenyum

matamu, wahai si kulit sawomatangku

demikian bijak bestari

pembunuhmu pun merunduk

memberikan salut

wajahmu bernama

Sierra Morena

dan matamu, para pencuri

yang melintasinya

- dengan gerangan apa

wajah kau basuh maka warna kencana?

- kubasuh dia dengan air jernih

selebihnya tuhanlah yang lakukan

nafasmu, nafasmu bunga

nafas limau, mungil:

di dadamu ada

sebuah limau semarak bunga

aku tak tahu gimana dan pabila

ia datang ke kalbu

cercah api pelan menyala

tapi tak nampak lidah cahayanya

sebuah derita lembut kecil

di sini kupunyai bernama cinta

dari mana gerangan ia masuk tiba

maka sampai tak terasa?

bukan salahku tentu saja

kalau mawar jadi milikmu

sedangkan wanginya berasal dari diriku

kau menatapku dan kau kupandang

kepalamu merunduk, demikianpun aku:

tak tahu apa yang kau harapkan

akupun tak tahu apa yang kutunggu

para pastur padaku berkata

agar aku jangan mencintaimu

kepadanya kukatakan: “ah, pasturku

andaikan kau melihatnya…!”

andaikan cinta yang kukandung ini

menjelma jadi gandum

di sevilla tak kan ada

lumbung tak menyimpannya

kalau kau berangkat perang

gantungkan fotoku di dada

ketika peluru melanda abang

kita terbunuh bersama-sama

kau memandangku dan kau kupandang

sedang apa yang ingin kau bilang

melalui pandang

kudengar dengan terang

kau adalah cinta pertamaku

kaulah yang mengajarku cinta

tapi jangan ajarkan aku lupa

yang tak ingin kutahu

kalau kau ingin melupakan aku

lebih baik kau membunuhku

yang kuminta adalah kematian

samasekali bukan melupakan

bawalah hatiku ke sana ;

kalau mau bunuh saja, jika bisa;

tapi karena kau juga di dalamnya ,

membunuhnya kau ikut binasa.

ambillah belati kecil ini,

buka dadaku maka wajahmu

di situ kau dapati

sempurna tertata rapi.

ambillah jeruk ini, o perempuan

demi cinta kepadamu kuberikan

tapi jangan belah dengan belati

kerna jantungku di dalamnya ada.

kulempar ke langit sebuah limau

ingin tahu apakah ia berobah merah;

naik hijau dan jatuhpun hijau;

seperti harapanku warna hijau

pada laut kucari limau

tapi laut tak punya;

ke dalam air tangan kucelup

harapan memberiku rasa hidup.

kalau boleh mencintaimu

wangikan diriku dengan pandan

penghapus semerbak

cinta-cintamu semula

kau satu dan juga dua

juga tiga dan empatpuluh

kau juga bagai gereja

di mana berbondong orang tiba

pinjamkan matamu kepadaku

hingga mataku jadi empat

karena dengan dua aku tak bisa

menangiskan duka-petaka

gitar yang kupetik ini

punya mulut dan bisa bicara;

hanya yang kurang adalah mata

yang membantuku untuk menangis.

terasa ada perih di dada, ku tak tahu di mana,

lahir dari mana pun aku juga alpa;

ketika sembuh akupun lupa

penyembuhnya pun aku tak tahu siapa.

kuterjuni air

dalam sepinggang

tunanganku dibawa orang

dan dingin tiba-tiba menyusup belulang

ketidakmungkinan membunuhku

aku terbunuh oleh ketidakmungkinan;

ketidakmungkinan pun sampai tepian

ketidakmungkinan yang kurindukan.







"Coplas. Poemes de l'Amour Andalou", Edition

Allia, Paris,1998.

CINTA YANG SIA-SIA

CINTA YANG SIA-SIA



malam menolak tiba

kau pun tak datang

sedang aku tak bisa menjelang

tapi aku kan berangkat juga

kendati pelipisku mesti makan matahari kalajengking.

dan belakangan kau menyusul datang

dengan lidah dibakar hujan garam

siang menolak datang

kau luput dari pandang

sedang aku juga terhalang

tapi aku akhirnya datang juga

menyerahkan ke tunanetra anyelirku yang cedera

malam dan siang menolak datang

akhirnya aku mati untukmu

dan kau pun mati untukku

jangan bawa kenanganmu

biarkan ia sendiri di hatiku

gemetar pepohonan céri putih

dalam martir bulan januari

sebaris tembok mimpi buruk

memisahkan aku dari maut

setangkai leli langka kupersembahkan

bagai hadiah bagi hati yang beku

di taman saban malam, mataku

ibarat dua ekor anjing perkasa

sepanjang malam mengepung meronda

pojok demi pojok dan segala bisa

angin terkadang bagaikan

kembang tulip kengerian

dialah kembang tulip duka

kerna pagi beku musim dingin

sebaris tembok mimpi buruk

memisahkan aku dari maut

kabut menyelimut keheningan

lembah kelabu tubuhmu

di bawah lengkung perjumpaan dahulu

belukar racun sekarang menghutan

tapi tinggalkan untukku kenanganmu

biarkan sendiri ia di situ di kalbuku





Federico Garcia Lorca,”Poésies III. 1926-1936″, Gallimard, Paris,

1954,hlm.155.

Budaya Pembebasan di Indonesia Sejarah, metode dan bentuk

Budaya Pembebasan di Indonesia Sejarah, metode dan bentuk



Budaya tak sekadar warisan seni dalam kertas berdebu minta dicetak ulang, batu-batu rapuh minta dipugar atau juga gagasan beku nenek-moyang minta dielus atau dikritik bahkan dihancurkan, tapi ia adalah semua dalam material dan immaterial yang cahayanya memancar tanpa diminta atau dijelaskan bahkan. Bukankah kita sering mendengar Bali, pulau dewata, Jawa: halus-lembut, eropa: liberal, soviet: revolusioner, Padang: cinanya Indonesia alias pintar dagang dan lain-lain. Semuanya itu sering disebut Ethos. Dicitrakan dalam karya-karya seni: sastra-sastranya, musik-musiknya, tari-tariannya, rumah-rumahnya, gedung-gedungnya, taman-tamannya, pesta-pestanya, jalan-jalannya, tingkah-lakunya, humor-humornya dan akhirnya kosmos keseluruhan dalam alam pikirannya untuk memahami ontologi keberadaan dirinya dan alam semesta ruang dan waktu tempat ia berdiri hidup, bernafas dan mati. Atau singkatnya Filsafat.

Dalam praktek hidup manusia yang panjang itu sampai juga pada pemahaman masyarakat berkelas: penindas dan kaum tertindas bahkan kesimpulan dari hidupnya: sejarah manusia adalah sejarah perjuangan klas yaitu perjuangan dan pemberontakan antara kaum tertindas kepada kaum penindas. Tanpa penindasan tentu tak akan ada perjuangan pembebasan. Itulah yang menggerakkan roda kemajuan zaman. Pemahaman ini dimulai oleh Hegel dan diteruskan para pengikutnya terutama yang bergerak di lingkaran Hegelian Kiri, termasuk Karl Marx.

Di sini, dimulai peletakan batu fondasi budaya pembebasan. Heine menyatakan dalam syair:

Terimakasih bagi Hegel
Yang mengajari saya
Bahwa Tuhan yang baik
Tidak bermukim di dalam surga
Seperti yang dikatakan nenek
Tapi saya sendiri
Dapat jadi Tuhan yang baik

Bangunan budaya pembebasan pun terus menemukan bentuk. Gerakan pembebasan ini berkait erat dengan perlawanan-perlawanan rakyat dalam berbagai bentuk termasuk seni yang berkehendak membebaskan diri dari sistem penindasan dan penghisapan bahkan menemukan jenis manusia yang menjadi juru-slamat seni dari penindasan Kapitalisme yakni klas pekerja.

Itulah capaian filsafat abad ke-19. Ia seperti menara tinggi yang sanggup melihat capaian kebudayaan masa lalu dan masa depan. Kebudayaan masa lalu yang bagaimana yang harus dimaknai sebagai hasil kemerdekaan manusiawi atau harus dihancurkan karena bermakna anti-manusia dan bagaimana kebudayaan masa depan harus dibangun yaitu budaya yang membebaskan manusia dari sistem penindasan dan penghisapan.

Kearifan pembebasan macam itu sampai juga pada kita yang berada di persimpangan budaya: nusantara. Sneevlit membawa api baru dalam gerakan pembebasan. Ia membangunkan organisasi yang berlawan pada tahun 1914. Membangkit orang-orang pribumi untuk menyadari sistem penindasan dan penghisapan yang berlaku atas negeri dan rakyat nusantara serta melawannya. Hasil dari olahan tangannya adalah Semaun: remaja non akademik yang berkesadaran maju, di bidang ideologi, politik dan organisasi pada usia 13 tahun. Pada usia remaja ini, Semaun telah dipercaya menjadi sekretaris SI cabang Semarang. Tentu ini suatu kemampuan yang ajaib yang tak akan ditemukan pada masa sekarang. Pada masa lalu kalau kita percaya tentu yang dapat menyaingi adalah Yesus yang sanggup berdebat dengan para rabbi Yerusalem pada usia 12 tahun. Obor pembebasan di nusantara ini terus menjalar, meretas jalan pembebasan dan berusaha memahami detail keringat untuk kerja pembebasan yang telah ditempuh para pekerja sebelumnya. Alat-alatnya telah ditaburkan ISDV minimal arah pembebasan manusia secara komprehensif.

***

Tanpa Obor: Kegelapan pun Harus dimaknai

Beberapa orang menolak ada basis budaya pembebasan di Indonesia (di Nusantara). Yang ada melulu budaya pembodohan, penindasan. Semua budaya yang membebaskan datang dari luar yang datang bersama imperialisme: Belanda menghapuskan budaya sutee dan melarang kanibalisme, Inggris menghancurkan pemilikan tanah yang feodal. Bersama mereka juga dibawa nilai-nilai baru: demokrasi, sosialisme, nasionalisme, pendidikan: zending yang kemudian ditiru Muhamaddiyah. Rapat, kongres, pertemuan, notulensi dan vergadering, termasuk teater pun dibawa oleh mereka. Pramoedya juga berada dalam posisi seperti ini. Tapi benarkah begitu? Kalau ukurannya adalah gerakan pembebasan modern dengan cara pikir yang modern: rasionalitas. Tentu pendapat ini dibenarkan. Logika modern sendiri baru dikembangkan Aristoteles pada abad 4 SM. Cara berpikir yang berangkat dari kesimpulan atas perenungan manusia sendiri baru berkembang pada beberapa abad sebelum Aristoteles. Semua itu terjadi di Asia kecil dengan Yunani sebagai bintangnya. Kebudayaan ini meluas bersamaan meluasnya kerajaan Macedonia di bawah Alexander Agung: Helenisme yang sampai juga di India. India kelak menjadi kiblat kebudayaan berabad-abad kerajaan-kerajaan nusantara. Pengaruhnya sampai kini terasa terutama dalam bahasa. Bahkan pernah menguasai bahasanya, Sangskerta dianggap menguasai bahasa dewa, kemudian bahasa yang indah dan menjadi kembangnya bahasa Jawi yang menjadi syarat bila ingin menjadi pujangga.

