Saturday 10 August 2013

Belajar dari ‘Baba Amte’ dalam Memanusiakan Orang dengan Penyakit Kusta

 KOMPASIANA

 

Belajar dari ‘Baba Amte’ dalam Memanusiakan Orang dengan Penyakit Kusta

OPINI | 10 August 2013 | 03:08 Dibaca: 21   Komentar: 0   0


Bayangkan anda sebagai orang tua sebentar lagi anak anda akan menikah. Tentu saja anda akan mencari tahu siapa orang tua dari si calon menantu. Dan apabila orang tua calon menantu anda menderita penyakit kusta apa yang pertama anda lakukan? Tentu saja sebagian orang akan merasa keberatan dan tidak mau anaknya beresiko.

Bayangkan ada guru mengaji yang menderita penyakit kusta, masihkah anda akan mengirim anak anda untuk mengaji di tempat guru mengaji tersebut? Sebagian orang tentu memilih untuk melarang dan cenderung mencari guru mengaji yang dianggap tidak membahayakan anaknya.

Bayangkan anda ketika ada acara makan-makan tiba-tiba datang seorang dengan penyakit kusta disebelah anda, mengajak anda bersalaman, dan kemudian makan disamping anda. Sebagian orang memilih untuk menghindar dan segera mencuci tangannya karena takut tertular penyakit satu ini.

Beberapa contoh di atas seringkali kita jumpai dalam keseharian kita, dan kita merasa memiliki hak untuk melakukan dan membenarkan tindakan-tindakan tersebut. Tapi tanpa kita sadari, sebenarnya kita telah memberikan stigma pada orang dengan penyakit kusta sekaligus melakukan diskriminasi terhadap mereka.
Studi yang dilakukan oleh Bonney (2011) mengungkapkan bagaimana orang dengan penyakit kusta tersingkir dalam kehidupan sosial masyarakat dan dalam mengakses pekerjaan serta layanan umum yang ada. Di beberapa tempat, banyak institusi kesehatan yang menolak perempuan dengan penyakit kusta yang akan melahirkan. Begitu menyedihkannya. Tapi pernahkah kita terpikir jika yang mengalami kusta adalah diri kita, pasangan hidup kita, orang tua kita, anak-anak kita, atau cucu kita sendiri? Masihkah kita berpikir memiliki hak untuk melabeli mereka dengan segerobak stereotype yang negatif dan mendiskriminasi mereka?

Dua orang yang saya kagumi dalam memanusiakan orang dengan penyakit kusta adalah Princess Diana (Lady Di) dan manusia setengah dewa Baba Amte dari India. Masih kita ingat Lady Di dengan cerianya mengunjungi salah satu rumah sakit kusta di Jakarta pada tahun 1980-an, menyalami setiap pasien dengan ramah, berbincang-bincang bersama mereka tanpa rasa takut atau ngeri sekalipun. Bisakah kita mencontoh apa yang dilakukan oleh Lady Di? Orang kedua adalah Baba Amte dari Maharashtra India. Kenapa saya sebut manusia setengah dewa? Ini dikarenakan dia adalah salah satu orang yang peduli pada orang dengan penyakit kusta. Seluruh hidupnya dia dedikasikan untuk mereka. Bahkan orang-orang di India menyebutnya sebagai orang suci. Baba Amte selama hidupnya berjuang keras agar masyarakat umum bersedia kembali menerima mereka dan tidak mengisolasi mereka dalam koloni-koloni yang ada. Dia percaya bahwa memang sulit mengubah pandangan masyarakat yang sudah melekat dan terinstitusionalisasi dengan kultur yang ada di masyarakat. Kata-kata indah yang pernah diucapkannya adalah ‘Seseorang dapat hidup tanpa jari-jari tangannya, tetapi tidak dapat hidup tanpa harga diri’. Kata-kata yang powerful yang pernah dia ucapkan adalah ‘Saya mencari jiwa saya tapi saya tidak menemukannya, saya mencari Tuhan tapi Tuhan menghidar dari saya, kemudian saya mencari saudara-saudara saya dan akhirnya saya menemukan sekaligus jiwa dan Tuhan diantara mereka’.

