Showing posts with label Kementerian Sosial. Show all posts
Showing posts with label Kementerian Sosial. Show all posts

Sunday 20 February 2011

PEDOMAN PELAKSANAAN PRAKTEK BELAJAR KERJA

PEDOMAN PELAKSANAAN PRAKTEK BELAJAR KERJA


I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
1. Pembangunan kesejahteraan sosial diprioritaskan pada golongan masyarakat yang tidak mampu termasuk di dalamnya tuna sosial, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan status sosial dan ekonominya untuk dapat mencukupi kebutuhan minimal dan merupakan unsur penting dalam strategi guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang paling miskin. Pembangunan melalui rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah tuna sosial diusahakan, diarahkan pada penyandang masalah tuna sosial, sehingga secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya secara nyata dan secara tidak langsung harus mampu menarik partisipasi masyarakat untuk turut serta membantu usaha kesejateraan sosial bagi penyandang masalah tuna sosial.
2. Kebijakan pokok pembangunan kesejahteraan sosial dewasa ini diarahkan pada upaya untuk mengikutsertakan secara aktif peran serta masyarakat/orsos dan para pengusaha dalam penanggulangan masalah tuna sosial. Hambatan bagi penyandang masalah tuna sosial untuk mewujudkan kesejahteraan sosialnya serta berperan serta dalam pembangunan adalah sebagai berikut :
a. Sikap masyarakat yang masih curiga serta sulit menerima mereka kembali;
b. Merasa malu dan rendah diri;
c. Berpendidikan rendah dan tidak memiliki ketrampilan kerja;
d. Tidak mungkin memperoleh surat berketerangan berkelakuan baik;

3. Salah satu usaha pemerintah Cq. Departemen Sosial dalam membantu bekas narapidana penyandang masalah sosial, wanita tuna sosial dan gelandangan dan pengemis ini adalah melalui program rehabilitasi sosial, dengan salah satu tahapannya adalah memberikan kesempatan peluang untuk praktek belajar kerja (Magang) untuk meningkatkan ketrampilan kerja dan siap pakai para bekas narapidana, wanita tuna sosial dan gelandangan pengemis yang telah memperoleh pelatihan ketrampilan kerja.
4. Yang dimaksud dengan Praktek Belajar Kerja (PBK) adalah : suatu kegiatan pemberian kesempatan magang di perusahaan-perusahaan, bengkel-bengkel atau pabrik-pabrik dan sebagainya, sesuai jenis ketrampilan yang dipelajarinya bagi bekas narapidana, wanita tuna sosial, dan gelandangan pengemis yang telah selesai mengikuti latihan ketrampilan, guna meningkatkan kemampuan serta menyesuaikan ketrampilan yang diperoleh.
5. Kerjasama antara pihak instansi sosial/pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat dengan LBK Pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat Bina Karya di Perusahaan-perusahaan/Pabrik-pabrik, dimaksudkan untuk menjalin saling pengertian guna kelancaran proses penempatan tenaga kerja bagi bekas narapidana, wanita tuna sosial dan gelandangan pengemis di perusahaan-perusahaan maupun ditempat-tempat lainnya.
6. Demi kelancaran dan keseragaman pola pikir serta gerak langkah penyelenggaraaan PBK tersebut diperlukan adanya suatu pentunjuk teknis penyelenggaraan PBK.


B. Ruang Lingkup
1. Peningkatan ketrampilan penanganan bekas narapidana, wanita tuna sosial dan gelandangan pengemis dalam usaha kewiraswastaan/kemandirian maupun kemampuan ketrampilan untuk memperoleh kesempatan kerja pada perusahaan atau tempat-tempat lainnya.
2. Pendekatan / pertemuan / koordinasi dengan para pengusaha dan atau usaha kewiraswastaan yang dapat menciptakan kesempatan kerja bagi bekas narapidana, wanita tuna sosial dan gelandangan pengemis.
3. Segala upaya itu mengisi tugas dan tanggung jawab Kementerian Sosial termasuk Kementerian / instansi yang terkait, masyarakat maupun swasta, dimana tanggung jawab teknis menjadi beban Kementerian Sosial.

C. Kerangka Berpikir
Masyarakat tidak bisa dilihat sebagai organisasi yang berdiri sendiri, melainkan sebagai kejamakan (plurality), yang terdiri dari individu-individu yang merupakan satu kesatuan, satu sama lain saling tergantung dan tidak dapat berdiri sendiri dan setiap individu memiliki keunikan masing-masing. Kita sadari dalam masyarakat terdapat bermacam-macam perbedaan, mulai dari pekerjaan, status sosial, pendidikan, ketahanan sosial dan keluarga pada komunitas / kalangan tertentu yang rentan dan bahkan tidak tahan dalam menghadapi arus krisis yang deras juga cukup berpengaruh terhadap seseorang sehingga ia menjadi tuna sosial. Mentalitas kerja yang rendah dan budaya konsumerisme sangat berpengaruh pula terhadap peningkatan jumlah pelaku tuna sosial, apalagi pada masa krisis, dimana gaya hidup yang tinggi tidak sebanding dengan semangat bekerja keras, latar belakang pendidikan, maupun tingkat keterampilan yang minim. Oleh karena itu, kesempatan memperoleh pekerjaan sangat sulit, khususnya pekerjaan yang sesuai dengan nilai-nilai normatif seperti nilai-nilai agama, sosial, budaya maupun susila.
Perbedaan ini harus dihargai dan dipandang secara positif, diharapkan bisa menjadi pelajaran berharga serta menambah kekayaan manusia, karena dengan adanya suatu perbedaan dapat dilihat beragam keistimewaan manusia dari berbagai sisi kehidupan. Perbedaan-perbedaan yang ada bisa menimbulkan diskriminasi terhadap paramarginal di mana masyarakat belum bisa menerima suatu perbedaan.
Lapangan kerja yang bersifat formal sulit untuk dimasuki oleh para wanita tuna susila, hal tersebut disebabkan oleh sikap masyarakat yang belum bisa sepenuhnya menerima keberadaan wanita tuna susila. Di sektor-sektor formal kebanyakan masyarakat belum berani untuk mempekerjakan wanita tuna susila. Hal tersebut dimungkinkan karena masyarakat menilai bahwa wanita tuna susila adalah sebagai sesuatu yang beda bahkan ada beberapa orang takut pada wanita tuna susila. Pandangan masyarakat yang negatif terhadap wanita tuna susila dan enggan bergaul dengan wanita tuna susila membuat wanita tuna susila menjadi eksklusif. Kadang-kadang wanita tuna susila mengalami perlakuan yang tidak seharusnya dari masyarakat, misalnya dicela, dikucilkan, melakukan kekerasan terhadap wanita tuna susila yang berupa pengusiran, penganiayaan, atau tindakan yang sifatnya melecehkan.
Dalam menghadapi berbagai tekanan dalam masyarakat wanita tuna susila berusaha agar tetap eksis dan bisa hidup di tengah-tengah masyarakat. Tekanan dari masyarakat tersebut membuat wanita tuna susila mau tidak mau harus mandiri, melakukan berbagai macam usaha agar bisa hidup. Misalnya dengan menciptakan peluang usaha yang bisa menjadi tumpuan hidup mereka.
Tekanan ekonomi dan kemiskinan yang dialami oleh wanita tuna susila disebabkan oleh tidak adanya kesempatan pendidikan dan lapangan kerja formal bagi para wanita tuna susila. Prostitusi sebagai jalan pintas akhirnya menjadi alternatif terakhir untuk mempertahankan hidupnya. Keberadaan wanita tuna susila itu sendiri, khususnya menjadi pekerja seks, tidak terlepas dari pengaruh lingkungan setempat. Konstruksi miring tentang wanita tuna sosial ini pada gilirannya memunculkan reaksi yang bervariasi, mulai dari menerima dengan baik hingga perlakuan yang tidak manusiawi seperti diejek, dihina, dipegang-pegang, digaruk oleh petugas, dipukul, bahkan sampai terbunuh karena ingin lolos dari kejaran petugas trantib.
Upaya untuk mengatasi masalah sosial wanita tuna susila yang dilakukan pemerintah belum maksimal, antara lain adalah tidak sebandingnya jumlah panti sosial tuna sosial dengan peningkatan jumlah penyandang tuna sosial bahkan adanya panti sosial tuna sosial yang beralih fungsi dan ada juga panti sosial kurang didukung pendanaan dan pembinaannya oleh APBD.
Di dalam masyarakat, kuantitas dan kualitas LSM/ Yayasan/ Organisasi Sosial yang peduli masalah tuna sosial masih belum memadai. Akibatnya peran dan fungsinya penanganan masalah tuna sosial menjadi kurang signifikan. Secara kuantitas LSM/ Yayasan/ anggota masyarakat yang peduli masalah tuna sosial jumlahnya tidak memadai, apalagi dibandingkan dengan populasi atau kualitas permasalahan tuna sosial yang semakin meningkat. Secara kualitas, sumber daya manusia LSM/ Yayasan/ Organisasi Sosial juga belum optimal karena tingkat pendidikan, keahlian, atau keterampilan mereka, khususnya dalam bidang pekerjaan sosial, masih terbatas, keterbatasan dari segi jumlah dan kualitas SDM.
Menyadari keterbatasan Pemerintah dari segi sumber dana dan sumber daya, Pemerintah perlu menetapkan strategi peningkatan peran masyarakat serta pengembangan sumber daya manusia dalam memberikan penanganan masalah tuna sosial, yang mendasarkan pada prinsip-prinsip bahwa penyandang tuna sosial merasa diterima, dihargai, tidak didiskriminasi, dan memperoleh perlindungan terhadap tindak kekerasan, maupun diperdagangkan.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Kementerian Sosial RI berupaya meningkatkan jumlah alternatif penanganan tuna sosial selain penanganan yang telah dilakukan yaitu melalui panti. Berbagai terobosan dilakukan, salah satunya dengan melaksanakan uji coba penanganan tuna sosial melalui pengembangan potensi masyarakat. Kegiatan ini diharapkan dapat memberdayakan para penyandang tuna sosial, dalam artian para pelaku mampu mandiri dan tidak kembali menjadi pelaku tuna sosial; perubahan gaya hidup yang tidak konsumerisme, dan mentalitas bekerja keras sesuai dengan norma-norma yang berlaku, serta ikut meningkatkan ketahanan keluarga dan berpengaruh terhadap peningkatan ketahanan sosial masyarakat.

D. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
a. Maksud penyusunan pedoman pelaksanaan penanganan tuna sosial melalui pengembangan potensi masyarakat ini adalah untuk mengarahkan petugas pelaksana lapangan dalam menangani langsung tuna sosial secara baik di masyarakat dilihat dari sudut ilmu pekerjaan sosial.
b. Menjelaskan kepada masyarakat tentang pelayanan sosial yang menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
c. Menjelaskan kepada para tuna sosial tentang bentuk-bentuk pelayanan sosial yang menjadi hak mereka.
2. Tujuan
Tujuan penulisan buku pedoman ini adalah :
a. Menyediakan pedoman tentang bentuk, proses pelayanan sosial tuna sosial yang dapat dijadikan acuan umum dalam rangka penanganan pelaksanaan penanganan tuna sosial melalui pengembangan potensi masyarakat.
b. Membantu memfasilitasi semua pihak yang peduli terhadap penanganan permasalahan wanita tuna sosial.



E. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2, pasal 28 h, pasal 34.
2. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
3. Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan.
4. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia.
5. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
6. Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
7. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
8. Undang–Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
9. Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
10. Keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun 1983 tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
11. Keputusan Bersama Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia dan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 01-PK.0301/1984; KEP 354/MEN/84; 63/HUK/X/1984, tentang Penyelenggaraan Pelayanan Rehabilitasi Narapidana dan Bekas Narapidana.
12. Keputusan Menteri RI Sosial RI Nomor 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi Sosial Bekas Penyandang Masalah Tuna sosial.
13. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 82/HUK/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial RI.

F. Pengertian
1. Bimbingan sosial adalah perlakuan yang diberikan narasumber dari Kementerian Sosial dan Dinas/Instansi Sosial Provinsi terhadap peserta penanganan wanita tuna sosial.
2. Bimbingan keterampilan kemandirian adalah pelayanan yang ditujukan untuk membantu wanita tuna sosial yang mengalami permasalahan dalam pekerjaan dan usaha kemandirian dengan serangkaian kegiatan untuk menumbuhkembangkan keterampilan dan wirausaha agar mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup.
3. Tuna sosial adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenisnya di luar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
4. Pendamping adalah petugas yang ditunjuk dengan latar belakang sebagai pekerja sosial masyarakat atau pekerja sosial yang mempunyai kompetensi professional dalam bidangnya, mereka yang mempunyai pengalaman dan komitmen dalam melaksanakan tugas bimbingan yang mendasarkan pada kompetensi profesi pekerjaan sosial
5. Bantuan adalah semua upaya yang diarahkan untuk meringankan penderitaan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik, mental, dan sosial (termasuk kondisi psiko-sosial dan ekonomi) serta memberdayakan potensi yang dimiliki wanita tuna sosial, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara layak bagi kemanusiaan.
6. Perlindungan sosial merupakan proses advokasi/ pembelaan terhadap tuna sosial yang rentan dan mengalami stigmatisasi, tindak kekerasan, diskriminasi, trafiking (perdagangan orang), dan eksploitasi.
7. Keberfungsian sosial adalah suatu sikap dan perilaku sosial di mana klien mampu beradaptasi/ menyesuaikan diri dan dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat.


II. TUJUAN, SASARAN GARAPAN & TOLOK UKUR KEBERHASILAN


A. Tujuan
Pelaksanaan kegiatan penanganan masalah sosial tuna sosial ini bertujuan untuk :
1. Memberikan pembinaan terhadap tata kehidupan dan penghidupan para tuna sosial dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat secara normatif.
2. Mengembangkan pemulihan kembali harga diri, kepercayaan diri, tanggung jawab sosial, kemauan dan kemampuan para tuna sosial, agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat.

B. Sasaran Garapan
Sasaran garapan penanganan masalah sosial tuna sosial adalah :
1. Penyandang masalah
a. Bekas Narapidana, yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1) Usia Produktif.
2) Telah memperoleh rehabilitasi sosial dan latihan (Bimbingan ketrampilan) di KLK/BLK atau lembaga lain dalam rangka rehabilitasi.
3) Memenuhi persyaratan administrasi sebagai berikut :
a) Mempunyai surat keterangan telah mengikuti latihan/bimbingan dan rehabilitasi sosial Bina Karya/KLK/BLK/Pimpinan instansi sosial setempat.
b) Mempunyai surat keterangan sehat dan tidak berpenyakit menular.
c) Surat pernyataan dari perusahaan bersedia menerima tenaga siswa Bekas Narapidana untuk magang diperusahaan yang diperoleh melalui pendekatan atau SKB.
4) Mempunyai potensi untuk mengembangkan ketrampilan sesuai yang dipersyaratkan tempat PBK.

b. Wanita Tuna Sosial, yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1) Usia Produktif;
2) Telah memperoleh rehabilitasi sosial dan bimbingan ketrampilan di Pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat minimal 6 bulan;
3) Mempunyai surat keterangan sehat tidak berpenyakitan menular dari Dokter;
4) Surat Pernyataan dari perusahaan bersedia menerima siswa wanita tuna sosial untuk magang diperusahaan;
5) Mempunyai potensi untuk mengembangkan ketrampilan sesuai yang dipersyaratkan tempat PBK.

c. Gelandangan dan Pengemis yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Usia Produktif.
2) Telah memperoleh rehabilitasi sosial didalam pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat.
3) Memenuhi persyaratan administrasi sebagai berikut :
a) Mempunyai surat keterangan dari Kepala Pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat Sosial Bina Karya setempat menyatakan bahwa yang bersangkutan telah mengikuti pembinaan / rehabilitasi sosial selama 2 bulan.
b) Tidak ikut dalam program tranmigrasi.
c) Mempunyai surat keterangan sehat dan tidak berpenyakit menular dari Dokter.
d) Surat Pernyataan dari perusahaan bersedia menerima tenaga siswa gelandangan pengemis untuk magang di perusahaan yang diperoleh melalui pendekatan PBK.
4) Mempunyai Potensi untuk mengembangkan ketrampilan sesuai yang dipersyaratkan tempat PBK.

2. Dunia Usaha
Perusahaan-perusahaan/pabrik-pabrik/bengkel calon tempat PBK atau yang diharapkan dapat menampung klien setelah di PBK kan atau sebagai bapak angkat.

3. Masyarakat
Masyarakat dan lingkungan dimana Bekas Narapidana, Bekas Wanita Tuna Sosial, Gelandangan dan Pengemis akan membuka PBK atau kegiatan wirausaha lainnya, termasuk di dalamnya keluarga.

C. Tolok Ukur Keberhasilan
Tolak ukur keberhasilan pencapaian tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diamati dari 3 aspek utama yaitu :
1. Penyandang masalah/penerima pelayanan :
Aspek ini lebih menitikberatkan kepada kondisi para penerima pelayanan itu sendiri, yaitu bahwa mereka telah memiliki cirri-ciri atau karateristik berikut :
a. Bekas klien yang tidak melakukan lagi tindak tuna sosial telah digolongkan sebagai suatu keberhasilan dalam upaya rehabilitasi yang telah diselenggarakan.
b. Sudah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memotivasi dirinya dan menolak melakukan kegiatan tindak tuna sosial atau pelacuran dan atau sebagai germo/mucikari dalam bentuk apapun juga. Ini merupakan perwujudan pulihnya harga diri, kepercayaan diri serta kesadaran akan norma norma kehidupan di masyarakat.
c. Memahami, memiliki dan menguasai suatu ketrampilan kerja tertentu yang dapat dipergunakan sebagai bekal untuk mendapatkan mata pencaharian bagi dirinya dan atau bersama keluarganya.
d. Sudah mempunyai pekerjaan yang tetap dalam bentuk usaha wiraswasta, menjadi karyawan pabrik atau perusahaan maupun bentuk lainnya yang sesuai dengan norma masyarakat.
e. Sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya secara wajar, baik di lingkungan pekerjaan, lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat dalam kegiatan kegiatan kemasyarakatan khususnya kewanitaan.
f. Telah memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menentukan, mendayagunakan dan meningkatkan sumber-sumber pelayanan sosial, sebagai salah satu bentuk partisipasi mereka untuk dapat membantu dirinya sendiri, keluarga maupun kelompok yang membutuhkannya.

2. Masyarakat, ciri cirinya adalah :
a. Dapat memahami dan menghayati bahwa permasalahan sosial tuna sosial bukan hanya tanggung jawab Pemerintah, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat, sebagai pasangan kerja (partner) Pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan sosial.
b. Dapat menerima kembali, memberikan kesempatan kerja/usaha, mengusahakan lapangan kerja secara layak kepada para bekas tuna sosial yang telah direhabilitasi di panti rehabilitas tuna sosial.
c. Telah memiliki daya tangkal terhadap kemungkinan timbulnya permasalahan sosial tuna sosial, terutama di daerah asal bekas penyandang tuna sosial melalui cara fungsi pencegahan.
d. Memberikan kesempatan secara terbuka kepada bekas tuna sosial untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan di masyarakat antara lain, kegiatan kemasyarakatan, keagamaan dan kegiatan lainnya.


III. PELAKSANAAN TEKNIS KEGIATAN


Sesuai dengan ruang lingkup penanganan masalah sosial tuna sosial, maka petunjuk teknis pelaksanaan (JUKNIS) ini diperuntukkan sebagai pedoman kerja bagi para petugas lapangan di seluruh Indonesia.

A. Persiapan
1. Pendataan
a. Jumlah peserta yang akan ikut kegiatan praktek belajar kerja;
b. Data dan alamat perorangan, masyarakat, yayasan / lembaga swasta, pabrik-pabrik yang dapat menerima siswa yang akan melaksanakan PBK;
c. Alamat / tempat tinggal /perorangan, masyarakat, serta perusahaan, pabrik-pabrik / bengkel – bengkel dan sebagainya yang akan menerima kegiatan PBK dari siswa Bekas Narapidana, Wanita Tuna Susila, serta Gelandangan dan Pengemis.
2. Seleksi calon peserta PBK sesuai dengan persyaratan serta penjurusan sesuai ketrampilan yang diperoleh di panti/LBK/KLK dan calon tempat PBK.
3. Penyiapan sarana PBK untuk peserta PBK (transport seragam dan lain-lain).
4. Penempatan pada tempat PBK disertai formulir untuk pemantauan (instrument terlampir).


B. Waktu Pelaksanaan
1. Waktu pelaksanaan kegiatan PBK selama 4 bulan;
2. Pemantauan kemajuan;
3. Pemberian surat tanda mengikuti PBK.

C. Pelaksanaan
1. Tetap bekerja di tempat PBK sesuai hasil seleksi tempat PBK yang bersangkutan;
2. Menjadi anak angkat tempat PBK yang bersangkutan atau perusahaan/tempat usaha lain yang sesuai dengan jenis ketrampilannya;
3. Usaha Mandiri (berwiraswasta).

D. Pembinaan Lanjut
1. Bimbingan dan pengembangan usaha.
2. Bantuan pengembangan usaha dengan maksud untuk menjangkau lebih banyak klien yang terlibat kerja / ber PBK.
3. Bimbingan ke arah pengmbangan masyarakat (community based).
4. Dapat menjadi percontohan.


IV. BIAYA


Biaya PBK dapat bersumber dari :
1. APBN melalui DIPA atau APBD melalui DIPA Daerah sesuai kemampuan.
2. Dapat digali dari masyarakat.
3. Dapat bekerjasama dengan perusahaan atau lain-lain tempat PBK.
4. Dapat digali dari perusahaan ataupun penggunaan PBK.



V. MEKANISME


1. Untuk pelaksanaan kegiatan PBK perlu dijalin dengan mengadakan pendekatan dengan instansi / pengusaha / lembaga / orsos / yang terkait dalam persiapan / pelaksanaan dan penyaluran setelah PBK selesai;
2. Sebagai tindak lanjut dari pendekatan dengan pokok-pokok tersebut diperlukan kelengkapan administrasi sesuai dengan kebutuhan, misalnya :
a. SKB sesuai dengan hasil pendekatan (antar instansi di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota atau antar perusahaan dengan pelayanan sosial melalui lembaga atau di masyarakat);
b. Mungkin cukup surat menyurat (surat perjanjian);
3. Kerjasama pemantauan dalam pelaksanaan PBK oleh petugas Pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat / Instansi sosial bersama petugas dari perusahaan tempat PBK;
2. Kerjasama dalam seleksi penyaluran sesuai dengan kondisi dan kemampuan berdasarkan standart penilaian dari perusahaan;
3. Untuk memantau di tempat penyaluran penanggung jawab pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat bekerjasama dengan pihak perusahaan tempat mereka bekerja atau pemerintah daerah setempat.





IV. PENGENDALIAN DAN EVALUASI

Pengendalian dan evaluasi oleh Kementerian Sosial, Dinas/Instansi Sosial Provinsi, Kabupaten/Kota setempat, dilaksanakan secara berjenjang dan berkala.

V. PELAPORAN

Untuk pelaporan pelaksanaan PBK dengan menggunakan instrument terlampir.


VI. PENUTUP

Juknis PBK ini merupakan petunjuk yang bersifat pokok-pokok saja, yang dalam hal tertentu dimungkinkan merupakan tindak lanjut dari pembinaan lanjut eks klien tertentu yang belum mengikuti PBK, ataupun sebagai tindak lanjut secara selektif hasil motivasi razia yang dilaksanakan dimana daerah tidak memiliki pelayanan sosial melalui lembaga, orsos/LSM atau masyarakat penyantunan.

MODUL PELAYANAN DAN REHABILITASI SOSIAL GELANDANG DAN PENGEMIS DI PANTI

MODUL
PELAYANAN DAN REHABILITASI SOSIAL
GELANDANG DAN PENGEMIS DI PANTI



A. PENGANTAR

1. Rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis di panti, khususnya Panti Sosial Bina Karya (PSBK) memegang perananan penting dalam penanganan gepeng. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut, diperlukan penguasaan terhadap konsep, aspek maupun proses rehabilitasi dimaksud.
2. Rehabilitasi sosial yang disusun dalam bentuk modul sebagai paket lengkap yang berisikan materi yang saling menunjang dan melengkapi yang terkait dengan konsep, aspek dan proses rehabilitasi sosial.
3. Tujuan penyusunan modul ini adalah;
a. Sebagai acuan umum yang dapat digunakan oleh semua pihak yang terkait dengan rehabilitasi gepeng, khususnya yang dilaksanakan melalui panti.
b. Memudahkan penerapan materi yang tercantum dalam modul ini sesuai dengan kondisi objektif daerah setempat , terutama dalam rangka pelaksanaan kebijakan otonomi daerah.
4. Sebagai modul, semua materi yang tercantum di dalamnya dapat dikembangkan lebih lanjut oleh pengguna termasuk penambahan materi terkait.
5. Dalam kaitan dengan metode, alat bantu maupun waktu penyajian materi, penggunaan dapat menyesuaikan sesuai dengan tujuan penggunaan materi tersebut.
6. Modul ini dapat digunakan untuk kegiatan pelatihan maupun untuk kegiatan pengembangan lainnya, antara lain: pengembangan staf secara berkala serta berbagai forum belajar lainnya.


B. TUJUAN

Setelah menyelesaikan modul ini, pengguna diharapkan mampu :
1. Membahas konsep, aspek, dan atau proses yang tercantum dalam modul
2. Menyusun rencana kegiatan sesuai dengan konsep, aspek dan atau proses yang sudah dikuasai
3. Melaksanakan rencana kegiatan sebagai penyempurnaan terhadap kegiatan rehabilitasi sosial yang selama ini telah dilaksanakan.
4. Menyebarluaskan konsep, aspek dan proses serta penerapannya kepada pihak-pihak lain yang terkait di dalam maupun di luar lingkungan tugasnya.


C. TUJUAN

Pengguna modul ini adalah :
1. Pimpinan dan petugas teknis panti. Bagi panti swasta dapat ditambahkan pula pengurus yayasan yang mengelola panti.
2. Tenaga-tenaga pendidikan nasional yang mengurusi pembangunan kesejahteraan sosial di daerah yang kegiatan-kegiatannya terkait dengan rehabilitasi sosial gepeng
3. Pihak-pihak lain, baik organisasi maupun individual yang peduli terhadap rehabilitasi sosial gepeng, Tenaga Kerja Sosial Masyarakat (TKSM), Pekerjaan Sosial Masyarakat (PSM), Organisasi Sosial / LSM, Karang Taruna, Relawan Sosial dan sebagainya.


D. METODE

Materi yang tercantum dalam buku ini dapat disampaikan melalui pengunaan satu atau lebih metode-metode tersebut di bawah ini. Penggunaan metode-metode tersebut disesuaikan dengan bobot tujuan setiap materi.

Adapun bobot tujuan materi ini terdiri dari :
1. Kognitif, yaitu mencakup pemahaman dan pengertian.
2. Psikomotorik, mencakup keterampilan, atau serangkaian tindakan nyata yang harus dilakukan.
3. Afektif, mencakup perubahan sikap atau perilaku.

Metode-metode dimaksud adalah :
1. Panyajian/ceramah/kuliah.
2. Diskusi, baik diskusi paripurna maupun kelompok.
3. Studi/penambahan kasus dengan menggunakan kasus-kasus yang relevan.
4. Permainan peranan.
5. Penguasaan, termaksud pencarian informasi diikuti penyajian dan pembahasan.
6. Peragaan/demontrasi.
7. Kunjungan lapangan.


E. ALAT BANTU

Alat bantu adalah semua alat yang digunakan untuk mendukung metode penyampaian. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan ketersediaan dan kemampuan dalam penggunaannya. Seperti halnya metode alat bantu digunakan secara kombinasi yang tepat, sehingga mampu mendukung proses mengajar-belajar.


Alat bantu terdiri dari :
1. Bahan-bahan tertulis terkait, seperti modul, buku dan acuan-acuan tertulis terkait.
2. Papan tulis (hitam/putih dengan kelengkapannya).
3. Transparansi dan Overhead Projector (OHP).
4. Flip Chart (lembaran kertas koran dengan kelengkapannya), yang terutama digunakan untuk keperluan diskusi.
5. Tape, Film dan Video, termasuk peralatan penggunaannya (Recorder, TV, Layar Projector, dsb)
6. Slide dan alat kelengkapannya (Projector dan Layar).
7. Kasus tertulis.
8. Photo dan gambar.
9. LCD (Laser Compact Disc).


F. WAKTU

Waktu yang tercantum dalam setiap sesi di dalam modul ini dapat disesuaikan penggunaannya.


G. SESI

1-1 Umum
1-2 Pendekatan Dasar
1-3 Penerimaan
1-4 Asesmen dan Rencana Pelayanan
1-5 Bimbingan Sosial
1-6 Bimbingan Penunjang
1-7 Penyaluran
1-8 Terminasi
1-9 Bimbingan Lanjut














SESI 1 – 1 : UMUM





































GELANDANGAN DAN PENGEMIS
DAN PERMASALAHANNYA


A. Pendahuluan

Sesuai kemajuan perkembangan Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial manunjukan bahwa kesadaran dan tanggung jawab sosial masyarakat semakin meningkat, sehingga peran serta dalam menangani masalah kesejahteraan sosial semakin meningkat, namun pengelolaan dan pelayanannya belum semua dilaksanaan secara profesional.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial Pasal 3 Ayat 1 menyebutkan tugas-tugas pemerintah dalam pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial adalah menentukan garis kebijakan yang diperlukan untuk memelihara, membimbing dan meningkatkan kesejahteraan sosial, melaksanaan pembinaan (memupuk, memelihara, membimbing) dan meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab sosial masyarakat, serta melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial.
Gepeng di Indonesia khususnya di kota-kota besar merupakan salah satu fenomena yang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak serta penanganan yang intensif karena akan menghambat ketertiban lingkungan dan sektor lainnya, populasi gepeng dalam krisis ekonomi semakian meningkat dari tahun ke tahun.


B. Permasalahan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)

1. Sebagai gejala sosial, masalah gepeng sudah lama hadir di tengah-tengah masyarakat kita. Secara formal pemerintah telah mengambil sikap yang jelas terhadap masalah sosial gepeng. Selain itu, berbagai lembaga swasta telah membantu usaha pemerintah dalam menanggulangi masalah tersebut, namun kenyataan menunjukan bahwa di sekeliling kita, masih banyak anggota masyarakat yang karena berbagai hal hidup sebagai gepeng. Istilah gepeng secara asosiatif mengingatkan kita pada anggota masyarakat yang tidur di kaki lima, yang mengorek-ngorek sampah, yang sehari semalam di emperan pasar, meminta sedekah pada orang-orang yang duduk di mobil ketika berhenti di perempatan jalan, seorang wanita yang menggoda bayi dengan membawa bokor kumal yang disodorkan kepada siapa saja yang dijumpai di jalan-jalan.
Berbagai macam pekerjaan memang dilakukan para gelandangan, hanya apa yang dikerjaan tidak layak menurut kemanusiaan. Ada yang menyimpang dari norma undang-undang, norma kesusilaan ataupun dari kebiasaan masyarakat umum. Kendatipun ada diantara mereka yang melakukan pekerjaan seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat umum seperti menarik becak, hal itu dilakukan secara temporer. Pekerjaan yang mereka lakukan itu merupakan kompensasi dari ketenakaryaan mereka.


2. Gepeng dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Gelandangan adalah anggota masyarakat yang hidup dalam kondisi :
• Kartu Tanda Penduduk (KTP).
• Tempat tinggal yang pasti/tetap.
• Penghasilan yang tetap.
• Rencana hari depan anak-anaknya maupun hari depan dirinya.

b. Pengemis adalah anggota masyarakat yang hidup dalam kondisi :
• Mata pencariannya tergantung pada belas kasihan orang lain.
• Berpakaian kumuh dan compang-camping.
• Berada di tmpat-tempat ramai/strategis.
• Memperalat sesama untuk merangsang belas kasihan orang lain.

3. Rehabilitasi Sosial Gepeng

Rehabilitasi sosial gepeng adalah usaha-usaha yang terorganisir yang maliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran, pengawasan, terminasi serta bimbingan lanjut.

a. Tujuan

1) Bagi Gepeng :
Adalah meliputi kembali kepercayaan dan harga diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial terhadap diri, keluarga dan masyarakat, sehingga memiliki kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan fungsi sosialnya.
2) Bagi Pelaksana Rehabilitasi :
Memberikan bantuan secara profesional untuk mengentaskan masalah sosial gepeng.
3) Bagi lingkungan sosial
Ditingkatkan kemampuan keluarga untuk membantu pemulihan dan peningkatan peranan sosial dalam manempuh kehidupan yang normatif. Diperolehnya dukungan berbagi komponen masyarakat terhadap upaya penanganan masalah gepeng.

b. Sasaran

1) Gelandangan, yaitu orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
2) Pengemis, yaitu orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan minta-minta di muka umum dengan berbagi cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.
3) Semua pihak yang terkait dengan proses rehabilitasi gepeng di masyarakat antara lain : Orsos/LSM, Lembaga Pemerintah terkait, Perguruan Tinggi, Media Massa, Dunia Usaha dan sebagainya.
4) Perorangan/kelompok masyarakat yang berada di lingkungan sosial klien dan memiliki potensi atau sumber bagi pelayanan sosial klien.


































LANDASAN HUKUM



1. Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke - 4, yang berbunyi:

…..” Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kahidupan bangsa”.


2. Undang Undang Dasar 1945

Pasal 34 : “Fakir miskin dan anak terlantar dipalihara oleh Negara”.

Pasal 27 ayat 1 : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali”.
ayat 2 : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.