India memperkenalkan huruf, cara berhitung dan pengaturan masyarakat dan tentu saja cara berpikir dan kepercayaanya. Pram memaknai ini sebagai perubahan dari kondisi komunal purba ke feodalisme sebagai penindasan pertama. Semua ini dipastikan dilakukan dengan cara kekerasan. (Baca Hoa Kiau di Indonesia) Bagaimana ini berjalan belum pernah ada penelitian. Kebanyakan penulis Kebudayan Indonesia, Pengaruh India berlaku dengan perdagangan dan penyebaran agama yang selanjutnya berkembang di masyarakat karena diterima dengan damai. Perlawanan yang ada adalah perlawanan budaya dengan tetap mempertahankan ciri-ciri lokal yang dianggap dikerjakan oleh para genius lokal yang tak ingin larut dalam indianisasi. Misalnya Candi yang berundak, dengan pundennya dianggap budaya asli. Lantas: cara penguburan bujur selatan-utara, bahkan dianggap sebagai simbol perlawanan dan kehati-hatian karena dari utaralah datang kematian dan kehidupan.

Masa-masa gelap di bawah feodalisme ini berlangsung lama tanpa kepemimpinan yang jelas. Tak ada terang budaya yang membebaskan. Intrik-intrik kotor khas feodal berlangsung terus: mulai dari rebutan kerajaan sampai selir. Walau begitu kegelapan ini diterangi dengan: peribahasa, cerita dan dongeng perlawanan tanpa akhir dari para pengembara ksatria yang setia pada rakyat kecil: seperti Joko Umboro, Joko Lelono dan seringkali dengan mengangkat cerita budaya di luar mainstream Kraton: seperti Syech Siti Jenar, Arya Penangsang, Mangir, atau Centhini atau menulis satir dengan nama-nama gelap seperti yang disinyalir dikerjakan oleh Ronggo Warsito. Sampai pada Cipto, Mangir dijadikan tokoh untuk melawan feodalisme Kraton, Ronggo Warsito sampai pada lekra masih harus diteliti dan diterjemahkan syair-syair kerakyatannya. Arya Penangsang oleh Pram melalui Tirto dijadikan tokoh acuan yang memberontak terhadap Kebudayaan yang beku, pedalaman.

Beberapa peribahasa yang dianggap maju, progresif menjelaskan ketertindasan rakyat dan memberi ruang kesadaran untuk melawan misalnya:

Nek awan duweke sing nata nek wengi duweke dursila
Mutiara asli tetap berkilau, meski ditutupi lumpur kebohongan.
Becik ketitik ala ketara
Siapa menanam angin, akan menuai badai
Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian – Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, ,
Ada udang dibalik batu
Sedia payung sebelum hujan

Peribahasa-peribahasa ini belum diteliti latar-belakang kemunculannya dan kapan. Cuma alat budaya yang muncul pada masa seperti ini kebanyakan berupa puisi yang kemudian disarikan dalam pepatah dan peribahasa. Atau malah sebaliknya: hanya pesan-pesan bijak.

Melawan Budaya Penjajah

Kedatangan kolonialisme Barat yang padamulanya karena rempah-rempah menimbulkan derita bagi rakyat. Tak seperti Jepang yang berusaha melawan kekuatan Barat dengan pengiriman rakyatnya yang cerdas untuk menimba ilmu di Barat atau dengan usaha menterjemahkan buku-buku barat ke bahasa Jepang secara massal, kaum feodal Indonesia justru bekerja sama dengan kolonial menindas rakyat. Rakyat tanpa kepemimpinan modern melawan dengan caranya sendiri-sendiri. Terkadang bersekutu dengan bangsawan yang kecewa karena tak dapat warisan kekuasaan seperti kaum tani yang rela menjadi prajurit Pangeran Diponegoro 1825-1830.

Perang Diponegoro yang didukung kaum tani ini membekas dalam ingatan rakyat. Terlebih penangkapan Dipo sendiri telah diabadikan dalam lukisan Raden Saleh, seorang pelukis pribumi yang sanggup menguasai teknik melukis Barat. Chairil Anwar pun membangunkan Ode buat Dipo dalam Sajak Diponegoro di tahun 1945. Berbagai perlawanan atau cerita paska perlawanan Diponegoro terus membekas dan menjadi inpirasi para pejuang. Beberapa bahkan bangga menjadi keturunan prajurit Diponegoro: lihat film Dua Ksatria. Prajurit-prajurit Dipo yang kalah perang enggan pulang dan meneruskan dengan caranya sendiri termasuk dengan bentuk-bentuk kesenian. Sebagian lagi menjadi basis bagi kemunculan semi proletar di kota-kota Jawa.

Kedatangan kolonialisme

Peranan Max Havelaar

Diskriminasi sosial yang sangat mencolok misalnya telah menyadarkan Mas Marco akan harga dirinya sebagai manusia. Perlakuan sewenang-wenang di stasiun kereta api dan penempelengan kuli-kuli telah merangsang Marco untuk bergerak. Pembacaannya tentang sejarah dunia, buku-buku Multatuli, Veth dan lain-lain telah ikut mempercepat kesadaran akan kebebasan Indonesia (Soe, dblm)

Kartini: Ibu Budaya Pembebasan
Kartini dalam berbagai surat-suratnya yang kemudian diterbitkan menjadi bacaan kaum pergerakan sekaligus bahkan memberi arah gerakan, memberi jiwa. Karenanyalah Kartini menjadi sumber inspirasi gerakan budaya pembebasan.

Djawa Dipa 1914, sebuah gerakan anti feodal Jawa yang berkembang menjadi gerakan anti kolonialisme Belanda; dilanjutkan dengan pergulatan Ki Hadjar Dewantara membangun Taman Siswa, gerakan pendidikan modern yang berbasiskan kebudayaan asli (Jawa) bagi rakyat jajahan; dan terakhir tentang pilihan “Barat” dan “Timur” dalam polemik kebudayaan tahun 1930-an. (Supartono)

Selamanja saja hidoep, selamanja
saja aan berichtiar menjerahkan djiwa
saja goena keperloean ra’jat
Boeat orang jang merasa perboetannja baik
goena sesama manoesia, boeat orang seperti
itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes
TETAP menerangkan ichtiarnja mentjapai
Maksoednja jaitoe
HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT
SAMA RATA SAMA KAJA
SEMOEA RA’JAT HINDIA
(Semaoen, 24 Djoeli 1919)

Soe Hok Gie
Di Bawah Lentera Merah, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999
Dan waktu itu juga sering terbaca betapa keadaan orang-orang buangan di Digul. Saya pernah membaca betapa kerasnya watak Mas Marco, Boedisoetjitro, Winanta dan Najoan yang menolak utusan Gubernur jenderal menemui mereka. Padahal pertemuan dengan utusan Hilman itu mungkin akan membebaskan mereka dari neraka Digul. Kadang-kadang saya membaca beberapa segi dari kehidupan tokoh-tokoh komunis ini. Misalnya, tentang kebandelan Mas Marco dan kedermawanan Najoan, kesemuanya sangat menarik hati
Itulah sebabnya maka studi mengenai pemberontakan 1926, harus dimulai dari studi terhadap awal mulanya pergerakan kaum “Marxis” Indonesia. Dan dalam hal ini kita harus mulai dengan Sarekat Islam Semarang. Permulaan abad keduapuluh merupakan salah satu periode yang paling menarik dalam sejarah Indonesia, karena sekitar tahun-tahun itulah terjadi perubahan-perubahan sosial yang besar di tanah air kita. Pesatnya perkembangan pendidikan Barat, pertumbuhan penduduk yang meningkat cepat dan mulai digunakan teknologi modern, kesemuanya menimbulkan perubahan sosial di Indonesia. Nilai-nilai tradisional yang telah mengakar di bumi Indonesia, tiba-tiba dikonfrontasikan secara intensif dengan nilai-nilai tradisional mereka dan malah ada yang sudah mulai melepaskannya, walaupun pegangan yang baru belum mereka peroleh. Ketiadaan pegangan menciptakan rangsangan untuk mendapatkan suatu pegangan. Sebagian dari mereka mencarinya di dalam pemikiran-pemikiran Islam, sedang yang lain mencari dengan menggali kembali kebudayaan lama untuk disesuaikan dengan dunia mereka yang modern. Sebagian lainnya lagi mencarinya di dalam alam pemikiran Barat.
Suatu gerakan hanya mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut mempunyai akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh. Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya. Hanya ide yang berakar ke bumi yang mungkin tumbuh dengan baik. Demikian juga halnya dengan gerakan sosialistik Sarekat Islam Semarang. Saya pikir, bukanlah hal yang kebetulan saja menghebatnya gerakan-gerakan Samin di tahun 1917, bersamaan waktunya dengan munculnya ide-ide sosialis Sarekat Islam Semarang. Bahkan Sarekat Islam merasa adanya persamaan dasar, walaupun yang satu dicetuskan dalam suasana tradisional, sedang yang lainnya dengan jubah modern. Gerakan komunis bahkan mereka terjemahkan dengan gerakan Saminis.2) Dan jika kaum Saminis menggunakan bahasa Jawa kasar untuk siapa saja, maka dalam masa yang bersamaan kita juga menemui gerakan Jawa Dwipa. Yang satu bergerak di desa, sedang yang lainnya di Surabaya.