Apa yang dilakukan oleh Baba Amte adalah keajaiban. Di depan orang-orang dia ambil darah orang dengan penyakit kusta dan menyuntikkan ke tubuhnya sendiri, hanya karena ingin menunjukkan bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit yang gampang menular meskipun dengan injeksi darah. Jadi tidak ada alasan untuk mengisolasi mereka. Pada waktu itu orang dengan penyakit kusta dimasukkan dalam kategori kasta yang paling rendah. Dia berpendapat bahwa para relawan yang bersedia berjuang untuk orang-orang dengan kusta sangat dibutuhkan. Dengan semakin banyaknya relawan dan mereka yang mendukung program inklusi sosial maka akan memudahkan dalam menghapus kultur-kultur yang memarginalkan dan menurunkan harkat martabat orang dengan kusta. Menurutnya, “Sekelompok semut akan mengalahkan seekor ular phyton yang besar’. Uniknya, Baba Amte adalah seorang pekerja sosial (non-medis) yang justru banyak mendapatkan penghargaan di bidang medis terkait pengabdiannya dalam memanusiakan  orang dengan kusta. Menurutnya, masyarakat sendirilah yang bertanggung jawab atas terbentuk koloni-koloni kusta dan memaksa mereka untuk menghidupi diri dengan cara mengemis. Tidak ada pilihan dan kesempatan buat mereka untuk menjalani hidup dengan baik dan mendapat penghidupan yang lebih baik. Kita sendirilah yang menutup pintu kesempatan itu dan tidak memiliki keperdulian terhadap mereka.

Penyakit kusta sendiri pada awalnya dipercaya sebagai penyakit kutukan ataupun karma, tapi semenjak Gerhard Armauer Hansen menemukan adanya Mycobacterium Leprae sebagai penyebab penyakit kusta, maka mulailah diterima bahwa kusta semata-mata penyakit sebagaimana penyakit-penyakit kesehatan lain pada umumnya dan tidak ada kaitannya dengan hal-hal yang bersifat takhayul.  Karena itulah penyakit kusta juga sering disebut dengan istilah Hansen’s Disease. Penyakit kusta sendiri berasal dari bahasa India ‘Kusth’ artinya ‘digerogoti’, mengingat efek dari penyakit ini jika tidak dideteksi secara dini dan mendapatkan treatment sesegera mungkin akan mengakibatkan ‘mati rasa’ akibat kerusakan jaringan yang ada di tubuh dan akhirnya jari-jemari di tangan maupun di kaki bisa rusak dan mengalami kecacatan.  Di beberapa tempat, orang menyebut penyakit ini dengan istilah penyakit daging busuk (rotten meat), dan ada yang menyebut ‘lepra’ berasal dari kata ‘leprosy’ atau ‘leprae’. Dalam bahasa Hebrew, kusta disebut dengan tzaraath yang artinya ‘penyakit kulit’ atau ada yang mengartikan ‘hukuman dari Tuhan’.

Sekarang ini perlu dicermati bahwa penelitian terkini membuktikan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular yang justru diyakini paling sulit menular. Sebanyak 95% immune (kebal) terhadap penyakit ini, 3% bisa tertular dan sembuh sendiri, dan hanya sekitar 2% saja yang bisa tertular dan menderita penyakit ini. Yang pasti, penyakit ini semakin jarang dan menurun kasusnya sejalan dengan perilaku hidup sehat dan nutrisi yang baik. Penyakit ini juga diyakini sulit menular pada orang dewasa yang immune system atau sistem kekebalan tubuhnya sudah berfungsi dengan baik. Masa inkubasi bakteri ini antara 2-5 tahun, kasus yang paling lama yang pernah ditemui bisa mencapai 15 tahun. Penyakit ini dengan menggunakan MDT (Multi-Drug Treatment) dapat disembuhkan secara total. Yang dibutuhkan adalah deteksi dini dan treatment sesegera mungkin sebelum terjadi deformity (kerusakan) yang mengakibatkan visible disability (kecacatan). Tugas kita semua, sebagai insan yang punya moralitas dan hati nurani tinggi untuk menerima mereka, memberikan edukasi pada mereka dan memotivasi mereka untuk berobat, sembuh dan bangkit lagi menjalani hidup. Begitu indahnya sebuah kebersamaan. Itulah yang diajarkan Baba Amte.