3. Ketentuan MPR No. IV/MPRIX tentang GBHN Tahun 1999-2004, Sektor Kesehatan dan Kesajahteraan Sosial :

“Membangun ketahanan sosial yang mampu mamberi bantuan penyelamatan dan pemberdayaan terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial dan korban bencana serta mencegah timbulnya gizi buruk dan turunnya kualitas generasi muda”.


4. Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

Pasal 3 ayat 1
Tugas-tugas Pemerintah ialah :
- Menentukan garis kebijakan yang diperlukan untuk memelihara, membimbing dan meningkatkan usaha kesejahteraan sosial.
- Memupuk, memelihara membimbing dan meningkatkan kesadaran serta rasa tanggung jawab sosial masyarakat.
- Melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial.



5. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 8 ayat 1 dan 2
- Kewenangan Pemerintah yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
- Kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.

Pasal 9 ayat 1, 2 dan 3
- Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kawenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
- Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom termaksud juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota.
- Kewenangan Propinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah.


6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, jo Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom pasal 3 ayat 11 tentang Bidang Sosial huruf a berbunyi “mendukung upaya pengembangan pelayanan sosial “ .


7. Undang-undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

Bab II Pasal 5 ayat :
a. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
b. Setiap orang berhak mendapat bantuan dengan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.
c. Setiap orang yang termaksud kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenan dengan khususannya.

Bab III Pasal 9 :
a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan.
b. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
c. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.


8. Undang–Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1980 tentang Penangulangan Gelandangan dan Pengemis.

10. Keputusan Presiden RI Nomor 40 tahun 1983 tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

11. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 30/HUK/96 tentang Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis di Dalam Panti Sosial.

























PRINSIP-PRINSIP REHABILITASI SOSIAL



Rehabilitasi sosial gepeng didasarkan pada kaidah-kaidah pekerjaan sosial profesional, hak asasi gepeng, keterpaduan, aksesibilitas, partisipasi, dan keberlanjutan. Prinsip-prinsip pelayanan dan rehabilitasi sosial tersebut merupakan nilai-nilai dasar yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan melengkapi, serta diyakini sebagai suatu kebenaran dalam memberikan pelayanan terbaik bagi kesejahteraan sosial gepeng.

Beberapa ciri-ciri umum rehabilitasi sosial gepeng adalah :

1. Destigmatisasi
Mengusahakan penghilangan stigma yang dihadapi klien baik internal maupun eksternal.

2. Desensitiasi
Mengatasi sensitivitas berlebihan sehingga klien mampu melihat realitas secara obyektif.

4. Deisolasi
Menghindari pelayanan yang bersifat membatasi atau mengisolasi klien dan lingkungan sosialnya.

3. Defragmentasi
Menerapkan pelayanan yang utuh, terarah, bertahap menuju penanganan masalah secara tuntas dan menghindari fragmentasi pelayanan.

Prinsip-prinsip rehabilitasi sosial di dalam dan di luar panti yang diuraikan dibawah ini bersifat salaing menunjang dan melengkapi serta tidak merupakan rehabilitasi sosial yang terpisahkan satu sama lain.

Prinsip-prinsip rehabilitasi sosial tersebut adalah :

a. Dalam Panti

1) Menjunjung tinggi harkat dan martabat gepeng.
2) Melaksanakan dan mawujudkan hak asasi gepeng.
3) Memiliki hak untuk menetapkan pilihan bagi dirinya sendiri.
4) Didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikososial.
5) Mengupayakan kehidupan gepeng lebih bermakna bagi diri, kelurga dan masyarakat
6) Menciptakan suasana kehidupan dalam panti yang bersifat kekeluargaan.
7) Menjamin terlaksananya pelayanan bagi gepeng secara terus-menerus melalui pengembangan kemitraan dengan berbagi pihak.
8) Menerapkan teori, gagasan, kode etik dan metode setiap profesi dengan tidak mengabaikan penerapan metode secara menyeluruh dan antar bidang keilmuan.
9) Memasyarakatkan informasi aksesibilitas bagi tuna sosial agar dapat memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana serta perlindungan sosial dan hukum.

b. Luar Panti

1) Rehabilitasi sosial berbasiskan keluarga
a) Menjunjung tinggi harkat dan martabat gepeng.
b) Melaksanakan dan mewujudkan hak asasi gepeng.
c) Memiliki hak untuk menetapkan pilihan bagi dirinya sendiri.
d) Pelayanan didasarkan pada kebutuhan fisik dan psikososial.
e) Mengupayakan kehidupan gepeng lebih bermakna bagi diri, keluarga dan masyarakat.
f) Memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana dalam kehidupan masyarakat, serta perlindungan sosial dan hukum.
g) Keluarga mendapatkan informasi tentang pelayanan gepeng.
h) Keluarga diberdayakan agar mampu memberikan pelayanan yang baik kepada gepeng.
i) Keluarga berkewajiban melindungi pribadi dan hak milik gepeng.

2) Rehabilitasi sosial berbasiskan masyarakat
a) Menjunjung tinggi harkat dan martabat gepeng.
b) Melaksanakan dan mewujudkan hak asasi tuna sosial.
c) Memiliki hak untuk menetapkan pilihan bagi dirinya sendiri.
d) Didasarkan kepada kebutuhan kesehatan psikososial dan kesejahteraan sosial.
e) Mengupayakan kehidupan gepeng lebih bermakna bagi diri, keluarga dan masyarakat.
f) Memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana umum serta perlindungan dan hukum.
g) Masyarakat memberikan kesempatan kepada gepeng untuk menggunakan sarana pendidikan, budaya, spiritual, rekreasi yang tersedia dimasyarakat.
h) Warga masyarakat menyediakan kesempatan kerja kepada gepeng sesuai dengan minat dan kemampuannya.







SESI 1 – 2 : PENDEKATAN DASAR







































MANAJEMEN KASUS



A. Latar Belakang

Latar belakang rehabilitasi sosial terhadap klien melalui manajemen kasus (Case Management) dapat disimak dari pengalaman di Amerika Serikat, sebagai berikut :

1. Salah satu yang mendorong tumbuhnya manajemen kasus adalah gerakan deinstitusionalisasi, terutama di bidang kesehatan mental. Setelah penemuan obat-obat psikotropis pada pertengahan tahun 1950an, yang mampu menghambat gejala kecanduan pada pasien narkoba, sistem kesehatan mental mulai memindahkan pasien dari lembaga perawatan ke dalam masyarakat. Dasar anggapan deinstitusionalisasi ini adalah dapat ditariknya berbagai mafaat kehidupan di masyarakat oleh pasien dan dirasakan lebih manusiawi, dibandingkan kehidupan di lembaga. Namun pada tahun 1970an diperoleh bukti-bukti bahwa klien yang bermasalah ganda tidak memperoleh manfaat dari deintitusionalisasi ini, khususnya mereka yang tinggal di daerah kumuh atau yang diasingkan oleh lingkungan sosialnya. Pusat-pusat kesehatan mental masyarakat (community mental health centers) yang didirikan untuk mengganti peran lembaga ternyata tidak cukup responsif terhadap para pasien di masyarakat.

2. Pada awal tahun 1970an Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan mendanai sejumlah proyek percontohan untuk menguji berbagai pendekatan guna perbaikan koordinasi program-program federal pada tingkat negara bagian dan lokal. Proyek-proyek pengintegrasian pelayanan ini mencakup teknik-teknik seperti :
a. Sistem pelacakan klien;
b. Mekanisme informasi dan rujukan;
c. Pusat pelayanan terpadu (one-stop service centers);
d. Sistem manajemen informasi kasus;
e. Persetujuan perencanaan dan penyediaan pelayanan antar lembaga;
f. Invetarisasi sumber secara komputerisasi; dan
g. Manajemen reorganisasi.

3. Di hampir semua proyek tersebut diungkap pula peranan manejer kasus atau ”agents system” berupa koordinasi sumber-sumber bagi klien serta bertanggung jawab dalam penyaluran klien secara tepat melalui sistem pelayanan.

4. Penerima pelayanan panti dalam hal ini gepeng termasuk yang mengalami masalah ganda dalam pengertian masalah yang dialaminya mencakup aspek personal maupun sosial. Oleh karena itu pelayanan dalam panti diberikan juga dalam konteks masyarakat sebagai sistem sosial.

5. Manajemen kasus merupakan metode pekerjaan sosial yang paling layak untuk memecahkan masalah gepeng karena metode ini terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan dalam kerangka jaringan kerja aneka ragam penyedia pelayanan.


B. Pengertian

Manajemen kasus merupakan suatu pendekatan dalam pemberian pelayanan yang ditujukan untuk menjamin agar klien yang mempunyai masalah ganda dan kompleks dapat memperoleh semua pelayanan yang dibutuhkannya secara tepat.

1. Beberapa ciri utama manajemen kasus adalah :
a. Menembus batas (boundary spanning) menyalurkan klien ke sejumlah besar penyedia pelayanan. Sistem pemberian pelayanan diharapkan responsif terhadap semua kebutuhan klien.
b. Manajer kasus melaksanakan peranan-peranan :
1) Pialang sosial; menguasai sumber dan kebutuhan pelayanan.
2) Advokat sosial; mewakili kepentingan klien dalam menghadapi berbagai penyedia pelayanan.
3) Pengembangan sumber yang dibutuhkan klien.
4) Mengupayakan tersedianya pelayanan yang sangat dibutuhkan klien tetapi belum ada di dalam masyarakat .

2. Beberapa tujuan manajemen kasus :
a. Menjamin kontinuitas pelayanan lintas bidang pada waktu atau kurun waktu tertentu.
b. Menjamin responsibilitas pelayanan terhadap berbagai kebutuhan klien, termasuk perubahan pelayanan, kalau perlu seumur hidup klien.
c. Membantu klien memperoleh akses terhadap pelayanan-pelayanan yang dibutuhkannya, memecahkan kesulitan aksesibilitas yang disebabkan oleh kriteria persyaratan, peraturan dan kewajiban.
d. Menjamin bahwa pelayanan yang disediakan sesuai dengan kebutuhan klien, diberikan dengan cara tepat dan tidak duplikatif.

3. Dalam profesi pekerjaan sosial, manajemen kasus terkait dengan teori-teori praktek pekerjaan sosial generalis, menekakan pelayanan lintas batas melalui :
a. Pengembangan sistem sumber.
b. Penyaluran orang dengan sistem sumber.
c. Peningkatan aksesibilitas dan responsibilitas sistem sumber terhadap kebutuhan orang.
d. Peningkatan koordinasi antar sistem sumber.



4. Jangkauan Fungsi-fungsi manajemen kasus tergantung faktor kontekstualnya, seperti :
a. Karekteristik populasi sasaran.
b. Kendala lingkungan.
c. Jenis lembaga yang mempekerjakan manajer kasus.
d. Beban kasus
e. Hakekat sistem pelayanan.


C. Fungsi-fungsi Dasar Manajemen Kasus

1. Pengkajian (Assessment)
Manajemen kasus diharapkan :
a. Menyadari kebutuhan komprehensif kliennya, termasuk kekuatan dan kelemahannya.
b. Memahami hasil kontak dan pengkajian awal, waupun tidak perlu terlibat secara langsung.
c. Selalu dekat dengan tenaga pelayanan langsung untuk meyakinan bahwa informasi mereka komprehensif dan terkini.
d. Selalu kontak secara teratur dengan klien, sehingga dapat memahami perubahan kemampuan dan kebutuhannya.

2. Perencanaan (Planning)
Manajemen kasus diharapkan :
a. Mengembangkan rencana kasus yang menyeluruh untuk setiap klien.
Rencana kasus ini mencakup pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan klien, pada siang atau malam hari, kaitan antar pelayanan dengan sistem pendukung informasi, terutama keluarga.
b. Memiliki daftar lengkap tentang lembaga/organisasi pelayanan di dalam masyarakat serta memahami pelayanan yang diberikan masing-masing lembaga/organisasi, termasuk kebijakan dan prosedurnya.
c. Memberikan informasi yang dimilikinya untuk kepentingan perencanaan kasus tentang sumber-sumber yang tersedia.
d. Menginterpretasikan tujuan dan fungsi rencana kasus kepada pemberi pelayanan.

3. Penyaluran
Manajemen kasus diharapkan :
a. Menyalurkan klien dengan semua pelayanan yang dibutuhkan.
b. Membantu klien yang membutuhkannya.

4. Monitoring dan Evaluasi
a. Memonitor secara terus menerus berbagai pelayanan yang diterima oleh klien.
b. Mengevaluasi perkembangan klien.


D. Kesimpulan

Pengembangan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis dalam panti melalui manajemen kasus hanya dimungkinkan kalau beberapa persyaratan tersebut dibawah ini dapat dipenuhi :
1. Dikembangkannya jaringan kerja pembangunan kesejahteraan sosial, baik horizontal maupun vertikal, dengan didukung sistem informasi yang memadai.
2. Ditingkatkannya kemampuan personil instansi dan orsos/LSM yang terkait dengan rehabilitasi gepeng melalui diklat dan pengembangan.
3. Dilaksanakannya kemampuan sosial secara profesional dan berlanjut dengan memafaatkan semua media komunikasi massa dan personal untuk menjelaskan besarnya skala dan kompleksitas masalah gepeng.
































JARINGAN KERJA



A. Hakekat Jaringan Kerja

Jaringan kerja merupakan mekanisme kerja sama pada setiap tingkatan wilayah (nasional, propinsi, kabupaten/kota) yang memadukan secara sinergis semua pemilik sumber (pemerintah dan masyarakat) demi terwujudnya berbagai bentuk pelayanan kesejahteraan sosial bagi eks gepeng. Jariangan kerja dapat dikembangkan melalui jaringan yang sudah ada (seperti : Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial/DNIKS, Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial/BKKKS dan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial/KKKS) atau membentuk jaringan baru sesuai dengan kondisi objektif setiap wilayah. Susunan keanggotaan dan tata kerja juga ditentukan berdasarkan kondisi objektif setempat.
Adapun yang perlu dipertimbangkan adalah :
1. Bahwa yang termasuk keanggotaan jaringan kerja adalah semua pemilik sumber yang ada di setiap tingkatan wilayah yang meliputi : instansi/pemerintah daerah, organisasi sosial/LSM, perguruan tinggi, para profesional, dunia usaha, lembaga media massa, organisasi profesi, organisasi keagamaan, pemuka masyarakat dan pemuka agama.
2. Upaya kerja sama dengan pemilik sumber dilakukan berdasarkan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan.

Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan diantaranya :
a. Pengembangan jaringan kerja dukungan sosial, yaitu mendorong orang-orang terdekat klien, keluarga, sahabat, tetangga atau teman kerja agar memperkuat kerjasama diantara mereka untuk membantu eks gepeng.
b. Pengembangan jaringan kerja informasi, yaitu membuat hubungan-hubungan informal diantara para pemberi pelayanan yang dibutuhkan klien, serta mendorong munculnya komitmen dan kepedulian mereka terhadap para penyandang masalah.
c. Pengembangan jaringan kerja sukarelawan, yaitu mendorong kepedulian serta kerjasama diantara relawan bagi eks gelandangan dan pengemis.
d. Pengembangan jaringan kerja kelompok-kelompok gepeng yang telah secara mandiri telah berupaya untuk saling membantu di dalam kelompoknya masing-masing agar kelebihan serta permasalahan yang dialami oleh setiap kelompok bisa digabung dengan kelompok-kelompok lainnya.
e. Keterlibatan lingkungan, yaitu meningkatkan kepedulian dan jalinan kerjasama diantara para tetangga untuk mengembangkan mekanisme pertolongan bagi para gepeng yang ada di sekitarnya.






B. Tujuan

Jaringan kerja ini bertujuan :
1. Memperluas jangkuan pelayanan eks gepeng.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan eks gepeng.
3. Meningkatkan kesejahteraan sosial eks gepeng.


C. Fungsi

1. Komunikasi
Fungsi ini dimasudkan untuk mendapatkan suatu hubungan atau komunikasi yang secara terus-menerus antara berbagai pihak yang terkait dengan penanganan-penanganan permasalahan pelayanan eks gelandangan dan pengemis. Diharapkan dengan kominikasi ini akan dapat meningkatkan kesadaran semua pihak yang terlibat dalam penanganan eks gepeng. Adanya persepsi, pengertian yang sama tentang permasalahan eks gepeng, pada akhirnya dapat menemukan solusi yang tepat dalam penanganan eks gepeng. Fungsi ini dapat diwujudkan melalui seminar, media massa, penerbitan, leaflet dan lain-lain.

2. Koordinasi
Fungsi ini dimaksudkan untuk dapat menentukan bagaimana peranan dan sejauh mana keterlibatan dari masing-masing pihak dalam penanganan permasalahan eks gepeng. Dalam fungsi ini perlu adanya pembagian tanggungjawab yang jelas dan tegas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan kebingungan di antara pihak-pihak yang terlibat. Fungsi ini diwujudkan dengan mengadakan komunikasi secara intensif, rapat-rapat pertemuan, pelaporan dari perkembangan pelaksanaan kegiatan masing-masing pihak yang terlibat.

3. Kolaborasi
Fungsi ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan pelaksanaan kerjasama hasil kesepakatan yang sudah disepakati dari hasil koordinasi yang sudah disusun atau ditetapkan sebelumnya. Dalam fungsi ini, masing-masing pihak sudah mulai bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.

4. Konfederasi
Pada fungsi ini, semua tim sudah terlibat dalam suatu konsepsi, pemikiran, kesadaran, dan komitmen untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat terpadu dan sinergis, baik secara vertikal maupun horizontal, tanpa bertentangan dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Demikian juga dengan sarana-sarana dan fasilitas-fasilitas pendukungnya dari masing-masing pihak, telah siap digunakan dalam rangka penanganan permasalahan eks gepeng.



D. Mekanisme Kerja

1. Pemerintah
a. Pemerintah Pusat. Pemerintah pusat diharapkan dapat menyusun dan menentukan berbagai kebijakan, peraturan perundang-undangan, standarisasi, akreditasi, sertifikasi yang dapat dijadikan acuan oleh semua pihak baik pemerintah maupun swasta dalam rangka penangan permasalah eks gepeng. Selain itu, diharapakan pemerintah pusat juga dapat melakukan pengendalian atau evaluasi global terhadap pelaksanaan penanganan permasalahan eks gepeng.

b. Pemerintah Propinsi. Pemerintah propinsi diharapkan dapat menyusun kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat operasional, pedoman, panduan tentang penanganan eks gepeng. Selain itu, pemerintah propinsi diharapkan dapat melakukan fungsi, koordinasi, monitoring, evaluasi dan pelaporan terhadap pelaksanaan pelayanan eks gepeng.

c. Pemerintah Kota/Kabupaten. Pemerintah Kota/Kabupaten diharapkan dapat menyusun petunjuk teknis, petunjuk operasional penanganan eks gepeng sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing. Selain itu, pemerintah Kota/Kabupaten diharapkan dapat melakukan fungsi, koordinasi, monitoring dan evaluasi dan pelaporan terhadap penanganan permasalahan eks gepeng.

d. Pemerintah Kecamatan. Pemerintah Kecamatan diharapkan dapat melakukan fungsi koordinatif, kontrol, monitoring dan evaluasi dan pelaporan terhadap penanganan permasalahan eks gepeng di tingkat kecamatan, sehingga semua elemen-elemen yang ada di wilayah masing-masing dapat lebih efektif dan efisien di dalam penanganan permasalahan eks gepeng.

e. Pemerintah Desa/Kelurahan. Pemerintah diharapkan dapat melakukan fungsi koordinatif, monitoring dan evaluasi dan pelaporan terhadap penanganan permasalahan eks gepeng di tingkat desa/kelurahan, sehingga semua elemen-elemen yang ada di wilayah masing-masing dapat memberikan pelayanan yang lebih efektif dan efisien terhadap penanganan permasalahan eks gepeng.
f. Instansi Terkait. Disadari bahwa permasalahan sosial eks gepeng sangat kompleks dan terkait dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Oleh karena itu, agar permasalahan sosial ini dapat dituntaskan, maka instansi atau sektor-sektor lainnya perlu dilibatkan dan mengambil peranan dan tanggung jawab sesuai dengan profesionalismenya, seperti lembaga kesehatan, lembaga advokasi, instansi keagamaan, dan lain-lain.

2. Akademisi/Perguruan Tinggi. Para akademisi dan perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan kontribusi dan solusi atau perencanaan yang tepat di dalam penanganan permasalahan sosial eks gepeng. Juga diharapkan dapat memberikan upaya-upaya atau penemuan-penemuan baru yang lebih aktual dan akomodatif didalam menjawab permasalahan sosial eks gepeng tersebut. Para akademisi juga dituntut dalam mekanisme ini untuk dapat melakukan pengawasan profesional terhadap pelayanan yang diberikan kepada eks gepeng.

3. Organisasi Sosial/LSM. Karena keterbatasan kemampuan pemerintah di dalam penganan eks gepeng ini, maka organisasi sosial yang ada di semua tingkatan (desa hingga tingkat pusat) perlu dilibatkan. Kelompok-kelompok ini merupakan pelaksana atau pemberi pelayanan langsung kepada eks gepeng tersebut sesuai dengan acuan umum yang telah disepakati oleh semua pihak.

4. Pemerhati (Relawan). Kelompok ini merupakan sukarelawan yang turut memiliki andil besar didalam penanganan permasalahan eks gepeng. Kelompok ini diharapkan dapat turut aktif didalam pelaksanaan penanganan eks gepeng baik langsung maupun tidak langsung.


E. Peran

Beberapa peranan jaringan kerja yang implementasinya saling menunjang dan melengkapi adalah :

1. Advokasi
Dilakukan dengan memperjuangkan kepentingan eks gepeng untuk memperoleh semua sumber yang dibutuhkannya.

2. Partisipasi
Dilakukan dengan cara melibatkan diri secara proaktif dalam penyediaan sumber yang dibutuhkan oleh eks gepeng serta mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam meningkatkan pelayanan kesejahteraan sosial eks gepeng.

3. Fasilitasi
Dilakukan dengan memberikan kemudahan berupa sumber dan peluang bagi individu , organisasi dan lembaga yang peduli serta menyediakan pelayanan sosial kepada eks gepeng.

4. Asistensi
Dilakukan dengan memberikan bantuan baik material maupun konsultasi kepada individu, organisasi dan lembaga yang peduli serta menyediakan pelayanan sosial eks gepeng.

5. Penyaluran
Dilakukan dengan menyalurkan kepentingan eks gepeng kepada berbagai pihak, baik organisasi atau lembaga penyedia pelayanan maupun antara pihak yang membutuhkan dengan pihak pemilik sumber, sehingga tercipta pelayanan terpadu yang menguntungkan bagi eks gepeng.

6. Mobilisasi
Dilakukan dengan menghimpun, mendayagunakan, mengembangkan dan mempertanggung jawabkan sumber-sumber yang di manfaatkan guna peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan kesejahteraan sosial bagi eks gepeng.

7. Informasi
Dengan menyediakan informasi pelayanan kesejahteraan sosial eks gepeng.

8. Kemitraan
Dilakukan dengan menjalin hubungan kepada pemilik sumber serta menyalurkan hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi atau lembaga penyedia pelayanan dengan pemilik sumber dalam rangka peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan sosial bagi eks gepeng.

9. Pemberdayaan
Dilakukan dengan meningkatkan pengertian, kesadaran, tanggung jawab, komitmen partisipasi dan kemapuan semua pihak yang terkait dengan peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan sosial bagi eks gepeng.

10. Konsultasi
Dilakukan dengan menyediakan tenaga ahli kepada organisasi dan lembaga pelayanan dalam rangka peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan kesejahteraan sosial eks gepeng.

11. Negosiasi
Dilakukan dengan melaksanakan cara tawar-menawar dengan semua pihak yang terkait dengan kedudukan dan peranan jaringan kerja dalam rangka memperoleh berbagai dukungan dan kemudahan.













KONSELING



Konseling merupakan proses interpersonal yang keberhasilannya tergantung pada sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang dibawa konselor pada saat berinteraksi dalam konseling. Oleh karena itu, konselor harus memiliki karakteristik personal dan profesional sebagai berikut :
1. Keyakinan bahwa klien adalah individu unik yang memiliki nilai tertentu.
2. Keyakinan bahwa klien memiliki kemampuan untuk berubah.
3. Pengetahuan tentang fungsi individu efektif.
4. Pengertahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam membantu individu mengatasi keterbatasan fungsional.
5. Keinginan untuk terlibat dalam proses antar personal.
6. Pengetahuan tentang diri sendiri, keterampilan serta keterbatasan yang dimiliki

Tujuan mendasar dari proses konseling adalah membnatu klien menjadi individu yang lebih efektif. Untuk itu, konselor membantu klien dalam memodifikasi perilakunya atau dalam hal memilih perilaku yang akan ditiru dan mengatasi trauma dalam kehidupannya. Agar dapat mencapai tujuan tersebut, konselor perlu bertindak akurat dengan memperhatikan kode etik pada saat bekerja dengan klien. Kode etik yang dapat digunakan untuk bekerja dengan gepeng masih mengacu kepada kode etik dari Amerika, karena Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) belum memiliki kode etik sendiri. Namun kode etik tersebut telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

Konseling adalah proses yang berkembang secara berurutan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Tahap membangun relasi - mengembangankan dasar bagi upaya kolaborasi.
2. Tahap ekplorasi - menelusuri dan memahami klien dan kerangka pemikiran maupun perilakunya.
3. Tahap pengambilan keputusan - merumuskan tujuan konseling dan strategi interaksi.
4. Tahap pelaksanaaan/implementasi - menerapkan strategi konseling untuk mengatasi masalah.
5. Tahap teriminasi - menyimpulkan dan mengakhiri proses konseling.

Bila digambarkan, tahap-tahap tersebut membentuk rangkaian bagan saling terkait sebagai berikut :







Ketrangan : Nomor dalam kotak menunjukkan tahapan konseling.

Ad. 1. Tahap Membangun Relasi

Tahap ini merupakan pokus dari tahap awal konseling dan dicapai melalui pelaksanaan tugas-tugas dalam berikut :
a. Mengembangkan kondisi yang menfasilitasi terjadinya konseling;
b. Menentukan tujuan awal konseling;
c. Menstrukturkan relasi :
1) Mendiskusikan proses konseling, sifat interkasi, tanggung jawab pekerja sosial dan klien serta informasi tentang hasil positif yang akan diperoleh.
2) Mengatur berbagai aspek secara rinci dan jelas seperti waktu pertemuan, lamanya pertemuan, frekuensi pertemuan, lokasi pertemuan, ketidak hadiran serta situasi eksternal.
d. Menerapkan standar etik.


Ad. 2. Tahap Eksploratif

Pada tahap ini pekerja sosial perlu membantu klien untuk mempersepsi, menganalisis dan memahami diri dan masalah. Untuk dapat melakukan hal tersebut, pekerja sosial perlu melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
1) Mengeksplorasikan ruang lingkup atau kedalaman pernyataan masalah klien.
2) Menganalisis tingkat keberfungsian klien dalam berbagai dimensi kehidupan klien.
3) Memahami latar belakang dan alasan-alasan terjadinya perubahan pada klien dan kemungkinan adanya penolakan terhadap perubahan.
4) Mengidentifikasi kekuatan intenal dan sumber-sumber eksternal yang tersedia bagi klien.
Pada tahap ini pekerja sosial akan membantu klien menyadari berbagai masalah yang perlu diatasi.


Ad. 3. Tahap Pengambilan Keputusan

Tahap ini merupakan perantara antara tahap mengekpresikan kepedulian klien dengan pelaksanaan rencana intervensi yang akan digunakan . Pelaksanaan kedua tugas tersebut akan mempengaruhi berbagai variabel pada klien , konselor dan lingkungan.
a. Variabel klien
1) Jenis masalah.
2) Latar belakang penanganan masalah klien.
3) Karakteristik demografi.
4) Karakteristik Kepribadian.
5) Latar belakang budaya klien.



b. Variabel Konselor
1) Pengetahuan dalam bidang tertentu.
2) Pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan berbagai pendekatan konseling.
3) Ketrampilan dalam mengkomunikasikan tindakan yang tepat.

c. Variabel lingkungan
Setting dimana konseling berlangsung (sekolah, lembaga, tempat praktek) turut pula mempengaruhi ketepatan strategi intervensi konselor yang bekerja dalam rangka meningkatkan keberfungsian klien dalam setting tersebut.


Ad. 4. Tahap Pelaksanaan/Implementasi

Tahap ini merupakan kegiatan untuk mengaplikasikan strategi intervensi yang tepat. Tugas utama konselor adalah membantu klien menggali kepeduliannya dan berfungsi sosial lebih efektif. Strategi yang diterapkan dalam konseling diklasifikasikan sebagai intervensi untuk bertindak lebih akurat. Oleh sebab itu fokus strategi intervensi diarahkan pada tiga aspek, yaitu :
a. Aspek kognitif
Hal ini perlu dilakukan apabila konselor yakin bahwa klien membutuhkan bantuan untuk mendapatkan informasi, mengambil keputusan, atau klien menunjukkan proses berpikir deduktif dan induktif yang keliru.

b. Aspek Afektif
Hal ini perlu dilakukan apabila klien menujukkan perasaan tentang harga dirinya yang tidak adekuat, kurang dapat menerima orang lain, atau memiliki keterampilan yang terbatas untuk mengatasi sikap, keyakinan, emosi maupun nilai-nilai klien sendiri.

c. Aspek Penampilan (Psikomotorik)
Hal ini perlu dilakukan ketika perilaku-perilaku klien menghambat keberfungsian sosialnya.

Untuk tahap pelaksanaan ini terdapat beberapa sumber yang dapat dimanfaatkan yaitu orang –orang yang sangat berarti dalam kehidupan klien, sumber dalam masyarakat ( lembaga , profesi llain selain konselor , informasi ) dan tuliasan –tulisan atau buku-buku yang membantu proses konseling.


Ad. 5. Tahap Terminasi/ Pemutusan Hubungan

Tugas-tugas yang harus dilaksanakan pada tahap ini :
a. Menyimpulkan dan mengevaluasi kemajuan yang dicapai.
b. Membahas isu-isu yang membutuhkan perhatian selama konseling berlangsung.
c. Mengembangkan metode untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kemajuan yang lebih dicapai klien setelah konseling berakhir.









































KONFERENSI KASUS


A. Pengertian

Konferensi kasus adalah suatu forum permufakatan yang dihadiri oleh para ahli dalam rangka pembahasan kasus yang disertai pula dengan penetapan alternatif kebijaksanaan dan langkah bagi kepentingan si penyandang masalah yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat.


B. Tujuan

1. Terciptanya suatu wadah kerjasama multi disipliner atau multi profesional dan lintas sektoral secara terpadu didalam penyelenggaraan program pelayanan dan rehabilitasi sosial gepeng.
2. Terciptanya suatu mekanisme kerja yang bersendikan semangat kolektifitas profesional yang berperan di bidang seleksi, pemastian sistem pelayanan, pengungkapan dan pemecahan masalah, penggalian dan pengolahan data permasalahan, menetapkan rumusan pelayanan dan rehabilitasi atau rencana program bimbingan, pembinaan dan penyantunan, menyelenggarakan program pemantauan, penilaian asesmen dan evaluasi antara lain terhadap ketepatan program, ketepatan pelaksanaan dan ketepatan sasaran perkembangan klien, dan peningkatan motivasi keluarga dan masyarakat.


C. Sasaran

1. Gelandangan dan pengemis (Gepeng).
2. Keluarganya.
3. Masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.


D. Pelaksana

Pekerja sosial.


E. Metode

1. Penyajian.
2. Diskusi.
3. Pembahasan kasus.


A. Pendahuluan

Sebagaimana diketahui di dalam menangani masalah gepeng pada hakekatnta adalah menghadapi suatu permasalahan yang kait mengkait dan amat kompleks. Oleh karena itu agar bisa diperoleh hasil secara optimal di dalam menangani permasalahan tersebut, diperlukan adanya suatu pola penanganan yang multidispliner atau multi profesional dan atau lintas sektoral. Telah diketahui pula bahwa program rehabilitasi sosial yang dimaksudkan untuk memberi bantuan terhadap para gepeng adalah merupakan bagian tak terpisahkan dari program pelayanan dan rehabilitasi sosial terdahap para gepeng. Namun demikian cara penyelenggaraannya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah ada, agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan di dalam bertindak ataupun di dalam mengambil langkah-langkah, terutama dalam hal menetapkan atau menentukan para calon penerima pelayanan (klien).

Hal demikian perlu dijelaskan mengingat bahwa faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk menjadi gepeng sangat bervariasi. Lagipula bentuk atau wujud permasalahan yang dihadapi setelah mereka selesai mengikuti program pelayanan dan rehabilitasi sangat berbeda satu sama lain, dan mengingat pula bahwa banyak lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang penanggulangan masalah tersebut. Itulah sebabnya bagi para penyandang masalah sosial gepeng untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi sosial diharuskan persyaratan tertentu. Dengan adanya program rehabilitasi sosial bagi para gepeng ini, nampak begitu besar harapan masyarakat terhadap lembaga yang akan menyelenggarakanya. Harapan itu menekankan terutama agar program tersebut menjadi salah satu upaya yang benar-benar mampu untuk mengatasi dan menekan keresahan sosial yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat dari ulah atau perilaku anti sosial/socially unacceptable behavior dari para gepeng.

