Tuesday 24 May 2011

Bangkitlah Indonesia Kita

Bangkitlah

Indonesia

Kita


Ikrar Nusa Bhakti

Profesor riset di Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia







KITA memang

sering sekali menjadi

bangsa yang

suka terkaget-kaget.

Kita juga sering kali lambat

untuk memiliki kesadaran baru.

Tengok, misalnya, ketika pesawat

Merpati Nusantara Airline

jatuh di Kaimana, Papua Barat.

Banyak orang yang kaget mengapa

kita membeli pesawat

buatan China MA-60 dan bukan

menggunakan produk bangsa

sendiri CN-235? Ketika hasil

survei Indo Barometer diumumkan

minggu lalu, banyak

orang yang kaget pula karena

salah satu kesimpulannya ialah

responden menilai Orde Baru

lebih baik daripada situasi saat

ini. Ketika Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) menangkap

Sekretaris Kementerian Pemuda

dan Olahraga Wafi d Muharam

bersama dua orang yang

diduga melakukan penyuapan,

Mindo Rosalina Manulang dan

M El Idris, kita juga terhenyak,

bagaimana mungkin masih ada man

u s i a

Indonesia

yang tega mengorupsi

anggaran

untuk pembangunan

fasilitas olahraga

untuk SEA Games 2011

di Palembang. Kita makin

kaget ketika muncul tuduhan

bahwa Wafid Muharam

adalah kader Partai Keadilan

Sejahtera (PKS) dan mereka

yang terlibat suap-menyuap

antara lain adalah Bendahara

Umum Partai Demokrat M

Nazaruddin dan Angelina

Sondakh, anggota DPR RI dari

Partai Demokrat. Mungkin kita

bertambah kaget lagi saat membaca

berita utama surat kabar

Ibu Kota minggu lalu yang

menyebutkan hampir semua

partai politik tersandera kasus

korupsi! Betapa menyedihkannya

negeri ini.

Kita seakan baru sadar, jika

kelakuan manusia Indonesia,

khususnya kaum elite yang

berada di eksekutif dan legislatif,

amat korup, lebih mementingkan

diri sendiri dan

kelompoknya, bagaimana

pula nasib bangsa ini

ke depan. Di tengah

bangsa-bangsa lain di

Asia Tenggara yang

sedang menggeliat

untuk dapat

bersaing di era

globalisasi

politik dan

ekonomi,

I n d o -

nesia

seakan

m a s i h

t e r k u n g -

kung oleh perilaku

elite politiknya

yang korup

dan kurang memiliki

rasa kebangsaan untuk lebih

mendahulukan penggunaan

produk bangsa sendiri ketimbang

bangsa asing. Slogan

‘cintailah produk-produk Indonesia’

serasa tanpa makna

jika jajaran elite di kabinet sendiri

lebih cinta untuk membeli

produk China pesawat MA-60

ketimbang hasil karya anakanak

bangsa CN-235.

Kita tidak sadar bahwa bangkitnya

Jepang setelah Perang

Dunia II disebabkan adanya

kesadaran warga Jepang untuk

lebih mencintai produk-produk

negaranya sendiri ketimbang

barang impor. Generasi Indonesia

yang lahir pada 1950-an pasti

mengetahui bagaimana produk

Jepang pada era 1960-an atau

1970-an dinilai tidak berkualitas,

cepat rusak, dsb. Namun, melalui

kecintaan orang Jepang pada

produknya sendiri ditambah dengan

inovasi-inovasi baru untuk

menciptakan teknologi baru

yang lebih canggih daripada

teknologi yang diciptakan bangsa-

bangsa Eropa dan Amerika

Serikat, barang-barang Jepang

menjadi barang yang amat berkualitas

di dunia. Melalui sistem

dumping pula barang Jepang

meluas ke seantero dunia dan

dicintai dunia.

Kita juga melihat bagaimana

geliat ekonomi Korea Selatan

sejak 1980-an dan China sejak

1990-an. Produk Korea Selatan

awalnya juga dinilai tidak bermutu.

Kini siapa yang tidak

tahu merek dagang LG, Samsung,

Hyundai, KIA, Daewoo?

Siapa pula di dunia ini yang

tidak pernah membeli suvenir

di luar negeri yang ternyata

buatan China? Siapa yang

tidak sadar betapa produk

alas kaki, tekstil dan produk

tekstil, mainan anak-anak atau

elektronik murahan China menguasai

pasaran dunia? Siapa

yang tidak tahu bahwa China

adalah negara utama yang

membeli surat utang Negara

Amerika Serikat? Siapa pula

yang tidak tahu bahwa perusahaan

kimia dan minyak China

berusaha untuk menguasai

ladang-ladang minyak dunia

termasuk di Indonesia? Sadarkah

kita bahwa pemerintah

Indonesia lebih mendahulukan

perusahaan minyak China untuk

mengeksplorasi minyak di

ladang Madura Barat dan bukan

sebagian besar diberikan

kepada perusahaan

BUMN Pertamina?