Sekarang apakah kita masih menolak untuk berjabat tangan dengan mereka?





Penulis adalah pengamat masalah sosial tinggal di Australia

 

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Monday 5 August 2013

Tentang Penjara Swasta: Akankah kita mengarah ke sana?



KOMPASIANA

Tentang Penjara Swasta: Akankah kita mengarah ke sana?
OPINI | 04 August 2013 | 22:50http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_baca.gif Dibaca: 18   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/img_komen.gif Komentar: 0   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_nilai.gif 0


Arif Rohman







Private Prison - Junee NSW Australia








Beberapa waktu yang lalu publik di Indonesia sempat dikejutkan oleh kisruh di beberapa lembaga pemasyarakatan (penjara), yang disinyalir karena fasilitas lembaga pemasyarakatan yang tidak memadai serta kapasitas penjara yang terlalu penuh(overcrowded). Pertanyaan yang kerap muncul adalah bagaimana sebenarnya pengelolaan institusi penjara di negeri kita dan tidak adakah terobosan-terobosan baru yang bisa dipakai untuk menjawab persoalan tersebut?

Sebenarnya persoalan penjara yang kapasitasnya berlebihan dan fasilitasnya yang minim, tidak hanya dialami negara kita saja. Negara maju semacam Amerika, Inggris dan Australia juga sebenarnya dipusingkan oleh masalah ini. Puncaknya adalah pada tahun 1992 di Inggris, dibangunlah private prison atau biasa disebut dengan istilah penjara swasta. Konsep penjara swasta dianggap sebagai alternatif solusi terhadap pandangan miring seputar penjara negara (public prison). Dibanding Inggris, Amerika sebenarnya lebih dulu menggagas konsep penjara ini pada tahun 1980-an dan pada tahun 1984 mulai dibangun penjara-penjara swasta yang lebih modern. Di Australia, pada awal tahun 2013 diberitakan Queensland akan memprivatisasi seluruh penjara public yang ada di wilayahnya. Terkait dengan hal ini, sebenarnya bagaimanakah konsep penjara swasta itu sendiri?

Penjara swasta dapat diartikan, pemerintah mendelegasikan upaya rehabilitasi para narapidana (corrections) kepada pihak swasta melalui semacam tender. Di sini, pemerintah akan membuat semacam kesepakatan dan kontrak terkait dengan pembinaan para narapidana. Lazimnya, pemerintah akan memilih lembaga atau penyedia layanan sosial (social provider) yang bonafid dan terpercaya, yang diukur dengan fasilitas yang memadai, staf yang kompeten, administrasi organisasi yang baik, dan mampu menjalankan proses pembinaan dengan biaya yang lebih murah. Biasanya kontrak tersebut disepakati selama 5 tahunan.
Ada beberapa manfaat atau keuntungan yang diyakini tidak dapat ditemukan dalam penjara publik. Pertama, penjara publik terlalu penuh sementara pemerintah untuk membangun gedung atau penjara baru dalam rangka peningkatan kapasitas, umumnya membutuhkan waktu yang relatif panjang mengingat sistem administrasi kenegaraan yang memang sedikit rumit. Sementara itu, pihak swasta mampu menyediakan atau membangun penjara dengan waktu yang lebih cepat. Pihak swasta juga mampu membangun penjara-penjara yang memiliki lokasi strategis secara ekonomi, sehingga nantinya para narapidana bisa terlibat dalam sistem ekonomi pasar dan mencegah terjadinya pengangguran.

Keuntungan lain dengan adanya penjara swasta adalah biaya operasional yang lebih murah dan bisa menghemat anggaran negara. Tidak dipungkiri bahwa biaya operasional yang tinggi biasanya dipakai untuk membayar gaji pegawai dan membeli alat-alat perlengkapan. Melalui penjara swasta, alat-alat perlengkapan dijamin oleh lembaya penyedia layanan dan umumnya lembaga tersebut memiliki staff yang profesional (tidak terlalu gemuk) sehingga tidak terjadi overlap atau tumpang tindih pekerjaan. Karena itu, penjara swasta adalah solusi untuk menghemat anggaran publik, sehingga bisa dipakai untuk pembiayaan lainnya yang menjadi prioritas.