Tentang bantuan yang diharapkan oleh masyarakat tersebut sudah barang tentu merupakan seperangkat program pelayanan yang sungguh-sungguh tepat sehingga mampu mendorong para klien untuk dapat mencapai dan memperoleh kesadaran, rasa harga diri, percaya diri, kemampuan dan kemauannya keluar dari permasalahan yang mereka hadapi selama ini. Demikian juga menjadi lebih siap dan mantap untuk menghadapi hidup dan kehidupan secara wajar sebagai mana layaknya seorang warga masyarakat yang sadar, memiliki rasa tanggung jawab dan rasa saling terikat satu sama lain dalam mewujudkan dan membina keselamatan dan kesejahteraan bersama.

Perlu untuk didasari bahwa suatu program pelayanan dari sebuah panti rehabilitasi, baru mempunyai arti akan dinilai positif oleh masyarakat, jika di dalam susunannya berhasil memadukan unsur-unsur pengendalian, pengawasan, pengarahan, perlindungan dan penyelamatan serta sekaligus merupakan program pembinaan, pengembangan dan penyantunan secara tuntas melaui pemberian pengalaman hidup dan kehidupan secara positif terhadap para klien. Dengan cara begini, diharapkan agar mereka secara langsung dan nyata dapat merasakan dan menyadari adanya suatu pola kehidupan yang baru yang akan dapat memberikan kepuasan bagi kedua belah pihak yaitu dirinya sendiri dan lingkungannya, yang selama ini tuntutan hidup semacam ini tidak pernah mereka rasakan atau dapatkan sebelumnya.

Perlu diingat bahwa pada umumnya para klien yang dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi, pada hari-hari pertama, mereka akan bereaksi pasif, seperti tidak akan atau tidak menyadari tentang segi-segi positif yang terkandung di dalam suatu lembaga rehabilitasi. Keadaan demikian ini adalah suatu fenomena (gejala penampakan) yang sangat wajar. Mereka seperti tidak mau tahu bahwa seluruh program pelayanan di lembaga yang disusun sedemikian rupa demi untuk membantu mereka di dalam menemukan jalan keluar untuk memecahkan permasalahannya itu melibatkan banyak tenaga dan pikiran para ahli demi untuk keselamatan dan kesejahteraannya. Sesungguhnya kalau saja mereka itu berani jujur, di dalam hati kecilnya mengakui bahwa mereka itu berada didalam kesulitan, dan mereka sedang menghadapi masalah yang memerlukan bantuan untuk memecahkannya, tetapi setiap ada uluran tangan untuk memberi bantuan, mereka menunjukkan sikap seperti tidak perlu bantuan itu, terhadap setiap jalan keluar yang ditunjukkan oleh orang lain haruslah sesuai dengan kemauannya yang sebenarnya masih dibatasi oleh alam pikir atau cakrawala pandangnya yang masih terbatas itu.

Akibat dari semua itu tidaklah aneh kalau mereka selalu menunjukkan sikap curiga syakwasangka, tegang, kurang tenang dan kurang percaya atas kata-kata atau petunjuk dari siapapun dan juga nampak tidak bergairah dalam bergaul. Satu-satunya keinginan adalah bagaimana caranya untuk segera dapat melepaskan diri dari suatu ikatan yang baru itu (lembaga) dimana kehadirannya di situ bukan atas pilihannya sendiri, tetapi yang olehnya disadari sebagai sesuatu yang dipaksakan dan menganggapnya sebagai penekanan, pengekangan dan pengasingan atas dirinya.

Oleh karena itu, agar keadaan demikian itu bisa diredam dan suatu fungsi lembaga rehabilitasi dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya sehingga seluruh harapan yang melekat pada konsepsi yang mendasari tujuan didirikannya suatu panti rehabilitasi sosial di Indonesia dapat benar-benar terwujud, maka adanya kelengkapan-kelengkapan yang dinilai sangat urgen yang harus tersedia di dalam suatu lembaga rehabilitasi sosial, misalnya :

1. Adanya ”Tim Rehabilitasi” yang terdiri dari para tenaga ahli atau tenaga profesional yang disamping sebagai penanggungjawab tugas-tugas klinis di bidang keahliannya masing-masing, juga akan membantu pimpinan panti didalam menyelenggarakan konferensi Kasus (KK) selaku anggota ”Tim Inti” Konferensi Kasus.
2. Untuk dapat terselenggaranya seluruh tugas-tugas lembaga rehabilitasi, maka bagi setiap panti perlu didukung oleh tenaga-tenaga staf yang cukup yang terlatih baik pada setiap bidang yang diperlukan, dan memiliki rasa kasih sayang terhadap para klien serta memiliki jiwa pengabdian yang tinggi terhadap tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
3. Penyelenggaraan secara teratur dan terencana Konferensi Kasus sebagai forum ilmiah dan pencerminan sifat gotong royong dan kolektifitas didalam penyelenggaraan pembinaan, penyantunan, pengentasan dan pengembangan terhadap para klien.
B. Dasar Pemikiran

Sebelum kita teruskan membahas hal-hal yang berkenaan dengan topik tersebut di atas, perlu terelebih dahulu dijelaskan di sini bahwa untuk dapat ikut ambil bagian di dalam suatu Konferensi Kasus (KK), setiap anggota staf panti dituntut daya tanggap dan kepekaannya terhadap setiap perubahan perilaku atau perkembangan-perkembangan dalam segi kehidupan klien, dari hal-hal yang sifatnya ditunjukkan secara terang-terangan dan terbuka sampai dengan hal-hal yang bersifat sembunyi-sembunyi atau terselubung yang hanya akan dapat dibuat oleh para petugas melalui teknik pengungkapan masalah secara halus dan jitu.

Disinilah letaknya arti seni dan makna sebenarnya mengapa Konferensi Kasus dinilai penting sebagai sarana pelaksanaan dan penyelenggaraan program rehabilitasi, khususnya bagi para bekas gepeng. Hal tersebut wajar terjadi mengingat bahwa produk-produk permufakatan yang dihasilkan oleh Konferensi Kasus tersebut memiliki nilai ilmiah yang diharapkan akan menjadi titik awal untuk terjadinya suatu perubahan sikap dan kepribadian klien. Untuk itu, bagi setiap anggota staf yang mempunyai kaitan tugas yang langsung berhubungan dengan klien perlu memiliki suatu pandangan hidup yang menyatakan bahwa ”tidak ada suatu yang mustahil” dan ”tidak ada suatu masalah yang tidak berarti” sepanjang semuanya itu ada sangkut pautnya dengan klien.

Semua materi infomasi yang patut memperoleh perhatian sebagai bahan untuk diolah, tidak hanya terbatas pada yang bisa diperoleh di dalam panti saja, akan tetapi termasuk bahan-bahan yang harus digali dan diungkapkan di luar batas kelembagaan kita sebagai bahan masukan penting di dalam suatu konferensi kasus.

Dengan menyadari sepenuhnya akan adanya harapan-harapan dari masyarakat disatu pihak, sedang dilain pihak adanya sikap-sikap syakwasangka dan penuh kecurigaan dari para klien dan bahkan terlepas dari itu semua, disadari atau tidak, sesungguhnya para klien itu mendambakan adanya pembinaan, tambahan pengetahuan, tambahan kepandaian keterampilan serta pulihnya kemampuan untuk melaksanakan fungsi dan peran sosialnya, maka apa yang sedang diusahakan oleh panti rehabilitasi sosial dengan menyediakan program pelayanan di bidang pembinaan dan penyantunan, acap kali terasa sulit di dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena harus dapat memenuhi dua atau lebih kepentingan yang kadang kala sangat bertentangan.

Harapan masyarakat yang menekankan perlunya penerapan pengawasan yang ketat terhadap para klien seringkali menimbulkan gangguan atau benturan terhadap fungsi upaya penyembuhan sosial yang melekat pada suatu lembaga rehabilitasi yang biasanya mengembangkan suatu teknik pelayanan yang mengarah kepada usaha untuk menimbulkan kesanggupan para klien, agar mampu menumbuhkan kesadaran dan kesediaan untuk melakukan pengendalian dan penguasaan terhadap diri pribadinya. Walaupun demikian, tetap harus diakui adanya sementara pandangan orang yang menyatakan bahwa dengan kebiasaan pemberian dan memberlakuan pengawasan dan pengendalian serta disiplin ketat, akhirnya merupakan salah satu cara pula di dalam membentuk pola sikap dan kepribadian seseorang. Tetapi yang jelas bahwa jika mengikuti pembentukan sikap seperti yang terahir ini, jelas terbayang adanya situasi kejiwaan yang selalu tegang dan kurang mempertimbangkan unsur pendekatan prosperitas.

Setelah memperhatikan kedua unsur pandangan yang berkenaan dengan usaha menegakkan disiplin panti di tengah-tengah kehidupan dengan keleluasaan-keleluasaan yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai kehidupan sosial serta kepribadian seseorang secara wajar, maka nampaknya pilihan jatuh pada satu teka-teki yang masih harus ditemukan jawabannya, yaitu bagaimana caranya agar terciptanya suasana kehidupan lingkungan yang rileks dan memungkinkan para klien itu dapat mengembangkan fungsi dan peran sosialnya secara wajar, disamping tetap tegak dan terpeliharanya unsur pengawasan, pengarahan dan pengendalian, baik yang ditujukan untuk melindungi mereka itu sendiri maupun sekaligus bertujuan melindungi masyarakat. Ini adalah salah satu kenyataan yang harus dihadapi dan diupayakan realisasinya oleh suatu lembaga rehabilitasi dewasa ini.

Selanjutnya perlu diusahakan agar setiap anggota staf dari lembaga rehabilitasi senantiasa menyadari bahwa mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari upaya rehabilitasi itu sendiri. Mereka harus menyadari bahwa manusia-manusia yang berkemampuan dan berkemauan untuk setiap saat dan selalu merasa wajib memberikan penjelasan kepada para klien bahwa mereka diterima di dalam panti itu agar memperoleh manfaat dari seluruh upaya yang ditujukan untuk membantu dirinya, didalam mengatasi kesulitan atau permasalahan yang dihadapinya, dan bukan sama sekali bertujuan untuk memberi beban penderitaan atau lebih ekstrimnya lagi memberikan hukuman atas dirinya, sebagai imbalan atas pelanggaran atau perbuatan salah yang telah mereka lakukan sebelumnya. Lebih jauh lagi sangat diharapkan hendaknya setiap anggota staf panti tersebut dengan cara-cara yang bijaksana mampu menggali dan menemukan faktor-faktor penentu mengapa klien tersebut sulit, berat hati dan nampak seperti tidak mampu menyelesaikan diri atau menyelaraskan dengan standar tatanan kehidupan yang dapat diterima dan didambakan oleh masyarakat lingkungannya.

Para tokoh pemikir di lapangan pun percaya bahwa tujuan utama memasukkan klien ke dalam panti rehabilitasi pada masa sekarang ini tidak lain bermaksud untuk memberikan bimbingan pembinaan dan penyantunan. Sedangkan panti rehabilitasi pada dasarnya merupakan lembaga ”treatment” (pembinaan dan penyantunan dengan sistem pelayanan profesional terpadu dan terintegrasi yang didalamnya terdapat berbagai disiplin ilmu seperti : pendidikan, bimbingan perorangan, bimbingan kelompok, psikologi, psikiatri, kedokteran, bimbingan keterampilan kerja keagamaan, pekerja sosial dan sebagainya, yang semuanya ini memiliki dan memainkan peranannya masing-masing yang amat penting. Seluruh kegiatan dan kehidupan para tenaga ahli inilah dituangkan ke dalam suatu wadah yang dikenal sebagai forum Konferensi Kasus (KK).

Tugas dan tanggung jawab seluruh tenaga ahli tersebut dikaitkan langsung dengan usaha mengembangkan tata hubungan antar manusia dan nilai-nilai kepribadian klien. Di lembaga ini, tidak boleh terjadi adanya kompetisi atau adanya perasaan bahwa disiplin ilmu yang satu merasa lebih penting dari disiplin ilmu yang lain. Perlu disadari bahwa kepentingan dan kebutuhan akan pertolongan untuk masing-masing individu klien kenyataannya adalah sangat berbeda satu sama lain. Adakalanya seseorang menjadi baik sewaktu memperoleh pendekatan dari seorang pembina pondok yang berpangalaman, tetapi adakalanya seseorang memerlukan pendekatan dari seseorang pekerja sosial, atau oleh instruktur vokasional atau profesi lain, demikian seterusnya. Selanjutnya perlu diakui bahwa, keberhasilan dari suatu program rehabilitasi sosial terutama didasarkan atas adanya fakta yang dapat memberi gambaran sampai sejauh mana pengertian atau pemahaman para anggota staf terhadap faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku anti sosial dan dengan cara bagaimana yang dapat dianggap paling tepat didalam membantu memecahkan setiap kasus klien secara individual.

Seorang klien yang melanggar norma-norma ketunaan sosial tentu ada faktor-faktor pendorong lain yang mempengaruhinya. Diantara sekian banyak kemungkinan tidak mustahil disebabkan oleh adanya kekurangan atau tiadanya unsur-unsur penting tertentu yang akhirnya merupakan hambatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan kehidupannya yang sehat dan wajar. Di sisi lain, mereka mengharapkan hak-haknya sebagai warga negara untuk memperoleh perhatian dan dihormati, mereka menginginkan pula suatu kesempatan untuk belajar memikul tanggung jawab di dalam proses kehidupannya. Mereka menginginkan pula suatu pengakuan baik di rumah maupun di masyarakat, baik oleh seluruh anggota keluarganya maupun oleh lingkungannya.

Para gepeng itu mendambakan pula kesehatan jasmani dan rohani, perlindungan dan pengayoman dari pengaruh dan unsur-unsur negatif yang terdapat di dalam masyarakat. Memang harus diakui bahwa secara naluriah, biasanya akan memperkenalkan unsur-unsur kehidupan yang baru baginya, misalnya kecenderungan atau keinginan untuk membentuk keakraban di luar lingkungan keluarga atau rumah tangga, keinginan yang kuat untuk diakui dan diterima sebagai anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di dalam kelompoknya. Akan tetapi sebegitu jauh apapun penyebab dari pada tingkah laku yang menyimpang sampai dengan perbuatan melanggar norma kesusilaan, biasanya pelakunya adalah mereka-mereka yang berada dalam kondisi kepribadian yang tidak atau kurang mantap (immature personality), sedang menghadapi perang batin atau merasa tidak aman (insecure) atau mereka yang merasa dicampakkan dari keluarga atau kelompoknya. Pada umumnya mereka mempunyai kesan bahwa dunia ini sangat kejam terhadap dirinya. Keadaan demikian ini mulai menghinggapi dirinya, sekurang-kurangnya semenjak mereka mengalami perlakuan yang melukai perasaanya, yang kadang-kadang terasa amat kasar. Orang nampak tidak menyenangi kehadiranya. Pengucilan dan penolakan telah mewarnai kehidupannya selama ini.

Dalam rangka untuk menetralisasikan berbagai permasalahan tersebut, perlu untuk diketahui benar-benar bahwa, makna dan tujuan dari suatu upaya rehabilitasi pada suatu lembaga reahabilitasi adalah bersifat ”pemenuhan” atas kebutuhan-kebutuhanya, berusaha mengubah konsep pikir dan sikap hidup serta perilakunya yang setuju terhadap orang lain, terhadap dirinya sendiri dan terhadap masyarakatnya, sehingga dengan demikian seluruh perasaan protes dan keinginan balas dendam yang dilampiaskan melalui sikap dan tingkah laku yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat tersebut dapat diubah atau sekurang-kurangnya dapat diperlunak menjadi sikap dan kelakuan yang lebih dapat diterima oleh lingkungan masyarakat yang lebih luas (socially acceptable behavior). Keinginan yang demikian ini akan dapat dicapai hanya di dalam suatu lembaga atau institusi yang beorentasi kepada falsafah ”Treatment Oriented”. Dan jika istilah treatment diartikan sebagai suatu upaya ”penyembuhan” maka sudah barang tentu yang dimaksud dengan penyembuhan pada naskah ini adalah ”penyembuhan sosial”.


C. Pengertian

Setelah membahas bab yang terdahulu, maka pada bab ini akan dicoba memberikan batasan pengertian terhadap apa yang dikenal sebagai Konferensi Kasus.

1. Apakah hakekat Konferensi Kasus ?
Konferensi kasus adalah suatu forum permufakatan yang dihadiri oleh para ahli dalam rangka pembahasan kasus yang disertai pula dengan penetapan alternatif kebijaksanaan langkah bagi kepentingan si penyandang masalah yang bersangkutan, keluarga dan masyarakatnya.

2. Siapa yang wajib hadir di dalam KK ?
a. Pimpinan Panti, selaku penanggung jawab umum Narasumber dan Penasehat.
b. Tim inti KK (Pekerja Sosial, Psikolog, Medis ) selaku penyelenggara KK, disamping sebagai penanggung jawab/pengelola tugas-tugas klinis menurut bidang keahlian masing-masing. Tentang fungsi ketua KK ditunjuk secara bergiliran di antara mereka bertiga.
c. Kepala Seksi Rehabilitasi pada lembaga rehabilitasi, selaku sekretaris KK.
d. Tenaga-tenaga ahli lintas sektoral yang terkait, selaku anggota.
e. Pejabat-pejabat struktural dan fungsional panti yang ditunjuk sebagai anggota.

3. Tujuan diadakanya Konferensi Kasus.
a. Terciptanya suatu wadah kerjasama multi disipliner atau profesional dan lintas sektor secara terpadu di dalam penyelenggaraan program pelayanan dan rehabilitasi sosial gepeng.
b. Terciptanya suatu mekanisme kerja yang bersendikan semangat kolektivitas profesional yang berperan di bidang seleksi, pemastian sistem pelayanan, pengungkapan dan pemecahan masalah, penggalian dan pengolahan data permasalahan, menetapkan rumusan pelayanan dan rehabilitasi atau rencana program bimbingan, pembinaan dan penyantunan, menyelenggarakan program pemantauan, penilaian (asesmen) dan evaluasi antara lain terhadap ketepatan program, ketepatan pelaksanaan dan ketepatan sasaran (perkembangan klien dan peningkatan motivasi keluarga dan masyarakat).
c. Terbentuknya kelompok ahli (profesional) yang mampu mendampingi pimpinan panti beserta staf didalam mengemban tugas pengeloaan rehabilitasi sosial sehingga seluruh pelaksanaan program panti dapat lebih ditingkatkan dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun secara alamiah.

4. Fungsi dan kegunaan Konferensi Kasus
Sebagai salah satu sarana kelengkapan pelaksanaan program rehabilitasi sosial, Konferensi Kasus punya peranan penting pada pengambilan keputusan atau penetapan langkah kebijaksanaan dalam rangka pemecahan masalah dan pembinaan baik terhadap penyandang masalah maupun bagi si penerima pelayanan, sesuai dengan kebutuhan pada setiap tahapan di dalam proses rehabilitasi.
a. Pada tahapan pendekatan awal
Konferensi Kasus berfungsi sebagai pengarah dan pembimbing (konsultan) bagi para petugas lapangan di dalam melaksakanan kegiatan konsultan (legitimasi), orientasi, identifikasi, motovasi dan seleksi.
b. Pada tahap penerimaan (intake)
Fungsi Konferensi Kasus pada tahap ini :
Pertama, sebagai peneliti atau penyaring. Maksudnya ialah mencegah terjadinya kekeliruan di dalam memasukan klien ke dalam lembaga rehabilitasi sosial, atas dasar persyaratan (eligibility) yang berlaku. Kedua, menetapkan sistem pelayanan yang terbaik atau paling tepat bagi klien yang bersangkutan.
c. Pada tahap penelaahan dan pengungkapan masalah
Pada tahap ini, KK pertama-tama berfungsi sebagai penggali dan pengungkap permasalahan yang dihadapi klien. Kedua, berusaha menyelami untuk menemukan sumber konflik atau faktor penyebab timbulnya permasalahan. Ketiga, setelah melalui suatu proses yang panjang didalam menelaah dan mengolah semua data-data permasalahan dan data-data pelengkap lainnya, akhirnya disusunlah suatu rumusan formulasi theraupetik yang disatu pihak merupakan serangkaian kegiatan bimbingan dan pembinaan serta penyantunan yang harus dipatuhi oleh klien, sedang dipihak lain pelayanan dan rehabilitasi sosial adalah merupakan pedoman atau petunjuk-petunjuk teknis bagi para petugas atau anggota staf yang terlibat lansung pada tugas-tugas pembinaan klien.
d. Pada tahap bimbingan dan pembinaan
Fungsi utama yang melekat pada Konferensi Kasus pada tahap ini ialah menyelenggarakan program pemantauan, penelitian (asesmen) dan evaluasi terhadap seluruh penyelenggaraan program rehabilitasi, dengan maksud untuk mengetahui sampai berapa jauh rumusan kegiatan yang tertuang didalam pelayanan dan rehabilitasi sosial tersebut dilaksanakan sebagai mana mestinya, seberapa tinggi rasa tanggungjawab dan disiplin para petugasnya di dalam melaksanakan petunjuk teknis cara menghadapi dan memperlakukan klien yang memiliki permasalahan tertentu, dan sampai di mana kedalaman pengaruh dari formasi tersebut terhadap timbulnya perubahan sikap, pandangan hidup dan perilaku positif pada diri klien, pihak keluarganya, maupun sikap tanggap dari masyarakat sekitarnya.

e. Pada tahap resosialisasi
Konferensi Kasus berfungsi sebagai sarana penilaian (Asesmen) dan evaluasi untuk menelaah sudah sejauh mana kesiapan dan kemantapan klien, keluarganya dan peran serta pihak masyarakat berikut fasilitas pendukung lainnya.
f. Pada tahap pembinaan lanjut (after care)
Pada tahap pembinaan lanjut (binjut) ini, Konferensi Kasus berfungsi sebagai penyelenggara konsultasi periodik, pemantauan dan pengamat kehidupan sehari-hari dan juga tingkat keberhasilan interaksi sosial. Pada kelanjutan dari tahap ini, Konferensi Kasus berfungsi juga sebagai pemantau keberhasilan si klien di bidang usaha produktif atau lapangan kerja yang lain, sekuritas dan prosperitas secara timbal balik antara klien dan lingkungannya. Kemudian fungsi terakhir bagi Konferensi Kasus pada tahap ini yaitu pada penilaian dan evaluator atas potensi pengembangan yang ada pada diri klien dan sekaligus sebagai pengambil keputusan untuk menetapkan dilaksanakannya Retraining dan atau Terminasi.


D. Strategi dan Teknik

Sampai sejauh ini telah diperkenalkan mengenai istilah “Treatmen“. Kalau mau diteliti benar-benar istilah tersebut, memang akan dapat ditemukan maksudnya melalui beberapa cara. Akan tetapi pada modul ini, jika dikaitkan dengan program pelayanan rehabilitasi sosial, maka istilah tersebut memiliki makna sebagai suatu upaya atau ikhtiar yang paling pantas bagi seseorang secara individual, atas dasar evaluasi tiap diagnostik untuk memperoleh pemenuhan atas kebutuhan hidupnya yang paling hakiki, yang di dalam modul ini pula pemenuhan atas kebutuhan yang paling hakiki tersebut adalah melalui proses “pembinaan”, penyantunan dan pengentasan. Dalam kejelasan makna yang demikian, dikandung pengertian bahwa pemanfaatan unsur masyarakat dan lingkungan secara tepat, merupakan suatu keharusan, mengingat bahwa masyarakat adalah merupakan kelengkapan atau alat pokok didalam pelaksanaan upaya pembinaan, penyantunan dan pengentasan tersebut.

Istilah Treatmen sebagaimana dimaksudkan di dalam suatu lembaga rehabilitasi dewasa ini, mengandung pengertian sebagai suatu pemberian pertolongan atau bantuan terhadap klien. Maksudnya ialah bahwa secara total, seluruh upaya pertolongan yang diselenggarakan oleh lembaga yang bersangkutan sepenuhnya ditujukan untuk menyusun dan mengentaskan si klien secara tuntas, termasuk penyelenggaraan program pembinaan lanjutannya setelah mereka kembali hidup di tengah-tengah keluarga dan di dalam masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa dalam pemberian pertolongan kepada klien itu akan lebih mantap jika melalui pemberian dan atau penyediaan model kehidupan bermasyarakat yang dibarengi dengan model pelayanan khusus, yang mungkin akan merupakan suatu pengalaman positif dan benar-benar dibutuhkan.

Dalam memberikan pelayanan sebagaimana disebutkan sebelumnya, sudah tentu didahului oleh suatu proses penentuan diagnosa secara tepat tentang kesulitan dan permasalahan yang mereka hadapi sekaligus disertai recana pembinaannya yang dilandasi oleh hasil evaluasi diagnostik tersebut. Dalam hal ini termasuk juga pembentukan atau penciptaan suatu apa yang disebut sebagai “Lingkungan Penyembuhan“ (Theraupetic Community) di dalam lembaga itu, karena pada hakekatnya lembaga rehabilitasi itu sendiri adalah mempunyai fungsi sebagai “Lingkungan Penyembuhan“ juga, oleh karena itu seluruh kegiatannya diarahkan untuk membimbing dan membina si klien agar benar-benar siap dan mampu untuk kembali hidup ditengah-tengah masyarakat. Untuk selanjutnya, perlu disadari bahwa makna tegas yang melekat pada istilah-istilah treatmen sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, berarti kegiatannya juga akan meliputi atau mencakup setiap aspek kehidupan klien di dalam institusi dan menuntut keterlibatan seluruh staf panti dan juga lingkungan yang merupakan tetangga dari pada institusi atau lembaga tersebut.

Dalam kaitannya dengan penjelasan sebelumnya, maka seluruh atau anggota staf termasuk pimpinan asrama, pengasuh, staf kantor, juru masak tukang kebun, bagian keamanan, perawat kesehatan, para guru, para instruktur keterampilan dan lain-lain, secara pasti memiliki peranan masing-masing yang amat penting untuk disumbangkan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas suatu lembaga rehabilitasi. Hendaknya disadari bahwa anggota staf panti atau lembaga hakekatnya adalah merupakan bagian dari “Treatmen“ itu sendiri dan untuk itu wajib merasa terlibat didalam upaya pencarian faktor penyebab kesulitan dan permasalahan yang dihadapi si penerima pelayanan. Dan atas penemuan-penemuan tersebut, melalui suatu Konferensi Kasus akan disusun suatu rencana pembinaan yang kejelasanannya seperti yang pernah diterangkan sebelumnya.

Hampir dapat dipastikan bahwa setiap klien yang dimaksudkan ke dalam panti biasanya telah menunjukan sikap apriori dan yang tidak bisa diterima oleh masyarakat sekitarnya. Untuk itulah lembaga rehabilitasi ini memikul tanggung jawab untuk dapat memberi atau menyediakan lingkungan hidup atau suatu bentuk pergaulan masyarakat yang baru bagi para klien dimana mereka dapat mengalami suatu kebiasaan atau perilaku yang bisa diterima dan sesuai dengan tatanan kehidupan masyarakat luas dan yang dapat memberikan kepuasan bagi setiap pihak. Proses akulturasi semacam ini biasanya disebut sebagai model “Milieu Therapy“ yang merupakan suatu dasar bagi setiap kegiatan pembinaan secara khusus terhadap para penyandang masalah sosial, yang dalam hal pelaksanaannya si klien tidak selamanya harus menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang diarahkan pada suatu tujuan tertentu.

Iklim pembinaan yang telah diberikan secara mantap yang terwujud melalui tambahan pengetahuan dan kecakapan, perawatan kesehatan dan pelayanan rehabilitasi perluasan keterampilan kerja, kehidupan kekeluargaan dan bimbingan mental keagamaan secara berkesinambungan, diharapkan akan dapat memperkecil atau menekan permasalahan-permasalahan yang selama ini ikut berperan dalam menimbulkan kebiasan-kebiasan atau perilaku menyimpang, sampai melanggar norma kesusilaan disatu pihak, dan dipihak lain dapat meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan fungsi dan peranan sosialnya. Dalam proses yang demikian ini, sikap dan perilaku klien yang senantiasa bertentangan dengan norma masyarakat diubah menjadi suatu sikap perilaku dan pandangan hidup yang lebih sehat, baik yang ditujukan untuk dirinya sendiri maupun terhadap tatanan kehidupan masyarakat dimana ia sendiri hidup dan menyatu di dalamnya.

Meningkatkannya pengertian dan kesadaran atas dirinya sendiri terutama terhadap pengalaman masa silamnya, tentang alasan-alasan yang mendorong untuk bersikap menentang kewajaran, yang bersamaan pula dengan semakin mantapnya kesadaran akan apa yang menjadi harapan dan dambaan masyarakat, akan sangat membantu usaha mereka di dalam mengembangkan lebih jauh lagi kesadaran, pengertian dan penghargaannya atas dirinya sendiri sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan harapan bagi masa depan yang lebih gemilang.

Agar memiliki daya guna yang maksimal, maka pelayanan rehabilitasi dalam upaya penyantunan dan pengentasan harus didukung dan dilengkapi dengan suatu program kehidupan kelompok dalam kegiatan sehari-hari. Ini berarti bahwa setiap upaya pemecahan masalah yang sedang dihadapi oleh klien harus diusahakan melalui suatu pendekatan tim (Team Approach), jadi manakala setiap anggota staf institusi sebagaimana yang telah disebut-sebut sebelumnya tadi, bisa dan saling mengakui dan menghargai pentingnya peranan dan kompetensi masing-masing, sehingga satu sama lain merasa saling membutuhkan, maka suasana kerja yang demikian ini akan memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat secara positif terhadap para klien yang sedang dibina, sehingga mereka itu secara pasti akan terangsang untuk belajar mengakui dan menghargai masyarakat yang selama ini telah mereka anggap sebagai pemberi stigma terhadap diri mereka.

Selanjutnya, dengan tanpa mengurangi pentingnya arti pengawasan dan pengendalian atas perilaku para klien, maka perlu diciptakan adanya hubungan serasi antara petugas dan setiap klien, dengan maksud untuk memberi gambaran adanya kepercayaan dari lembaga atau panti terhadap para klien, agar dari dalam diri para klien itu sendiri timbul kemampuan dan kemauan yang tulus untuk dapat menarik penghargaan dari pihak lain atas dirinya, karena mereka telah merasa pantas untuk memperoleh penilaian demikian sebagai hasil atas usahanya, dalam melakukan pengendalian dan pengekangan atas diri pribadinya. Namun di dalam menciptakan hubungan yang demikian akrab tadi, tidak berarti melupakan batas-batas (boundaries) yang tetap harus nampak jelas untuk dapat membedakan atau pembimbing para klien.

Jika sekiranya dengan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan terhadap para gepeng yang tidak mampu memahami dan justru menyalahgunakan kelonggaran tersebut, maka perlu segera diambil langkah-langkah perbaikan demi keselamatan para klien itu sendiri. Dengan memperhatikan uraian-uraian tersebut diatas, dapat dinyatakan bahwa syarat utama untuk dapat terselenggara dengan baik suatu lembaga rehabilitasi akhir, ditentukan oleh ketetapan faktor manusianya sebagai pengemban-pengemban tugas dan ada atau tidaknya mekanisme kerja sebagi kelengkapan yang mendukung tugas tersebut.

Untuk penyelenggaraan seluruh program pembinaan dan pengentasan secara tuntas para gepeng, lebih diharapkan mereka-mereka yang dapat menciptakan hubungan yang hangat, akrab, bersahabat dan penuh kepekaan yang disadari oleh cara iklas untuk menghargai nilai-nilai kepribadian setiap individu klien. Tetapi sebaiknya mereka itu mampu pula menimbulkan dan meningkatkan kesadaran dan kesediaan klien untuk menunjukkan kepatuhan, ketaatan dan rasa hormat terhadap para pembimbing dan pembinanya. Biasanya hanya petugas-petugas yang mampu berbuat demikian inilah yang sanggup menjabarkan makna dari setiap ketentuan-ketentuan dan tatanan kehidupan rutin yang perlu diadakan guna menjamin terciptanya kesejahteraan bersama, yang kadang-kadang oleh sementara klien ditafsirkan sebagai cara pengucilan, pengurangan kebebasan dan bahkan kadang-kadang ditafsirkan sebagai penghukum atas diri mereka dan ini jelas tidak benar.

Perlu disadari bahwa segala uraian yang telah dipaparkan merupakan bahan-bahan yang sangat penting dan akan membantu suksesnya suatu penyelenggaraan konferensi kasus karena akan dapat diharapkan banyaknya data-data diagnostik sebagai bahan masukan. Untuk lebih jelasnya lagi, pada tulisan-tulisan berikut ini disajikan beberapa masalah penting yang turut berperan didalam mewarnai makna dan keberhasilan suatu Konferensi Kasus.

1. Diagnostic Study

Proses penerimaan harus disertai pula baik diagnostic study ataupun kelengkapan-kelengkapan materi (bahan-bahan catatan) yang diterima dari petugas razia pada saat klien itu dimasukkan. Pada awal kedatangan klien, segala informasi (data-data) tentang dirinya, hendaknya dibawa serta karena semua itu akan membantu petugas untuk lebih memahami problematik apa yang sedang disandang oleh klien tersebut dan merupakan alat bantu didalam menyusun perencanaan program pembinaan baginya.

Harus termasuk pula di dalam himpunan/kumpulan data informasi yang meliputi tentang aspek sosial, medik, psikologik, edukasional dan juga data-data personal yang dapat dikumpulkan atau diperoleh dari berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta yang telah mengirim klien tersebut ke dalam lembaga rehabilitasi yang bersangkutan. Data-data penting yang bersifat melengkapi perlu diperoleh melalui observasi yang dilakukan oleh para anggota staf panti yang bertugas menghadapi para gepeng pada saat penerimaan dan juga sebagai hasil interview dan observasi dari para staf profesional seperti medis, psikolog, pekerja sosial dan para anggota staf cottage, rohaniwan (guru agama), para pendidik atau pembimbing, para instruktur dan sebagainya.