Kita jangan kaget

bila ada pejabat

I n d o n e s i a

yang akan

m e n g a -

takan,

“This

i s

nothi

n g t o

do with nationalism,

this

is purely business!”

Kita tentunya akan terus

mengelus dada jika

ada petinggi Republik yang

lebih tunduk pada China atau

AS demi uang atau politik, dan

mengesampingkan kepentingan

nasional kita. Jika kebijakan

ekonomi Indonesia dijadikan patokan, mungkin akan banyak

data bermunculan bahwa

eksekutif dan legislatif kita semuanya

sudah melenceng dari

konstitusi negara kita, Undang-

Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945.

Sadarkah kita bahwa pemerintahan

SBY-Boediono amat

takut untuk mengajukan usulan

kontrak baru PT Freeport

yang lebih menguntungkan

Indonesia? Padahal pada 1994

Freeport mengajukan kontrak

baru karena area produksinya

diperluas. Kita memang tidak

memiliki elite politik seberani

Bung Karno yang mengatakan,

“Go to hell with your aid,” yang

kini bisa ganti dengan kalimat

‘Go to hell with your moneyÊ atau

‘Go to hell with your investmentÊ

jika investasi atau uang China,

AS, atau negara lain yang diinvestasikan

di negeri kita

tidak memberikan manfaat bagi

bangsa dan negara kita, tetapi

hanya untuk mengeruk kekayaan

kita dan memiskinkan

rakyat.

Kita di Indonesia terasa terhenyak

ketika barang-barang

China yang masuk ke Indonesia

ternyata bukan saja barang khas

China, melainkan juga batik

yang notabene adalah produk

khas Indonesia. Entah sampai

kapan kita tetap lebih memilih

untuk menggunakan batik

produk Indonesia ketimbang

produk China. Ini bukan soal

antiglobalisasi atau antiasing,

tapi sadarkah kita kalau di

negara-negara maju seperti di

Australia, AS, dan negara-negara

Eropa banyak kalangan yang

sangat antiglobalisasi dan ingin

memproteksi produk atau hasil

pertanian dari negara mereka

sendiri.

Sadarlah para elite politik

kita di kabinet dan

elite ekonomi kita yang

tergabung di Kamar

Dagang dan Industri

(Kadin) mengenai

gempuran barang-barang

murah dan tidak

bermutu dari China tersebut. Kini China bahkan

sudah merambah ke teknologi

dirgantara, yakni dengan menjual

produk yang di negerinya

sendiri kurang laku, pesawat

MA-60!

Orde Baru lebih baik?

Kita sering tercengang jika

masih ada orang yang mengatakan

bahwa Orde Baru lebih

baik daripada Orde Reformasi

atau Soeharto lebih baik daripada

SBY. Pandangan bahwa

Orde Baru lebih baik daripada

era reformasi bukanlah hal

yang baru. Sejak awal reformasi

pun banyak orang yang menilai

seperti itu, bukan hanya dari

kalangan kroni atau elite politik

yang diuntungkan era otoriter

itu, melainkan juga rakyat miskin

kota.

Sanjungan terhadap Orde

Baru disebabkan anggapan

bahwa di era Soeharto stabilitas

politik dan keamanan

terjaga, pertumbuhan ekonomi

meningkat, pemerataan

juga terjadi. Di era Soeharto

tak dapat dimungkiri harga

barang-barang dan pangan

terjangkau, sekolah dan kuliah

murah, kesehatan juga

terjamin karena puskesmas

ada di hampir semua wilayah

Tanah Air.

Namun, sadarkah kita bahwa

segala yang ada saat itu ada

pula yang bersifat semu? Stabilitas

politik dan keamanan

kita saat itu tercapai karena

politik deparpolisasi dan

depolitisasi yang dilakukan

pemerintah terhadap partaipartai

politik. Demonstrasi mahasiswa

juga hanya sekali-kali

terjadi pada 1974 (Malari), 1978

(saat Sidang MPR RI untuk

melantik Soeharto kembali jadi

presiden), dan 1979 (saat pemerintah

menerapkan normalisasi

kehidupan kampus dan badan

koordinasi kemahasiswaan--

NKK dan BKK--serta pembubaran

Dewan Mahasiswa di

seluruh universitas negeri).

Demonstrasi besar baru terjadi

pada 1997 dan 1998 saat Indonesia

mengalami persoalan

ekonomi besar sejalan dengan

krisis keuangan dan ekonomi

kawasan Asia Tenggara yang

berakhir dengan jatuhnya Soeharto.

Stabilitas politik dan

keamanan juga tercipta karena

semua organisasi sosial adalah

bagian dari korporatisme negara,

dari PWI, KNPI, karang taruna,

sampai ke MUI sekalipun.

Stabilitas politik dan keamanan

juga terjaga karena Indonesia

berada di bawah sepatu lars

tentara, tak ada aspek kehi-

dupan dalam masyarakat yang

lepas dari intervensi ABRI.