Keuntungan berikutnya dari adanya penjara swasta adalah layanan rehabilitasi sosial yang dilakukan akan lebih berkualitas karena diawasi dan dievaluasi oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam kontrak. Karena aspek kompetisi antar lembaga penyedia layanan inilah biasanya penjara-penjara swasta berusaha untuk mengefektifkan seluruh layanan dan program yang ada mengingat kepercayaan dan nama baik yang disandangnya setelah mendapatkan kontrak. Pada akhirnya layanan koreksional dengan standar tinggi akan bisa ditampilkan dalam pembinaan narapidana. Studi yang dilakukan Blakely & Bumphus (2004) menyebutkan bahwa para narapidana korban penyalahgunaan narkoba di penjara swasta memiliki angka partisipasi yang lebih tinggi dalam mengikuti program rehabilitasi narkoba yaitu sekitar 28% dibanding dengan partisipasi di penjara publik yang hanya sekitar 14% alias separuh sendiri dari penjara swasta.

Alasan terakhir kenapa penjara swasta yaitu dengan maraknya pembangunan penjara swasta yang didisain dengan baik, fasilitas yang mendukung, sistem keamanan yang mumpuni, pengadministrasian dan pengoperasionalan yang fleksibel, kewenangan yang didesentralisasi, pembinaan yang dilandasi semangat antusiasme dan moral yang tinggi, kepemimpinan yang memadai, maka diyakini performa penjara swasta dalam memberikan pelayanan akan meningkat. Dan tak kalah pentingnya adalah para narapidana dipekerjakan dan mendapat upah dari perusahaan yang mempekerjakannya.

Tentu saja masih banyak pro dan kontra terkait dengan konsep penjara swasta ini. Banyak pihak yang apatis dan mempertanyakan sejauh mana sistem keamanan bisa menyerupai atau bahkan melebihi penjara public mengingat masyarakat butuh rasa aman dan kekhawatiran jika para narapidana melarikan diri. Oleh sebab itu, perlu adanya studi-studi lebih lanjut mengenai penjara swasta dalam konteks masyarakat Indonesia, termasuk keuntungan dan kerugiannya. Tapi untuk menuju ke sana, sepertinya perjalanan masih sangat panjang.


Penulis adalah pengamat masalah sosial tinggal di Australia.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Saturday 3 August 2013

VIRGINITY TESTS & STRAY MARRIAGES: A STUDY OF THE SAMIN PEOPLE OF KLOPODUWUR, BLORA, CENTRAL JAVA




Price: $14.00

From the mid – 19th century the Samin people have made a contribution to resistance to Dutch colonial rule in rural Java by their non-violence movement and passive resistance (lijdelijk verset). History also notes that they have a unique culture and system of values which reflect their own local wisdom. However, many negative rumours have become widespread regarding this community. This book explores the marriage practices in Samin society and finds out how Samin society gives meaning to these marriage practices. It examines whether the practice of ‘virginity tests’ and ‘stray marriages’ exist in contemporary Samin society. To know the actual marriage practices of the Samin Klopoduwur, the author during his research used a feminist ethnography approach. Reading this book, the author invites us to enter this community and to look up many interesting aspects, such as their cultures, beliefs, customs and local wisdom.



This eBook is available at:
Lulu Bookstore
Apple iBookstore
Barnes & Noble NOOK
Google play Books
Kindle eBooks amazon
Textbooks
Booko
Smashwords
General eBooks
Createspace
Kobo eBooks
Indogo eBooks
Angus & Robertson Bookstore
Bookworld



This Book is available at:






VIRGINITY TESTS & STRAY MARRIAGES


A STUDY OF THE SAMIN PEOPLE OF KLOPODUWUR, BLORA, CENTRAL JAVA




Arif Rohman





Product Details

ISBN
9781291494778
Edition
Second Edition
Published
2 August 2013
Language
English
Pages
60
File Format
ePub
File Size
1.53 MB