Prosedur diagnostik awal biasanya memerlukan waktu tidak lebih dari 4 minggu untuk menyelenggarakan test-test dan interview dalam rangka mengumpulkan menyusun data-data latar belakang sosial (social history) dan juga untuk menyelenggarakan observasi dalam suasana yang santai tidak tegang melalui suatu program kegiatan yang khusus disusun dan diadakan untuk keperluan itu. Dengan dimungkinkannya melakukan pengamatan atas diri para klien melalui berbagai situasi baik pada waktu siang atau malam hari, para petugas asrama maupun pekerja sosial dan instruktur dapat memperoleh fakta-fakta yang berkenan dengan kepribadian dan kemampuannya (wewenang), sikapnya yang agresif atau sebaliknya mengasingkan diri (menyendiri), kerapian dan kebiasaan-kebiasaan lain.

Untuk menempatkan seseorang klien ke dalam program pembinaan panti, ketetapannya harus diambil melalui musyawarah di dalam suatu Konferensi Kasus. Di dalam KK ini seluruh staf yang terlibat dan berperan dalam kegiatan diagnostik hadir untuk menetapkan suatu formulasi hipotesa yang menyatakan mengapa seseorang klien berada dalam kesulitan, apa wujud dari pada sumber penyebabnya dan bagaimana cara terbaik untuk menolong yang bersangkutan agar dapat keluar dan melepaskan diri dari kesulitan tersebut.

Dalam rangka memenuhi apa yang telah diputuskan dalam KK yang berkenaan dengan bagaimana cara terbaik menolong klien untuk mampu melepaskan diri dari kesulitan yang ia hadapi itu, dalam KK tersebut perlu disusun suatu rumusan langkah-langkah yang biasanya disebut sebagai fomulasi pelayanan dan rehabilitasi. Rumusan langkah-langkah pembinaan yang telah disusun dalam KK ini hakekatnya merupakan suatu konsensus yang mengikat kedua belah pihak yakni termasuk penguasaan-penguasaan terhadap klien yang berhubungan dengan program harian didalam latihan kerja bimbingan mental dan fisik, bimbingan perseorangan dan kelompok serta hal-hal lain yang berkaitan dengan usaha meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab sosialnya yang diarahkan untuk menghadapi masa depannya yang penuh tantangan.

Disamping itu, rumusan-rumusan dalam formulasi pelayanan dan rehabilitasi juga merupakan suatu pedoman kerja yang jelas bagi para anggota staf dari tiap-tiap unit kerja di dalam rumusan-rumusan yang masih bersifat diagnostik, namun tidak berarti bahwa setiap petugas boleh melakukan perubahan-perubahan langkah-langkah menurut kemauan petugas itu sendiri tanpa konsultasi dengan pimpinan panti atau staf inti tim rehabilitasi KK. Hal ini dimaksudkan agar tidak kehilangan patokan di dalam memantau pelaksanaan program dan melaksanakan asesmen dan evaluasi atas data-data formulasi pelayanan dan rehabilitasi yang telah dirumuskannya.

Namun perlu dijelaskan di sini bahwa meskipun suatu rumusan formulasi pelayanan dan rehabilitasi itu disusun sedemikian pasti dan mengikat, tapi tidak berarti bahwa dalam proses pelaksanaannya tertutup sama sekali bagi kemungkinan adanya suatu keadaan terpaksa yang mengharuskan terjadi suatu penangguhan pelaksana, perubahan pointers pada formulasi atau pengguguran sama sekali atas salah satu rumusannya. Kondisi semacam ini yang disebut sebagai suatu force majeure yang dilakukan mendahului atau di luar keputusan KK dan keadaan demikian berlaku sementara, sambil menunggu penyelenggaraan KK berikutnya. Pada saat KK berikutnya, keadaan force majeure harus diajukan secara resmi ke dalam KK untuk memperoleh pengukuhan atau pembatalan.

Perlu ditekankan disini bahwa sesuai penyelengaraan Konferensi Kasus harus dibuatkan ringkasannya oleh anggota staf atau yang bertanggungjawab atas pelaksanaan program pembinaan klien tersebut. Ringkasan ini akan membantu mengingatkan yang bersangkutan untuk senantiasa sadar akan seluruh rencana pembinaan yang telah dirumuskan bagi klien.


2. Catatan Kasus (Case Record)

Setiap klien harus mempunyai file yang telah berisikan atau memuat data pribadi dan informasi-informasi tentang bimbingan dan pembinaan yang diberikan. Baik untuk file induk atau file pelayanan dan rehabilitasi, hendaknya memuat data-data informasi secara singkat tetapi lengkap karena akan merupakan sejarah kehidupan para klien sejak adanya pendekatan awal sampai ia diterima masuk untuk dibina melalui lembaga rehabilitasi . Hal-hal apa saja yang telah dilakukan bagi atau untuk dia selama ia berada di dalam lembaga rehabilitasi , mengapa hal itu dilakukan dan sampai dimana hasil-hasil kemajuan yang diperoleh harus tercatat di dalamnya. Cara pencatatan (recording) data-data diagnostik dan pengadaan semacam itu adalah sangat penting bagi suatu penyelenggaraan program perpantian. Case record hendaknya diakui dan diperlakukan sebagai suatu yang harus dirahasiakan namun harus senantiasa tersedia dan terbuka bagi para petugas yang layak mengetahui meskipun harus melalui prosedur atau saluran yang semestinya pula.

Selanjutnya disamping adanya catatan kasus (case record) untuk sesuatu lembaga rehabilitasi yang baik, harus pula menyelenggarakan penyususunan file pelayanan dan rehabilitasi sosial. Bagi suatu bundel atau file pelayanan dan rehabilitasi sosial yang lengkap pada umumnya mencakup :
a. Data pribadi klien.
b. Data isian menurut pengakuan klien (data awal).
c. Dokumen atau surat-surat lain dari instansi terkait lain.
d. Hasil-hasil telahaan diagnostik yang mencakup :
- Latar belakang sosial.
- Latar belakang sekolah/pendidikan.
- Latar belakang psikologis.
- Latar belakang kesehatan.
- Latar belakang keagamaan.
- Laporan petugas asrama dan sebagainya.
e. Ringkasan hasil-hasil Konferensi Kasus (KK), termasuk catatan-catatan mengenai rekomendasi langkah-langkah atau program pembinaan yang sering disebut sebagai formulasi pelayanan dan rehabilitasi sosial.
f. Kronologi catatan secara ringkas antar social case worker atau konselor yang ditunjuk sebagai pendamping klien.
g. Laporan oleh para anggota staf dari berbagai unit kerja/bagian yang dikemukakan pada musyawarah evaluasi.
h. Hasil-hasil musyawarah evaluasi termasuk laporan bulanan kemajuan dan perkembangan yang dicapai masing-masing klien pada setiap aspek pembinaan.
i. Catatan-catatan sekitar kunjungan, komunikasi dan surat-surat antara klien dengan pihak lain.
j. Perencanaan penempatan awal.
k. Ringkasan hasil (usul-usul rekomendasi) di dalam musyawarah penyaluran.
l. Laporan-laporan dan catatan-catatan atas pelaksanaan supervisi pada program pembinaan lanjut.
m. Catatan-catatan tentang usul-usul rekomendasi sekitar penetapan saat-saat terminasi.

Jika karena suatu hal kemudian menyebabkan pelaksanaan sepervisi atas program pembinaan lanjut (after care program) tidak bisa dilaksanakan oleh staf panti, maka semua catatan ringkas sekitar perubahan dan perkembangan klien, demikian juga semua data-data lain yang bersangkutan dengan klien tersebut harus diserahkan kepada lembaga atau petugas yang akan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pengawasan dan atau pembinaan lanjut terhadap klien yang bersangkutan. Kemudian, menciptakan hubungan antar petugas yang mempunyai kaitan dengan tanggung jawab atas diri klien sebelum saatnya terminasi tiba adalah sangat penting sekali artinya.


3. Staffing

File pelayanan dan rehabilitasi sosial akan selalu menyediakan data-data lengkap yang memungkinkan bagi para staf untuk melakukan tugas yang bersangkutan dengan pemeriksaan/tinjauan ulang secara periodik atas program pembinaan yang telah dan sekaligus mengambil kesimpulan sampai seberapa jauh pengaruh dari formulasi pembinaan tersebut terhadap perkembangan tiap-tiap klien. Tinjauan ulang seperti ini sebaiknya dilakukan oleh sekelompok tertentu dari staf panti yang biasanya dikenal sebagai panitia musyawarah pembahasan kasus (case conference committe) yang umumnya terdiri dari para tokoh kunci yang dilengkapi dengan para petugas yang terlibat langsung dengan pembinaan klien sehari-hari.

Tentang siapa-siapa diantara staf yang dipilih untuk mengikuti pertemuan KK ini ditentukan atau dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sangat diharapkan agar pada setiap pertemuan pembahasan kasus selalu dihadiri oleh para tenaga ahli atau tenaga-tenaga profesional. Hal ini dimaksudkan agar pengetahuan teknis yang mereka miliki dapat dicurahkan untuk menghadapi permasalahan yang memerlukan pemecahan.

Perlu ditegaskan di sini bahwa tidak semua anggota staf memiliki wewenang untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap program-program pembinaan klien. Akan tetapi jika diperlukan dapat ditetapkan adanya staf tertentu yang diberikan wewenang untuk melakukan perubahan-perubahan yang bersifat sementara berhubung adanya suatu keadaan darurat atau keterpaksaan yang dihadapi, sambil menunggu telaahan ulang secara administratif. Biasanya perubahan-perubahan semacam ini dilakukan oleh staf inti KK dan dilandasi oleh pendapat yang bersifat konsensus dari sekurang-kurangnya 3 orang staf inti KK atas dasar pertimbangan dan kompetensi profesionalnya.

Terhadap program pembinaan dan perkembangan penyelesaian bagi tiap-tiap siswa harus senantiasa dievaluasi kembali sekurang-kurangnya setiap tiga bulan sekali oleh tim inti Konferensi Kasus. Semua anggota staf yang tugasnya berhadapan langsung sehari-hari secara teratur sesuai dengan kebutuhannya, dapat diminta untuk hadir atau mengirimkan wakilnya atau bisa juga menyampaikan keterangan, penjelasan, laporan atau tanggapan secara tertulis pada sidang KK.

Sekurang-kurangnya sehari sebelum pelaksanaan sidang KK maka ringkasan kasus yang hendak dibahas, sudah disiapkan oleh staf unit atau staf rehabilitasi yang bertanggung jawab atas klien yang kasusnya hendak dipertimbangkan dan sudah diterima oleh para anggota tim ahli (profesional) atau semua anggota tim rehabilitasi yang dilibatkan. Setiap peserta Konferensi Kasus ini diminta berdasarkan segi pandang ilmiah dan bidang kompetensinya yang dapat mereka sumbangkan. Dalam kesempatan ini, setiap fakta dan data perkembangan yang berkaitan dengan klien yang kasusnya sedang dibahas yang diketahui atau detemukan oleh staf, wajib dikemukakan di dalam sidang KK ini.

Dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi (bahan keterangan/laporan-laporan) dari berbagai pihak seperti ini, seringkali memberikan gambaran yang berbeda tentang seorang klien dari gambaran yang sebagaimana biasanya telah di ketahui atau diperoleh sebelumnya oleh seorang petugas. Kelompok kerja terpadu semacam ini, terutama yang berhubungan dengan perencanaan program, jelas akan memberikan beberapa keuntungan, misalnya :
a. Dapat terwujud adanya suatu perkembangan atas rencana pembinaan bagi setiap klien secara individual yang lebih mantap, terkoordinasi dan tuntas.
b. Akan lebih memantapkan kesadaran dan kepuasan pada setiap anggota staf yang terlibat di dalamnya karena adanya perasaan ia merupakan bagian dari unit kerja yang telah ikut menyumbangkan sesuatu bagi terwujudnya kesejahteraan klien.

Adalah penting untuk diperhatikan bahwa agar setiap anggota staf yang diharapkan akan ambil bagian di dalam KK ini benar-benar siap dan dilengkapi dengan bahan-bahan tertulis mereka. Petugas telah mengenali setiap klien yang kasusnya akan dipertimbangkan. Dalam hal waktu penyelenggaraan KK secara teratur untuk suatu instansi yang ingin diketahui telah berjalan dengan baik, seyogyanya telah mampu mengatur dan menetapkan jadwal KK secara tetap. Namun pengaturan jadwal tersebut hendaknya tetap memperhatikan adanya faktor-faktor yang muncul di luar perhitungan. Artinya bahwa jika ada hal-hal yang sangat mendesak, masih dimungkinkan diselenggarakan KK di luar jadwal yang pasti, meskipun harus ada prosedur khusus yang mengatur hal ini, dimaksudkan untuk menjamin tidak akan ada seorangpun yang dapat lolos dari perhatian staf termasuk di dalamnya kegiatan penelitian dan evaluasi periode terhadap klien (terutama pada saat intake, diagnostik, masa-masa pembinaan dan bimbingan lanjut) sebagai bagian dari pada tugas-tugas pelayanan dan rehabilitasi bisa terabaikan.


E. Kesimpulan

Dari seluruh permasalahan yang telah tertuang di dalam materi latihan yang memuat pembahasan sekitar penyelenggaraan Konferensi Kasus ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Dalam suatu Konferensi Kasus terdapat pengertian ganda yakni : Konferensi Kasus sebagai lembaga dan Konferensi Kasus sebagai suatu wujud kegiatan operasional.
2. Sebagai lembaga (sub sistem), Konferensi Kasus merupakan forum berkumpulnya para tenaga ahli atau tenaga profesional yang berfungsi sebagai pendamping dan pembantu pimpinan panti didalam mengemban tanggung jawab atas suksesnya penyelenggaraan dari lembaga yang dipimpinnya.
3. Sebagai wujud kegiatan operasional, Konferensi Kasus berperan penting sebagai perencana, penentu, penilai dan konsultan, baik bagi para anggota pelaksana, bentuk programnya, maupun bagi klien.
4. Dengan kenyataan tersebut, maka penyelenggaraan suatu konferensi Kasus dan keberadaannya didalam suatu lembaga rehabilitasi adalah mutlak perlu.
5. Konferensi Kasus pada akhirnya merupakan suatu forum keterpaduan yang integratif yang membantu Pimpinan Panti serta stafnya dalam mempertanggungjawabkan segala penyelenggaraan program secara baik dan ilmiah.














SUPERVISI



A. Pengertian

Supervisi adalah suatu proses bimbingan kerja di antara pekerja sosial dan supervisor untuk mencapai tujuan organisasi dan tujuan profesional demi tercapainya kemampuan, kepercayaan dan penguatan dukungan pelaksanaan kegiatan.


B. Tujuan

1. Untuk menjamin pekerja mendapat kejelasan mengenai tugas- tugas dan tanggung jawabnya.
2. Untuk memprtemukan pekerja dengan tujuan panti.
3. Untuk menjamin kualitas pelayanan terhadap klien.
4. Untuk menciptakan suasana kerja dengan baik.
5. Untuk membantu mengembangkan profesionalitas.
6. Untuk menurunkan stres di kalangan pekerja.
7. Untuk menjamin para pekerja mendapatkan sumber yang dibutuhkan.


C. Manfaat

1. Bagi lembaga
Dapat dijadikan bahan bagi pengembangan program kegiatan, melalui pengkajian dan penelaahan secara mendalam tentang kemampuan kerja pekerja sosial, bentuk-bentuk kegiatan, kemampuan supervisor maupun keberhasilan terhadap pelayanan klien. Menciptakan suasana kerja yang saling mendukung, saling mempelajari dan saling meluruskan antara pekerja sosial dengan supervisor, pekerja sosial dengan klien, supervisor dengan pimpinan panti untuk mewujudkan pelayan sosial yang efektif.

2. Bagi pekerja sosial
Dapat dijadikan bahan bagi upaya pengembangan kompetensi, pengetahuan maupun keterampilan dalam memberikan pelayanan maupun pemecahan masalah klien.






D. Sasaran

Sasaran kegiatan supervisi adalah :
1. Supervisor dengan kompetensi menguasai progam utama panti dan proses pelayanan melalui pendekatan praktek pekerjaan sosial.
2. Personil panti dengan kompetensi menguasai program pelayanan yang ditawarkan berdasarkan kondisi permasalahan klien, metode praktek pekerja sosial, penguasaan pokok pada kebijakan panti, program dan analisis potensi SDM yang dimiliki.


E. Prinsip-Prinsip Supervisi

1. Selalu mengutamakan kepentingan klien.
2. Mengemban mandat kebijakan panti.
3. Seluruh staf memerlukan supervisi, supervisi adalah suatu keharusan dan bukan hanya sekedar kemewahan.
4. Merupakan suatu bagian tanggungjawab.
5. Berdasarkan pada suatu hasil negosiasi dan kesepakatan.
6. Dilaksanakan secara teratur dan tidak terputus-putus.
7. Supervisi meliputi aspek-aspek manajemen, pengembangan, mediasi, dan dukungan.
8. Supervisi harus meningkatkan kemampuan, akuntabilitas dan keberdayagunaan suatu praktek pertolongan pekerjaan sosial.
9. Supervisi mempromosikan praktek-praktek anti diskriminasi.
10. Supervisi didasarkan pada prinsip pembelajaran orang dewasa.


F. Fungsi Supervisi

1. Fungsi administrasi, yang meliputi pandangan tentang peran, perencanaan dan pemberian tugas, asesmen dan evaluasi mengenai pekerjaan dan tanggungjawab pekerja sosial.
2. Fungsi pendidikan, supervisor mempunyai tanggung jawab untuk meningkatkan wawasan dan dan pengetahuan pekerja sosial mengenai konsep-konsep dan teori-teori pekerjaan sosial agar mereka memiliki bekal yang cukup untuk melaksanakan asesmen dan pemilihan metode serta teknik pemecahan masalah yang tepat dan meningkatkan keterampilan pekerja sosial dalam melakukan tugas-tugas pertolongan.
3. Fungsi dukungan pribadi, berkaitan dengan kewajiban supervisor untuk selalu siap dan sigap dalam memberikan pertolongan kepada pekerja sosial untuk mengatasi kesulitan-kesulitan pribadi yang dialaminya yang mungkin akan mempengaruhi relasi pertolongan yang sedang dilakukannya.




G. Kategori Tugas-Tugas Supervisor

1. Melaksanakan manajemen administrasi yang berkaitan dengan peran, perencanaan, pemberian tugas, asesmen, dan evaluasi, mengenai pekerjaan serta tanggung jawab dan pertanggungjawaban pekerjaan sosial.
2. Melaksanakan proses pendidikan bagi pekerja sosial dalam upaya meningkatkan wawasan dan pengetahuan pekerja sosial mengenai konsep-konsep serta teori pekerjaan sosial sebagai bekal untuk pelaksanaan asesmen, pemilihan metode dan teknik pemecahan masalah, serta meningkatkan keterampilan pekerja soaial dalam melakukan tugas-tugas pertolongan.
3. Menyusun perencanaan yang matang sebagai dukungan dalam upaya memberikan pertolongan kepada pekerja soial yang mengalami hambatan pribadi agar kelancaran relasi pertolongan tetap dapat dilaksanakan.


H. Standar Supervisi Pekerjaan Sosial

1. Standar Organisasi
a. Supervisi dapat menemukan kebutuhan-kebutuhan dalam organisasi untuk kepentingan administrasi pendidikan dan dukungan supervisi.
b. Pelaksanaan tugas pekerjaan sosial memerlukan tanggung jawab supervisi agar pelayanan dapat dipertanggungjawabkan dan berwibawa.
c. Lembaga dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan supervisor dalam kegiatan supervisi.
d. Lembaga dapat mengembangkan mekanisme yang tepat yang dapat memperkirakan dan mengantisipasi situasi dimana supervisor dengan supervisee sulit berhubungan.

2. Pedoman Supervisor
a. Supervisor perlu memiliki pengalaman sebagai pekerja sosial minimal 3 tahun keahlian praktek, berminat dan relavan dalam praktek lapangan.
b. Supervisor perlu memiliki latar belakang/pengalaman praktek supervisi pekerjaan sosial dan mengikuti beberapa pelatihan supervisi peksos.
c. Memiliki cukup pengalaman praktek pekerja sosial dalam bidang pelayanan tertentu.

3. Pedoman minimum supervisi pada tingkat keahlian yang berbeda
a. Bentuk supervisi bergantung pada karakteristik lembaga dan situasi praktek. Sebagai contoh supervisi yang digunakan pada kelompok memfokuskan pada pratek yang khusus pada supervisi ukuran kelompok dan lamanya waktu yang harus digunakan minimal 1 jam dalam seminggu.
b. Pekerja sosial dengan pengalaman 3 tahun atau lebih dalam 2 minggu dapat melakukan kegiatan supervisi individu minimal 1 jam. Pengalaman pekerja sosial juga dibutuhkan disamping hak-haknya dalam mencapai tujuannya dan juga dapat menggunakan teman sejawatnya untuk konsultasi serta memberikan pandangan terhadap hasil kerjanya. Supervisi akan lebih efektif apabila pihak-pihak yang bersangkutan (supervisee dan supervisor) mempunyai batasan selain kemampuan yang ada pada dirinya.

4. Peranan Supervisor
a. Pengetahuan tentang fungsi lembaga, kebijakan-kebijakan, sumber dari suatu hal yang sifatnya memaksa.
b. Pengambilan keputusan yang profesional dengan mempertimbangkan resiko, kebutuhan-kebutuhan dan penggunaan sumber-sumber pelayanan.
c. Pengetahuan tentang tingkah laku manusia.
d. Kemampuan untuk menggunakan kewenangan dan mengetahui perbedaan serta sumber-sumber kewenangan dan kekuasaan.
e. Menghargai proses perubahan individu dan organisasi yang menyangkut kemampuan untuk bekerja dalam proses ini.
f. Pemahaman tentang proses pengamatan khususnya pandangan mengenai kecemasan dan prasangka.

5. Keterampilan yang dimiliki supervisor
a. Kesadaran diri merupakan suatu kemampuan dasar yang dipersyaratkan oleh seorang supervisor untuk dapat menjalankan perannya dalam menjalankan tugas yang dihadapkan pada berbagai situasi yang berbeda-beda. Faktor yang perlu disadari diantaranya jenis kelamin, ras etnik, pendidikan dan sebagainya yang memungkinkan munculnya motif-motif pribadi yang tidak sejalan dengan tuntutan profesional.
b. Keterampilan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar merupakan tugas supervisor sebagai langkah untuk memberikan penguatan kepada pekerja sosial. Ia perlu memiliki keterampilan dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar yang didasarkan prinsip pembelajaran orang dewasa, dengan cakupan pada materi pekerjaan sosial, teknik dan metode pertolongan serta pengetahuan lain yang berkaitan dengan proses analisis permasalahan dan pemecahannya.
c. Keterampilan dalam kepemimpinan merupakan bagian penting yang perlu dimiliki supervisor sebagai pimpinan dengan menciptakan, mewujudkan kesetaraan dengan pekerja sosial, menyusun struktur serta menentukan peranan-peranan sub ordinat mereka untuk mencapai tujuan, dengan menerapkan model kepemimpinan instruksional, kolaborasi dukungan penguatan bagi pekerja yang dilatih.

6. Langkah-langkah dalam supervisi
a. Mempelajari rencana kerja panti khususnya rencana pelayanan bagi klien.
b. Pengumpulan data dan penyusunan peta kekuatan untuk tenaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.
c. Pengumpulan data dan informasi tentang klien/kelompok klien yang akan dibina.
d. Penyiapan bahan dan kerangka acuan bagi kegiatan program, mengacu pada jenis permasalahan dan bentuk pelayanan yang disepakati.
e. Melaksanakan kegiatan perkenalan dan membangun relasi antara supervisor dengan pekerja sosial.
f. Membangun kesepakatan dan kepercayaan antara pihak supervisor dengan pekerja sosial untuk saling aktif dan mendukung dalam usaha mencari alternatif dalam upaya mencari alternatif pelayanan yang terbaik.
g. Menerapkan metode dan strategi pelayanan untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh klien.
h. Memberi penguatan pengetahuan dan keterampilan untuk dapat mendeteksi secara dini permasalahan klien serta mencari bahan dan rujukan yang tepat.

7. Pelaksana
Pelaksana utama dari kegiatan supervisi ini adalah supervisor dan pekerja sosial dengan kordinator kegiatan, tenaga ahli lain sebagai partner yang di dukung pengelola panti. Bila di butuhkan, kegiatan ini merupakan kolaborasi dengan tenaga ahli lain yang berhubungan dengan jenis pelayanan maupun permasalahan yang dialami klien.

























RUJUKAN



Rujukan dalam penanganan gelandangan dan pengemis adalah proses untuk membantu gepeng dan keluarganya memperoleh simber-sumber yang dibutuhkan secara optimal. Gepeng kemungkinan dirujuk kepada institusi atau pelayanan lain yang tidak dapat di berikan oleh pekerja sosial maupun panti sosial.

Proses rujukan mencakup tiga kegiatan utama yaitu :

1. Pemberian informasi
Pekerja sosial dapat mengindentifikasi, menginterprestasikan atau meminta perhatian lembaga-lembaga yang menyediakan pelayanan yang dibutuhkan gepeng dan keluarganya. Berdasarkan hal itu, pekerja sosial kemudian memberikan informasi pada gepeng atau keluarganya yang membutuhkan.
2. Memberikan bantuan langsung dalam memperoleh akses terhadap sumber-sumber sosial
Hal ini meliputi kegiatan pekerja sosial mengontak berbagai lembaga untuk mengklarifikasi sifat dan jenis pelayanan yang tersediadi lembaga tersebut, eligibilitasnya serta permohonan pelayanan untuk gepeng yang akan di rujuk. Bila diperlukan, pekerja sosial perlu mengisi berbagai formulir dan mengirim berkas rujukan, persyaratan/eligibilitas dan prosedur dari lembaga yang akan menerima rujukan untuk diinformasikan kepada klien. Gepeng harus sudah mulai dikenalkan dengan lembaga baru yang akan membantu gepeng tersebut.
3. Advokasi kasus
Kegiatan ini mencakup mengupayakan adanya perhatian dari masyarakat atau lembaga pelayanan kesejahteraan sosial tentang tidak terpenuhinya kebutuhan Gepeng. Tujuan lainnya adalah mengoreksi ketidakadilan atau melindungi gepeng dari pelanggaran hak-haknya. Kegiatan ini harus dibedakan dari reformasi sosial atau advokasi kebijakan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat umum atau mengatasi masalah populasi tertentu.

Untuk dapat melakukan rujukan, pekerja sosial perlu memperhatikan prinsisp-prinsip berikut :

a. Keputusan untuk memanfaatkan sumber dalam masyarakat harus merupakan keputusan bersama antara pekerja sosial dengan gepeng.
b. Pekerja sosial sebaiknya terlebih dahulu memanfaatkan sumber-sumber informasi sebelum sumber-sumber formal.
c. Keputusan pekerja sosial untuk memanfaatkan sumber-sumber lain harus melalui pengkajian yang mendalam terhadap lembaga pelayanan atau sistem lainnya yang akan dilibatkan. Hal ini penting dilakukan untuk menentukan sumber yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan gepeng dan keluarganya.
d. Rujukan seharusnya tidak dibuat secara “apa adanya“ dan tanpa dasar, sehingga kemungkinan gepeng ditolak oleh lembaga yang dirujuk cukup tinggi.
e. Gepeng, keluarga dan orang-orang yang terkait dengan klien (significant other) perlu di persiapkan sebaik mungkin, sehingga mereka dapat memenuhi apa yang diharapkan dari proses rujukan, sebagaimana memanfaatkan sumber yang baru, termasuk kemungkinan mereka mengalami kekecewaan.
f. Bantuan yang diberikan pekerja sosial pada gepeng yang akan dirujuk harus didasarkan pada perhitungan yang cermat tentang kemampuan gepeng tersebut untuk bertanggung jawab dan melaksanakan tugas-tugas rujukan.
g. Proses rujukan dan membantu klien untuk menggunakan sumber-sumber dalam masyarakat harus memberikan pengalaman berharga bagi gepeng.
h. Gepeng yang dirujuk perlu mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
i. Rujukan perlu ditindak lajuti untuk mengevaluasi dan menjamin keberlangsungan pelayanan yang dibutuhkan gepeng maupun keluarganya.
j. Apabila sumber-sumber dalam masyarakat tidak tersedia, pekerja sosial perlu membantu gepeng untuk mengatasinya dengan mencari penanganan yang terbaik. Gepeng harus dibantu untuk memahami bahwa ketiadaan sumber tersebut bukan merupakan kesalahannya.




























PENGENDALIAN


A. Pengendalian merupakan suatu cara untuk mengamati proses pelayanan, sehingga dapat dengan tepat menemukan kesalahan-kesalahan proses pelayanan, membuat tindakan alternatif dan menentukan rencana pelayanan berikutnya. Pengendalian dapat dilakukan dengan memperhatikan telaahan berdasarkan monitoring, pencatatan, penilaian dan pelaporan.

B. Monitoring

1. Monitoring merupakan kegiatan observasi terhadap pelaksanaan seluruh proses pelayanan dimulai dari kontak pertama antara pekerja sosial dengan klien sampai pada tahap akhir pelayanan.
2. Monitoring diperlukan sebagai upaya mengamati penampilan kerja pekerja sosial dalam melaksanakan pelayanan terhadap klien.
3. Monitoring bermanfaat bagi upaya perbaikan terhadap proses pelayanan sehingga tidak salah arah dan ketercapaian pada tujuan tetap dijaga.
4. Monitoring dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu, diantaranya catatan, tape recorder, video kamera, kamera, permaianan peran, ikut serta dengan pekerja sosial (sitting in), sebagai sistem pekerja sosial (co-worker), pengamatan melalui kaca tidak tembus pandang (one way mirror), hand phone tanpa kabel dan lainnya, yang penggunaannya mempertimbangkan ketersediaan peralatan dan keefektifan sehingga tidak mengganggu proses pelayanan.
5. Monitoring menguatkan kelanjutan proses relasi pertolongan pada klien.


C. Pencatatan

1. Pencatatan dalam supervisi penting dilakukan karena pencatatan yang baik menunjukan keefektifan pelayanan.
2. Pencatatan dalam supervisi dilakukan dengan memperhatikan bentuk dan proses, sesuai dengan jenis permasalahan dan jenis pelayanan yang diberikan.
3. Pencatatan supervisi di PSBK murujuk pada pengembangan dan penguraian pertimbangan-pertimbangan tertulis tentang :
a. Mengapa suatu pelayanan diminta dan disediakan ?
b. Apa, bilamana dan bagaimana pelayanan itu dilaksanakan ?
c. Bagaimana karakteristik klien ?
d. Bagaimana proses wawancara dilaksanakan ?
e. Materi pembicaraan apa yang terjadi dalam pelayanan ?
f. Hambatan apa yang terjadi dalam pelayanan ?
g. Bagaimana rencana kerja di masa mendatang/terminasi ?

4. Pencatatan (catatan kasus) merupakan :
a. Dokumentasi yang memberi gambaran tentang hakekat keterlibatan pekerja sosial dengan klien yang sedang berlangsung.
b. Sebagai bahan tindak lanjut bagi pekerja sosial pengganti bila pekerja sosial yang ditugasi berhalangan.
c. Bahan kajian bagi pemberi dana tentang proses penanganan klien , kemajuan klien maupun hambatan sehingga ada tindak lanjut pendanaan.
d. Digunakan untuk menentukan kualitas dan kuantitas pelayanan yang dipilih supaya selaras.
e. Sebagai arsip data statistik secara rutin untuk menunjukan permintaan-permintaan dan laporan jenis pelayanan yang diberikan dan hasil-hasilnya.
f. Bahan bagi supervisor untuk mengikuti perkembangan kegiatan pekerja sosial, jenis dan kualitas pelayanan yang diberikan pekerja sosial yang disupervisi sehingga ada tindak lanjut bagi perkembangan kemampuan keterampilan pekerja sosial.
g. Pencatatan sebagai alat penyembuhan bagi klien.

5. Pencatatan sangat berkaitan dengan isi pencatatan ringkas dan penerapannya sangat bergantung pada jenis masalah dan jenis pelayanan :
a. Nama Klien.
b. Nomor Register.
c. Tanggal Wawancara.
d. Tanggal pencatatan dilakukan.
e. Nama Pekerja Sosial.
f. Tujuan Interview.
g. Isi apa yang terjadi selama wawancara.
h. Gambaran tahap masalah yang dapat diidentifikasi oleh pekerja sosial.
i. Telaah mendalam dari pekerja sosial tentang arti dan apa yang terjadi selama wawancara.
j. Rencana-rencana (tujuan, penyembuhan) untuk kontak selanjutnya (rencana pelayanan, rencana penyembuhan).
k. Riwayat kasus.
1) Identitas :
Nama :
Usia :
Pendidikan :
dst.
2) Tanggal, alasan dan sumber rujukan
- Kapan dirujuk ?
- Siapa yang merujuk ?
- Mengapa dirujuk ?



3) Situasi medis
- Bagaimana kondisi fisiknya ?
- Apa diagnosa dokter ?
- Bagaimana pengaruh kondisi fisik terhadap kemampuan diri (dapatkah berjalan, gelisah, bingung, dll) ?
- Bagaimana kemungkinan untuk sembuh dengan metode apa penyembuhanya ?
4) Situasi Keluarga
Apakah klien mempunyai keluarga atau teman dekat ?
5) Penyaluran kehidupan rumah tangga
- Fasilitas yang dimiliki.
- Penghuni dalam satu tempat tinggal.
- Hubungan antar penghuni.
6) Keadaan ekonomi
- Sumber dan jumblah penghasilan.
- Pengeluaran.
- Pemenuhan kebutuhan.
- Bahan yang pernah diterima.


