Dalam kata pengantarnya mereka menyatakan bahwa haluan Sinar Djawa akan lebih radikal dan terhadap pemerintah mereka akan menilainya secara jujur, sedangkan terhadap kaum kapitalis dan kaum priyayi yang memeras akan mereka musuhi.2)
Tetapi ada pula kelompok yang mengajukan konsepsi Marxistis dalam membahas realitas sosial ini, dan tokoh utamanya adalah Hendricus Fransiscus Marei Sneevliet, ketua ISDV.3) Sneevliet bersama kaum ISDVnya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda dari Sl baik di Semarang (Semaoen, Darsono, dan lain-lain), Jakarta (Alimin dan Muso), Solo (H. Misbach) maupun di kota-kota lainnya.
Dari Sneevliet-lah mereka belajar menggunakan analisis Marxistis untuk memahami realitas sosial yang dialami. Mereka berpendapat bahwa sebab dari kesengsaraan rakyat Indonesia adalah akibat dari struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat tanah jajahan yang diperas oleh kaum kapitalis.
Dengan kekuasaan keuangannya, sejumlah orang berhasil memeras kekayaaan alam Indonesia, sekaligus memeras rakyatnya. Kemiskinan yang lahir sebagai akibatnya menumbuhkan kriminalitas di kalangan rakyat Indonesia dalam bentuk perampokan dan kelaparan.4) Kesengsaraan itu menjadi semakin berat lagi oleh peperangan (Perang Dunia I). Perang ini disebabkan adanya persaingan antara kepentingan kaum kapitalis Eropa (Kapitalis Inggris melawan Jerman). Di dalam analisisnya mereka melihat perkebunan, terutama perkebunan tebu sebagai penyebab kemiskinan yang nyata. Dan cara untuk mengatasinya hanyalah dengan sosialisme, yaitu menasionalisasikan perusahaan-perusahaan yang penting bagi hajat hidup rakyat.
Pernerintah yang seyogyanya memperhatikan kepentingan rakyat terbanyak, tidak memperhatikannya dan malah memihak kepada kaum kapitalis. Menurut mereka pemerintah masa itu mewakili kaum uang.5) Karena itu ia bertentangan dengan kepentingan kaum Kromo, dengan rakyat terbanyak.6) Bahkan para anggota Tweede Kamer sendiri, berkepentingan dengan adanya pabrik-pabrik gula. Mereka mempunyai saham-sahamnya di sana.7) Pemerintah dan para pengusaha tidak memperhatikan rakyat dan bahkan karena mempunyai banyak uang mereka dapat membeli dan menyogok pegawai-pegawai pemerintah.
Tetapi ketika adanya bahaya yang mengancam dari luar. Tanpa malu-malu kaum kapitalis/pemerintah menganjurkan adanya milisi Bumiputra. Padahal milisi ini bertujuan untuk melindungi kapital mereka sendiri, dengan menjadikan orang Indonesia sebagai umpan peluru.12) Secara sarkastis Mas Macro mensajakkan:
Indie Weebaar jang dibitjarakan
Sana sini sama mengatakan
Indie Weerbaar akan memasoekkan
anak Hindia di lobang meriam.13)
Karena itu, demi kepentingan Indonesia sendiri, Indie Weerbaar harus dilawan. Dalam bidang perburuhan pun Pemerintah berpihak kepada kaum majikan. Dan tidak mau peduli pada pihak kaum buruh.
Aksi-Aksi Sarekat Islam Semarang (Mei 1917-Oktober 1918)
Goena apa menoelis soerat
Kalau masih dapat berjoempa
Goena apa dapat Volksraad
Kalau masih koerang Sempoerna
Tindakan-Tindakan Pemerintah
. Marco, musuh tradisional Belanda, hampir-hampir pula dijerat Asisten Residen karena ia menulis sebuah sajak yang dapat ditafsirkan sebagai anjuran mengusir kaum “kafir”.8).l0)

Sastra Liar Yang Membebaskan

Beberapa tahun yang lalu, ketika meneliti koran-koran awal tahun tiga puluhan, saya kadang-kadang membaca berita-berita di sekitar proses pengadilan terhadap kaum komunis. Mereka ini, bukanlah tokoh-tokoh utamanya, melainkan hanya peserta biasa saja. Di dalam mengemukakan alasan mengapa mereka ikut memberontak di tahun-tahun 1926-1927, kebanyakan data menunjukkan kepada sebab-sebab kemiskinan. Biografi “rakyat kecil” ini pun sangat menarik. Terkadang, hanya karena hutang 50 sen, atau karena soal-soal kecil lainnya, mereka berani melawan Belanda. (soe)

Oleh: Rudi

Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher

Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher

Jakarta, 5 Maret 1985


Salam,

Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat
K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan.
Terimakasih. Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi
menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum
manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa
ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang
sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral
dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu
kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan,
penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang
Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan
meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten and
forgiven" dan revisiannya: "We've forgiven but not forgotten." Saya
hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang
tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan
Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik--di sini
Indonesia--bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu
prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi
kemerdekaan. Tak seorang pun di antara para manikebuis pernah
menyatakan simpati--jangan bayangkan protes--pada lawannya yang
dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap
seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang
tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu
pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo
kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah-- masih
menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine.

Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua
pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah
masalah ikutan daripadanya. Saya sendiri berpendapat, memang belum
selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi Indonesia.
Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan
yang selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional
cenderung dinamai dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan.

Pertentangan manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal
polemik. Memang keras, tapi tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang
satu jalan untuk mendapatkan kebenaran umum, yang bisa diterima oleh
umum? Bahwa pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh
orang-orang Lekra sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul saya
belum bisa diyakinkan. Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror
telah dilakukan orang-orang Lekra terhadap beberapa orang, antaranya
Bernard IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya
sendiri, IJzerdraad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak
pernah mengkoreksi tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia
setelah kegagalan pemberontakan PRRI-Permesta, kemudian minta
kewarganegaraan Belanda. Mungkin ia merasa begitu pentingnya bagi
Indonesia sehingga dalam usianya yang sudah lanjut merasa
berkepentingan untuk mendirikan kebohongan terutama untuk menyudutkan
saya. pada hal dalam polemik-polemik tsb. saya hanya menggunakan hak
saya sebagai warganegara merdeka untuk menyatakan pendapat. Dan saya
sadari hak saya. Seperti sering kali saya katakan: kewarganegaraan
saya peroleh dengan pergulatan bukan hadiah gratis.

Dan apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak
tahu. Sekitar tanggal 24 bulan lalu saya menerima fotokopi dari
seorang wartawan politik Eropa dari Journal of Contemporary Asia,
tanpa nomor dan tanpa tahun, berjudul: "Who's Plot--New Light on the
1965 Events," karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya
baca uraian dari orang yang tak berpihak. Juga itu informasi pertama
setelah 20 tahun belakangan ini. Rupa-rupanya karena ketidaktahuan
saya itu saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2
bulan + hampir 6 tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa
pernah melihat dewan hakim yang mendengarkan pembelaan saya. Memang
sangat mahal harga kewarganegaraan yang harus saya bayar. Maka juga
kewarganegaraan saya saya pergunakan semaksimal mungkin. Itu pun masih
ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini saya tulis
dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya.

Sekarang akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia
waktu meletus peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya
akan ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu
banyak kesalahan.

Pada 1 Oktober 1965 pagihari saya dengar dari radio adanya gerakan
Untung. Kemudian berita tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum
itu pengumuman naik pangkat para prajurit yang ikut dalam gerakan
Untung dan penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas
letkol. Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum
sudah mengurusi pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa? Saya lebih
banyak di rumah daripada tidak. Kerja rutine ke luar rumah adalah
dalam rangka menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan
sangat kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya "diangkat" jadi
"penasihat." Jadi di rumah itu saja saya "ketahui" beberapa hal yang
terjadi dari suara-suara luar yang datang. Mula-mula datang Abdullah
S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru saja bekerja di sebuah surat
kabar Islam yang baru diterbitkan, dan yang sekarang saya lupa
namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak mengungsi ke
tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang
sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang
ke rumah menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena
keadaan tidak aman. Ia menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa
hari kemudian datang pegawai dari pabrik pensil, juga menyerahkan
honor, juga lipat dari biasanya, karena pabrik terpaksa ditutup,
keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang memberitakan, rumah
Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah lain. Ia juga memberitakan
tentang cara massa bergerak. Mereka menyerang rumahtangga orang,
kemudian datang para petugas berseragam yang tidak melindungi malah
menangkap yang diserang. "Saya yakin Bung akan diperlakukan begitu
juga," katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku. "Kesalahan bung,
karena bung tokoh." Itu saja? Tempatku di sini, kataku akhirnya.

Seorang penjahit, yang pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian
saya oleh tetangga anggota PNI-- penjahit itu juga
tetangga--menawarkan tempat aman pada saya nun di Brebes (kalau saya
tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih. Mengherankan betapa
orang lain dapat melihat, keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain
datang dan menganjurkan agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa
yang saya harus larikan? Diri saya? dan mengapa?

Kemudian datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia
langsung masuk ke belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak
mengulangi kebiasaannya. Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih
ingat kata- kata yang saya ucapkan kepadanya: saya seorang diri dari
dulu, kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan saya hadapi
seorang diri; tempat saya di sini.

Keadaan makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan.
adalah tepat bila ia dan anak-anak untuk sementara menginap di rumah
mertua. Papan nama saya, dari batu marmer, bertahun-tahun hanya
tergeletak, sengaja saya pasang di tembok depan dengan lebih dahulu
memahat tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini, jangan nyasar ke
alamat yang salah.

Di tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk
keselamatan saya. Sementara itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan
ensiklopedi sastra Indonesia. Dalam keadaan lelah saya saya beralih
mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya padamkan dan
saya duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik
saya yang pulang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya, Koesalah
Soebagyo Toer.

Kemudian datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00. Tahu-tahu rumah
saya sudah dikepung. Lampu pagar dari 200 watt--waktu tegangan hanya
110, namun dapat dianggap terlalu mewah untuk kehidupan kampung--saya
nyalakan. Di depan pintu saya lihat orang lari menghindari cahaya.
Mukanya bertopeng. Tangannya membawa pikar. Malam-malam, dengan topeng
pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu habis dirampoknya
dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu pikiran jahat. apa boleh
buat karena suara- suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer
mengangkuti anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh
berteriak-teriak menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat
sendiri. Saya percaya, karena pelda (atau peltu?) yang tinggal di
depan rumah saya, sudah dua malam berturut- turut bicara keras di gang
depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri, Soekarno sudah tidak
ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua ia buka mulut
keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya merasa itu ditujukan pada
saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya lemparkan padanya.
Terdengar ia melompat sambil memekik. Jadi kalau saya punya pikiran
jahat seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah, setiap lampu pagar
saya matikan, muncul gerombolan di depan pintu. Bila saya nyalakan
lagi mereka lari. Jelas mereka muka-muka yang saya telah kenal. Tak
lama kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk
membangun rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin
dilemparkan oleh tenaga satu orang. Paling tidak dua orang dengan
jalan membandulnya dengan sarung atau dengan lainnya. Kalau anak-anak
saya masih di rumah, terutama bayi 2 bulan itu, saya tak dapat
bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar berjatuhan di dalam rumah
menerobosi genteng dan langit-langit. Jadi benar-benar orang
menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat pengepel dari kayu
keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian
Joebaar Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di
sini, di tempat saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu
gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan kedua untuk
bertahan adalah memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat
seumur hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari senjata.

Dengan suara cukup keras saya memekik: Ini yang kalian namai berjuang?
Kalau hanya berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini
caranya. Datang ke sini pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini ini?

Ingar-bingar terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar
batu kali menyambar paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang
sekaligus hancur. Lemparan batu menjadi hebat kembali. Lampu pagar
sengaja dihancurkan dengan lemparan juga.

Saya dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya
dengar juga suara orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun
cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak
lama kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu
saya lihat ke dalam rumah adik saya sudah tidak ada. Rupanya ia
meloloskan diri dari pintu pagar belakang dan langsung memasuki tanah
sang dukun cinta.