ABRI saat itu bukan memiliki

dwifungsi ABRI, melainkan

hanya satu fungsi, ‘that ABRI

was running everything!Ê.

Sadarkah kita betapa persoalan

hak asasi manusia menjadi

persoalan pelik di negeri kita,

baik saat Soeharto dan dalam

kadar yang lebih rendah hingga

saat ini? Sadarkah bahwa perilaku

aparat negara masih belum

berubah secara total menuju

yang lebih manusiawi?

Kita juga masih melihat betapa

korupsi masih merajalela

di eksekutif dan legislatif. Politisi

di eksekutif dan legislatif

dapat dikatakan sebagai

penyumbang terbesar dari

korupsi di negeri ini. Jika para

elite politik yang korup itu

ditangkapi dan ditahan, bukan

mustahil negeri ini akan masuk

Guinness Book of Record sebagai

negara dengan elite politiknya

dari Sabang sampai Merauke

memenuhi rumah-rumah tahanan

dan lembaga-lembaga

pemasyarakatan kita.

Bangkitlah negeriku

Indonesia adalah milik kita dan

kita untuk Indonesia. Demokrasi

kita memang belum matang. Namun,

bila tingkah laku para elite

parpol dipaksa untuk diubah

melalui penerapan penegakan

hukum yang konsisten dan

tanpa pandang bulu, bila pemilu

dijalankan tanpa politik uang,

bila pendidikan politik rakyat

dan para elite partai berjalan

baik, penulis percaya, dalam tiga

pemilihan umum mendatang

Indonesia akan terbentuk menjadi

negara dengan kematangan

demokrasi yang baik.

Bila kita semua mencintai

produk Indonesia, bukan mustahil

kuantitas dan kualitas

produk kita akan semakin baik.

Mari kita jadikan Indonesia

sebagai surga bagi produkproduknya

sendiri sehingga

tanpa kebijakan proteksionis

pun negeri ini akan terhindar

dari deindustrialisasi yang

semakin masif.

Mari kita bangun kembali

keindonesiaan kita sehingga

‘seribu bunga dapat berkembang

dan menghiasi taman nasionalisme

Indonesia!’. Tanpa

rasa kebangsaan kita, negeri

ini akan terus tercabik oleh

konfl ik antaretnik dan agama

yang semuanya terkait dengan

pertarungan antarelite.

Indonesia akan bangkit jika

semua anak bangsa sadar bahwa

kita milik Indonesia dan

Indonesia milik kita!

Lulusan terbaik Demak, Jawa Tengah, terancam tidak akan menerima ijazah

DEMAK - Lulusan terbaik pelajar SMK di Demak, Jawa Tengah, terancam tidak akan menerima ijazah karena ditahan sekolahnya. Ketiadaan biaya membuatnya harus menunggak pembayaran biaya sekolah hingga jutaan rupiah.

Shobar dan ibunya, Lianah, tampak lesu ketika dipanggil bagian tata usaha SMK Al Kautsariyah untuk segera menyelesaikan tunggakan administrasi. Selama tiga tahun belajar di jurusan multimedia, Shobar belum pernah sama sekali membayar sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) yang besarnya Rp50 ribu per bulan.

Selain itu, sejumlah pembayaran lain juga tidak dipenuhi, hingga totalnya mencapai Rp4.185.000. Biaya sebesar itu meliputi SPP, pendaftaran ulang, biaya ujian tengah semester, dan ujian akhir semester.

Menurut Kepala Bagian Tata Usaha SMK Al Kautsariyah, Mushonef, meski menunggak pembayaran sekolah, namun Shobar masih tetap diizinkan mengikuti pelajaran dan ujian nasional (UN) beberapa waktu lalu. Apalagi selama ini, Shobar tercatat sebagai siswa yang berprestasi dan sering mewakili sekolah mengikuti berbagai lomba.

Pada ujian kompetensi keahlian Shobar, memperoleh peringkat pertama di Kabupaten Demak untuk SMK negeri maupun swasta. Sementara pada UN lalu, dia memperoleh nilai 9 pada mata pelajaran bahasa Inggris, dan nilai rata-rata semua mata pelajaran 8,2. Jika hingga akhir bulan Mei ini Shobar belum melunasi tunggakannya, maka ijazah tidak dapat diberikan.

Sementara ibu Shobar, Lianah, hanya bisa pasrah jika nanti ijazah anaknya ditahan sekolah. Sebagai pembuat tali tampar dari tanaman gebang, dengan penghasilan Rp6.000 per hari, tentu kesulitan untuk mengumpulkan uang lebih dari Rp4 juta itu dalam waktu singkat.

Lianah berharap, pihak sekolah melunak dan bersedia memberikan ijazah anaknya, agar dapat digunakan untuk mendaftar pekerjaan.(Taufik Budi/SUN TV/rfa)