EVALUASI DAN PELAPORAN



EVALUASI

A. Pengertian

Evaluasi adalah serangkaian proses pengukuran, penilaian dan perbandingan terhadap hasil pelaksanaan program kegiatan yang dicapai secara riil dengan hasil yang seharusnya dicapai sesuai dengan terget/rencana yang telah ditetapkan.


B. Tujuan
Terciptanya tujuan organisasi/pelayanan secara berdayaguna dan berhasil guna (efisien dan efektif) dengan mencegah secara dini terjadinya penyimpangan-penyimpangan serta untuk memperbaiki apabila terjadi penyimpangan sejak tahap persiapan, pelaksana dan selesainya proses rehabilitasi sosial.


C. Prosedur Evaluasi

1. Menetapkan tujuan.
2. Membuat alat ukur.
3. Membuat beseline data.
4. Melaksanakan intervensi dan melanjutkan monitoring.
5. Menilai perubahan yang terjadi.
6. Menyimpulkan efektifitas.


D. Validitas dan reabilitasi alat ukur

1. Validitas mengacu kepada sejauh mana alat ukur dapat mengikur apa yang seharusnya diukur.
2. Reabilitas, sejauh mana alat ukur memberi konsitensi dan akurasi.


E. Pencatatan Hasil Evaluasi

1. Mencatat setiap perubahan/perkembangan klien.
2. Memantau perilaku baik positif maupun negatif.



F. Pelaporan Hasil Evaluasi
Melaporkan hasil evaluasi kepada atasan. Merupakan kegiatan pertanggungjawaban pelaksanaan penugasan staf, sebagai kegiatan pertanggungjawaban penugasan atau totalitas gerak pelaksanaan bimbingan.








































PELAPORAN

A. Pengertian

Laporan adalah kegiatan memberi pesan tentang bahan keterangan yang mempunyai arti sebagai alat kontrol dan wujud komunikasi. Laporan perlu didasarkan pada fakta. Adapun pelaporan mengandung pengertian sebagai berikut :
1. Kegiatan menyusun dan menyampaikan bahan keterangan (orang, benda, peristiwa, keadaan dengan segala atributnya) tentang segala proses penyelenggaraan dan perkembangan kegiatan pelayanan.
2. Alat penyampaian informasi dari seorang petugas kepada petugas/pejabat lain dalam satu sistem adsminitrasi.
3. Kegiatan menyusun dan menyampaikan informasi tentang segala proses penyelenggaraan dan perkembangan usaha pelayanan.


B. Tujuan

1. Memberi gambaran kemajuan pelaksanaan program.
2. Membantu komunikasi pekerja sosial dengan pihak lain.
3. Sebagai alat untuk menciptakan dan membicarakan kontak-kontak dengan klien.


C. Fungsi

1. Pertanggungjawaban dan pengawasan.
a. Pertanggungjawaban bawahan ke atasan.
b. Pengawasan atasan ke bawahan.
2. Penyampaian informasi; pelaporan sebagai sumber informasi bagi atasan.
3. Bahan pengambilan keputusn; laporan dapat di jadikan sumber informasi bagi pengambilan keputusan.


D. Manfaat
1. Merupakan alat adsminitrasi; sebagai dokumentasi yang memberikan gambaran tentang :
a. Hal-hal yang telah di lakukan oleh lembaga.
b. Tingkat keberhasilan kegiatan yang di lakukan oleh lembaga sosial/organisasi.
c. Sebagai tokoh ukur tingkat kemampuan pekerjaan sosial di organisasi/lembaga sosial.
d. Kualitas pekerjaan yang di lakukan oleh organisasi/lembaga sosial.


2. Merupakan alat untuk memberikan bantuan :
a. Untuk perencanaan pemberian bantuan yang akan di berikan kepada klien.
b. Sebagai pedoman cara pelaksanaan pemberian bantuan.
c. Sebagai alat komunikasi antara pekerja sosial dengan supervisor dan lembaga.


E. Syarat-Syarat Pelaporan

1. Laporan harus benar dan objektif; benar sesuai dengan data dan objektif tanpa di pengaruhi oleh kepentingan tertentu.
2. Laporan harus lengkap, maksudnya meliputi segala segi kegiatan dengan kelengkapan data dan informasi.
3. Laporan harus jelas dan cermat.
4. Laporan harus langsung mengenai sasaran, singkat, padat, dan jelas.
5. Laporan harus tegas dan konsisten, maksudnya; tegas adalah yakin akan kebenarannya dan konsisten berarti harus tetap dalam keadaan dan situasi apapun.
6. Laporan harus tepat waktu.


F. Bentuk Pelaporan

1. Laporan proses, yaitu laporan yang berisi hasil interaksi antara pekerja sosial dengan klien sampai hal-hal yang sedetilnya (verbal dan non verbal).
Kegunaannya adalah :
a. Sebagai dasar untuk menentukan inti masalah/diagnosa dan rencana bantuan.
b. Untuk mengetahui peristiwa khusus pada suatu waktu tertentu dari kehidupan klien.
c. Sebagai alat supervisi.
d. Sebagai alat pelajaran.
2. Laporan proses ringkas, yaitu laporan proses yang dibuat/disusun secara komprehensif.
3. Laporan ringkas, yaitu laporan yang terdiri dari ringkasan beberapa laporan, catatan atau hasil wawancara dalam jangka waktu tertentu. Kegunaanya adalah :
a. Untuk melimpahkan dari seorang pekerja sosial/lembaga lain.
b. Untuk mengetahui garis besar kasus yang sedang dihadapi atau harus diselesaikan selanjutnya.
c. Untuk membuat kesimpulan, bila suatu kegiatan harus diselesaikan.
4. Laporan diagnostik, dalam laporan ini di gambarkan asal usul tentang diri klien; latar belakang masalah dan kondisinya saat bertemu dengan pekerja sosial. Kegunaanya adalah :
a. Memberi bantuan kepada klien sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya.
b. Sumber keterangan mengenai kesulitan klien.
c. Menyusun atau merencanakan cara kerja baru dalam proses penanganan klien.

G. Isi Laporan

Penulisan tentang kasus dari permulaan, sejak proses penerimaan sampai keadaan berakhir, yang meliputi :
1. Pertanggungjawaban yang telah diberikan oleh organisasi/lembaga tentang pelayanan yang diberikan.
2. Pertanggungjawaban tentang pelaksanaan kegiatan/proses pelayanan.
3. Ketepatan bantuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan klien.
4. Keterangan indentitas klien.
5. Keterangan-keterangan yang dapat dimanfaatkan guna merencanakan pemberian bantuan.
6. Keterangan-keterangan yang memuat nilai-nilai diagnostik, artinya : keterangan-keterangan tersebut untuk memberi gambaran yang lebih jelas dan baik tentang sebab-sebab kesulitan yang dihadapi klien pada masa lalu dan sekarang.



H. Jenis Laporan

1. Laporan berkala yaitu laporan periodik dalam jangka waktu tertentu seperti mingguan, bulanan, dst.
2. Laporan insidentil, laporan yang di sampaikan di luar waktu yang telah ditentukan, biasanya bersifat kejadian yang insidentil/tiba-tiba atau laporan yang keperluannya sangat mendesak.



















SESI 1-3 : PENERIMAAN







































PENJANGKAUAN


A. Pengertian

Penjangkauan adalah kegiatan kunjungan pekerja sosial panti ke kantong-kantong gepeng untuk menjangkau gepeng sebagai upaya menciptakan kontak pendahuluan dan persahabatan dengan mereka.


B. Tujuan

1. Memperoleh dan memahami kondisi tempat/kantong-kantong gepeng sebagai wilayah binaan.
2. Mendapatkan gepeng yang akan di bina.
3. Memperoleh kepercayaan dari gepeng.


C. Kriteria Sasaran dan Lokasi Binaan
1. Sasaran gepeng : jumlah gepeng yang dijangkau adalah sesuai jumlah gepeng di lokasi sasaran.
2. Sasaran lokasi :
a. Lokasi yang diduga banyak terdapat gepeng dan beresiko pada kehidupan mereka.
b. Lokasi keramaian yakni terminal, stasiun, pasar, taman jalan raya, persimpangan jalan, mal-mal, dan lain sebagainya.
c. Lokasi di lingkungan pertokoan/rel kereta api dan tempat sampah.
d. Jumlah lokasi calon binaan disesuaikan dengan kemampuan dan daya jangkau panti.


D. Pelaksana

Pekerja sosial


E. Metode

1. Perkawanan, yakni menciptakan hubungan perkawanan dan saling mempercayai antara gepeng dengan pekerja sosial.
2. Gepeng ke gepeng, yakni mengembangkan dan memperluas jangkauan dari eks gepeng ke gepeng.
3. Konseling, yakni memberikan informasi dan bimbingan.
4. Pendampingan, yakni mendampingi gepeng saat belajar dan kerja.
5. Petugas mengadakan kunjungan ke lokasi untuk memotivasi.


F. Waktu dan Frekuensi

1. Penjangkauan dilaksanakan pada 1 bulan pertama.
2. Frekuensi penjangkauan adalah 1 kali seminggu.
3. Rentang waktu pada penjangkauan adalah pagi, siang, sore, malam sampai pagi hari sesuai pola kehidupan gepeng .


G. Alat Bantu

1. Surat tugas.
2. Kamera.
3. Tape recorder.
4. Alat permainan, buku, makanan seperlunya.
5. Catatan proses.


H. Langkah-langkah

1. Pertemuan untuk menentukan calon lokasi binaan.
2. Pembuat peta lokasi/wilayah binaan.
3. Mempersiapkan masukan (input).
4. Melaporkan pada instansi terkait yang berada di lokasi.
5. Mengadakan pendekatan orang-orang yang berpengaruh di jalan.
6. Mengadakan pendekatan kepada gepeng dan menciptakan hubungan perkawanan.
7. Membentuk kelompok-kelompok gepeng.
8. Memperkenalkan dan mengajak gepeng ke Panti/PSBK.
9. Mencatat berbagai situasi dan kejadian.
10. Membuat laporan.











M O T I V A S I


A. Pengertian

1. Motivasi ialah kegiatan pengenalan program kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial untuk menumbuhkan kemauan/keinginan dan semangat untuk menjadi klien pelayanan.
2. Motivasi dimaksudkan guna terciptanya kelancaran pelaksanaan kegiatan operasional terutama dalam rangka mendapatkan calon klien yang mempunyai kesadaran untuk memperbaiki kualitas hidupnya, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.


B. Tujuan

Motivasi adalah menumbuhkan dan mendorong kemauan serta kemampuan calon klien, hasil penetapan indetifikasi untuk mengikuti program pelayanan.


C. Sasaran

1. Tumbuhnya kesediaan para calon klien untuk memperoleh pelayanan kesejahteraan sosial.
2. Tumbuhnya peran serta keluarga dan lingkungan sosialnya dalam menunjang keberhasilan pelayanan kesejahteraan sosial, khususnya bidang rehabilitasi gepeng.
3. Tumbuhnya hubungan instansi pemerintah dan organisasi sosial masyarakat yang baik guna menunjang keberhasilan program penyantunan.


D. Pelaksanaan

Tenaga Pelaksana yaitu : Petugas Fungsional panti, petugas Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota.


E. Metoda dan Materi Kegiatan

1. Pertemuan tatap muka baik secara individual maupun kelompok dengan mempergunakan bahan-bahan tertulis, gambar, alat peraga dan sebagainya.
2. Penyuluhan dan bimbingan sosial secara massal dengan mempergunakan media massa, media elektronik dan forum-forum lainnya.
3. Menyampaikan informasi dan atau pengarahan kepada calon klien tentang maksud dan tujuan pemerintah/Kementerian Sosial dalam usaha mewujudkan kesejahteraan sosial bagi para penyandang masalah gepeng.
4. Menyampaikan informasi tentang program penyantunan bagi para gepeng serta manfaatnya dan keuntungannya bagi mereka yang mengikuti program tersebut.
5. Memberikan dorongan kepada para calon klien untuk mengikuti program penyantunan, guna memperbaiki tata kehidupan dan penghidupan sesuai dengan norma masyarakat yang berlaku.
6. Menyampaikan hasil motivasi kepada atasan langsung.



































SELEKSI

A. Pengertian

1. Seleksi ialah kegiatan pengelompokan/klasifikasi penyandang masalah kesejahteraan sosial terutama yang sudah dimotivasi, untuk menentukan siapa yang memenuhi persyaratan dan siapa yang tidak dapat diterima menjadi calon klien.
2. Seleksi dimaksudkan, untuk menentukan calon klien defenitif diantara para calon klien hasil kegiatan motivasi.


B. Tujuan

Seleksi bertujuan untuk memoperoleh calon klien yang kesadaran dan tanggung jawabnya tidak diragukan lagi, sehingga dalam mengikuti program pelayanan dibekali kemauan dan kemampuan yang mantap dalam upaya memperbaiki kualitas hidupnya secara normatif.


C. Sasaran

Calon klien dan keluarganya.



D. Pelaksanaan

1. Tenaga pelaksana petugas teknis operasional panti, dan atau petugas lainnya yang ditunjuk pimpinan.
2. Materi kegiatan.
a. Pemeriksaan ulang hasil kegiatan identifikasi dan motivasi.
b. Pemeriksaan ulang terhadap persyaratan teknis bagi para calon klien yang akan diselesaikan.


E. Metode Pelaksanaan Kegiatan

1. Tes wawancara dan tes psikologi.
2. Pemeriksaan dan pengolahan hasil tes psikologi dan wawancara.
3. Penetapan calon klien definitif, dengan memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Sehat rohani dalam arti tidak berpenyakit jiwa dan sejenisnya.
b. Sehat jasmani dalam arti tidak berpenyakit menular atau cacat berat.
c. Tidak sedang dalam urusan dengan aparat penegak hukum.
d. Usia produktif dan atau secara fisik masih mampu bekerja keras/berat.










































REGISTRASI


A. Pengertian

1. Registrasi ialah kegiatan administratif pencatatan dalam buku induk klien (setiap penerima pelayanan klien agar diberi nomor induk klien/NIK) dan mengkomplikasikan berbagai formulir isian untuk mendapatkan klien definitif lengkap dengan segala informasi/biodatanya.
2. Registrasi dimaksudkan agar :
Terciptanya tertib adminitratif panti dalam penyelenggaraan pencatatan, pengarsipan/penyimpanan biodata/data perkembangan klien dalam suatu sistem tata naskah tertentu yang praktis dan lengkap.


B. Tujuan

Tujuan registrasi adalah tersedianya data dan informasi yang lengkap menyeluruh tentang kondisi obyektif klien selama mengikuti program pelayanan mulai dari awal sampai dengan berakhirnya kegiatan.


C. Sasaran

Data tentang calon klien dari hasil kegiatan seleksi juga keluarga dan lingkungan.



D. Pelaksanaan

1. Tenaga pelaksana
Petugas teknis adminitrasi (Tata Usaha) panti.
2. Materi kegiatan
a. Pendataan tentang kelengkapan adminitrasi calon klien.
b. Catatan/rekomendasi dari petugas sebelumnya.
c. Inventarisasi ke dalam buku induk klien.







E. Metode pelaksanaan kegiatan

1. Segenap penerima pelayanan dicatat dalam buku induk klien secara berurutan dapat secara abjad dan atau perbidang keterampilan.
2. Dalam buku induk klien perlu dicatat identitas penerima pelayanan dilengkapi pas photo dan catatan kurun waktu menjadi penerima pelayanan.
3. Sesudah secara definitif menjadi klien yang bersangkutan diberi Nomor Induk Klien (NIK).
4. Nomor urut angkatan.
5. Nama lengkap/nomor register/pas photo.
6. Jenis kelamin : Laki-laki/Perempuan.
7. Tempat/Tanggal Lahir/Usia.
8. Agama.































SESI 1-4 : ASESMEN DAN RENCANA PELAYANAN

























-.











ASESMEN


Pekerja sosial merupakan kegiatan profesional yang ditujukan untuk membantu individu, kelompok maupun masyarakat atau yang sering di sebut dengan klien, meningkatkan fungsi sosialnya. Dengan kata lain, pekerja sosial membantu klien memecahkan masalah yang ada, sehingga mereka dapat kembali melaksanakan peran dan fungsi sosialnya sebagaimana yang diharapkan. Tentunya, peran yang dimaksud berkaitan pula dengan perannya terhadap lingkungan terdekat, khususnya peran yang berkaitan dengan peran diri pribadi, seperti sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan dan perlindungan, pendidikan, dimilikinya identitas diri dan adanya pengakuan akan diri, serta adanya cinta kasih sayang. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan suatu model intervensi yang sifatnya menyeluruh. Seringkali, akar permasalahan berada pada diri pribadi klien (untuk masalah yang sifatnya individu). Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa akar masalah ada pada pihak luar diri pribadi klien, seperti keluaga bahkan masyarakat sekitar. Sebaliknya, banyak pula permasalahan yang akar masalahnya berada pada kedua belah pihak. Artinya, akar masalah berada pada diri pribadi klien maupun lingkungannya.

Sehubungan dengan kenyataan tersebut, pekerja sosial atau mereka yang bertugas di panti sosial, perlu secara bijaksana mengetahui dan memahami akar permasalahan yang ada pada klien di pantinya. Caranya, dengan menggali dan mengukur kondisi yang ada pada klien baik yang berkaitan dengan masalahnya maupun kemampuan yang mereka miliki bahkan termasuk upaya yang selama ini telah dilakukan untuk mengatasi masalahnya. Setelah itu, melakukan analisa terhadap kondisi yang ada, guna menentukan langkah-langkah yang diperlukan dalam membantu klien mengatasi masalahnya. Tentunya hal ini dilakukan dengan tetap memegang rambu-rambu pelayanan profesional, seperti memberikan kesempatan dan kesadaran penuh bahwa klien adalah pihak yang paling berhak untuk memutuskan hal-hal yang baik bagi dirinya. Selain itu, perlu pula disadari batas-batas kewenangan profesi, dan secara proporsional tetap menjaga kerahasiaan klien.

Guna mencapai tujuan tersebut, digunakanlah satu pendekatan yang melihat permasalahan dan pemilihan alternatif penyelesaiannya dari berbagai aspek. Pendekatan semacam ini dalam pekerjaan sosial dikenal dengan istilah intervensi atau praktek pekerjaan sosial menyeluruh (Generalist Intervention Model). Dalam pendekatan ini, penyelesaian masalah dilakukan dalam enam langkah utama, yaitu sebagai berikut :

1. Asesmen.
2. Penyusunan rencana intervensi.
3. Intervensi.
4. Evaluasi dan monitoring.
5. Terminasi.
6. Pembinaan lanjut.
Keenam langkah tersebut merupakan proses yang saling terkait satu dengan lainnya. Tiga aspek pertama - asesmen, penyusunan rencana intervensi dan intervensi, merupakan aspek yang terkait langsung. Sementara aspek berikutnya, evaluasi dan monitoring lebih merupakan aspek yang digunakan pada setiap aspek lainnya. Sedangkan pembinaan lanjut, sebagai aspek terakhir, merupakan langkah terakhir saat klien dapat dikatakan mampu secara mandiri menyelesaikan masalahnya. Secara rinci keenam aspek dibahas dalam keseluruhan sesi yang ada dalam modul ini, dan materi mengenai asesmen ada bahasan sebagai berikut :
1. Proses penentuan permasalahan, penyebab masalah dan kecenderungan perkembangan permasalahan yang ada pada klien.
2. Proses identifikasi suatu masalah baik sosial, mental maupun medis, berikut faktor yang mempengaruhinya sehingga dapat ditentukan solusi bagi masalah tersebut.
3. Proses pengumpulan dan analisa terhadap data yang berhasil dikumpulkan dan yang berkaitan dengan : masalah yang dialami klien, keberfungsian (potensi, keterbatasan, kepribadian dan penyimpangan-penyimpangan perilaku maupun kepribadian) klien maupun pihak terdekat lainnya (keluarga dan lingkungan sosialnya), termasuk pula sumber yang dapat dimanfaatkan dalam mengatasi masalah klien.
4. Pengumpulan dan memproses data untuk tujuan penyediaan informasi guna pengembalian suatu keputusan mengenai masalah dan langkah yang perlu dilakukan terhadap masalah yang berhasil diidentifikasi.

Lebih lanjut sebagai suatu proses asesmen juga diartikan sebagai suatu upaya :
1. Memahami elemen-elemen kunci pada suatu permasalahan.
2. Mengerti arti masalah yang ada dari sudut pandang klien.
3. Identifikasi kelebihan yang ada pada klien termasuk yang ada di lingkungan terdekatnya (keluarga dan masyarakat sekitar kehidupan klien).
4. Penegasan terhadap tujuan klien dalam mendapatkan penanganan pekerja sosial/ ahli terhadap masalah yang dihadapinya.
5. Memandu proses identifikasi kebutuhan secara profesional.
6. Merencanakan perubahan yang ingin dicapai bagi permasalahanya yang ada.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa asesmen adalah :
1. Merupakan proses yang berkelanjutan, artinya, asesmen dilakukan tidak hanya di awal proses pemberian pelayanan, tetapi juga dilakukan di saat proses sedang berlangsung dan di akhir proses pemberian pelayanan.
2. Mencakup pemahaman akan situasi yang dihadapi klien maupun pengumpulkan informasi bagi kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pelayanan.
3. Melibatkan klien maupun pekerja sosial.
4. Sebagai suatu proses, merupakan suatu hal yang berkembang. Artinya, asesmen berkembang dari observasi yang dilakukan oleh pekerja sosial, identifikasi informasi yang diperlukan dalam menggali permasalahan dan potensi, pengumpulan data informasi, temasuk interpretasi hasil asesmen sehingga dapat digunakan dalam memahami dan mencarikan alternatif penyelesaian masalah dari klien.
5. Memerlukan penggalian informasi baik yang sifatnya sebagai akar masalah maupun masalah-masalah penyerta lainnya.
6. Dilakukan dengan menggunakan dasar keilmuan yang terkait dengan masalah, kebutuhan dan potensi klien.
7. Mengidentifikasi kebutuhan dalam situasi kehidupan, identifiksi masalah dan potensi.
8. Bersifat individual. Tiap-tiap klien dimungkinkan untuk mendapatkan asesmen yang berbeda, tergantung permasalahan, situasi dan kondisi yang dihadapinya.
9. Pembuatan keputusan merupakan hal yang penting bagi analisa hasil, penentuan masalah, pemilihan alternatif pelayanan maupun dalam melakukan evaluasi selama proses maupun di akhir proses pelayanan.

Melihat pada pengertian dan karakteristik, maka asesmen sangat berkaitan dengan seluruh aspek pada diri klien bahkan termasuk juga pihak terdekat lainya, seperti keluarga (inti maupun keluarga luasnya) dan masyarakat sekitarnya. Adapun aspek di maksud meliputi aspek sebagai berikut :
1. Fisik, seperti kondisi kesehatan klien, riwayat sakit, adanya pantangan-pantangan tertentu yang berkaitan dengan adanya alergi berikut pengobatan yang pernah atau masih dijalaninya. Untuk kasus-kasus tertentu, maka asesman fisik juga mencakup identifikasi keterbatasan fisik yang mungkin dimiliki klien, yang baik dikarenakan penyakit yang diderita, termasuk keterbatasan yang berkaitan dengan adanya kecacatan. Suatu hal yang perlu pula diingat bahwa asesmen fisik meliputi pula kemampuan fisik lainnya, seperti fisik yang kuat dan atletis, dan tinggi badan klien.
2. Psikologis, mencakup kepribadian, kecerdasan, kemampuan dan kematangan emosi klien, termasuk pula bakat, minat, persepsi diri dan aspirasi dalam menjalani kehidupannya kini dan mendatang. Hal ini digunakan untuk mengetahui klien sebagai individu yang unik dan memiliki kekhususan tersendiri Asesmen psikologis berguna untuk mendeteksi adanya penyimpangan-penyimpangan tertentu. Sebagai contoh, adanya penyimpangan kepribadian, pilihan perilaku seksual, serta tingkat kecerdasan dan kematangan emosinya. Khusus untuk sesmen yang berkaitan dengan bakat dan minat, hal ini akan bermanfaat dalam menentukan kegiatan bimbingan keterampilan yang dapat diikuti klien, baik untuk media terapi maupun media penyiapan pemilikan keterampilan. Asesmen psikologis ini dapat ditempuh baik melalui berbagai tes standar psikologis maupun berdasarkan pengamatan pekerja sosial dalam interaksi dengan klien.
3. Sosial, mencakup kondisi keluarga, sekolah, lingkungan masa kecil tempat klien mendapatkan pendidikan yang pertama, termasuk pola pendidikan dalam keluarga dan komunkasi yang selama ini diterapkan. Kesemua ini diperlukan untuk mendapatkan informasi yang menggambarkan individu klien terutama dalam interaksinya dengan orang luar dirinya, dalam proses perkembangannya sejak masa anak hingga usianya kini, serta saat klien membutuhkan penanganan profesional pekerja sosial dan profesi terkait lainnya.
4. Vokasional mencakup pendidikan formal maupun informal, dan keterampilan yang telah dikuasai klien, termasuk pekerjaan yang pernah ditekuninya sebelum menjadi klien di panti sosial. Selain itu, perlu diidentifikasi harapannya dalam memilih sumber penghidupan, setelah selesai mengikuti program dalam panti sosial.
5. Selain aspek tersebut diatas, perlu diidentifikasi mengenai upaya yang selama ini dilakukan pada saat mengatasi berbagai masalah dan kesulitan dalam kehidupan klien. Bahkan perlu pula ditanyakan pihak-pihak (perorangan maupun lembaga) yang selama ini terlibat dalam upaya penanganan masalah klien. Hal semacam ini diperlukan agar mendapat gambaran mengenai kemampuan klien mengatasi masalahnya, sekaligus agar diketahui lebih mendalam batasan/toleransinya dalam menghadapi permasalahan, hingga akhirnya mencari penanganan profesional.

Atas dasar informasi yang terkumpul melalui berbagai jenis asesmen, pekerja sosial bersama dengan klien menetapkan permasalahan yang perlu ditangani dari sejumlah permasalahan yang ada pada klien, masalah yang memang harus segera ditangani sampai dengan yang dapat ditangani, kemudian berdasarkan resiko yang diakibatkan terhadap kelangsungan hidup klien. Setelah itu, secara bersama, pekerja sosial dan klien menetapkan prioritas penanganan. Dasar pemilihan selain melihat pada tingkat keseriusan permasalahan, juga melihat pada kemampuan klien (seperti partipasi dan motivasinya), maupun ketersediaan yang ada, baik yang diberikan oleh panti sosial maupun pihak terkait lain, di luar lingkungan panti sosial.

Untuk kepentingan tersebut, pekerja sosial perlu membuat berbagai keputusan, tentunya bersama klien, yang penting bagi penyusunan rencana pelayanan klien, mengingat nilai keputusan yang demikian pentingnya. Karena berkaitan erat dengan tanggung jawab profesionalnya terhadap klien, kiranya perlu diperhatikan pertimbangan-pertimbangan dalam keputusan tersebut :

1. Keputusan bersifat individual, setiap klien memiliki situasi dan kondisi yang berbeda dan khas.
2. Partisipasi, klien ikut berpartisipasi mengingat bahwa keputusan yang dibuat pekerja sosial adalah keputusan mengenai dirinya.
3. Perkembangan manusia, keputusan dibuat dengan tetap mempertimbangkan perkembangan individual (fisik dan psikologis).
4. Perbedaan individual, tetap harus diperhatikan mengingat bahwa masing-masing klien mempunyai kekhasan.
5. Pemahaman bahwa setiap tingkah laku mempunyai menfaat dan dapat digunakan untuk memahami permasalahan, kebutuhan dan potensi klien.
6. Potensi dan sumber yang ada pada diri klien maupun lingkunganya perlu tetap dipertimbangkan untuk dapat dimanfaatkan dalam memahami kemampuan klien.


Asesmen sebagai suatu proses prediksi terhadap kondisi klien (permasalahan dan kemampuannya), mengikuti alur kegiatan yang dapat dikatakan ketat terutama bila memuat kegiatan tes tertentu. Alasannya, karena setiap jenis tes mempunyai ketentuan baku, baik dalam persiapan, pelaksanaan hingga pelaporannya, termasuk untuk interprestasi hasil tesnya. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu untuk diperhatikan prosedur berikut ini :

1. Persiapan, mencakup :
a. Penyiapan tenaga pelaksana asesmen, antara lain pekerja sosial yang memang ditugaskan untuk melaksanakan, menjadi mediator maupun mendampingi pelaksanaan asesmen. Mediasi dan pendampingan dilakukan saat asesmen melibatkan tenaga profesional lainnya. Untuk itu, perlu terlebih dahulu dipersiapkan profesional yang akan dilibatkan dengan menjajagi kesediaannya (kecuali panti memang telah memiliki mitra kerja dari berbagai instansi terkait), mengatur waktunya, mengetahui dan mengikuti persyaratan pemeriksaan yang akan dilakukan oleh klien panti.
b. Perangkat asesmen, mencakup antara lain : penyiapan barbagai jenis formulir yang akan digunakan dalam mengadministrasikan hasil asesmen, mulai dari formulir untuk mencatatat saat tes sedang berlangsung hingga formulir yang digunakan untuk mencatat hasil tes. Selain itu, perlu pula dipersiapkan berbagai pedoman seperti untuk wawancara dan juga untuk pelaksanaan tes lainnya.
c. Khusus untuk pekerja sosial, bila memungkinkan dapat diadministrasikan suatu perangkat yang disebut genogram, yaitu instrumen yang digunakan untuk memahami garis keluarga/kekerabatan klien sampai dengan tiga generasi yang terkait langsung dengan kehidupan klien. Sedangkan Ecomap adalah instrumen yang digunakan untuk menggali bersama klien permasalahan yang berkaitan dengan relasi klien dengan lingkungannya (keluarga maupun lingkungan terdekat).
d. Fasilitas pendukung lainya (seperti ruangan, dan ATK) serta penentuan waktu pelaksanaan asesmen. Bila mencakup lebih dari satu jenis kegiatan, perlu diperhatikan urutan kegiatan dari jenis asesmen yang akan dilakukan terhadap klien. Untuk itu, perlu disusun jadwal yang mempertimbangkan waktu yang disediakan, baik oleh klien maupun oleh pelaksana asesmen, tingkat kelelahan yang mungkin dialami klien akibat mengikuti berbagai jenis kegiatan asesmen, dan tempat dilaksanakannya asesmen, terutama untuk tempat yang berada di luar lingkungan panti, sehingga klien harus pergi dari satu tempat ke tempat lainnya. Khusus untuk ruangan, diharapkan panti memiliki ruangan yang memang diperuntukkan bagi kegiatan asesmen. Alasanya, pelaksanaan asesmen memerlukan ketenangan tertentu, baik bagi klien maupun bagi pelaksana asesmen. Oleh karenanya, ruangan yang digunakan perlu dihindarkan dari kebisingan lalu lalang orang yang tidak berkepentingan di dalam ruangan, yang dapat mengganggu konsentrasi dan dapat mengurangi kepercayaan klien pada pelaksana asesmen dan juga panti sosial pada umumnya. Selain itu, perlu pula diperhatikan tingkat kenyamanan ruangan, artinya ruangan perlu memiliki sirkulasi udara yang baik, suhu udara kamar yang rata-rata baik dan terbebas dari gangguan telepon, serta cukup dapat meredam kegiatan dan suara yang ada di dalam ruangan tempat asesmen. Alasannya, agar orang di luar ruangan tidak melihat, mendengar atau mencari lihat, mendengar pembicaraan yang terjadi saat dilakukannya wawancara atau kegiatan selama asesmen berlangsung.

2. Pelaksanaan, mencakup kegiatan asesmen baik asesmen fisik, psikologis, sosial dan vokasional. Pelaksanaan di sini perlu memperhatikan rambu-rambu dari masing-masing jenis asesmen. Bila asesmen dilaksanakan oleh pekerja sosial, tentunya mereka perlu memperhatikan aturan pelaksanaannya, mengadministrasikan kegiatan asesmen dengan tetap menjaga perilakunya sebagaimana perilaku seorang profesional dan menjalankan ketentuan yang ada dalam kode etik pekerja sosial. Bila asesmen dilakukan oleh profesional lainnya, perlu ditaati ketentuan yang mereka canamkan dan memberikan kepercayaan bahwa mereka adalah profesional yang bertanggung jawab terhadap tugas dan kewenangannya. Namun demikian, perlu pula disadari bahwa klien tetap mempunyai hak untuk bertanya dalam batas bahwa pertanyaan tersebut berkaitan langsung dengan proses asesmen yang sedang dijalani. Bahkan, bila memang terdapat hal yang meragukan dan dapat merugikan klien maka dirinya dapat menolak untuk melanjutkan proses asesmen yang sedang dijalaninya.

3. Pelaporan hasil asesmen. Setelah asesmen dilaksanakan, masing-masing pelaksana tentunya akan memberikan laporan sebagai hasil dari asesmen yang sekaligus merupakan gambaran akan kondisi klien dari salah satu aspek sesuai dengan jenis asesmen yang dijalaninya, antara lain aspek kesehatan, kecerdasannya, kematangan emosinya, dan sebagainya.