Dan betul saja kata teman itu: kemudian datang orang- orang
berseragam. Metode kerja yang kelak akan terus- menerus dapat dilihat.
Mereka terdiri dari polisi dan militer. Saya belum lagi sempat
menggunakan tongkat dan samurai saya, mereka belum lagi memasuki
pekarangan rumah saya.

Komandan militer operasi dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka
masuk dan langsung menyalahkan saya: sia- sia melawan rakyat. Kontan
saya jawab: Gerombolan, bukan rakyat.

Setelah mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak
mari kami amankan, segera pergi dari sini. Saya berteriak memanggil
adik saya. Dia muncul, entah dari mana. Dijanjikan akan diamankan,
saya siapkan naskah saya Gadis Pantai untuk diselesaikan dan mesin
tulis. Pada seorang polisi dalam team itu saya bertanya: kenal saya?
Kenal, pak. Tolong selamatkan semua kertas dan perpustakaan saya. di
situ adalah perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai
menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi
Soekarno-Sartono-Thamrin masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia
berjanji untuk menyelamatkan.

Mereka giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan
mengepung di samping dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris,
golok, belati. Benar, alat negara itu tidak menangkap gerombolan
penyerbu, malah menangkap yang diserbu. Dan sebanyak itu dikerahkan
untuk menumpas satu-dua orang. Hebat benar membikin momentum qua
perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah,
sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan
menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat
leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali
mati. Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh
semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan
seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat
saya tinggal. Melewati jembatan depan rumahsakit umum pusat Koptu
Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya
palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata
tetapi meretakkan tulang pipi. Saya memahami kemarahannya, bukan
padaku sebenarnya, tapi pada atasannya, karena tak boleh ikut memasuki
rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang
sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada
perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan
diselamatkan. Kalau Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi
jangan dirusak. Ia menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah
kompleks perumahan yang saya tak tahu kompleks apa. Dari jendela
nampak puncak emas Monas. Kemudian saya dapat mengenali rumah itu;
hanya masuknya tidak berkelok- kelok melalui kompleks, tetapi langsung
dari jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama saya pernah
menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara
Bukitduri.

Piket mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin
tulis, juga samurai yang tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal
seorang diri rolex saya dikembalikan, berpesan supaya jangan
kelihatan, sembunyikan baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan
tempat di mana sudah menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang
adalah Daryono dari suatu SB (entah SB apa) dan seorang perjaka
jangkung tetangga sendiri. Piket yang mengembalikan jamtangan itu
memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papantulis
besar tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan
menghapus tulisan itu sambil berguman: apa saja ini!

Seorang bocah berpangkat kopral, bermuka manis, menghampiri dan
menanyai ini-itu. Saya tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan
pukulan dan tempeleng, kemudian pergi. Kurang lebih dua jam kemudian
saya lihat Nissan patrol datang dan menurun-nurunkan barang. Beberapa
contoh ditaruh di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di
lantai. Saya kenal benda-benda itu: kartotik file saya sendiri,
dokumentasi potret sejarah, malah juga klise timah yang saya siapkan
untuk saya pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti
perpustakaan dan dokumentasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun
telah dibongkar, 5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi suratkabar.
Angka-angka itu saya dapatkan dari sarjana perpustakaan yang sekitar
dua tahun membantu saya.

Tangkapan-tangkapan baru terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa
jalan dan dilemparkan ke lantai. Kemudian datang tangkapan yang
langsung mengenali saya. Ia bertanya mengapa saya berlumuran darah.
Baru waktu itu saya sadar kemejaku belang-bonteng kena darah sendiri,
demikian juga celana, yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan.
Dialah yang bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa
menyerbu dan merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang
sedang sarat berbuah digoncang buahnya. Tak ada satu cangkir atau
piring tersisa. Rumah bung tinggal jadi bolongan kosong blong.

Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang
teringat adalah satu kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal:
Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup rendah,
memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada
kata-kata lain lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri
kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia keadilan sebagai belasan.
Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia
kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan,
yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan
aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang
bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai
benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa
bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang
mengajarkan.

Di antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak
bisa dan tidak boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika--saya
sudah tidak ingat dari Mali, Ghana atau Pantai Gading--yang waktu naik
mobil pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan utopi? Saya
jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu
kolonial bisa meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom
sebagai kenyataan masih dalam pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom
gagal? Bukankah itu berarti punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom
tersapu? Jawabku: Kami hanya bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau
Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan nasionalis, agama maupun
komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak ingat.

Pagi itu-itu diawali kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa
sepatu, semua lututnya berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R.
Moedigdo, yang saya tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan
Jepang. Dia pun tak terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka baru
datang dari tangsi CPM Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas
kerikil jalanan. Menyusul datang power. Orang- orang militer
melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas geladak dan terbanting
ke tanah. Ruangan telah penuh- sesak dengan tangkapan baru, sampai di
gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Di
antaranya terdapat sejumlah wanita. Sedang gaung dari pers yang
menyokong militer sudah sejak belum ditangkap, tak henti- hentinya
menalu gendang untuk membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan
organisasi massanya: Gerwani di Lubangbuaya memotongi kemaluan para
jendral dan melakukan tarian cabul dan semacamnya, tipikal buah
pikiran orang yang tak pernah mempunyai cita-cita. Bulu kuduk berdiri
bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia bisa membuat kreasi
begitu kejinya.

Kemudian datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan,
yang sepanjang jam, siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan.
Juga dari mulut wanita. Memang ruang yang saya masuki waktu itu tidak
seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di pojokan
seorang KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki
bersepatu bot menginjak kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di
antara jari-jemari pemuda malang itu disisipi batang pensil dan tangan
itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan bertanya: Ada
apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah saya, diperiksa
oleh seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan Adil.

Di luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan
seperti dideritakan pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu
tenang dan sopan, dan mungkin cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai
dengan pertanyaan mengapa saya berdarah-darah.

Jawab: terjatuh.

Tapi itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan.

Pertanyaan: Bagaimana pendapat tentang gerakan Untung?

Jawab: tidak tahu sesuatu tentangnya.

Pertanyaan: Apa membenarkan gerakan itu?

Jawab: Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan- kenyataannya
yang authentik mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa
menjawab pertanyaan itu.

Sebelum meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa
hal sebelum penangkapan saya. Pertama: sejak semula saya sependapat
bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah gerakan
dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu tetap bertahan sampai
sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam Journal of
Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin
hari semakin banyak dan menekan. Kedua: seorang perwira intel pernah
datang berkunjung khusus untuk menyampaikan, bahwa militer akan
memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai tikus. Tiga: dua
mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun, masih
lengang, di sekitar kampus. Keempat: pemeriksaan terhadap para
tangkapan berkisar pada dua hal, pertama keterlibatan dalam peristiwa
Lubangbuaya, kedua keanggotaan Pemuda Rakyat dan PKI. Kelima: beberapa
hari sebelum penangkapan seorang pegawai Balai Pustaka mengumumkan
dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda
Rakyat. Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai
Pustaka, jadi saya datang menemui direktur BP--waktu itu Hutasuhut,
kalau saya tidak salah ingat--dan mengajukan protes karena BP
dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan informasi yang salah
tentang saya. Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis
itu tinggal beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa
plagiat Hamka ia pernah mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan
hanya sebagian daripadanya saya umumkan.

Dan memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting
Pemuda Rakyat. Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore ruangan
belakang juga menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya
pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset
mengingat). Setiap Kamis malam ruangan depan dipergunakan untuk tempat
diskusi Grup diskusi Simpat Sembilan. Setiap pertemuan didahului
dengan pemberitahuan pada kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat
dituduhkan illegal.

Keenam: seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah
orang lagi, kalau diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya, akui
saja ya--tidak peduli benar atau tidak; soalnya mereka tidak
segan-segan membikin orang jadi invalid seumur hidup untuk menjadi
tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya.
Dan, tidak semua orang tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang
tidak mampu mengingat--hampir 20 tahun telah liwat.

Jadi waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab ya.

Pertanyaan: Apakah percaya negara ini akan jadi negara komunis?

Jawab: Tidak dalam 40 tahun ini.

Sebabnya?

Faktor geografi dan konservativitas Indonesia.

Cuma itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama
dalam penahanan itu harian Duta Masyarakat memberitakan reportase
tentang penyerbuan gerombolan itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah
Kertapati, di mana disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku curian
dari musium pusat dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi
pemeriksaan berpusat pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah
meminjam satu beca majalah, harian dan buku dari musium pusat. Yang
belum saya kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan
harian Medan Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun
baik, akan bisa ditemukan, bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih
banyak dari pada yang masih saya pinjam.

Dengan demikian pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini
dapat dicek pada proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada
instansi yang berwenang.

Bila ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu lama.

Mungkin Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita dalam Duta
Masyarakat yang menuduh saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul
seorang kapten di ruang tempat serombongan tahanan. Ia langsung
mengenali saya, sebaliknya saya mengenal dia sebagai sersan di RTM
tahun 1960. Ia bertubuh tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya
suwing. Saya tak dapat mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi aku
di kamar kapalselam (sel isolasi) di RTM itu. Banyak mengobrol, antara
lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam Peristiwa Madiun.
Pagi itu ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana
Sjam. Itu untuk pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera
membatalkan pertanyaanya dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan,
tentu tidak tahu siapa dia. Ramahnya luarbiasa, bawahannya
diperintahkannya untuk mengambilkan kopi dan menyediakan veldbed untuk
saya. Dan hanya perintah pertama yang dilaksanakan. Setelah ia pergi
seorang sersan gemuk yang terkenal galak, dari Sulawesi, kalau tak
salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya dengan ramahnya dan
menyuruh saya membaca Duta Masyarakat itu.

Nah Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur.
Sebelum pergi saya minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik
saya, karena baru saja datang ke Indonesia untuk menyiapkan
disertasinya. Ia luluskan permintaan saya, diketikkan surat
pembebasan. Sebelum pergi ia saya titipi jam tangan saya, untuk
dipergunakan belanja istri saya.

Di Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong
para tangkapan. Sepatu sampai sikatgigi dan ikatpinggang. Waktu itu
baru saya sadari di dalam kantong saya masih tersimpan honorarium dari
Res Publika dan pabrik pensil. Semua dirampas dengan alasan: nanti
dalam tahanan agar tidak dicuri temannya. Dari guntur kami dibawa ke
Salemba. Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus tertekuk, tidak
boleh berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam
pelataran-pelataran penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang
militer. Waktu sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho,
Pak Pram, di sini ketemu lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal
bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan biru-tua dalam bulan
November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam
sedan itu saya, setelah diminta "diwawancarai" oleh Sudharmono, mayor
BC Hk. Dan peltu atau pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah Rompis.

Sejak itu berkelanjutan perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak
sipil saya selama hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu
orang pun dari kaum manikebuis itu terkena lecet, tidak kehilangan
satu lembar kertas pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup
dalam andaian, sekiranya kaum kiri menang. Dari menara andaian itu
mereka menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan,
pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan,
suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa kemenangan.
Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerjapaksa, mereka
satu jam pun tidak pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat
saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru,
banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main.
Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul keberingasan.

Tentang A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946,
di sebuah hotel di Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya
sedang dalam sebuah missi militer. Ia datang ke hotel itu dan
ngomong-ngomong dengan pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena
waktu itu ia redaktur majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut.

Pertemuan kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai
Balai Pustaka yang dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah
penyerahan kedaulatan ia jadi sep saya dalam kantor yang sama--ya saya
sebagai pegawai negeri dengan pengalaman semasa revolusi sama sekali
tidak diakui, karena semua pegawainya bekas pegawai kekuasaan Belanda.
Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata ia masih dalam hidup
dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain tetap membiakkan
pengalaman kecil-mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung dalam
menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik tolaknya tetap andaian.
Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan, dari
dulu sampai detik saya menulis ini.

Dalam pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini belum
dikembalikan. Rumah saya diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat
kapten sampai mayor atau letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada
orang lain. Itu pun hanya rumah kampung, namun punya nilai spiritual
bagi keluarga dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya ceritakan.

Saya mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria
seorang pengarang adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit.
Waktu saya menyiarkan protes tentang tingginya pajak yang 15 persen,
tidak lebih dari seminggu kemudian perdana menteri Djuanda
menaikkannya jadi 20 persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga
pendirian rumah itu melalui ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu
kayu dari meter kubik pertama hingga sampai sepuluh dst. Saya
merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda
motor saya, BSA 500cc.--sepeda motor militer sebenarnya--juga
dikurbankan. Tiba-tiba mertua lelaki datang dan mengecam: mengapa
mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya. Menyusul perintah: tembok!
Ternyata bukan asal perintah. Ia tinggalkan pada saya dua puluh ribu
rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan, katanya lagi. Maka jadilah rumah
tembok yang terbagus di seluruh gang. Ternyata tidak sampai di situ
ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang pengarang
bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak
mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT.
Teman-teman yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang
tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri.
Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah
saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari
penjara Belanda. yang saya lakukan lebih daripada apa yang saya
janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di
seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang
memang jati lebih mahal dari tembok).

Kami sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau
7 tahun. Orang yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun.
Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa
membuktikan rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ.
Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja rumah itu, separohnya
berikan pada penghuninya. Dan saya bilang: saya tidak ada prasangka
orang yang menghuni rumah saya itu dari golongan pelacur. Walhasil
sampai sekarang tetap begitu saja.

Baik, kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami.
Saya sama sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan
semua pengalaman indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal,
malah menjadi fondasi bagi seorang pengarang.

Apa yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa
dibandingkan yang saya alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958 sepulang
dari Konferensi Pengarang A- A di Tasykent lewat Tiongkok saya tidak
diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat Mandalay, Burma.
Artinya, dengan kesulitan tak terduga. Sampai di Rangoon pihak
Kedutaan RI tidak mau membantu memecahkan kesulitan saya. Apa boleh
buat, tidak ada jalan bagi saya daripada mengancam akan memanggil para
wartawan Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma, memberikan pernyataan,
bahwa ada kedutaan yang tak mau mengurus warganegaranya yang
terdampar. Mereka terpaksa mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari
Rangoon kemudian datang surat yang menuntut macam- macam. Saya hanya
menjawab dengan caci-maki dengan tembusan pada menteri luarnegeri,
waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih tersimpan dalam
arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya menghadap
Bung Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping
juga bingkisan dari Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov,
kepadanya, disaksikan oleh beberapa orang, diantaranya Menteri Hanafi.
Tak terduga dalam pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian dengan Bung
Karno. Ia memberi saya suatu instruksi dan saya menolak, karena
sebagai pengarang saya punya porsi kerja sendiri. Pertikaian ini
kemudian melarut, yang saya anggap wajar, sampai akhirnya atas
perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih keras
di Cipinang, karena menentang PP 10. Hampir satu tahun dalam penjara,
kemudian dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan satu nafas dengan
para pemberontak PRRI-Permesta sebagai hadiah terbebasnya Irian Barat.
Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution itu-itu juga
memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada angkatan
perang dalam melawan PRRI di SumBar.

Penahanan 1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya
yang melakukan adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama
sekali tidak ada setitik pun keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya
menuliskan apa yang saya anggap saya ketahui, dan berdasarkan padanya
pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas, lengkap. Alamat saya pun
jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat memindahkan
rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak diberikan kepada
saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan surat pada Bung
Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala
redaksi Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk
mendapat hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah
sebagai penipu. Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak
meneruskannya, dengan alasan ada orang lain menyimpan tembusannya.
Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu masih tersimpan.

Dapat Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih
tidak berarti dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri alami.

Saya heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyatakan keheranannya
mengapa namanya dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa
lucu dan naif, selama ia sendiri tidak punya kekuasaan untuk
menentukannya. Katanya Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu dari
halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak memberi penjelasan.

Di halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang
Taslim Ali. Saya sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan
Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang yang "selalu menterornya
dengan meletakkan pestol di atas meja" -nya itu adalah saya. Pramoedya
Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal 28 November
1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3): "Achdiat pernah bercerita,
bahwa Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan meletakkan pistol di
meja." Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa yang saya temui dan saya
teror? Kiranya, kalau Goenawan tak berandai- andai, A.K.M. sendiri
yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah
saya bersenjata api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi
parabellum. Tempat: dalam sebuah jeep dalam perjalanan antara Bayah
dengan Cikotok. Saksi: seorang letnan angkatan darat. Ia membutuhkan
bantuan saya untuk menyelidiki benar- tidaknya ada boulyon-boulyon
emas disembunyikan oleh Belanda sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di
dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan, bahwa semua itu omong
kosong belaka. Mengapa bersenjata? Karena sebelumnya sebuah kendaraan
umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih nongkrong di
pinggir jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada
kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan
berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik. Dan saya pun tidak
pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk menteror Taslim Ali. Apa
yang bisa didapatkan dari dia? Sebaiknya A.K.M. menyebut jelas siapa
nama penteror itu.

Di halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: "di depan
rumahnya saya sempat menyusukan selembar 10 ribu rupiah ke dalam
kepalannya. Dia agaknya begitu terharu, sehingga nampak matanya basah
tergenang," dan "saya tahu Pram tentu butuh duit ketika itu." Memang
agak janggal menampilkan saya saya semacam itu. Pada waktu itu saya
tidak dapat dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera setelah pulang
dari Buru sejumlah bekas tahanan Buru datang pada saya minta dibantu
memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan. Memang pihak gereja
telah banyak membantu, dan saya menghormati dan menghargai jasanya
pada mereka dengan tulus. Tetapi selama status dan namanya bantuan
barang tentu tidak mencukupi kebutuhan apalagi untuk keluarganya. Jadi
saya dirikan sebuah PT pemborong bangunan, sebuah usaha yang bisa
menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M. datang ke rumah telah 36
orang ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak kurang dari 5 rumah
dikerjakan, di antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka menumpang
ada saya. Usaha ini telah dapat memberi hidup (terakhir) 60 orang
dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu? Beberapa kali datang intel,
yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi tempat berkumpul tapol.
Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum untuk
menyediakan uang sekian ratus ribu dalam sekian hari. Seseorang datang
dan mengibar-ngibarkan kartu identitasnya sebagai intel Hankam.
Seorang datang mengaku sebagai pegawai sospol Depdag dengan tambahan
keterangan, teman-temannya orang Batak banyak, dan orang tidak
selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan mereka.
Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah
banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut tenaganya
karena tua. Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan rumah
sekarang. Mereka tidak terbiasa dengan material baru dan
pengerjaannya. Di samping itu kerjapaksa berbelas tahun tanpa imbalan
tanpa penghargaan, setiap hari terancam hukuman, telah berhasil
merusakkan mental sebagian dari mereka. Dalam pekerjaan yang mereka
hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang impian berbelas
tahun dalam posisinya sebagai budak-budak Firaun adalah terlalu indah.
Seorang yang di Buru mempunyai setiakawan begitu tinggi dan diangkat
jadi kepala kerja, kemudian lari membawa uang, dan bukan sedikit.
Seorang yang relatif masih muda, suatu malam datang dengan membawa
truk dan mengangkuti material bangunan yang telah tersedia dan
menjualnya di tempat lain dengan harga rendah untuk dirinya sendiri.
Seorang lagi yang juga tergolong muda, sama sekali tanpa ketrampilan
tukang, mendadak mengorganisasi pemogokan dengan tuntutan berlipat
dari hasil kerjanya. Pick-up Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman
Savitri, dalam 3 bulan sudah berban gundul dan penyok-penyok.

Pukulan lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang sudah
diselesaikan sekitar 8 rumah dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua
di antara yang dibangunkan rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya,
mengetahui kedudukan hukum kami lemah. Berkali-kali Savitri minta
pertanggungjawaban atas bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya
tak mampu lakukan itu. Tidak lain dari saya sendiri yang akan merasa
malu, dan semua harus saya telan sendiri. Akhirnya saya perintahkan
pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban pada
teman- teman Savitri.

Nah Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu,
yang sama sekali tidak pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M.
untuk memperindah gambaran tentang dirinya. Semua kebaikan tidak akan
sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun tentu saja
tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti mempunyai
motif. Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai investasi, yang
setiap waktu dikutip ribanya, sekalipun hanya riba moril, itu memang
betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa di dunia ini tidak
pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru dan sejumlah orang
yang datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu,
di antaranya 3 mesin tulis, yang tiga-tiganya langsung diteruskan
untuk tapol yang lebih memerlukan. Demikian juga halnya dengan uang
pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam kantong. Itu akan
kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah pemberi,
dari lingkungan dalam dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu.
Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal tidak bisa tinggal jadi
penerima saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan
tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali
berturut satu kardus besar berisi kacamata, dan pakaian untuk saya
pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.) Maksud saya hanya untuk
menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi
baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan
menerima adalah kebiasaan yang perlu dinyatakan.

Jangan dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog
bagi saya tetap lebih menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya
dialog adalah pencerminan jiwa demokratis. Tetapi ucapan all forgiven
and forgotten atau we've forgiven but not forgotten, benar- benar
produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari
kompleks inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar dirinya.

Tentang Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali
menyarankan untuk membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno,
khususnya sekitar sebab mengapa presiden RI membubarkan konstituante
itu. Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima Pancasila
sebelum dapat interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non- formal.

Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah
di alun-alun Klaten pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan
pada suatu golongan masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi
redaksinya) yang membaca kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu,
Ketuhanan yang Maha Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan
yang Maha Esa; Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan
yang Maha Esa. Dia tidak dalam keadaan bergurau.