ASESMEN DALAM PEKERJAAN SOSIAL


A. Pengertian

1. Proses penentuan permasalahan, penyebab masalah dan kecenderungan perkembangan permasalahanya.
2. Proses identifikasi suatu masalah baik sosial, maupun medis berikut faktor yang mempengaruhinya, sehingga dapat ditentukan penanganan bagi masalah tersebut.
3. Proses pengumpulan analisa terhadap data yang berhasil dikumpulkan dan yang berkaitan dengan : masalah yang dialami klien; keberfungsian (kemampuan, persepsi, keterbatasan kepribadian dan penyimpangan-penyimpangan perilaku maupun kepribadian) klien maupun pihak terdekat klien (keluarga dan lingkungan sosialnya), termasuk pula sumber dan pihak-pihak yang dapat dimanfaatkan dalam membantu masalah klien.

Dengan kata lain proses asesmen merupakan usaha untuk :

1. Memahami pokok-pokok permasalahan dan situasinya.
2. Memahami arti persepsi klien terhadap permasalahan yang dihadapinya.
3. Identifikasi kemampuan yang dimiliki klien, keluarga maupun lingkungannya.
4. Mempertegas tujuan yang ingin dicapai klien berkaitan dengan penyelesaian masalah yang sedang dihadapi.
5. Merencanakan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan yang perlu dilakukan.


B. Tujuan

1. Mengidentifikasi permasalahan, kemampuan dan sumber yang ada, dalam kaitannya dengan penentuan jenis pelayanan yang diperlukan oleh klien.
2. Untuk memahami kebutuhan klien dan solusi yang diperlukan klien, permasalahan yang dihadapinya berikut situasinya, sehingga pekerja sosial dan klien dapat menetapkan rencana pelayanan.


C. Karakteristik dari suatu kegiatan asesmen

1. Asesmen merupakan proses yang berkelanjutan. Artinya, asesmen dilakukan tidak hanya di awal proses pemberian pelayanan, tetapi dilakukan di saat proses sedang berlangsung dan di akhir proses pemberian pelayanan.
2. Asesmen mencakup pemahaman akan situasi yang dihadapi klien maupun pengumpulan informasi bagi kepentingan perencanaan dan pelayanan.
3. Asesmen melibatkan klien maupun pekerja sosial.
4. Asesmen sebagai proses merupakan suatu hal yang berkembang. Artinya asesmen berkembang dari observasi yang dilakukan pekerja sosial, identifikasi informasi yang diperlukan dalam menggali permasalahan dan potensi; pengumpulan data dan informasi, termasuk interpretasi hasil asesmen, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memahami dan mencarikan alternatif penyelesaian masalah dari klien.
5. Asesmen memerlukan penggalian informasi baik yang bersifat sebagai ”akar masalah” maupun masalah-masalah penyerta lainnya.
6. Asesmen dilakukan dengan menggunakan dasar keilmuaan yang terkait dengan masalah, kebutuhan, dan potensi klien.
7. Asesmen mengidentifikasi kebutuhan dalam situasi kehidupan, identifikasi masalah dan potensi.
8. Asemen bersifat indifidual. Masing-masing asesmen bersifat berbeda dari individu yang satu ke individu lainnya, dan tergantung kepada situasi dan kondisi yang dihadapi klien.
9. Pembuatan keputusan merupakan hal yang penting bagi analisa hasil, penentuan masalah, pemilihan alternatif pelayanan, maupun dalam melakukan evaluasi selama proses maupun di akhir proses pelayanan.


D. Prinsip yang perlu diperhatikan dalam mambuat keputusan saat melakukan asesmen

Mengingat bahwa pekerja sosial perlu membuat keputusan atas hasil asesmen bersama dengan profesional terkait lainnya, maka ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah :
1. Keputusan bersifat individual, setiap klien memiliki situasi dan kondisi yang berbeda dan khas.
2. Partisipasi, klien perlu ikut berpartisitasi mengingat bahwa keputusan yang dibuat pekerja sosial adalah keputusan mengenai dirinya.
3. Perkembangan manusia, keputusan dibuat dengan tetap mempertimbangkan perkembangan individual (fisik dan psikologis).
4. Perbedaan individual tetap harus diperhatikan mengingat bahwa masing-masing klien mempunyai keunikan.
5. Pemahaman bahwa setiap tingkah laku mempunyai manfaat dan dapat digunakan untuk memahami permasalahan kebutuhan dan potensi klien.
6. Potensi dan sumber yang ada pada diri klien maupun lingkungannya perlu tetap di pertimbangkan untuk dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk memahami kemampuan klien.





E. Ruang Lingkup

Asesmen pada dasarnya dilakukan secara menyeluruh. Artinya, asesmen tidak hanya dilakukan terhadap diri pribadi klien (fisik, psikologis) tetapi juga terhadap lingkungan (keluarga dan masyarakat) terdekatnya. Sehubungan dengan itu, ruang lingkupnya mencakup :

1. Fisik, antara lain mencakup kondisi kesehatan klien, riwayat sakit dan pengobatan yang pernah mereka lakukan terhadap klien termasuk keterbatasan fisik yang mungkin dimiliki.
2. Psikologis, mencakup kepribadian, kemampuan dan kematangan sosial klien termasuk pula bakat dan minatnya.
3. Sosial, mencakup kondisi keluarga, sekolah, lingkungan masa kecil tempat klien mendapatkan pendidikan yang pertama, termasuk pola pendidikan dalam keluarga dan komunikasi yang selama ini diterapkan.
4. Vokasional, mencakup pendidikan formal maupun informal, dan keterampilan yang telah dikuasai klien termasuk harapannya dalam memilih sumber kehidupan setelah mengikuti rehabilitasi.


F. Langkah-Langkah dalam melaksanakan asesmen

1. Identifikasi individu yang membutuhkan pelayanan di panti, dengan melihat kepada :
a. Masalah utama yang dihadapi.
b. Faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah tersebut.
c. Kemampuan, kesehatan, kepribadian, bakat/minat dari individu yang membutuhkan pelayanan.
2. Identifikasi situasi keluarga maupun lingkunganya berikut masalah-masalah termasuk lingkungan pertemanannya.
3. Identifikasi kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan klien yang dapat dimanfaatkan bagi penyelesaian masalah klien.
4. Identifikasi mengenai kekhususan individu klien, seperti, agama, yang berkaitan dengan suku, kondisi fisik dan mental serta persepsinya.

Sebagai catatan, pengertian dari istilah klien adalah : individu , keluarga , kelompok, masyarakat yang memerlukan pertolongan dan terikat dalam suatu pelayanan sosial yang diberikan di panti melalui pekerja sosial.






G. Tahapan asesmen terdiri dari :

1. Persiapan mencakup : penyiapan perangkat asesmen; genogram dan ekomap serta formulir yang diperlukan dalam melakukan asesmen; penyiapan tenaga pelaksana asesmen dan juga fasilitas pendukung lainnya (seperti ruangan dan ATK) serta penentuan waktu pelaksanaan.
2. Pelaksanaan mencakup : kegiatan asesmen baik asesmen fisik, psikologis, sosial dan vokasional.
3. Laporan hasil asesmen.


H. Fasilitas yang diperlukan dalam asesmen

Perangkat asesmen :
1. Asesmen fisik, antara lain berupa peralatan medis.
2. Asesmen psikologis antara lain berupa perangkat test kecerdasan, kepribadian bakat dan minat serta kematangan sosial.
3. Asesmen sosial antara lain ecomap, ecological map dan genogram.
4. Asesmen vokasional antara lain perangkat test kemampuan kerja.
5. Fomulir asesmen dan pencatatan hasil asesmen.
6. Alat tulis kantor.
7. Ruangan tes dan perlengkapan meja tulis serta kursi yang dibutuhkan baik bagi pelaksana asesmen maupun klien.





















PENYUSUNAN RENCANA PELAYANAN



Rencana pelayanan disusun setelah pekerja sosial bersama profesional lainnya selesai melakukan asesmen baik fisik, psikologis, sosial dan vokasional. Tentunya secara bersama, pekerja sosial perlu membuat suatu kesimpulan mengenai permasalahan, kebutuhan, kemampuan, keterbatasan yang ada pada klien, berikut lingkungan terdekatnya. Yang perlu diingat dalam menyusun rencana pelayanan adalah tetap melibatkan klien dalam proses penyusunan rencana ini, mengingat bahwa tokoh utama/pihak yang akan melaksakan rencana ini adalah klien, sedangkan pekerja sosial dan profesional lain hanya sebagai peran pembantu yang ikut bersama klien menyelesaikan masalah yang dialami klien. Keterlibatan klien sekaligus juga untuk memotivasi klien dan membuatnya merasa menjadi bagian dari rencana pelayanan ini.


A. Pengertian

Rencana pelayanan adalah rencana tindakan/kegiatan pelayanan yang akan dilakukan oleh klien atas dasar hasil asesmen.


B. Tujuan

Recana pelayanan ditujukan sebagai acuan jenis pelayanan yang diperlukan klien dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapinya .


C. Cakupan kegiatan dalam penyusunan rencana pelayanan

1. Identifikasi masalah dan kemampuan serta keterbatasan klien.
2. Tujuan diberikannya masing-masing jenis pelayanan yang akan diberikan kepada klien.
3. Rincian jenis pelayanan yang akan diberikan kepada klien.
4. Peran pekerja sosial.
5. Peran klien.
6. Perincian tugas dari pekerja sosial untuk masing-masing jenis pelayanan yang akan diberikan kepada klien.
7. Rincian tugas klien untuk masing-masing jenis pelayanan yang akan dilakukan klien.
8. Waktu yang direncanakan untuk masing-masing jenis pelayanan yang akan diberikan kepada klien.
9. Hasil yang diharapkan untuk setiap tujuan pemberian masing-masing jenis pelayanan.
10. Hasil yang dicapai setelah kurun waktu yang direncanakan.
11. Tindak lanjut dari hasil yang dicapai / hasil sementara.


D. Langkah penyusunan rencana pelayanan

1. Membahas hasil asesmen yang telah dilakukan. Dalam arti, menyampaikan hasil asesmen (dalam besarannya) kepada klien dengan terlebih dahulu mempertimbangkan tingkat kesiapan dan kemampuan klien dalam menerima hasil asesmen yang secara tidak langsung adalah “membuka“ diri klien khususnya kekurangan dan kelebihannya. Untuk itu, usahakan untuk menggunakan bahasa yang mudah dicerna dan dimengerti oleh klien.
2. Memilih prioritas masalah dari sejumlah masalah yang berhasil diidentifikasi dalam propses asesmen. Untuk itu, pemilihan prioritas perlu memfokuskan pada masalah yang benar-benar dirasakan klien/dikeluhkan klien. Setidaknya, pekerja sosial dapat meyakinkan klien adanya masalah tersebut. Setelah itu, masalah tersebut dinyatakan atau dijabarkan dalam bahasa yang mudah dimengerti klien. Selanjutnya, pekerja sosial bersama klien harus menetapkan tindakan-tindakan yang memang mampu dilakukan guna menyelesaikan masalah yang dihadapi.
3. Mentranfer masalah menjadi kebutuhan. Klien yang ada di panti/PSBK adalah orang yang mempunyai masalah dan kebutuhkan bantuan pekerja sosial di Panti. Untuk itu, perlu diupayakan agar masalahnya dapat di transfer menjadi kebutuhan baik yang sifatnya fisik, psikologis, ekonomi maupun sosial agar mereka dapat bertahan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. sebagai contoh, tidak adanya pekerjaan suatu masalah. Untuk mengubahnya menjadi kebutuhan, maka perlu dilakukan penyadaran sehingga klien merasa perlu untuk mempunyai pekerjaan. Atas dasar ini, pekerja sosial bersama klien menetapkan suatu tujuan yang ingin dicapai untuk setiap permasalahan klien.
4. Melakukan evaluasi terhadap ketersediaan jenis pelayanan dan menetapkan strategi yang akan dilalukan. Artinya, menetapkan keseluruhan pendekatan/upaya yang akan dilakukan guna membantu klien menyelesaikan masalahnya. Untuk itu :
a. Fokuskan pada kebutuhan utama yang telah dirasakan klien.
b. Lakukan review terhadap kebutuhan dan ketersediaan jenis-jenis pelayanan termasuk alternatif yang akan dilaksanakan.
c. Lakukan penguatan terhadap kelebihan-kelebihan yang dimiliki klien dalam kaitannya dengan penetapan strategi pelayanan.
d. Lakukan evaluasi terhadap keuntungan dan kerugian dari masing-masing strategi yang dipilih bersama klien.
e. Pilih strategi yang paling mungkin dilaksanakan.
5. Memilih tujuan utama atau prioritas jenis pelayanan yang akan dilakukan klien. Tujuan utama ini ditetapkan untuk memperjelas atau menerapkan tujuan dari suatu intervensi. Dengan kata lain, merupakan pernyataan umum mengenai tindakan yang akan dilakukan klien dan pekerja sosial. Selain itu, merupakan petunjuk dan proses berkelanjutan penyelesaian masalah melalui pelaksanaan pelayanan. Selanjutnya, tujuan utama juga dapat digunakan untuk memudahkan melakukan identifikasi, evaluasi terhadap strategi dalam proses pelayanan, serta dapat digunakan untuk melakukan monitoring terhadap kemajuan yang dicapai klien, pekerja sosial, maupun profesional lain dalam membantu menyelesaikan masalah klien. Bahkan dapat juga digunakan sebagai indikator penetapan hasil saat melakukan evalusi pelayanan.
6. Menjabarkan tujuan khusus yang akan dicapai dari tujuan utama yang telah ditetapkan. Tujuan khusus ini merupakan suatu upaya langsung atau tindakan langsung untuk mencapai tujuan utama. Hal yang perlu diingat dalam menetapkan tujuan khusus adalah : perlu jelas dan dapat diukur.
7. Menetapkan kesepakatan pelayanan.

































PEMBUATAN KESEPAKATAN PELAYANAN



A. Pengertian

1. Kesepakatan pelayanan adalah persetujuan tertulis antara pekerja sosial dan klien dalam kaitannya dengan identifikasi masalah, tujuan dan strategi yang perlu dilakukan dalam mengatasi masalah klien, peran dan tugas dari pekerja sosial maupun klien.
2. Kesepakatan pelayanan adalah wujud pertanggungjawaban pelayanan panti dan pekerja sosial, maupun profesional terkait lainnya kepada klien.


B. Tujuan

1. Untuk mengingatkan pekerja sosial dan klien akan kesepakatan yang mereka buat tentang tindakan/kegiatan dalam proses penyelesaian masalah klien.
2. Melindungi klien dari tindakan-tindakan mal praktek yang dapat merugikannya.
3. Mencegah pekerja sosial dari tindakan mal praktek.


C. Ruang lingkup

1. Tujuan yang ingin dicapai pekerja sosial hendaknya diuraian spesifik dan dapat diukur serta dapat diobservasi.
2. Tanggungjawab klien dan pekerja sosial.
3. Teknik dan cara mencapai tujuan dari tiap-tiap jenis pelayanan bagi penyelesaian masalah klien.
4. Menetapkan waktu, tempat pelaksanaan pelayanan.


D. Hak dan kewajiban

1. Klien
a. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan permasalahannya.
b. Menentukan/memutuskan jenis pelayanan bagi penyelesaian masalahnya.
c. Mendapatkan informasi atas asesmen yang berkaitan dengan diri pribadi, keluarga, dan lingkungan dekatnya.
d. Mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang dapat merugikan pencapaian tujuan dari masing-masing jenis pelayanan bagi dirinya.
e. Menolak pelayanan yang tidak dilakukan secara profesional.
f. Memberikan informasi akurat dalam kapasitas bagi keperluan penyelesaian masalahnya.
g. Memberikan izin untuk dilakukannya asesmen dan penanganan masalah bagi diri klien.

2. Panti Sosial Bina Karya
a. Memberikan pelayanan rehabilitasi sosial kepada (individu keluarga/kelompok) yang membutuhkannya.
b. Melakukan rehabilitasi sosial dengan berlandaskan kepada dasar keilmuan pekerja sosial dan bidang terkait lainnya.
c. Melaksanakan rehabilitasi sosial secara profesional.
d. Menjaga dan melindungi klien dari tindakan mal praktek.
e. Menjaga kerahasiaan klien kecuali untuk kebutuhan pelayanan.

3. Pekerja sosial
a. Melakukan tugas profesional pekerjaan sosial bagi kepentingan masalah klien.
b. Memberi kepercayaan kepada klien untuk ikut memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan jenis pelayanan yang akan diterima klien.
c. Memberikan informasi tentang klien kepada profesional lain bila diperlukan bagi kepentingan penyelesaian masalah klien.
d. Mendapatkan perlindungan dari tuntutan mal praktek dalam kondisi pekerja sosial telah melaksanakan tugas secara profesional.
e. Menjaga kerahasiaan klien kecuali untuk kebutuhan pelayanan.


E. Prosedur pembuatan kesepakatan pelayanan

1. Melakukan review terhadap rencana pelayanan klien.
2. Menyerahkan kepada klien dan profesional terkait lainnya tentang rencana pelayanan yang telah disusun.
3. Menyerahkan kepada masing-masing pihak : Klien dan pekerja sosial/panti mengenai hak-hak kewajiban masing-masing.
4. Menyusun kesepakatan pelayanan bersama klien.
5. Menendatangani lembar kesepakatan pelayanan.










SESI 1-5 : BIMBINGAN SOSIAL
























-.












PENDAHULUAN



Pelaksanaan rehabilitasi sosial untuk penyandang masalah gepeng pada hakekatnya adalah penerapan metode pokok pekerjaan sosial, yaitu bimbingan sosial.

A. Pengertian

Yang dimaksud dengan bimbingan sosial adalah berbagai bentuk kegiatan pertolongan yang dilakukan oleh pekerja sosial untuk membantu kliennya, baik individu, kelompok, maupun masyarakat dalam meningkatkan kemampuan klien, dalam memenuhi kebutuhan, menghadapi dan mengatasi masalah dan dalam menjalin dan mengendalikan hubungan-hubungan sosial mereka dalam lingkungan sosialnya.


B. Tujuan

Bimbingan sosial yang diberikan di panti bertujuan untuk mewujudkan pencapaian tujuan rehabilitasi sosial sebagai rangkaian pelayanan umum yang diberikan panti, yaitu demi tercapainya peningkatan kapasitas adaptif klien, peningkatan keberfungsian klien dan optimalisasi kemampuan klien. Secara khusus, bimbingan sosial diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan keberfungsian sosial klien, yang meliputi peningkatan kemampuan pemenuhan kebutuhan menghadapi dan mengatasi masalah, serta kemampuan menjalin dan mengendalikan relasi sosial.


C. Komponen dalam bimbingan sosial

Berangkat dari beberapa pengertian di atas, dapat dilihat adanya empat komponen pokok yang dikenal dengan istilah 4 P, yaitu :

1. Person (orang)

Yaitu seseorang yang mempunyai masalah, yang datang ke suatu lembaga sosial dimana di dalamnya terdapat tenaga ahli yang dapat memberikan bantuan profesional untuk memecahkan masalahnya. Apabila sudah terjadi kontrak kerja antara orang yang bermasalah dengan badan sosial, maka orang tersebut dinyatakan sebagai klien.

2. Problem (masalah)

Problem (masalah) adalah sesuatu yang tidak mengenakan yang dihadapi oleh individu, kelompok maupun masyarakat sehingga terhambat dalam melaksanakan fungsi sosialnya. Masalah yang ditangani dengan menggunakan metode bimbingan sosial individu adalah ketidak berfungsian pada level individu dan keluarga. Setiap masalah bersifat kompleks dan dinamis, oleh karena itu seorang pekerja sosial harus mampu menyeleksi dan menentukan faktor-faktor apa yang harus dikaji guna menentukan fokus masalah. Terdapat 3 pertimbangan pokok yang dapat digunakan dalam memilih fokus masalah :
a. Apa yang diinginkan dan apa yang dibutuhkan klien.
b. Bagaimana penilaian profesional pekerja sosial mengenai masalah yang dihadapi klien dan bagaimana kemungkinan pemecahannya.
c. Fungsi lembaga dan bantuan yang dapat diberikan.

Masalah yang dihadapi oleh seorang individu biasanya mempunyai reaksi berantai, artinya setiap masalah mengakibatkan ketidaksesuaian baik sosial maupun emosional. Selain itu, masalah yang dihadapi seseorang selalu mengandung realita objektif dan subjektif. Artinya, bahwa apa yang dilakukan oleh seseorang terhadap masalah (realita objektif) yang dihadapinya selalu dipengaruhi oleh perasaan-perasaan (realita subjektif) yang menyertai. Keduanya dapat saling menjadi sebab dan akibat timbulnya masalah-masalah yang lain.

3. Place (tempat)

Adalah suatu tempat dimana orang-orang yang bermasalah datang untuk meminta bantuan. Ciri-ciri badan sosial yang memberikan pelayanan bimbingan sosial antara lain :
a. Lembaga tersebut adalah salah satu organisasi yang dibentuk untuk menyatakan keinginan dari suatu masyarakat atau beberapa kelompok dalam masyarakat, untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
b. Setiap lembaga sosial menyusun program yang ditunjuk untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus.
c. Lembaga tersebut mempunyai struktur yang mengatur dan mendelegasikan tanggungjawab serta tugas-tugasnya, menyusun kebijakan serta prosedur untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
d. Lembaga tersebut merupakan suatu organisasi yang hidup dan beradaptasi serta peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
e. Setiap anggota dalam lembaga, berbicara dan bertindak dalam rangka menjalankan fungsi lembaga, dan pekerja sosial mewakili lembaga tersebut dalam memberikan bantuan pemecahan masalah yang diindividualisasikan.
f. Pekerja sosial disamping bertindak sebagai wakil lembaga juga mewakili profesinya.





4. Process (proses)

Penekanan proses dalam hal ini adalah melibatkan klien dalam menggunakan alat yang ada, sahingga klien mampu memecahkan masalahnya. Alat-alat itu antara lain : hubungan terapi (yang membantu klien mempengaruhi hakekat hubungan emosional dengan masalah yang dihadapinya); cara yang sistematis; dan penyediaan kesepakatan atau bantuan, agar dapat melatih dan membantu klien dalm menghadapi msalah-masalah selanjutnya.


D. Prinsip bimbingan sosial

1. Prinsip

Prinsip umum bimbingan sosial individu tidak terlepas dari prinsip umum pekerjaan sosial, yaitu :
a. Keyakinan akan kebaikan, integritas dan kebebasan individu.
b. Keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebutuhan, baik secara ekonomi maupun sosial, dan dalam memenuhinya individu berhak untuk menentukannya sendiri.
c. Keyakinan bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama, tetapi kesempatan tersebut dibatasi oleh kemampuan individu yang bersangkutan.
d. Keyakinan bahwa setiap individu mempunyai tanggung jawab sosial. Artinya, bahwa setiap individu mempunyai hak dan kebebasan akan penghargaan terhadap diri dan menentukan sendiri kesempatan yang ada, sesuai dengan tangung jawab sosialnya terhadap diri sendiri, keluarga dan masyarakat.


2. Konsep

a. Penerimaan klien
Penerimaan merupakan prinsip paling mendasar, yang menggambarkan bagaimana pekerja sosial mengerti, memahami, dan menerima klien dengan apa adanya. Mengerti dan menerima keseluruhan dimensi yang ada dalam diri klien termasuk kekuatan, kelemahan, keistimewaan baik yang positif maupun negatif, karakteristik yang tersembunyi, serta aspek tingkah laku yang membangun dan merusak. Penerimaan dalam relasi profesional diwujudkan dalam bentuk perhatian yang sungguh-sungguh, mendengarkan dengan baik dan sebagainya.
b. Pengakuan individualisasi
Pengakuan terhadap individu, bahwa antara individu yang satu dengan yang lainnya berbeda, oleh karena itu harus diperlakukan secara unik.


c. Pengekspresian perasaan-perasaan
Klien memerlukan kesempatan untuk menyampaikan perasaan-perasaanya. Pekerja sosial mendengarkannya dengan penuh perhatian, bertanya dengan pertanyaan yang relevan, dan menunjukkan sikap toleransi serta tidak menilai. Klien diberi kesempatan untuk menceritakan semua perasaannya, yang dapat memudahkan proses pemecahan masalah.
d. Tidak menilai
Sikap tidak menilai sangat penting untuk mengembangkan kerja sama yang baik dengan klien. Pekerja sosial tidak memandang kliennya seorang yang baik atau buruk, berguna atau tidak, tetapi membuat penilaian secara profesional sebagai alternatif pemecahan masalah.
e. Obyektifitas
Obyektifitas merupakan suatu prinsip dimana seorang pekerja sosial membuka diri untuk tidak menilai klien secara sepihak, berlaku obyektif didalam melakukan observasi dan memahami perasaan klien tanpa ada prasangka dalam berhubungan dengan klien.
f. Pelibatan emosi yang terkendali
Dalam hal ini, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menanggapi perasaan klien :
1) Kepekaan terhadap perasaan yang diekpresikan maupun yang tidak.
2) Pemahaman dan pengetahuan tentang tingkah laku manusia.
3) Tanggapan harus didasari pada tujuan dan pengetahuan.
Dengan kata lain, pekerja sosial harus empathy, yaitu ikut merasakan apa yang dirasakan kliennya tanpa harus larut.
g. Penentuan diri sendiri
Prinsip ini didasari bahwa klien memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan dan mengambil keputusan sendiri. Pekerja sosial bertanggung jawab untuk mengembangkan relasi yang dapat menggali dan mempermudah klien mengambil keputusan.
h. Akses terhadap sumber-sumber
Setiap manusia memerlukan aksesibilitas terhadap berbagai sumber dan kesempatan yang bisa merealisir harapan serta potensinya. Pekerja sosial diharapkan dapat membantu individu untuk mengakses sumber-sumber yang diperlukannya (termasuk di dalamnya pelayanan dan kesempatan).
i. Kerahasiaan
Prinsip ini menyangkut privacy klien. Segala informasi tentang diri klien dijaga kerahasiaannya. Hal-hal yang dibicarakan dengan klien, pandangan profesional pekerja sosial tentang klien semua dicatat dan tertutup untuk orang lain, kecuali untuk kepentingan tertentu, misalnya dalam penyusunan undang-undang, pertemuan ilmiah atau temu bahas kasus.




E. Ruang Lingkup permasalahan Psikososial Klien PSBK

Isu utama dalam ruang lingkup permasalahan klien panti/PSBK adalah isu tentang kemiskinan. Klien Panti Sosial Bina Karya (PSBK) yang hidup secara bebas dalam sub-kultur mereka yang khas, sangat rentan terhadap berbagai permasalahan. Permasalahan kesehatan termasuk didalamnya penyakit kulit, pernafasan, HIV/AIDS atau penyakit-penyakit menular berbahaya lainnya, banyak ditemukan di kalangan gelandangan dan pengemis. Permasalahan psikologis kronis sebagai akibat tekanan-takanan hidup yang demikian keras yang selalu mereka hadapi setiap hari dalam mencari dan merebut kesempatan yang demikian terbatas, juga sangat mewarnai kekhasan permasalahan orang miskin pada umumnya. Banyak pula permasalahan-permasalahan mental lain seperti apatisme, merasa tidak berdaya dan kemalasan yang justru sering ditemukan menjadi penyebab mereka masuk ke dalam kehidupan mereka.

Selain itu juga, banyak kasus orang keluar atau melarikan diri dari lingkungan keluarga mereka yang relatif mapan secara ekonomi, karena dalam lingkungan tersebut mereka mengalami tekanan psikososial yang berkelanjutan, dan merasa tidak ada harapan untuk memperbaiki situasi tersebut. Mungkin juga, klien memasuki kehidupan bermasalah (menggelandang atau melacurkan diri) sebagai mekanisme pertahanan terhadap tekanan-tekanan yang mereka rasakan sebagai akibat berbagai kehilangan (grieving) yang telah mereka alami, baik kehilangan dalam arti fisik atau material, kehilangan orang-orang terdekat yang sangat mereka cintai, atau kehilangan citra diri yang sebelumnya sangat mereka banggakan. Korban perkosaan misalnya, merupakan salah satu contoh orang yang mengalami ketertekanan batin karena kehilangan citra diri mereka sebagai wanita suci.


F. Teknik pelayanan dalam bimbingan sosial

Untuk menjamin efektivitas pertolongan pekerja sosial terhadap kliennya, pekerja sosial dituntut untuk mampu memilih dan menerapkan teknik-teknik pertolongan ke dalam metode bimbingan sosial individu yang dipilihnya. Kemampuan memilih dan menerapkan teknik-teknik ini akan sangat ditentukan oleh pemahaman pekerja sosial akan menu teknik yang tersedia dalam ruang lingkup pelayanan pekerjaan sosial, serta kelebihan dan kekurangan setiap teknik tersebut. Pemilihan selanjutnya akan didasarkan pada kemungkinan penerapan, masalah dan kebutuhan klien, faktor pendukung pelaksanaan teknik, termasuk kemampuan pekerja sosial sendiri dalam penerapan teknik-teknik tersebut. Berbagai buku yang membahas tentang teknik-teknik ini tersedia di perpustakaan pekerjaan sosial, namun sebagai penjelasan ringkas terdapat beberapa teknik penting, yang dianggap paling relevan dengan permasalahan di panti akan disampaikan dalam paparan berikut ini.

Sebenarnya cukup banyak pilihan teknik pekerjaan sosial yang dapat diterapkan dalam bimbingan sosial individu. Teknik-teknik tersebut telah dikembangkan dari berbagai pendekatan dalam memahami tingkah laku manusia, diantaranya adalah :

1. Teknik-teknik dalam pendekatan Psikodinamika

Pendekatan psikodinamika memahami tingkah laku manusia sebagai manifestasi dari perkembangan kepribadian klien di masa lalu. Dengan perkataan lain, psikodinamika memandang bahwa tingkah laku manusia dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu yang sering kali disimpan di bawah alam sadar manusia. Teknik-tehnik dalam pendekatan ini banyak digunakan oleh para psikolog atau para ahli psikoanalisa. Akan tetapi terdapat juga beberapa teknik dalam pendekatan ini yang bisa digunakan pekerja sosial, seperti teknik ekplorasi, deskripsi dan ventilasi. Teknik-teknik ini biasa digunakan pekerja sosial dalam menolong klien yang menghadapi permasalahan gangguan depresi ringan, yang disebabkan oleh pengalaman masa lalu yang masih dalam batas kesadaran orang.

Untuk menolong klien tersebut, pekerja sosial memfasilitasi klien untuk mengungkapkan semua perasaanya secara bebas tanpa kekhawatiran yang dapat menghambat pencurahannya. Ketika klien mengalami hambatan untuk itu, pekerja sosial berusaha untuk merangsang klien dengan pertanyaaan-pertanyaan yang dapat membawa klien pada situasi perasaan yang selama ini tersembunyi. Kunci keberhasilan dari penggunaan teknik ini adalah empati dan penerimaan pekerja sosial akan berbagai gaya klien dalam mencurahkan perasaanya. Keseimbangan emosional klien yang akan dicapai sebagai akibat dari kejenuhan emosional setelah klien mencurahkan semua perasaan yang membebaninya, merupakan tujuan utama dari penggunaan teknik ini.

2. Pendekatan Afektif

Pendekatan ini memahami tingkah laku manusia sebagai manifestasi dari perasaannya. Dengan kata lain, kehidupan perasaan menjadi pusat perhatian pertolongan. Beberapa teknik yang mendasar pada pendekatan ini diantaranya adalah, teknik gestalt, ”clien centered” (teknik pertolongan yang berpusat pada pribadi), dan legoterapi. Teknik-teknik yang banyak digunakan pekerja sosial dalam jenis ini adalah teknik gestalt dan client centered yang kemudian dikenal juga dengan teknik refleksi.

a. Teknik Gestalt
Teknik gestalt mendasarkan pada pemahaman mengenai manusia sebagai keseluruhan yang bermakna. Pendekatan ini memandang manusia dalam keterlibatannya untuk mencapai keseimbangan bilamana kehidupannya terganggu oleh kebutuhan-kebutuhan dunia dalam, dan tuntutan-tuntutan dari dunia luar. Gangguan-gangguan ini akan menimbulkan ketegangan-ketegangan sehingga diperlukan keseimbangan. Dalam keadaan sehat manusia akan mampu menerima dan bereaksi terhadap keadaan dunia dalam dan dunia luar. Tetapi jika keadaannya tidak seimbang akan muncul perasaan-perasaan ketakutan dan akan menghindar dari situasi-situasi tersebut. Pertolongan diarahkan pada upaya membantu atau menemani klien dalam menghadapi kenyataan-kenyataan yang dianggap menakutkan tersebut, dan agar mampu mengembangkan dirinya sendiri, mencapai kematangan dan melibatkan diri dalam kehidupan nyata, serta bertanggung jawab akan dirinya sendiri. Pada intinya teknik ini ditujukan untuk memperkuat penyadaran yang akan meningkatkan arti kehidupan klien secara penuh. Beberapa cara yang bisa dilakukan pekerja sosial dalam menerapkan teknik ini diantaranya adalah : penggunaan pengalaman sekarang, dikaitkan dengan masa datang, pemberian pengarahan langsung secara terus-menerus mengenai hal-hal yang harus dilakukan klien, pengubahan bahasa dari pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya menjadi pernyataan-pernyataan, dan penggunaan teknik kursi kosong atau permainan-permainan peran.

b. Teknik pelayanan yang berpusat pada klien (client centered)
Teknik ”client centered” memandang klien sebagai orang yang paling ahli mengenai permasalahan yang mereka hadapi, dan paling ahli dalam mengembangkan alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah, memenuhi kebutuhan, dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Pekerja sosial yang menggunakan teknik ini dituntut untuk membimbing dalam mendengarkan dirinya sendiri dan memahami diri mereka. Dengan pemahaman akan diri mereka sendiri, pemahaman akan masalah, kebutuhan dan potensi yang mereka miliki, klien akan mampu mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi dan mewujudkan cita-cita mereka. Pekerja sosial berusaha untuk selalu merefleksikan ungkapan-ungkapan klien untuk membantu klien mendengarkan dirinya sendiri, dan menstimulasi pengungkapan diri klien dengan pertanyaan-pertanyaan. Merefleksikan ungkapan klien dengan menggunakan bahasa pekerja sosial yang mudah dipahami klien, sebagai cara untuk meyakinkan klien bahwa pekerja sosial dapat memahami apa yang diungkapkan klien. Kemampuan mendengarkan dan empati merupakan kunci utama dalam kesuksesan penggunaan teknik ini.