Selama 14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi
kebenaran, lebih dari itu. Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih
tepatnya dengan istilah orde baru santiaji, orang tidak menyinggung
sila-sila lain sesudah sila pertama, kalau menyinggung pun hanya
sekedar penyumbat botol kosong: beragama dan tidak beragama berarti
sembahyang. Tidak bersembahyang berarti tidak pancasilais, bisa juga
anti-pancasila. Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan untuk
menterjemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu
membebaskan diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan,
pangkat dan tanda-tandanya--dan bagi suku Jawa cukup lengkap di
dideretkan dalam sastra wayang.

Berdasarkan pengalaman sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia
tidak digerakkan oleh Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan
nasionalisme. Baru pada 1946 saya pernah mendapat tugas untuk memberi
penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan. Selanjutnya tetap
tidak ada pertautan antara Pancasila dengan Revolusi.

Saya menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini,
sekali pun dengan Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami
di-buru-kan sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan sesuatu
protes. Dan pertanyaan kemudian, apakah ia tetap berpandangan
demikian--artinya tak perlu melaksanakannya dalam praktek--pada waktu
kepentingan dan keselamatan jiwanya terancam? Bicara di lingkungan
aman memang lebih mudah untuk siapapun, dan: tanpa pembuktian.

Dalam hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di hlm. 7 sebagai
pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana Australia saya mempunyai kisah.

Pada 1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM.
Seorang dokter menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan
kedatangan saya. Saya tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak
Roem atau ambisi si dokter itu saja. Langsung saya berangkat bersama
dengannya. Di ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih dihubungkan
pada alat pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat
sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi. Menghadapi orang dalam
keadaan gawat tentu saja saya tidak bicara apa-apa. hanya beliau yang
bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya harus mengundurkan diri
untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan sendiri. Terlalu banyak
yang disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan gawat seperti
itu. Satu hal yang berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi Barat,
dan beliau sebagai ahli hukum, adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu
dipertimbangkan dengan adil, tidak seperti selama ini dinilai. Dalam
sejarah kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya
karena demokrasi parlementer Barat.

Nah, Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya
menggunakan hak saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada
pada kaum manikebu. Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka
tak punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu
secara formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap
menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang
perlu disanggah. Sedang ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan
politik terakhir. Beberapa minggu kemudian beliau meninggal dunia.

Saya belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya
di luar hubungan dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja.

Tak lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari
M.L., yang intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya
mendapat kesan kuat, pembicaraan kita Bung teruskan padanya. Terima
kasih, bahwa hal-hal yang tidak jelas sudah dibikin terang olehnya.

Untuk tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan
khusus ataupun umum ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya
menyetujui kehidupan bipoler. Saya membenarkan adanya dua superpower,
bukan saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani
politik ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya
seluruh dunia akan jadi bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya
dan kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi. Dalam tingkat nasional
saya menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau
tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak
berkembang. Demokrasi dengan opposisi adalah juga pernyataan makro
nurani politik nasional. Dia adalah juga pencerminan mikro nurani
pribadi manusia, yang tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan
dengan serba naluri tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun
tidak.

Semoga surat kelewat panjang ini--lebih tepat usaha pendokumentasian
diri sendiri--ada manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila diperbanyak.

Salam pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang
pernah saya kecewakan.

Belakangan ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan
ramuan tradisional yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan
melalui tes urine dengan benedict kadar gula yang positif dalam 24 jam
dapat menjadi negatif, yang tidak dapat saya peroleh melalui sport dan
kerja badan selama 2 minggu.

Salam hangat untuk Bung sendiri dan keluarga.

Tetap (tanda tangan).

Jawaban Surat Terbuka Dari Malaysia

Jawaban Surat Terbuka Dari Malaysia

Beberapa hari lalu sempat ada postingan "Surat Terbuka Untuk Malaysia" karena kekalahan Timnas Indonesia di bukit jalil, berikut jawaban surat tersebut dari Malaysia

The embassy of malaysia write the answer:
Dear indonesian, sorry for we won the soccer this time. If you want to win on dec 29 please send back Manohara to us.

Regards
the Ambassador

Surat Terbuka Untuk Malaysia

Surat Terbuka Untuk Malaysia

Dear malaysian people,
We apologize that we have killed Nurdin M Top. Now, you can take Nurdin Halid as an exchange!
Initially we also want to compensate the lost of Dr. Azhari but deeply regrets Rahma Azhari had been booked by the Phillipines.

Thanks for your understanding.


http://terselubung.blogspot.com/2010/12/surat-terbuka-untuk-malaysia.html

SURAT TERBUKA UNTUK NIA DINATA

SURAT TERBUKA UNTUK NIA DINATA

Saya mendapati sebuah artikel berita tentang bagaimana Nia Dinata mengajari anaknya melakukan seks bebas, tanpa ikatan pernikahan. Sebuah kalimat imperatif dikutip begitu terang tanpa memiliki tautan moralitas dan religiusitas. Begini kalimatnya. "Silakan kamu melakukan hubungan seks dengan pacarmu, asalkan mau sama mau."

Tentu saja, saya harus mengklarifikasi kalimat itu. Benar atau salah. Tentu saja saya juga tidak memiliki hak untuk mengatur apakah Nia ingin menjadi komunis, atheis, menjadi Yahudi, menjadi Islam, Kejawen, sekuler, atau menjadi Nia sebagai isme pribadi.

Hak saya adalah sebagai makhluk sosial, yang memiliki ikatan dan tanggung jawab moral kepada sosialitas saya, kepada agama yang saya anut, kebudayaan saya, negara saya, bumi saya, juga anak-anak saya, anak tetangga, anak-anak bangsa, teman saya, saudara saya, kawan-kawan sebangsa, seagama, dan komunitas-komunitas. Hak saya sebagai penganut beragama adalah menjaga agama saya. Hak saya sebagai warga negara menjaga dan melindungi negara saya. Hak saya sebagai sesama anak bangsa adalah menjaga dan melindungi anak bangsa.

Atas pernyataan Nia Dinata itu, hak saya baik sebagai penganut agama, warga negara, anak bangsa, makhluk sosial, dst TERGANGGU dan TERCEDERAI. Nia Dinata seharusnya TIDAK MENYEBARLUASKAN pendidikan seks bebas pranikah itu kepada khalayak ramai, kepada masyarakat luas, kepada masyarakat tempat saya menjadi salah satu anggotanya, tempat saya berbangsa dan berpijak di negara ini, di bumi ini.

Setiap warga negara memiliki hak privasi, juga hak asasi. Setiap masyarakat memiliki hak sosial juga tanggung jawab sosial, kewajiban-kewajiban sosial. Hak Nia mengajari anaknya untuk berzina setiap hari, baik di Belanda, atau di Doly atau di tempat-tempat maksiat lainnya, semau-maunya Nia, sesuka-sukanya Nia, sekarang dan sepanjang hayat. TETAPI Nia tidak berhak MENGGANGGU dan MENCIDERAI hak privasi orang lain, hak sosial, hak masyarakat, hak bangsa, untuk memelihara, menjaga dan melindungi sopan santun, menjaga kesucian kegadisan, keperjakaan, keperawanan, nilai-nilai agama, budaya, moral, etika, dan lain lainnya.

Sesama PEMEGANG HAK sebaiknya TIDAK SALING melukai dan menciderai. Sebagai sesama anak bangsa di negeri ini, sebaiknya Nia tidak menyebarkan doktrin pribadi tentang seks bebas pranikah kepada masyarakat luas yang berbudaya, bermoral, beretika, dan beragama. PENYEBARAN ajaran seks bebas pranikah kepada masyarakat luas, melalui media apapun, mengganggu dan menciderai para pemegang hak lainnya.

Jakarta, 10 Desember 2010

Habe Arifin

Surat Terbuka Untuk Firman Utina

Surat untuk Firman Utina - Seorang sastrawan mengirim surat terbuka kepada kapten tim nasional Indonesia, yakni Firman Utina. Surat yang diunggah melalui blog pribadinya itu berjudul "Surat untuk Firman".
Berikut isi lengkap dari surat ES Ito:

Surat untuk Firman

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!

Klarifikasi Andy F. Noya Pengusiran Dewi Motik

Pembawa acara Talk Show Kick Andy, Andy F Noya dituding mengusir Ketua Umum Kowani Dewi Motik dan Direktur Eksekutif Djakarta Public Society Tetty Elmir saat tapping acara Kick Andy pada Rabu (19/1/2011).

Berikut ini adalah klarifikasi Andy perihal tudingan pengusiran Dewi Motik dan Tetty Elmir.

Seorang penonton di acara rekaman KA menulis di blognya bahwa saya “mengusir” yang bersangkutan dari studio. Dalam tulisannya, penonton tersebut lalu menghakimi saya dengan sederet “dosa” yang saya perbuat pada saat itu. Termasuk penilaian atas pribadi saya.

Pada mulanya, saya enggan menanggapi dan juga meminta teman-teman di tim KA untuk tidak memberi tanggapan. Namun melihat perkembangan yang ada, maka ijinkanlah saya menjelaskan duduk perkara versi saya agar Anda mendapatkan gambaran yang lebih utuh atas insiden tersebut.

PERTAMA, dalam rekaman dengan topik “Ancaman Seks Bebas di Kalangan Remaja” malam itu, penonton tersebut bukan penonton yang diundang langsung oleh Tim KA, melainkan penonton yang diundang oleh Ibu Elly Risman, salah satu narasumber kami saat itu.
Selama ini kepada setiap penonton KA yang akan hadir dalam rekaman, kami selalu menyampaikan lebih dulu topik yang akan diangkat, siapa saja narasumber, dan apa tujuan diangkatnya topik tersebut. Hal ini sudah kami lakukan hampir lima tahun sebagai aturan baku guna menghindari kesalahpahaman. Artinya jika ada yang kurang sreg dengan topik yang diangkat, maka dia bisa membatalkan kehadirannya. Hal itu juga dilakukan untuk menghindari adanya anak-anak yang dibawa orangtuanya untuk menonton topik yang tidak tepat.
Dalam konteks ini, mungkin penonton tersebut tidak mendapat gambaran yang jelas atau utuh tentang topik dan tujuan diangkatnya topik tersebut. Pada hari itu. Hal ini diperkuat dari pengakuannya di blog, bahwa dia hadir tanpa direncanakan, melainkan atas desakan Ibu Elly.
Pada rekaman malam itu, pengamanan bahkan lebih kami perketat dengan membatasi hanya mahasiswa dan orang dewasa yang boleh hadir di studio. Remaja SMA ke bawah dilarang. Komitmen tersebut dijalankan dengan baik malam itu.

KEDUA, pada setiap topik kami bagi dalam enam segmen. Setiap segmen berisi pesannya masing-masing. Biasanya konklusi atau pesan moral yang akan disampaikan, diutarakan di segmen lima dan enam. Segmen awal biasanya untuk mengungkapkan fakta-fakta.