3. Pendekatan Perilaku

Pendekatan ini menitikberatkan peranan lingkungan atau dunia luar sebagai faktor penting bagi kehidupan seseorang. Dengan perkataan lain, pendekatan perilaku memandang perilaku manusia sebagai sesuatu yang dapat diubah dengan cara menciptakan lingkungan belajar yang baru. Dalam pendekatan ini dipahami bahwa perilaku manusia bisa dibedakan atas :
a. Perilaku operan (didasari), misalnya makan, minum, mandi, bekerja, dll.
b. Perilaku responden (reflek/tidak didasari), seperti menangis, malu, sedih, tertawa, ketergantungan, dll.

Berdasarkan pemahaman ini, maka teknik-teknik perilakupun harus dibedakan sesuai dengan jenis perilaku tersebut :
a. Teknik-teknik operan hanya bisa digunakan untuk mengubah perilaku operan. Contoh teknik operan diantaranya adalah :
- Penguatan positif, penguatan negatif.
- Pemberian hukuman positif.
- Hukuman negatif dan teknik modelling (peniruan).
b. Teknik-teknik responden hanya bisa digunakan untuk perilaku responden, seperti :
- Relaksasi.
- Pengebalan sistematik
- Latihan asertif (dalam rangka meningkatkan rasa percaya diri dengan cara mengekspresikan perasaan atau sikapnya dengan tanpa hambatan), penguasaan diri, dll.

4. Pendekatan Kognitif

Pendekatan kognitif memandang tingkah laku manusia sebagai manifestasi dari perasaan sebagai hasil dari pengolahan kognitif seseorang. Berdasarkan pendekatan ini, pekerja sosial dapat menolong klien dari psikososial yang mereka hadapi dengan mengubah kognisi mereka. Teknik-teknik yang bermuara pada pendekatan kognitif ini diantaranya :
a. Teknik Emosi Rasional (Rational Emotive Techique)
Asumi yang mendasari teknik ini adalah :
1) Bahwa setiap kejadian yang menimpa seseorang akan diterima, diolah dan ditanggapi kognisi yang dimilikinya, yang ditentukan oleh pengalaman, tingkat kedewasaan intelektual, kemampuan berpikir serta pengetahuan yang dimilikinya.
2) Berdasarkan olahan kognisi tersebut seseorangm akan mengeluarkan ”self talk” (kata hati) sebagai upaya pemaknaan terhadap kejadian yang menimpanya tersebut.
3) Kata hati yang muncul bisa bersifat positif, atau bisa juga bersifat negatif. Jika kata hati yang muncul adalah positif, maka akan diikuti dengan reaksi emosional positif, dan sebaliknya jika kata hati yang muncul adalah negatif, maka reaksi emosional yang muncul juga akan negatif.

b. Terapi Realitas
Teknik Emosional Rasional, yang dikembangkan oleh Albert Ellis :
1) Emosi yang muncul akan diikuti dengan kecenderungan tingkah laku yang konsisten dengan reaksi emosional yang muncul.
2) Reaksi emosional tersebut dapat termanifestasikan dalam perilaku-perilaku tertentu, seperti perilaku regresi, hysteria, perilaku agresif, menarik diri, dan lain-lain.
3) Reaksi emosional ini juga akan diikuti dengan reaksi-reaksi fisiologis secara spontan, misalnya : rasa tidak berguna yang dialami seseorang korban pelecehan, akan menghasilkan reaksi emosional berupa stress atau kecemasan-kecemasan.
4) Kecemasan yang dialaminya akan diikuti oleh reaksi fisiologis berupa produksi hormonal yang tidak seimbang. Sebagai akibat dari reaksi hormonal yang tidak seimbang dapat dirasakan dalam keluhan fisik, seperti keringat dingin, sakit punggung, migrain, diare, biduran dan lain-lain.
Berdasarkan rumus ini, maka untuk menolong orang mengatasi stress, dapat dilakukan dengan mengubah kognisi orang tersebut, melalui pemberian informasi yang proporsional mengenai permasalahan yang dihadapi dan pengubahan pola-pola pikir melalui diskusi-diskusi rasional.





























BIMBINGAN SOSIAL INDIVIDU



A. Pendahuluan

Bimbingan sosial individu merupakan pelayanan sosial yang paling banyak diberikan pekerjaan sosial di panti/PSBK. Bimbingan ini diarahkan untuk mengatasi berbagai permasalahan unik yang dialami oleh masing-masing klien, yang memerlukan keahlian khusus dari seseorang pekerja sosial profesional. Dalam pelaksanaanya, pelayanan bimbingan sosial yang dilakukan pekerja sosial akan memerlukan dukungan dari tenaga profesional lain yang bekerja di panti, dn sebaliknya juga akan mendukung pelayanan yang diberikan profesi lain yang menangani klien. Bimbingan sosial individu diberikan kepada klien di panti sebagai jawaban terhadap keunikan klien di PSBK secara umum berkaitan dengan isi kemiskinan, akan tetapi secara realitas permasalahanya bisa sangat bervariasi pada setiap klien, tergantung kepribadian, situasi spesifik yang dihadapi klien dan faktor-faktor penentu atau faktor pengaruh lainya.


B. Pengertian

Terdapat beberapa pengertian bimbingan sosial individu atau istilah asingnya social casework, antara lain :

Menurut Martin Thomas dan John Pierson dalam kamus pekerjaan sosial : Bimbingan sosial individu adalah suatu cara dimana pekerja sosial, adviser dan konselor, bekerja dengan individu dan keluarga.

Menurut Mary Richmond : Bimbingan sosial individu terdiri dari proses-proses untuk mengembangkan kepribadian melalui penyesuaian yang dipengaruhi secara sadar, orang per orang antara manusia dam lingkungan sosialnya.

Menurut Swithum Bowers : Bimbingan sosial adalah suatu seni yang mempergunakan pengetahuan tentang ilmu relasi manusia dan keterampilan dalam mengadakan hubungan untuk memobilisir kemampuan dalam diri individu dan sumber-sumber yang tersedia dalam masyarakat guna penyesuaian yang lebih baik antara klien dengan keseluruhan atau sebagian dari lingkunganya.

Menurut Florence Hollis : Bimbingan sosial Individu adalah pengertian ”orang dalam lingkungan” (the person in their situation ) sebagai suatu konfigurasi tiga aspek yang terdiri dari orang lain, situasi dan interaksi antara keduanya.

Menurut Perlman : Bimbingan sosial individu adalah suatu proses yang dipergunakan oleh badan-badan sosial untuk membantu individu agar mampu memecahkan masalah sendiri.


C. Proses dalam bimbingan sosial individu

Bimbingan sosial dilakukan melalui tahapan-tahapan pelayanan sebagai berikut :
1. Selalu diawali dengan pemahaman dan pengungkapan masalah klien.
2. Perumusan rencana pelayanan atau rencana bimbingan.
3. Pelaksanaan bimbingan.
4. Pemutusan hubungan pelayanan.

Tahapan-tahapan proses pelayanan ini bukan merupakan proses yang bersifat linear, akan tetapi lebih menyerupai sebuah proses siklikal yang bersifat multilinear. Pada saat pekerja sosial melakukan asesmen, bisa saja pada saat yang sama pekerja sosial telah melakukan pertolongan, karena dengan mengungkapkan permasalahanya, sering kali klien telah merasa keluar dari berbagai perasaan-perasaanya. Bisa pula, setelah pekerja sosial melakukan intervensi, ditemukan beberapa persoalan lain yang selama ini belum teramati atau belum terpahami oleh kedua belah pihak, sehingga mengharuskan pekerja sosial untuk melakukan asesmen.

Pemutusan hubungan pelayanan pun bisa dilakukan kapan saja, setiap saat terjadinya hal-hal yang memungkinkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, misalnya karena klien tidak menyukai pekerja sosial yang menolongnya, karena pekerja sosial tidak sanggup lagi melanjutkan proses pertolongan, atau karena klien telah merasa selesai permasalahanya dan tidak lagi membutuhkan pelayanan pekerja sosial. Singkatnya, setiap tahapan pelayanan bisa dilakukan pada setiap saat diperlukan, tergantung kondisi dan kebutuhan klien.

Terdapat beberapa pendapat mengenai tahapan proses bimbingan sosial individu. Pendekatan penyembuhan, menggambarkan proses bimbingan sosial individu sebagai berikut :
1. Melakukan pengumpulan data.
2. Diagnosa.
3. Prognosa dan penyembuhan sosial.
4. Tahapan terminasi.

Sedangkan kelompok lain yang ingin menghilangkan stigmasi klien sebagai orang sakit yang membutuhkan penyembuhan, menggambarkan proses bimbingan sosial :
1. Asesmen atau pengungkapan dan pemahaman masalah yang dilakukan bersama klien.
2. Perumusan rencana intervensi yang selalau diasosiasikan dengan upaya optimalisasi kapasitas klien.
3. Intervensi (yang tidak selalu berkonotasi penyembuhan orang sakit atau bermasalah).
4. Terminasi dan rujukan

Belakangan muncul juga aliran terbaru dalam pekerjaan sosial yang melihat dan menggambarkan proses pelayanan pekerjaan sosial dalam bahasa yang sangat ”membumi” dengan bahasa klien sehari-hari. Mereka menggambarkan bahwa proses pertolongan pekerja sosial diawali dengan dialog atau tanya jawab antara pekerja sosial dengan klien mengenai kehidupan klien, dilanjutkan dengan diskusi mengenai cita-cita dan impian klien, bekerja sama untuk mewujudkan cita-cita dan impian klien dan seterusnya. Istilah yang digunakan dalam penggambaran proses pertolongan ini dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan dan perkembangan. Sesuai dengan perkembangan kesadaran masyarakat mengenai realitas kehidupan manusia.

Terlepas dari perkembangan istilah yang digunakan dalam percaturan pelayanan pekerjaan sosial secara umum, proses pelayanan bimbingan sosial individu yang dapat dilakukan di panti/PSBK, dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Setelah klien diterima sebagai klien panti dan telah menjadi tanggung jawab pekerja sosial tertentu, pekerja sosial mencermati kembali data-data sosial klien yang telah berhasil dicatat dalam proses penerimaan klien.
2. Setelah mencermati data tersebut, pekerja sosial perlu kontak awal dengan klien untuk kemudian membangun kesepakatan pelayanan yang akan dilakukan klien bersama pekerja sosial selama periode waktu pelayanan yang disepakati, dan sesuai dengan ketentuan lembaga.
3. Untuk dapat mencapai kesepakatan pelayanan, kepercayaan klien kepada pekerja sosial menjadi hal yang sangat penting untuk ditanamkan, selain pekerja sosial juga perlu menjelaskan kemampuan-kemampuan yang dapat ditawarkan kepada klien serta keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki pekerja sosial.
4. Berdasarkan kesepakatan pelayanan yang telah dibangun, kemudian mendalami kembali berbagai aspek kehidupan klien yang relevan dengan keperluan pelayanan selanjutnya. Upaya pemahaman itu dilakukan bersama klien, sambil mencari sumber lain yang dianggap penting atau yang berhubungan langsung denga situasi klien dalam istilah pekerjaan sosial yang diperkenalkan oleh Siporin dikenal sebagai ”significant others”. Untuk bisa memahami ini, pekerja sosial perlu melakukan kunjungan ke tempat asal klien atau kepada lingkungan dimana klien ditemukan, dibawa atau datang ke panti. Setiap keterangan atau data yang diperoleh pekerja sosial selalu dicatat dan difilekan dengan baik, sehingga mudah di review dan dipergunakan untuk tahapan pelayanan selanjutnya.
5. Perumusan rencana pelayanan
Berdasarkan pemahaman akan kondisi klien dan keluarganya, pekerja sosial bersama klien mendiskusikan berbagai alternatif yang dapat dilakukan untuk dapat keluar dari permasalahan dan atau mengembangkan kondisi kehidupan mereka secara lebih optimal. Sehubungan dengan variasi permasalahan yang mungkin dialami klien, maka jenis-jenis pelayanan yang harus dikembangkan pun harus bervariasi, agar dapat merespon secara baik variasi kebutuhan klien.
6. Monitoring dan evaluasi
Kemajuan-kemajuan atau perkembangan klinis harus selalu dipantau dan dievaluasi oleh pekerja sosial. Begitupun dengan efektivitas dan efisiensi berbagai teknik intervensi yang digunakan pekerja sosial. Berdasarkan evaluasi terhadap perkembangan klien dan efektivitas serta efisiensi penggunaan teknik tersebut, pekerja sosial harus selalu berusaha untuk memperbaiki dan melakukan perubahan-perubahan pendekatan pelayanan. Ketika hasil evaluasi menunjukan itu akan menjadi petunjuk bagi pekerja sosial dan klien untuk dapat mengakhiri hubungan pertolongan yang telah mereka bangun.
7. Terminasi dan Rujukan
Ketika pekerja sosial tidak dapat menemukan pelayanan yang sesuai kebutuhan klien di dalam panti, maka pekerja sosial harus merujuk klien kepada lembaga lain yang ada dalam jaringan kerja yang telah dikembangkan oleh pekerja sosial dan panti. Dalam situasi seperti ini, brokering menjadi alat atau teknik, sekaligus merupakan intervensi yang sangat tepat untuk mengatasi masalah klien.


D. Bentuk-bentuk pelayanan bimbingan sosial individu

1. Pelayanan Pendampingan (fasilitasi dan asistensi)

Pekerja sosial menolong klien untuk mempermudah upaya pencapaian tujuan dengan cara menyediakan atau memberikan kesempatan dan fasilitasi yang diperlukan klien untuk mengatasi permasalahan-permasalahannya, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya.
a. Dalam upaya ini, pekerja sosial selalu mendampingi klien pada setiap tindakan.
b. Memberikan dukungan-dukungan emosional yang diperlukan klien.
c. Dan selalu berupaya untuk membantu klien dalam mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapinya.
Kesuksesan klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama pekerja sosial, merupakan kunci dalam pendampingan, karena kesuksesan yang dialami klien akan menjadi sumber kekuatan dan motivasi bagi upaya-upaya selanjutnya, dan akan menjadi dasar pembentukan rasa percaya diri klien. Penetapan tujuan yang realistik dan kadar bantuan pekerja sosial menjadi faktor penentu keberhasilan pendampingan. Tujuan yang ditetapkan diawali dengan tujuan sangat sederhana, kemudian beranjak pada tujuan-tujuan yang semakin kompleks, dan bantuan pekerja sosial diawali dengan bantuan penuh, yang kemudian dikurangi sedikit demi sedikit. Ketika klien telah menampakan kesuksesan dalam mencapai tujuan yang relatif kompleks, tanpa bantuan pekerja sosial, itu menjadi pertanda keberhasilan sebuah pendampingan dan siap untuk diterminasi.



2. Pelayanan Meditasi
Ketika pekerja sosial menemukan permasalahan konflik keterpisahan yang dialami seorang klien dengan pihak-pihak lain yang sangat berarti bagi kehidupan klien, maka salah satu intervensi yang perlu diberikan kepada klien yang bersangkutan adalah pelayanan meditasi. Konflik keterpisahan yang dimaksud bisa berupa konflik antara satu klien dengan klien lain, konflik antara klien dengan pemberi pelayanan, antara klien dengan keluarga atau konflik antara klien dengan pihak lembaga. Sebagai mediator, pekerja sosial menemukan permasalahan konflik keterpisahan agar dapat saling memberikan dukungan bagi upaya pencapaian tujuan dan tingkat kesejahteraan yang diinginkan kedua belah pihak. Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki ketidakseimbangan hubungan antara orang dengan lingkungan sosialnya yang dapat mengakibatkan terjadinya masalah. Tingkah laku yang diharapkan dilakukan dalam melaksanakan peranan sebagai mediator adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi latar belakang keterpisahan antara kedua pihak yang mempunyai persepsi yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan pribadi mereka, yang sebetulnya dapat dipertemukan.
b. Mengidentifikasikan hambatan-hambatan atau rintangan-rintangan dan mencari jalan atau saluran untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut agar keduanya dapat dipertemukan.
c. Mencari dan menentukan hal-hal yang merupakan penghubung kepentingan mereka, serta menentukan hal-hal yang menjadi kepentingan pribadi mereka yang tidak mungkin dipersatukan.
d. Memberikan informasi-informasi yang belum diketahui dengan jelas oleh masing-masing pihak tentang pihak lainnya, dengan persetujuan pihak-pihak yang diinformasikan.
e. Memfasilitasi dan menengahi komunikasi terbuka dan terarah antara kedua belah pihak atas persetujuan kedua pihak tersebut.
f. Meyakinkan kedua pihak mengenai misi pekerja sosial yang bertindak untuk kepentingan kedua belah pihak tanpa berat sebelah, jujur dan terpercaya.

3. Brokering (kepialangan sosial)
Pelayanan brokering (penghubung) dilakukan pekerja sosial ketika pekerja sosial menemukan klien yang membutuhkan pelayanan di luar pelayanan yang dapat diberikan pekerja sosial atau panti. Sebagai broker atau pialang sosial, pekerja sosial berupaya untuk menghubungkan klien yang membutuhkan pelayanan dengan sumber-sumber yang menyediakan pelayanan yang dibutuhkan. Tingkah laku-tingkah laku yang diharapkan dari seorang broker adalah :
a. Mengetahui berbagai sumber pelayanan yang dibutuhkan, termasuk prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, dan sebagainya.
b. Menghemat sumber, dengan memperhatikan investasi sumber-sumber tersebut untuk kepentingan jangka panjang. Pekerja sosial harus selalu waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan kebutuhan klien yang krisis pada suatu waktu yang membutuhkan pelayanan sumber tersebut dengan segera.
c. Menciptakan sumber-sumber pelayanan yang belum tersedia didalam masyarakat.

4. Pelayanan Advoaksi (Pembelaan)
Layanan pembelaan atau advokasi sosial perlu diberikan kepada klien yang mengalami konflik dengan pihak lain baik individu atau institusi, dimana klien berada dalam posisi yang dirugikan, dan pekerja sosial maupun klien tidak melihat adanya kesamaan tujuan atau kepentingan yang dapat mempertemukan kepentingan klien. Sebagai pembela, pekerja sosial harus selalu berusaha untuk memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap hak-hak klien yang dilanggar oleh pihak lain agar mampu mendapatkan haknya kembali. Hal-hal yang harus dilakukan dalam melaksanakan peran sebagai advokat adalah :
a. Mengidentifikasi berbagai aturan dan prosedur yang berkaitan dengan pembelaan hak klien.
b. Mendiskusikan dengan klien mengenai tuntutan-tuntutan terhadap pihak yang merugikan.
c. Memberikan penjelasan kepada klien tentang kemungkinan-kemugnkinan dari tindakan pembelaan yang akan dilakukan.
d. Berhubungan langsung dengan pihak yang merugikan klien, dan berbicara atas nama klien.
e. Melakukan tindakan pembelaan dengam cara memberikan kekuatan, menggerakan dan mengatur klien serta memberikan kebebasan kepada klien untuk mendapatkan kembali hak-haknya yang telah dilanggar.

5. Pelayanan laisoning (pengembangan sosial) klien dengan keluarganya dan bagi orang tua dengan lembaga
Sebagai laison, pekerja sosial memberikan informasi-informasi yang diperlukan oleh pihak keluarga mengenai kondisi klien dan kondisi lembaga, agar dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang tepat dalam menentukan tindakannya, demi kepentingan klien. Disamping itu, pekerja sosial juga memberikan informasi yang tepat mengenai kondisi keluarga kepada lembaga, sebagai bahan pertimbangan lembaga dalam menentukan tindakan yang tepat bagi klien dan keluarganya.
6. Pelayanan konseling
Pekerja sosial membantu klien untuk memahami dan menyadari permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, memahami potensi-potensi dan kekuatan-kekuatan yang dimilikinya, serta membimbing untuk menemukan, menunjukkan, dan atau memberikan cara pemecahan masalah yang diperlukan. Mengenai bagaimana melakukan konseling akan dibahas secara khusus dalam bahasan mengenai konseling dalam pekerjaan sosial.


BIMBINGAN SOSIAL KELOMPOK


A. Pengantar

Bimbingan sosial kelompok merupakan suatu metode intervensi pekejaan sosial dimana sejumlah klien/orang berkumpul dan berbagi isu-isu (topik-topik yang mereka minati atau masalah-masalah yang mereka hadapi). Kelompok ini bertemu secara teratur dan kegiatan di dalam kelompok ini dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah disusun. Tujuan bimbingan sosial kelompok termasuk pertukaran informasi pengembangan kemampuan anggota kelompok, perubahan nilai-nilai orientasi dan perubahan sikap antisosial ke sikap produktif. Topik yang dibicarakan juga bervariasi, tidak terbatas pada diskusi tentang terapi kontrol (The Social Work Dictionary, Robert L. Barker, 2nd Edition). Untuk komposisi kelompok, jumlah anggota kelompok berkisar antara 4-7 orang, dengan adanya variasi latar belakang masalah umur, jenis kelamin maupun pendidikan diantara anggota kelompok.


B. Proses pelaksanaan bimbingan sosial kelompok

1. Persiapan
a. Pembentukan kelompok dan komposisi kelompok.
b. Seleksi topik yang relavan.
Materi diskusi sebaiknya ditentukan atas kesepakatan dari seluruh anggota kelompok. Beberapa pekerja sosial biasanya melakukan itu dengan cara membagikan kertas kepada anggota kelompok, dan mereka diminta untuk menuliskan topik permasalahan yang mereka inginkan untuk dibahas dalam pertemuan kelompok. Mereka diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat mereka secara rahasia, sehingga tidak ada beban psikologis yang menghambat penyampaian pendapat dan keinginan mereka.
c. Perencanaan waktu dan tempat.
d. Perencanaan tempat duduk peserta anggota kelompok.
e. Penyediaan lembar isian untuk perkembangan hasil diskusi.

2. Pelaksanaan
a. Perkenalan diantara peserta dan pekerja sosial.
b. Penjelasan peran dan tugas pekerja sosial dan peserta bimbingan sosial kelompok berdasarkan tulisan mereka sebelum sesi ini, kemudian secara bersama-sama menyusun prirotas masalah yang akan dibahas.
c. Penentuan tujuan bersama yang ingin dicapai dalam jangka panjang dan tujuan sesi.
d. Penjelasan peran dan tugas pekerja sosial dan peserta bimbingan sosial kelompok.
e. Pimpinan kelompok kemudian memfasilitasi terjasinya interaksi kelompok sesuai dengan peran masing-masing, untuk mencapai tujuan yang telah disepakati.

3. Akhir sesi bimbingan sosial kelompok
a. Merangkum atau memberikan tekanan-tekanan atas hasil pertemuan kelompok.
b. Meminta semua anggota kelompok untuk memberikan evaluasi dan umpan balik atas apa yang terjadi pada sesi ini.
c. Merencanakan topik dan kegiatan kelompok untuk sesi berikutnya.
d. Membuat laporan hasil diskusi dalam bimbingan kelompok.
e. Memonitor perkembangan hasil diskusi kelompok.

C. Bentuk-bentuk bimbingan sosial kelompok

1. Self Help Group (kelompok tolong menolong)
Menurut kata-kata Bender (1979) dalam buku The Practise of Social Work (Zatrow, 1992 : 1.138) pengertian kelompok tolong menolong adalah sukarela kelompok kecil yang terstruktur untuk saling menolong dan membantu, dan saling berusaha untuk dapat mencapai tujuan khusus. Biasanya group ini terbentuk oleh kelompok sebaya yang bersama-sama menginginkan untuk dapat saling membantu dalam memuaskan/mencapai kebutuhan-kebutuhan yang umum dan mengatasi masalah-masalah yang mengganggu kehidupan. Beberapa kelompok tolong-menolong menekankan pada :
a. Pengakuan dari anggota kelompok bahwa mereka mempunyai masalah.
b. Kesaksian dari anggota kelompok tentang pengalamannya dalam menghadapi permasalahan, dan rencana mereka didalam mengatasi permasalahan mereka.
c. Pemberian dukungan sesama anggota kelompok.

2. Kelompok penyembuhan (therapeutic group)
Kelompok penyembuhan adalah salah satu metode pekerjaan sosial yang menggunakan interaksi kelompok-kelompok sebagai alat penyembuhan masalah sosial yang dihadapi klien/anggota kelompok. Biasanya terdiri dari anggota-anggota yang memiliki masalah-masalah dan emosi yang lebih parah/mendalam. Dengan demikian kepemimpinan dari kelompok ini memerlukan/mengharuskan seseorang memiliki kemampuan, persepsi, dan pengetahuan tentang sifat-sifat manusia dan dinamika kelompok, kemampuan dalam konseling kelompok dan kemampuan untuk menggunakan kelompok untuk dapat mengadakan perubahan perilaku. Dalam kelompok penyembuhan, biasanya anggota diberi kesempatan untuk mengekplorasi/menggali permasalahan dan mencurahkan seluruh emosinya secara mendalam. Kemudian anggota-anggota kelompok secara strategis mengatasi permasalahan tersebut.


a. Ciri-ciri kelompok penyembuhan
1) Memfokuskan pada situasi spesifik.
2) Dirancang untuk para partisipan yang mengalami masalah psikososial (bukan permasalahn psikologis yang serius).
3) Proses kelompok bisa bersifat terbuka (open ended) atau bersifat terbatas (time limited).

b. Prinsip-prinsip kelompok penyembuhan
1) Tujuan-tujuan penyembuhan harus dirumuskan bagi setiap peserta atau anggota kelompok.
2) Pimpinan kelompok merumuskan tujuan kelompok berdasarkan tujuan-tujuan individual anggota kelompok.
3) Pimpinan kelompok memfasilitasi kelompok dalam menyepakati nilai-nilai kelompok yang sesuai dengan tujuan kelompok.
4) Pimpinan kelompok memfasilitasi dinamika kelompok demi tercapainya tujuan-tujuan kelompok

c. Tujuan kelompok penyembuhan
1) Menurunkan tingkat kecemasan anggota kelompok.
2) Mempengaruhi anggota kelompok untuk melanjutkan upaya-upaya penyembuhan.
3) Mengajarkan anggota kelompok untuk memperoleh rasa aman dan nyaman dalam menjalin relasi dengan orang lain.
4) Meningkatkan konsep diri dan citra diri anggota kelompok, melalui kesadaran dan dukungan orang lain terhadap dirinya dalam proses kelompok.
5) Membantu memecahkan masalah-masalah utama yang sering dialami oleh peserta kelompok.
6) Mengembangkan tanggung jawab individual terhadap orang lain.
7) Memodifikasi perilaku anggota kelompok.

d. Manfaat
1) Tempat mendiskusikan perasaan-perasaan yang timbul dari konflik.
2) Menurunkan kecemasan klien dalam menghadapi terapi.
3) Mengatasi penolakan klien terhadap rehabilitasi sosial.

e. Pendekatan-pendekatan dalam kelompok penyembuhan
1) Psikoanalisa.
2) Dinamika kelompok.
3) Pengalaman eksistensia.
4) Terapi perilaku.
5) Psikodrama.
6) Interaksional.
7) Tolong menolong dan sebagainya.
D. Kelompok sosialiasi (socialisation group)
Biasanya mempunyai tujuan untuk mengembangkan atau mengubah perilaku dan sikap anggota kelompok, agar dapat membentuk sikap dan perilaku yang lebih diterima dalam lingkungan sosial. Di dalam kegiatan ini termasuk pembentukan pengembangan keterampilan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan pengembangan perencanaan hidup untuk masa depan merupakan topik bahasan utama.

1. Kelompok rekreasi
Tujuan kelompok ini adalah untuk menyediakan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan (dan merupakan latihan-latihan ringan bahkan kegiatannya) sering bersifat spontan, seperti kegiatan olahraga, kesenian, piknik, dan sebagainya.

2. Penerapan Bimbingan sosial kelompok di panti.
Bimbingan sosial kelompok digunakan pekerja sosial dalam tahapan pelayanan di panti dan dalam tahapan bimbingan lanjutan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial emosional yang dialami klien, dan atau mengembangkan berbagai kapasitas dan potensi yang dimiliki klien. Bimbingan sosial kelompok ini berbeda dari kegiatan-kegiatan belajar mengajar yang sering diselenggarakan oleh para instruktur vokasional dalam melatih keterampilan kerja klien rehabilitasi. Jika kegiatan belajar mengajar yang dilakukan para instruktur berfokus pada peningkatan kemampuan kognitif dan psikomotorik klien, maka kegiatan bimbingan sosial diarahkan kepada aspek psikososial klien. Berbagai program bimbingan sosial kelompok biasanya dilaksanakan secara berkala oleh pekerja sosial terhadap klien yang dibimbingnya, baik dalam bentuk kelompok wajib maupun kelompok sukarela. Pada kelas-kelas wajib biasanya seluruh klien yang dibimbing pekerja sosial wajib menghadiri kegiatan kelompok yang biasanya telah terprogram secara baik yang didasarkan pada hasil asesemen pekerja sosial mengenai seluruh kliennya, sedangkan pada kelas-kelas sukarela, pekerja sosial hanya menyediakan jadwal rutin, sementara program kegiatan kelompok dan pesertanya didasarkan atas minat dan kebutuhan saat kegiatan kelompok tersebut diselenggarakan.


Bahan rujukan :
1. Skaffer, John BP dan galansky, M. David. (1989). Model of group therapy. New jersey : Prentice Hall
2. Whitakker. (1974). Social Treatment. Illinois : Aldine Pub. Co.
3. Zastrow, Charles. (1992). The Practice of Social Work., Fourth Edition. Belmont, California : Wadsworth Publisihing Company.




BIMBINGAN SOSIAL MASYARAKAT



A. Pengertian

Bimbingan sosial masyarakat adalah suatu istilah yang digunakan pekerja sosial untuk metode pelayanan yang diarahkan kepada masyarakat atau komunitas. Istilah ini digunakan sebagai terjemahan dari community work, yang belakangan banyak digunakan untuk dapat merangkul berbagai pendekatan yang digunakan pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebelumnya, orang dengan sangat fantastis membedakan apa yang disebut sebagai pengembangan masyarakat dan pengorganisasian masyarkat. Memang belum ada kesepakatan mengenai apa yang disebut dengan community work atau bimbingan sosial dengan masyarakat.

Meskipun demikian, sebagai pemahaman sederhana community work, Netting (1993) mengartikan community work sebagai suatu proses yang berlangsung untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat umum dalam meningkatkan kehidupan masyarakat tesebut dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan bersama di dalam kelompok-kelompok atau kolektivitas.

Pendahulunya, Arthur Dunham mengartikan pengorganisasian masyarakat (community organisation) sebagai proses dinamis untuk mewujudkan penyesuaian yang semakin efektif antara kebutuhan sumber-sumber kesejahteraan sosial.

Wibur I. Newsleter, mengartikan pengembangan masyarakat sebagai proses peningkatan hubungan-hubungan timbal balik yang memuaskan antara kelompok, serta mendayagunakan hubungan-hubungan ini, untuk mengembangkan tujuan-tujuan pekerjaan sosial. Tenaga pelaksana kegiatan ini sering disebut ’community workers’, mereka banyak dipekerjakan dalam berbagai lembaga dengan tujuan dan alasan yang berbeda-beda, sehingga sebutan mereka sering berbeda : tenaga pelayanan sukarela, petugas penghubung (liaision officers), tenaga pengembangan masyarakat (development workers), dan sebagainya.


B. Tujuan Bimbingan Sosial Masyarakat

Secara umum, bimbingan sosial masyarakat bertujuan untuk mewujudkan :
- Jalur komunikasi antar segmen masyarakat.
- Pemahaman tentang kondisi objektif masyarakat.
- Partisipasi masyarakat.
- Perencanaan dan pemberdayaan masyarakat.

C. Teknik-teknik Bimbingan Sosial Masyarakat

Untuk dapat menerapkan bimbingan sosial masyarakat secara baik, seorang pekerja sosial perlu memilih dengan cara apa bimbingan sosial masyarakat tersebut dilaksanakan. Cara-cara penerapan tersebut dikenal dengan istilah teknik, atau sebagian orang, menyebutnya sebagai taktik pelaksanaan kegiatan. Banyak teknik yang dapat dipilih pekerja sosial. Pemilihan atas teknik-teknik tersebut harus didasarkan atas asesmen yang telah dilakukan pada tahapan pelayanan sebelumnya bersama dengan masyarakat sebagai sistem klien (sistem penerimaan pelayanan). Yang dimaksud dengan teknik adalah : ”any skillful method used to gain an end” (Brager, et. al., 1987).

Istilah taktik juga diguanakan orang untuk hal yang sama, terdapat 4 aspek utama yang dikemukankan Brager mengenai taktik intervensi :
1. Taktik yang akan diterapkan harus terencana secara baik.
2. Digunakan untuk menghasilkan respon-respon spesifik.
3. Pemilihan taktik dengan melibatkan interaksi dengan orang lain.
4. Pemilihan taktik harus berorintasi pada tujuan (goal oriented).