KETIGA, pada saat segmen tiga berakhir, dimana saat itu narasumber yang tampil adalah remaja pria (19 tahun) yang terjerumus dalam seks bebas dan bahkan seks komersial, tiba-tiba Ibu Dewi Motik yang hadir sebagai penonton yang diundang oleh Ibu Elly Risman melakukan interupsi. Dia mengatakan dia dizolimi dengan kehadiran anak remaja tersebut sembari menegaskan dia datang ke acara KA untuk mendengarkan Ibu Elly, bukan mendengarkan pernyataan narsum tersebut.
Karena Ibu Dewi Motik (yang datang terlambat) berkali-kali menyatakan dia telah dizolimi, maka saya mempersilakan Ibu Dewi untuk meninggalkan studio jika dia merasa tidak nyaman dengan narsum yang sedang saya wawancarai.

KEEMPAT, Ibu Dewi Motik meninggalkan Studio. Lalu tiba-tiba seorang penonton berdiri dan dengan suara lantang menyatakan hal yang sama dengan Ibu Dewi Motik. Dia mengatakan datang ke studio untuk mendengarkan Ibu Elly dan bukan untuk mendengarkan “bualan” remaja tersebut. Kepada penonton tersebut saya menjelaskan agar dalam mengikuti rekaman malam itu sebaiknya melihatnya secara utuh, jangan sepotong-sepotong, agar bisa dipahami. Sebab saat itu rekaman baru berjalan tiga segmen dari enam segmen.

KELIMA, Saya melihat penonton tersebut tetap menunjukkan raut wajah tak senang. Dalam waktu yang terbatas tentu saya tidak bisa menjelaskan secara detail, mengingat saya juga harus memperhatikan kepentingan 500-an penonton lain yang tentu ingin rekaman berjalan lancar dan tepat waktu. Maka, kepada penonton tersebut saya mengatakan jika dia merasa terganggu silakan meninggalkan studio.

KEENAM, saya baru mengetahui begitu banyaknya “dosa” saya di mata penonton tersebut setelah saya membaca tulisannya di blog. Pada saat ybs protes, yang dia persoalkan adalah mengapa Ibu Elly Risman, sahabat beliau, tidak duduk di atas panggung tetapi hanya dijadikan “aksesoris” dengan duduk di antara penonton.
Tanpa sadar, ybs telah merendahkan Ibu Elly dengan pernyataannya tersebut. Seakan Ibu Elly begitu naif untuk mau dipajang sebagai “aksesoris” dalam acara KA, mengingat prestasi dan kepakaran beliau yang sudah kita kenal selama ini. Penonton tersebut juga menyesalkan mengapa Ibu Elly hanya didudukan di kursi penonton dan cuma ditanya singkat.
Kesimpulan yang tentu terlalu dini, mengingat acara baru berjalan tiga segmen dari enam segmen yang direncanakan. Dalam rundown yang kami siapkan, Ibu Elly sudah diplot untuk berbicara di tiga segmen (2, 4, dan 6). Hal ini juga sudah diketahui dan disetujui oleh Ibu Elly, bahkan dalam briefing sebelum rekaman, poin-poin apa yang akan disampaikan pada setiap segmen sudah didiskusikan dengan Ibu Elly. Termasuk tempat duduk Ibu Elly diantara penonton. Soal format tempat duduk bagi narsum ahli diantara penonton, sudah lima tahun lamanya dilakukan di KA. Saya mencoba memahami mungkin penonton tersebut belum pernah menonton KA sehingga tidak mengetahui format ini. Atau mungkin terlalu bersemangat mendukung Ibu Elly.
Pada saat penonton tersebut protes soal ini, Ibu Elly baru berbicara satu segmen. Saya hanya tersenyum membaca tulisan ybs di blognya bahwa setelah dia protes, baru Ibu Elly kami beri porsi bicara cukup banyak. Ibu Elly tentu bisa menjelaskan hal ini karena beliau mengetahui bahwa sejak awal beliau memang sudah diplot untuk tiga segmen. Ini jumlah yang banyak mengingat biasanya pakar yang tampil di KA mendapat porsi dua segmen saja. Karena penonton tersebut katanya juga seorang broadcaster yangpernah belajar televisi di Amerika, tentunya juga paham bagaimana sebuah rundown acara televisi disiapkan.

KETUJUH, penonton tersebut juga mengaku tidak sudi diperintah untuk tepuk tangan bagi sesuatu yang menurut dia harusnya ditangisi. Jujur saya baru tahu soal tepuk tangan ini menjadi persoalan dari tulisan ybs di blognya. Pada saat di studio, masalah ini sama sekali tidak diucapkan sebagai alasan keberatan.
Jika saja ybs tidak emosional dan mengikuti rekaman dengan kepala dingin dan berpikiran positif, maka dia dapat memahami tujuan tepuk tangan. Selama ini tepuk tangan di KA biasanya diberikan ketika narasumber memberikan pernyataan yang perlu mendapat penghargaan atau dukungan.
Dalam konteks rekaman malam itu, di ujung segmen remaja putri yang jadi narsum mengatakan dia menyesali apa yang sudah terjadi pada dirinya dan dia berjanji untuk meneruskan sekolahnya guna menggapai cita-citanya. Begitu pula halnya remaja putra yang jadi narsum, ketika ditanya oleh Ibu Elly apakah dia menyesali perbuatannya, maka dia menyatakan menyesal. Di situlah peran tepuk tangan diletakkan pada konteksnya. Jadi, pernyataan penonton tersebut mengatakan “mengapa dia harus bertepuk tangan untuk berita yang kami tangisi”, mungkin perlu diletakkan secara proporsional.

KEDELAPAN, dalam blognya, penonton tersebut mengatakan dia “Saya juga meminta Andy untuk lebih memberi ruang kepada Ibu Elly sebagai peringatan kepada masyarakat, terutama kepada anak-anak, agar tidak melakukan kesalahan yang sama”. Perlu saya tegaskan, dalam rekaman yang saya coba putar kembali, pernyataan semacam itu tidak ada sama sekali. Waktu itu semua berjalan sangat cepat. Yang ada hanya ucapan lantang penonton tersebut bahwa dia ke studio untuk mendengarkan Ibu Elly, bukan mendengarkan pernyataan (dalam blognya disebut “bualan”) narsum remaja putra tersebut. Jadi sebaiknya jangan ada dusta diantara kita (hehehe maaf menyitir syair lagu).

KESEMBILAN, penonton tersebut menuduh “semua pertanyaan2 hanya memancing jawaban yang seolah-olah memberikan pesan bahwa Seks bebas adalah sesuatu yang lumrah bagi remaja.” Untuk tuduhan ini, biarlah masyarakat penonton nanti yang menilai pada saat acara ini ditayangkan.

KESEPULUH, penonton tadi menuduh KA tidak melindungi kedua narsum remaja tersebut. Sekadar info, ini bukan pertama kali KA menghadirkan narsum yang identitasnya harus kami rahasiakan. Untuk kedua remaja itu, pengamanan yang kami lakukan bahkan berlapis. Pertama, sebelum meminta kesediaan mereka untuk menjadi narsum, kami menjelaskan kpd mereka tujuan dari topik yg hendak diangkat. Kedua, meminta persetujuan mereka. Ketiga, menyamarkan wajah mereka dengan topeng dan rambut palsu. Keempat, menggunakan nama samaran. Kelima, dalam post production, sebelum ditayangkan, suara narsum akan disamarkan juga.
Masalah nama. Sebelum rekaman kedua narsum setuju menggunakan nama samaran mereka sendiri, yang mereka pakai saat menjalankan profesi sebagai pekerja seks komersial. Namun menjelang rekaman, atas inisiatif saya, saya meminta kepada Tim KA agar nama samaran itu disamarkan lagi dengan panggilan “Bunga” dan “Justin”.
Karena keterbatasan waktu utk mengubahnya saat itu juga, maka Tim KA akan mengubahnya pada saat post production, sebelum ditayangkan. Karena itu, pada saat rekaman, narasi di video tape masih menggunakan nama lama (yang sebenarnya nama samaran juga). Begitu pula ada ucapan narsum dan saya yang keceplosan menyebut nama samaran yang lama.
Sebenarnya jika toh ,diteruskan tidak berisiko. Tapi, kepada penonton yang hadir, saya meminta agar mereka mengabaikan nama yang keceplosan itu, karena dalam penayangan di televisi kami akan memakai nama “Bunga” dan “Justin”
Bahkan untuk meyakinkan niat baik itu, saya bertanya kepada seluruh penonton, “Siapa nama narsum?” Lalu dijawab dengan lantang dan serentak: “Bungaaaa”! dan “Justiiiiin”!. Secara tidak langsung, saya ingin agar diantara kami yang hadir di studio, ada kesepakatan bahwa soal nama menjadi rahasia bersama. Dan saya yakin komitmen ini akan dijaga oleh para penonton yang hadir. Kalaupun ada yang ingkar, maka nama yang keceplosan itu toh nama samaran.

KESEBELAS, masih soal keamanan narsum. Penonton yang marah dan kecewa tersebut masih menuduh saya tidak melindungi narsum karena dia memergoki narsum tadi di depan pintu saat menunggu mobil untuk diantar pulang. Saya berterima kasih atas masukan ini. Lain kali kami lebih berhati-hati, karena bisa saja kami sudah merasa aman, karena penonton semua sudah berada di studio, tapi ternyata ada penonton yang tiba-tiba keluar studio sebelum rekaman usai sebagaimana Ibu Dewi Motik dan penonton tersebut. Ini kejadian di luar perkiraan. Sekali lagi terima kasih atas masukannya.

KEDUABELAS, mengenai joke atau lelucon saya yang dianggap tidak pantas. Saya minta maaf jika itupun tidak berkenan di hati ybs. Dari pengalaman saya sebagai jurnalis selama hampir 30 tahun, tidak mudah membuat narsum (terutama untuk topik yang sensitif atau sulit) merasa rileks untuk menjawab pertanyaan saya.
Karena kabarnya penonton yang kecewa tersebut juga seorang jurnalis, maka tentu ybs sangat memahami hal ini. Saya harus mampu mencairkan suasana agar kedua remaja menjadi santai dan tidak merasa dihakimi di depan penonton. Untuk itu saya melontarkan candaan yang tentu tidak dimaksudkan untuk menghina atau menyakiti hati mereka. Sebab jika penonton yang kecewa tersebut mengikuti dengan seksama perjalanan KA selama hampir lima tahun, maka tentu prasangka itu tidak akan dilontarkan. Tetapi jika itupun salah di mata ybs, ijinkan saya meminta maaf.

KETIGABELAS, penonton tersebut mengatakan KA megangkat topik tersebut “hanya semata-mata mengikuti selera pasar”. Perlu saya jelaskan, topik itu berangkat dari pertemuan Tim KA dan Ibu Elly Risman yang datang ke Metro TV bersama sejumlah pengurus Yayasan Kita dan Buah Hati. Dalam pertemuan itu Ibu Elly menyampaikan kerisauannya atas semakin merebaknya pornografi di kalangan anak-anak dan remaja. Ibu Elly mengharapkan dukungan KA untuk memerangi pornografi di kalangan anak dan remaja.
Gerakan semacam itu sangat sejalan dengan “roh” KA. Maka dari pertemuan itu, lahir komitmen antara tim KA dan Tim Yayasan Kita dan Buah Hati untuk bersama-sama melakukan gerakan perlawanan terhadap pornografi, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Bahkan dalam pertemuan tersebut saya berjanji akan membantu mencarikan dana dan bersama-sama melakukan penyuluhan kepada orangtua murid dan guru di sekolah-sekolah (bahkan KA Foundation sdh mempersiapkan dua tenaga fulltime yang kami rekrut untuk mendukung komitmen tersebut).
Sebagai wujud awal dari komitmen itu, Tim KA lalu melakukan riset untuk mengangkat topik tersebut di KA. Hasil temuan kami, Komnas Anak dan BKKBN baru-baru ini mengeluarkan hasil riset yang mengejutkan: terjadi peningkatan jumlah remaja yang sudah mengakses pornografi pada usia dini. Juga meningkatnya remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah. Komnas anak juga menengarai kecenderungan jumlah remaja yang sudah tidak perawan. (Hasil temuan kedua lembaga tersebut sudah dipublikasikan secara luas).
Jadi, dasar diangkatnya topik ini bukan mengikuti “selera pasar”, tapi justru bertujuan mengingatkan para orangtua terhadap ancaman seks bebas pra nikah di kalangan remaja. Tidak terbatas pada remaja putri, tapi juga remaja pria. Karena itu kami juga menampilkan narsum remaja pria juga. Sayang ybs sudah keburu marah dan menghakimi, padahal pada segmen berikutnya ada juga narsum anak dan ibu yang kami tampilkan.

KEEMPATBELAS, dalam wawancara dengan narsum remaja putri, remaja ini menyebutkan ada anggota dua lembaga terhormat yang juga menggunakan jasanya. Pernyataan itu tentu mengejutkan. Saya mempertanyakan dari mana dia yakin bahwa orang-orang tersebut dari kedua lembaga itu. Dia menjawab dari kartu anggota mereka. Saya lalu menimpali bahwa kartu anggota tidak bisa dijadikan bukti karena mudah dipalsukan.
Dalam wawancara, saya selalu mencoba menggali informasi selengkap mungkin. Tapi dalam penayangannya nanti, tentu tidak semua patut atau layak ditayangkan. Ada banyak hal yang akan jadi pertimbangan. Termasuk nama kedua lembaga yang disebut oleh narsum remaja tersebut tentu tidak akan kami tayangkan karena tidak ada relevansinya dengan topik. Namun sangat disayangkan penonton tersebut dalam blognya secara terbuka menyebutkan kedua lembaga tersebut di ranah publik. Jadi, itu di luar tanggung jawab moral kami jika nama kedua lembaga itu sekarang ini diketahui publik secara luas.

KELIMABELAS, pada malam itu, ada penonton dari Yayasan Kita dan Buah Hati mengusulkan (dengan cara yang santun) agar pada waktu ditayangkan nanti, jumlah penghasilan para narsum itu diedit (dihapus), dengan alasan agar tidak mendorong remaja-remaja lain untuk mendapatkan uang dengan cara itu. Dalam rapat evaluasi (sesudah rekaman kami selalu mengadakan evaluasi), usulan itu disetujui. Artinya jumlah penghasilan kedua remaja itu tidak kami tayangkan. Namun lagi-lagi sangat disayangkan di dalam blognya, penonton yang marah dan kecewa tersebut justru secara terbuka mengungkapkan penghasilan kedua remaja tersebut.
Jika ybs benar adalah jurnalis dan broadcaster, tentu memahami cara kerja orang pers/media dimana materi yang kita peroleh dalam wawancara, tidak semuanya patut dipublikasikan. Ada proses editing dan pertimbangan yang harus dilalui. Begitu pula halnya di dalam kebijakan program KA.

KEENAMBELAS, dalam tulisan di blognya, ybs melakukan sejumlah penilaian terhadap saya pribadi. Antara lain saya dituduh karena sudah merasa hebat, tidak siap dikritik/diingatkan. Juga dia mengatakan saya merasa hebat karena sudah menghina dan melecehkan orang lain. Saya juga dikatakan konyol dan secara tidak langsung tidak beradab (karena ucapan-ucapan saya katanya telah melukai orang-orang beragama dan beradab). Untuk yang ini saya enggan berkomentar. Biarlah masyarakat yang menilai.

KETUJUHBELAS, penonton tersebut mengaitkan wawancara saya dengan upaya Metro TV untuk mencoreng wibawa pemerintah. Karena saya tidak memahami korelasinya dan tidak berhak mengatasnamakan Metro TV, maka saya mohon maaf tidak bisa menjawab tuduhan ini. Saya hanya bisa berharap dan berdoa Metro TV tidak menggugat ybs secara hukum atas tuduhan ini karena ybs harus bisa membuktikan tuduhan tersebut.

KEDELAPANBELAS, dalam tulisan di blognya, penonton tersebut mengutip SMS yang dikirim Ibu Elly Risman kepadanya, untuk mendukung semua argumentasi yang dia lontarkan di blognya. Saya sudah bertemu Ibu Elly Jumat malam di Citos, untuk mengklarifikasi SMS tersebut. Sebab bagi saya penting sekali karena Ibu Elly adalah narsum di acara itu yang kredibilitasnya harus saya jaga. Kepada saya dan Tim KA, malam itu Ibu Elly mengaku sudah menyatakan keberatan dan kekecewaannya kepada sahabatnya itu, bahwa pernyataan yang bersifat pribadi (melalui SMS) dikutip untuk memperkuat argumentasi ybs, dan dipublikasikan di ruang publik (melalui blog ybs). Suatu tindakan yang tentu tidak terpuji.
Dalam pertemuan malam itu Ibu Elly juga menceritakan banyak hal dan juga latar belakang dan penyesalannya. Tetapi tentu tidak dapat saya sampaikan di sini, kepada publik, karena saya menghormati privasi orang.

KESEMBILANBELAS, dalam blognya, nama saya ditulis oleh ybs memakai dua versi. Andi F. Noya dan Andy F. Noya. Agar tidak membingungkan, nama yang diberikan orangtua saya yang benar adalah Andy F. Noya.

KEDUAPULUH, dari semua kejadian ini, saya mengambil hikmah yang positif. Pertama, jangan berpikir semua orang yang hadir di KA sudah memahami “roh” KA. Kedua, bagi yang bukan undangan langsung dari Tim KA, tetap perlu diberi informasi tentang tujuan topik yang sedang direkam. Ketiga, jangan “mengusir” orang yang mengganggu acara rekaman KA, walau harus mengorbankan kepentingan 500-an penonton lain di studio. Keempat, saya belajar kalau melihat suatu persoalan, sebaiknya secara utuh baru mengambil kesimpulan. Kelima, saya belajar untuk tidak menulis perasaan saya ketika saya marah. Kelima, dan ini yang paling penting, saya belajar jangan menilai kepribadian orang yang tidak saya kenal sebelumnya, hanya dengan bertemu kurang dari satu jam.

KEDUAPULUHSATU penonton tersebut mengatakan acara molor 2 jam. Mungkin ini pertama kali ybs hadir di acara rekaman KA. Sekadar informasi, sudah lima tahun tatacara rekaman KA ya seperti itu. Tamu mulai berdatangan jam 5 sore. Karena sebagian besar dari luar kota. Sambil beristirahat menunggu rekaman dimulai, tamu akan disuguhi jajanan dan minuman, sembari mendengarkan alunan musik dari band yang sengaja kami undang untuk menghibur. Setengah jam sebelum rekaman dimulai, penonton masuk studio. Sambil menunggu penonton menempati bangku dan persiapan narsum, penonton dihibur oleh band yang berbeda. Kemudian semua hadirin di studio bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya (tradisi ini sudah berjalan tiga tahun lebih). Setelah itu, host (Andy F Noya) akan menjelaskan topik dan pesan moral yang ingin disampaikan. Setelah itu rekaman dimulai.

Demikian penjelasan versi saya atas peristiwa “pengusiran” yang terjadi di acara rekaman KA agar Anda mendapatkan gambaran yang lebih utuh. Saya dan Tim KA juga mencoba melihat persoalan ini dari sisi positif, yakni agar kami lebih berhati-hati di kemudian hari.

Tuduhan pengusiran yang dilakukan Andy F Noya ditulis Tetty dalam blognya tattyelmir.wordpress.com, berjudul KISAH DI BALIK INSIDEN KELUARNYA DEWI MOTIK DAN DIUSIRNYA SAYA OLEH ANDI F NOYA DALAM KICK ANDY DI METRO TV 'Kami Tak Sudi Diperintah Untuk bertepuk Tangan Atas Bencana Yang Kami Tangisi', Minggu (23/1/2011).

Dalam tapping acara Kick Andy pada Rabu (19/1/2011), Andi menghadirkan gadis remaja, yang sejak usia 16 tahun, melakukan seks bebas dan kini menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial). Dewi dan Tetty turut hadir.

Yang membuat Tetty dan Dewi 'tidak terima', Andy mendalami persoalan kehidupan seks bebas Dewi, bukan peringatan soal bahaya seks bebas dan pornografi.

"Saat BREAK, ketua Kowani Ibu Dewi Motik mengingatkan Andy, bahwa sangat tak layak meminta orang bertepuk tangan untuk sesuatu yang memprihatinkan. Berulang-ulang beliau mengatakan merasa didzalimi. Saya juga meminta Andy untuk lebih memberi ruang kepada bu Elly sebagai peringatan kepada masyarakat, terutama anak-anak, agar tidak melakukan kesalahan yang sama," tulis Tety.

"Saya lihat Andy Noya dengan wajah tegang mempersilakan bu Dewi Motik yang memang sudah berjalan pergi, untuk meninggalkan ruangan. Lalu sutradara mengingatkan 'Lihatlah acara ini dengan utuh'. Ibu Elly Risman juga berusaha menenangkan dengan mengatakan bahwa nanti di babak akhir acara beliau akan mengingatkan masyarakat," ujarnya.

"Biar ruangan tidak semakin gaduh, saya mencoba menyabarkan diri dengan bilang “Ya sudah kalau begitu, saya tetap akan di sini, dan berharap semoga acara berjalan seperti yang dijanjikan,” paparnya.

"Tak dinyana tak diduga, eh Andy dengan kasar justru berulang-ulang bilang “Ibu juga ….Ibu harus pergi dari sini, kan ibu sudah tak tahan kan…ibu harus pergi…Ibu harus pergi !!” imbuh Tetty.