Menurut Netting (1993), unsur kelima yang juga penting adalah :
1. Taktik tidak membahayakan sistem klien, dan jika mungkin sistem klien selalu terlibat pemilihan taktik intervensi yang akan digunakan.
2. Hal yang penting yang juga menjadi perhatian adalah bahwa setiap upaya perubahan dalam masyarakat selalu berkaitan dengan persoalan alokasi sumber yang bersifat terbatas, yang meliputi : otoritas, status, power/kekuasaan, barang-barang, pelayanan-pelayanan atau uang.

Para ahli di bidang ini memandang bahwa bimbingan sosial masyarakat dapat diterapkan dengan model yang berbeda-beda, tergantung dari kebutuhan dan karakteristik masyarakat yang ditangani. Rothman dan Tropman (1987) misalnya, membagi pengorganisasian masyarakat kedalam 3 (tiga) model utama yaitu :

1. Model pengembangan masyarakat lokal (model A)
Model A, diterapkan pada masyarakat yang mengalami anomi dan kemurungan sosial, di dalamnya terdapat kesenjangan relasi dan kapasitas dalam memecahkan masalah secara demokratis serta komunitas tradisional yang statis. Tujuan utama model ini adalah untuk meningkatkan kemandirian masyarakat, pengembangan kapasitas dan pengintegrasian masyarakat. Proses dianggap lebih penting dibandingkan dengan hasilnya itu sendiri.

2. Model Perencana sosial (Model B)
Model B, diterapkan pada masyarakat yang memiliki masalah sosial yang lebih jelas, misalnya, mengalami masalah kesehatan fisik dan mental, perumahan atau permasalahan rasional. Model ini diarahkan untuk memecahkan masalah dengan memperhatikan permasalahan-permasalahan yang dianggap paling penting oleh masyarakat tersebut. Tujuan menjadi orientasi utama dalam penerapan model ini.

3. Aksi sosial (Model C)
Model C, diterapkan pada populasi yang dirugikan oleh pihak lain, atau di dalamnya terdapat kesenjangan sosial, terjadi perampasan hak atau ketidakadilan. Model ini diterapkan untuk pengalihan sumber daya dan kekuasaan, dan untuk melakukan perubahan institusi-institusi dasar. Tujuan maupun proses dalam model ini, keduanya dianggap sama-sama penting.

Brager & Holloway (1978), juga Brager (1987) membagi jenis-jenis teknik intervensi berdasarkan hubungan antara sistem sasaran dengan sistem kegiatan target (target system dan action system) kedalam 3 jenis teknik (taktik), yaitu :

1. Kolaborasi (kerjasama)
Kolaborasi dilakukan apabila sistem sasaran setuju (mudah teryakinkan untuk sepakat) dengan sistem kegiatan mengenai perlunya perubahan dan dukungan alokasi sumber. Dua jenis teknik kolaborasi yaitu :
a. Implementasi
Digunakan makala sistem kegiatan sasaran bekerja sama dengan kesepakatan akan perubahan yang diinginkan serta adanya dukungan pengambilan keputusan akan alokasi dana yang dibutuhkan.
b. Capacity Building
1) Partisipasi
Mengacu pada kegaitan-kegiatan yang berupaya untuk melibatkan anggota sistem klien dalam usaha perubahan.
2) Empowerment
Empowerment adalah proses pertolongan bagi suatu kelompok atau masyarakat agar memiliki pengaruh secara politik atau memiliki otoritas hukum yang relavan (Barker, 1987). Dalam teknik empowerment, upaya diarahkan untuk memungkinkan orang menyadari akan hak-haknya, dan mengajari mereka mengenai cara memperoleh hak-haknya sehingga mereka lebih memiliki kemampuan dalam mengendalikan berbagai faktor yang mempengaruhi kehidupannya.

2. Kampanye (Penyuluhan sosial)
Kampanye akan diperlukan untuk dilakukan apabila sistem sasaran tidak menolak untuk berkomunikasi dengan sistem kegiatan, akan tetapi konsensus akan perlunya perubahan, atau sistem sasaran mendukung perubahan tetapi tidak ada alokasi sumber untuk perubahan tersebut. Termasuk dalam kategori teknik kampanye adalah :



a. Teknik Edukasi
Sistem perubahan berinteraksi dengan sistem sasaran dengan menyajikan berbagai persepsi, sikap, opini-opini, data dan informasi mengenai perubahan yang diinginkan, dengan tujuan untuk menyakinkan sistem sasaran agar merubah cara berpikir atau bertindaknya yang selama ini dianggap kurang sejalan dengan perubahan yang diperlukan.
b. Teknik Persuasi
Mengacu pada seni orang untuk menyakinkan orang lain agar menerima dan mendukung pandangan-pandangan atau persepsinya mengenai suatu isi (framing problem statement, skillful communication).
1) Cooption
Meminimalisir kemungkinan terjadinya oposisi dengan cara menyerap atau melibatkan anggota-anggota sisitem sasaran ke dalam sistem sasaran dan sistem kegiatan. Pelibatan anggota kelompok sasaran secara individual disebut ”Informal Cooption”, sedangkan melibatkan sistem sasaran secara kelompok disebut ”Formal Cooption”.
2) Lobbying
Adalah sebuah bentuk perusasi yang mengarah pada perubahan kebijakan di bawah jelajah sistem pengendalaian. Sistem perubahan akan menentukan apakah suatu kebijakan diperlukan, harus dihapuskan atau perlu dikembangkan, agar tujuan dapat dicapai. Hal yang penting dipertimbangkan dalam melakukan lobi ini adalah : faktual dan jujur, tidak berbelit-belit dan didukung data, diskusi harus diarahkan pada tinjauan kritis mengenai objek pembicaraan (melihat sisi baik maupun buruknya).
c. Penggunaan media massa
Mengembangkan dan menayangkan cerita-cerita yang bernuansa berita ke dalam media-media elektronik maupun cetak dengan tujuan untuk mempengaruhi pendapat umum. Teknik ini digunakan untuk mendesak para pengambil keputusan untuk menyepakati cara-cara pemecahan masalah yang telah teridentifikasi.

3. Kontes
Kontes dilakukan apabila sistem sasaran tidak setuju dengan perubahan dan atau alokasi sumber, dan masih terbuka bagi terjadinya komunikasi mengenai ketidaksepakatan ini. Kontes digunakan apabila termasuk dalam kategori ini adalah :
a. Tawar menawar (bargaining) dan negoisasi
Teknik negosiasi dilakukan apabila kesepakatan atas pelaksanaan perubahan yang harus dilakukan masih belum dicapai dan masih perlu dirundingkan, atau kesepakatan mengenai perubahan yang diinginkan telah dicapai, namun alokasi sumber yang diperlukan masih belum disepakati.
b. Aksi masyarakat atau kelompok besar
Teknik aksi sosial hanya dilakukan apabila pekerja sosial berhadapan dengan situasi dimana masyarakat berada dalam pihak yang dirugikan oleh pihak lain, dan pekerja sosial maupun masyarakat tidak melihat adanya kesamaan tujuan antara berbagai pihak yang seharusnya bekerja sama untuk kepentingan masyarakat. Namun perlu menjadi catatan, bahwa penggunaan teknik sosial memiliki resiko yang sangat besar baik bagi masyarakat maupun pekerja sosial sendiri, sehingga teknik ini biasanya menjadi pilihan terakhir dalam bimbingan masyarakat. Beberapa teknik aksi sosial yang biasa digunakan, diantaranya adalah :
1) Legal Action (misal : demonstrasi).
2) Illegal Action (misal : ketidakpatuhan warga).
3) Class Action Lawsuit.

4. Penerapan di panti
Bimbingan sosial masyarakat diterapkan di panti dalam tahap sosialisasi program panti dan dalam tahap penyiapan penyaluran klien ke masyarakat. Bimbingan sosial masyarakat ini digunakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pemasalahan dan pentingnya upaya untuk segera mengatasi permasalahan gepeng yang ada dalam lingkungan mereka, serta untuk meningkatkan kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya penanganan masalah tersebut. Pada tahap sosialiasi program panti, bimbingan sosial masyarakat terutama digunakan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh panti, meraih partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas pelayanan panti, serta untuk memotivasi berbagai pelayanan masyarakat agar memanfaatkan pelayanan-pelayanan panti. Dengan menggunakan bimbingan sosial masyarakat, pekerja sosial panti mengupayakan terjalinnya kerjasama (networking) dan koordinasi antar lembaga yang berkaitan dengan upaya penanganan masalah gepeng.

Pada tahap penyiapan penyaluran klien ke masyarakat, bimbingan sosial masyarakat dilakukan untuk menggalang partisipasi berbagai lapisan masyarakat, untuk turut ambil bagian secara aktif dalam berbagai upaya pembinaan lanjutan bagi eks klien, serta dapat menerima mereka sebagai warga masyarakat yang memiliki hak yang sama dengan warga masyarakat pada umumnya. Terciptanya lingkungan kondusif bagi perkembangan dan optimalisasi kemampuan serta keberfungsian sosial eks klien di dalam masyarakat, merupakan tujuan umum yang ingin dicapai dengan penggunaan bimbingan sosial masyarakat. Yang menjadi sasaran bimbingan sosial masyarakat di panti dalam tahap sosialisasi program adalah warga masyarakat dimana klien berasal dan akan dikembalikan, berbagai masalah instansi dan lembaga yang berkaitan dengan upaya pembinaan dan penanganan gepeng.





SESI 1-6 : BIMBINGAN PENUNJANG
























-.












PENDAHULUAN


Dalam pandangan sosial ekonomi, pada hakekatnya klien melakukan kegiatan menggelandang atau mengemis, adalah dalam rangka mempertahankan hidup (survival strategies), untuk mencari nafkah demi pemenuhan kebutuhan hidup diri dan mungkin keluarganya. Akan tetapi, dalam upaya yang mereka lakukan tersebut, terdapat beberapa aspek yang dapat mengakibatkan mereka mengalami berbagai macam tekanan maupun ancaman. Secara pribadi, biasanya klien gelandangan/pengemis mengalami perasaan-perasaan tidak aman, mereka dipersalahkan, merasa tidak punya harga diri, malu dan lain sebagainya. Perasaan-perasaan seperti itu muncul sebagai akibat dari adanya benturan-benturan nilai pribadi mereka yang berbeda dari nilai-nilai budaya, sosial, agama, maupun secara hukum yang berlaku di sekitar mereka. Benturan dengan norma atau nilai tersebut misalnya, masyarakat secara makro percaya bahwa mengemis adalah perilaku yang malas, menggelandang di tempat umum adalah melanggar aturan karena mengurangi atau merusak keindahan kota dan lain-lain.

Selain itu, pekerjaan yang mereka lakukan juga mengandung berbagai ancaman terhadap keselamatan mereka. Misalnya saja, mereka rentan terhadap kecelakaan tertabrak kendaraan bermotor atau terkena pecahan kaca, alumunium atau benda tajam lainnya serta bahaya radiasi, atau kemungkinan mereka menjadi korban tindak kekerasan atau penganiayaan dan pelecahan oleh pihak-pihak tertentu. Banyak terjadi kasus-kasus pemerasan, pemerkosaan, perampokan, pencurian, bahkan pembunuhan yang dialami para gelandangan dan pengemis. Tidak sedikit orang tidak berdaya dipaksa dengan berbagai ancaman agar mereka menjadi pengemis demi kepentingan orang yang memaksanya, atau terpaksa menggelandang karena tidak memperoleh pekerjaan dan tempat berteduh yang layak. Kenyataan juga menunjukan bahwa para gelandangan sangat rentan untuk tertular penyakit kulit, pernafasan, dan juga penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS yang sangat mematikan.

Pada umumnya klien gepeng melakukan kegiatan karena mereka dihadapkan pada suatu situasi yang tidak memungkinkan mereka memiliki pilihan yang memadai. Seperti misalnya, keterbatasan pengetahuan dan keterampilan sebagai modal kerja, serta sempitnya lapangan kerja bagi mereka, atau karena mereka tidak kuasa menolak paksaan pihak tertentu, sehingga mereka terpaksa mencari nafkah dengan mengemis dan menggelandang. Untuk itu, bimbingan-bimbingan yang diberikan di pusat-pusat rehabilitasi dapat hadir sebagai pilihan yang dapat menjanjikan masa depan mereka. Sesuai dengan prinsip rehabilitasi sosial yang bersifat komprehensif dan interdisipliner serta dapat menjawab keunikan klien, pada pusat-pusat rehabilitasi sosial biasanya dilakukan berbagai pelayanan interdisipliener selain bimbingan-bimbingan sosial yang menjadi tugas pokok para pekerja sosial. Beberapa program yang biasanya disajikan adalah tugas-tugas bengkel kerja, latihan vokasional, latihan kompetensi sosial, latihan hidup mandiri di masyarakat, serta kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan waktu luang. Berbagai program ini disajikan secara pararel dan pelaksanaanya disesuaikan dengan kebutuhan klien yang dipahami melalui hasil asesmen. Tidak harus semua klien mengikuti semua jenis bimbingan.









































BIMBINGAN FISIK


A. Pentingnya Bimbingan Fisik

Sehubungan dengan kerawanan para gepeng akan beberapa penyakit yang berkaitan dengan sifat pekerjaan yang mereka lakukan, maka bimbingan fisik termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan, sangat penting diberikan kepada klien (gepeng : berkaitan dengan penyakit kulit, saluran pernafasan dan juga penyakit menular seks dan HIV/AIDS). Selain itu, telah sejak lama juga diakui banyak orang bahwa bimbingan fisik, baik berupa pelayanan kesehatan maupun bimbingan kesegaran jasmani dan rekreasi fisik dianggap sangat penting bagi klien-klien rehabilitasi. Banyak keterampilan, termasuk keterampilan pengambilan keputusan justru bisa dikembangkan dalam kegiatan-kegiatan rekreatif. Hal ini sangat signifikan bagi pembentukan rasa tanggung jawab sosial klien dalam masyarakat.


B. Tujuan Bimbingan Fisik

1. Bimbingan kesehatan bertujuan untuk :
a. Mencegah berjangkitnya penyakit-penyakit tertantu pada klien.
b. Mengobati penyakit yang dialami klien secara dini.
c. Meningkatkan pengetahuan klien tentang penyakit-penyakit tertentu yang mengancam kehidupan mereka.
d. Meningkatkan derajat kesehatan klien.
e. Meningkatkan pola hidup sehat.

2. Bimbingan kesegaran jasmani dan rekreasi, bertujuan untuk :
a. Menigkatkan motivasi.
b. Meningkatkan rasa percaya diri.
c. Menurunkan kecemasan
d. Membangun fisik dan postur tubuh.
Kesemua tujuan ini akan sangat mempengaruhi kemampuan klien dalam menemukan pekerjaan yang lebih baik setelah mereka keluar dari pusat-pusat rehabilitasi.


C. Jenis-Jenis Bimbingan Fisik

Secara umum terdapat dua jenis bimbingan fisik yaitu :
1. Bimbingan kesehatan
Kegiatan-kegiatan bimbingan kesehatan meliputi :

a. Program pemeriksaan kesehatan dan pengobatan secara periodik.
b. Program imunisasi untuk pencegahan penyakit-penyakit tertentu.
c. Perawatan kesehatan, rawat jalan dan rawat inap sesuai dengan kebutuhan klien.
d. Fisioterapi bagi klien-klien yang memerlukannya.
e. Penyuluhan kesehatan untuk menunjang perilaku hidup sehat sehari-hari.

2. Bimbingan kesegaran jasmani dan rekreasi, berupa :
a. Olah tubuh dan relaksasi yang dapat menurunkan kecamasan klien.
b. Olah raga sepak bola, voley, senam dan tenis meja dan latihan baris-berbaris.
c. Kegiatan-kegiatan rekreatif.


D. Pelaksanakan Bimbingan Fisik

Pusat-pusat rehabilitasi sosial yang mampu, dapat memperkerjakan tenaga-tenaga kesehatan, perawat dan dokter, juga instruktur-instruktur olah raga dan rekreasi sebagai tenaga tetap panti. Akan tetapi yang paling memungkinkan, pelayanan kesehatan dilakukan atas kerja sama panti dengan pusat-pusat pelayanan kesehatan, seperti puskesmas atau rumah sakit terdekat, juga dengan instansi-instansi terkait lainnya. Selain itu, panti juga bisa mengembangkan jaringan dengan para relawan kesehatan, baik yang memiliki latar belakang profesi kedokteran, fisioterapi, keperawatan atau tenaga kesehatan lainya. Bimbingan fisik diberikan secara rutin dengan jadwal yang telah ditentukan.


E. Tenaga Pelaksana Bimbingan Fisik

Bimbingan fisik diberikan oleh ahli kesehatan jasmani, antara lain : dokter, perawat, fisioterapis, instruktur olah raga dan sebagainya, termasuk petugas dari kepolisian untuk bimbingan baris-berbaris.













BIMBINGAN MENTAL SPIRITUAL



A. Pentingnya Bimbingan Mental Spiritual

Pengahayatan spiritual merupakan kebutuhan setiap insan untuk mencapai ketenangan jiwa dalam kehidupanya. Bagi klien gepeng, perasaan bersalah (guilty feeling) dan terhina atau tercampakkan menghantui kehidupannya. Mereka tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang tidak disukai oleh banyak orang dan dianggap menggangu serta menyimpang dari norma sosial. Terlebih, perasaan seperti ini ditambah dengan perasaan tertekan karena adanya stigma dari masyarakat atas apa yang dilakukannya, tidaklah mungkin menambah beban tersendiri bagi mereka. Untuk itu, bimbingan mental spiritual tampaknya sangat diperlukan. Selain itu, seringkali seseorang melakukan suatu tindakan tidak saja karena suatu keterpaksaan, namun bisa saja berhubungan dengan mental spiritualnya. Misalnya, seseorang menggelandang didorong oleh faktor kemalasan untuk hidup mapan atau tidak mau bekerja keras sebagainya. Hal ini menuntut adanya suatu upaya untuk melakukan perubahan terhadap sikap mental tersebut.


B. Tujuan Pelaksanan Bimbingan Mental Spiritual

Pelaksanaan bimbingan mental spiritual dilaksanakan dengan tujuan :
1. Meningkatkan kesadaran klien akan aturan-aturan hidup dan bermasyarakat.
2. Meningkatkan disiplin dan tanggung jawab sosial klien.
3. Meningkatkan ketenangan hidup klien.
4. Mengurangi perilaku-perilaku negatif yang merugikan klien.
5. Memperjelas tujuan hidup klien.


C. Jenis-Jenis Bimbingan Mental Spiritual

1. Bimbingan mental spiritual diberikan dalam bentuk bimbingan keagamaan.
2. Bimbingan dan latihan kedisiplinan dan tanggung jawab sosial.


D. Pelaksanaan Bimbingan Mental Spiritual

Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin, seminggu sekali. Selain itu, kegiatan keagamaan juga diselenggarakan pada peringatan hari-hari besar keagamaan yang juga melibatkan masyarakat sekitar.

E. Tenaga Pelaksana Bimbingan Mental Spiritual

Perlu dicatat, bahwa bimbingan mental spiritual belum tentu diberikan oleh pekerja sosial, namun panti dapat menunjuk profesi lain untuk melaksanakannya. Dalam hal ini misalnya, ulama dan atau pemuka agama serta petugas dari kepolisian.



































BIMBINGAN KETERAMPILAN



A. Pentingnya Bimbingan Keterampilan

Terdapat dua alasan mengapa diadakan bimbingan keterampilan. Pertama, berkaitan dengan etika kerja, menilik pekerjaan bagi seseorang merupakan harga diri dan dirinya dianggap layak seperti manusia lainnya dan dapat menigkatkan status. Kedua, bimbingan keterampilan terutama yang berkaitan dengan keterampilan kerja harus didasarkan pada suatu kegiatan operasional yang bersifat konkrit, rutin dan terstruktur. Untuk pelaksanaanya, diperlukan demonstrasi yang bersifat visual serta penguatan-penguatan yang bersifat dapat dirasakan (tangible reinforcement).

Pemberian bimbingan keterampilan seharusnya dilakukan secara terus-menerus dengan menggunakan alat-alat yang memadai dan konkrit (disertai dengan visualisasi alat yang harus digunakan dengan menggunakan manual atau petunjuk mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menghasilkan sesuatu), sehingga dimungkinkan bagi penerima bimbingan dalam hal ini klien untuk mengulang suatu keterampilan tertentu dan mengulanginya kembali sampai mahir melakukanya. Biasanya hal ini seringkali diabaikan oleh para pemberi bimbingan keterampilan, yang tampaknya sepele namun sangat menentukan. Pada umumnya klien mengalami masalah dalam berkompetisi dengan orang lain, pada umumnya untuk mendapatkan kesempatan kerja yang layak, yang memungkinkannya memperoleh penghasilan yang layak sehingga bisa mandiri dan tidak tergantung secara ekonomis kepada orang pemberi bimbingan keterampilan. Bimbingan keterampilan sangat perlu diberikan kepada klien dalam rangka membekali klien dengan keterampilan-keterampilan tertentu yang berguna, untuk dapat dikembangkan sebagai alat untuk memperoleh pendapatan yang layak.


B. Tujuan Bimbingan Keterampilan

Bimbingan keterampilan diberikan untuk mencapai kemandirian klien dalam rangka mendapatkan kesempatan kerja dan penghasilan yang layak, yang selanjutnya diharapkan dengan kondisi tersebut klien dapat hidup layak bersama dengan keluarganya.






C. Jenis-Jenis Bimbingan Keterampilan

Berbagai bimbingan keterampilan yang tersedia di dalam panti, antara lain :
1. Latihan keterampilan melaksanakan kegiatan kehidupan sehari-hari.
2. Latihan keterampilan kerja :
a. Bimbingan keterampilan menjahit.
b. Bimbingan keterampilan las.
c. Bimbingan keterampilan elektro.
d. Bimbingan keterampilan pertukangan kayu.
e. Bimbingan keterampilan pembuatan tahu dan tempe.
f. Bimbingan keterampilan sablon.
g. Bimbingan keterampilan olahan pangan (membuat makanan ringan).
h. Bimbingan keterampilan pertanian.
i. Bimbingan keterampilan tata rias.
j. Bimbingan keterampilan pembuatan batako.
k. Bimbingan keterampilan bengkel motor.
3. Bimbingan pengelolaan dan pengembangan usaha.
4. Bimbingan pengelolaan penghasilan.
5. Bimbingan pemasaran hasil produksi.


D. Pelaksanaan Bimbingan Keterampilan

Bimbingan keterampilan dapat berupa berbagai macam/jenis keterampilan, yang tentu saja disesuaikan dengan ketersediaan : dana, sarana, bahan, pelatih, waktu, serta minat klien. Seharusnya, jenis keterampilan yang diberikan adalah keterampilan-keterampilan yang dapat dipasarkan dengan mudah dan dibutuhkan oleh banyak orang. Sehingga klien akan sangat terbantu ketika keluar dari panti. Namun, seringkali yang terjadi yaitu jenis keterampilan yang diberikan adalah keterampilan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar, atau keterampilan yang menghasilkan produk-produk tertentu yang dapat menguntungkan pihak panti, sementara ada jenis keterampilan lainnya yang lebih menguntungkan bagi klien.

Ciri-ciri bimbingan keterampilan yang bersifat konkrit dan operasional adalah :
1. Tugas dapat dilihat dan disentuh sehingga dapat dimanipulasi.
2. Semua bahan disediakan dan disajikan atau ditunjukan kepada peserta bimbingan (klien) dengan petunjuk tentang urutan penggunaanya.
3. Tugas dilaksanakan dalam waktu terbatas.
4. Proses diulang secara regular dan diupayakan untuk mendorong peserta melakukannya dalam waktu yang terbatas.
5. Ada alat-alat khusus yang digunakan dengan prosedur-prosedur operasional yang dapat diikuti.
6. Pekerjaan bersifat rutin.
7. Pekerjaan dilaksanakan disatu tempat yang tidak mengharuskan peserta bimbingan untuk berpindah-pindah tempat.
8. Jika menggunakan mesin, maka mesin tersebut harus memenuhi standar dan menggunakan alat-alat pelindung yang diperlukan untuk keselamatan kerja.
9. Pekerjaan yang dilatihkan diorganisasikan dan disajikan kepada peserta bimbingan dan tidak memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengurusnya sendiri.
10. Beberapa pengambilan keputusan perlu dilakukan oleh para peserta bimbingan berkaitan dengan pengendalian kualitas produk dan ketelitian.


E. Pelaksana Bimbingan Keterampilan

Bimbingan keterampilan diberikan oleh para instruktur yang ahli di bidangnya masing-masing. Dalam hal ini, panti bekerjasama dengan instansi yang berkaitan dengan penyelanggaran bimbingan keterampilan, yaitu Balai Latihan Kerja (BLK) setempat.






















BIMBINGAN HIDUP DALAM KELUARGA


A. Pentingnya Bimbingan Hidup Dalam Keluarga

Latihan hidup dalam lingkungan keluarga juga merupakan hal yang penting dilakukan di pusat-pusat rehabilitasi bagi gepeng. Menempatkan klien secara berkelompok di dalam suatu tempat yang benuansa rumah, dilakukan untuk melatih mereka mengembangkan keterampilan-keterampilan dan norma-norma hidup berkeluarga secara baik. Melalui interaksi antar anggota kelompok dalam tempat yang sama diharapkan dapat mengurangi atau mengoreksi perilaku yang kurang mendukung dan dapat mengembangkan perilaku-perilaku baru yang lebih bersifat positif. Dalam program rehabilitasi di masa lalu program pelayanan ini dikenal dengan pelayanan residensial, tetapi sekarang lebih disukai dengan nama program latihan keterampilan hidup di dalam rumah/keluarga. Hal ini bukan sekedar perubahan nama program latihan keterampilan hidup didalam keyakinan bahwa rehabilitasi tidak sama dengan pelayanan residensial, walaupun rehabilitasi sosial juga bisa termasuk dalam kategori pelayanan residensial, karena program bimbingan hidup di dalam rumah dapat diterapkan dalam setting masyarakat.


B. Tujuan Bimbingan Hidup Dalam Keluarga

Tujuan bimbingan hidup berkeluarga ini adalah untuk memperbaiki kemampuan adaptasi dalam lingkungan belajar yang sangat baik.


C. Jenis-jenis Bimbingan Hidup Dalam Masyarakat

1. Group home.
2. Residential Service.
3. Bimbingan Hidup Bermasyarakat.


D. Pelaksanaan Bimbingan Hidup Dalam Keluarga

1. Setiap kelompok tidak lebih dari 5 orang.
2. Pada tingkat rendah, keterampilan yang harus dibimbing adalah hal-hal yang berkaitan dengan komponen-komponen motorik dan diperhatikan.
3. Pengarahan-pengarahan yang sifatnya praktis atau contoh-contoh perlu diberikan kepada klien secara jelas, sehingga mereka betul-betul mengerti apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan.
4. Bimbingan-bimbingan yang diberikan dimulai dari membimbing keterampilan-keterampilan untuk melaksanakan rutinitas kegiatan pribadi, sampai dengan bimbingan-bimbingan hidup bermasyarakat.
5. Sedangkan pengubahan-pengubahan perilaku diawali dengan perilaku-perilaku yang berasifat umum sampai dengan perilaku-perilaku yang sangat pribadi.


E. Pelaksana Bimbingan Hidup Dalam Keluarga

Yang menjadi pelaksana bimbingan hidup dalam keluarga adalah para pembimbing kelompok klien, bekerja sama dengan tenaga profesional lainnya, termasuk pekerja sosial, perawat, dan tenaga lainnya bila diperlukan.
































PERANAN PEKERJA SOSIAL



1. Sebagai Advocate
Pekerja sosial berfungsi membantu memecahkan masalah. Artinya, pekerja sosial harus siap menerima keluhan dan kemungkinan hambatan-hambatan yang dihadapi kelompok, untuk selanjutnya membantu mencari alternatif pemecahan masalah atau mencari narasumber lain/ahli yang berkompeten yang dapat mencari jalan keluar yang maksimal.

2. Sebagai Moderator
Didasarkan pada situasi, terdapat 5 (lima) tingkah laku yang diharapkan dilakukan dalam memerankan peranan sebagai mediator yaitu :
a. Mengidentifikasi latar belakang keterpisahan anatara dua orang yang mempunyai persepsi yang bebeda atau mengalami self interest yang komplek, yang sebelumnya bisa dipertemukan.
b. Mengidentifikasi hambatan-hambatan/rintangan dan mencari jalan atau saluran yang bisa mengatasi hambatan tersebut agar kedua hal terpisah tadi bisa ketemu.
c. Menentukan batas-batas situasi.
d. Memberikan proyeksi image dari seseorang sebagai orang yang berdiri untuk kesejahteraan kedua orang terpisah tadi.

3. Sebagai Broker
Dalam fungsinya sebagai broker (penghubung sumber), pekerja sosial bertugas untuk menjadi penghubung. Pekerja sosial juga harus menjalin kemitraan guna mewujudkan kerja sama, serta membina kelangsungan kerja sama tersebut. Untuk itu, pekerja sosial selaku broker harus dapat memerankan perannya yaitu :
a. Mengetahui sumber-sumber.
b. Menghemat sumber-sumber.
c. Menciptakan sumber-sumber yang tidak ada.

4. Sebagai Fasilitator
Seseorang pekerja sosial bertugas untuk memfasilitasi kesenjangan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dihadapi penerima pelayanan, juga bertugas untuk melakukan evaluasi dan monitoring terhadap berbagai indikator capaian program bimbingan spiritual. Dalam hal ini pekerja sosial harus melakukan-kegiatan-kegiatan :
a. Memberikan gambaran singkat pada instruktur tentang gambaran umum klien.
b. Memeberikan keempatan kepada insturktur untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan bimbingan spiritual.
c. Kepada klien diminta untuk menyampaikan secara cermat dan mencatat.
d. Fasilitator memberikan catatan tentang perkembangan klien.

5. Sebagai Motivator
Seseorang pekerja sosial bertugas untuk dapat menggugah, menggerak dan membuat klien dinamis. Dia juga harus berani mengambil resiko dan mau membuat terobosan, sehingga klien mampu mengembangkan profesinya.






























SESI 1-7 : PENYALURAN
























-.












PENYALURAN



A. Pendahuluan

Penyaluran bagi klien di panti pada dasarnya merupakan upaya panti untuk memandirikan klien setelah memperoleh rehabilitasi sosial di panti. Beberapa tahap kegiatan telah dilaksanakan sebelum sampai pada tahap penyaluran.


B. Pengertian

Penyaluran adalah suatu kegiatan dari rangkaian proses rehabilitasi sosial yang diarahkan kepada klien untuk kembali dalam keluarga dan masyarakat atau bekerja secara normatif.


C. Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Pada Diri Klien

Sebelum kegiatan penyaluran, pekerja sosial perlu terlebih dahulu memperhatikan beberapa hal sesuai dengan pengertian sehat dalam konteks rehabilitasi, yaitu :

1. Kapasitas adaptif klien
Yaitu kemampuan dan kesiapan klien dalam beradaptasi dengan lingkungan keluarga dan masyarakat setelah usai menerima pelayanan. Hal ini tidaklah mudah, mengingat klien banyak mendapat ”labeling” dari masyarakat sebagai orang banyak melakukan dosa dan perbuatan kotor. Seringkali stigma masyarakat tersebut menyebabkan trauma psikologis atau kekhawatiran pada diri klien apakah bisa diterima oleh keluarga dan masyarakat atau tidak. Dalam hal ini, pekerja sosial diharapkan dapat mengantisipasi segala kemungkinan bila klien mengalami hambatan dalam mengembangkan kemampuan untuk beradaptasi, sehingga bisa mengurangi dan selanjutnya menghilangkan hambatan-hambatan yang ada.

2. Kapasitas fungsional klien
Sebagai mahluk sosial, setiap orang selalu dituntut untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik. Ini berarti bahwa setiap orang diharapkan dapat melaksanakan peran sesuai dengan status sosial yang disandangnya, demikian juga dengan klien, yang juga memiliki seperangkat status. Kapasitas fungsional klien dalam hal ini meliputi :
a. Fisik, yaitu kondisi fisik klien. Dalam hal ini perlu diketahui bagaimana kondisi fisik klien sebelum dilaksanakan penyaluran, termasuk di dalamnya apakah klien menderita penyakit tertentu atau tidak, terutama berkaitan dengan menular (PMS). Apabila klien mengidap suatu penyakit tertentu, ini dikhawatirkan dapat menghambat kemampuan klien lainnya dalam melaksanakan fungsi sosialnya. Oleh karena itu, bekerja sama dengan praktisi medis, agar kondisi fisik klien yang ditemukan mengidap penyakit diharapkan dapat memberikan penyembuhan hingga dinyatakan sembuh total.
b. Sosial, yaitu kemampuan kien dalam kehidupan sosial. Artinya, diharapkan klien dapat bersosialisasi dengan masyarakat dimana dia telah dan atau akan tinggal, serta dapat memainkan tuntutan peran sesuai dengan status sosialnya sehingga tidak menimbulkan masalah.
c. Emosional, yaitu aspek psikologis klien. Artinya, klien seharusnya dapat memberikan reaksi emosional yang wajar sesuai dengan stimulus dari luar diri klien dan apa yang dirasakanya. Lebih dari itu diharapkan klien dapat mengekspresikan apa yang dirasakannya sebagai perwujudan dari rasa percaya diri dan rasa diterima oleh masyarakat.
d. Vokasional, yaitu keterampilan yang dimiliki oleh klien, baik yang sebelum maupun sesudah dari lembaga pelayanan. Sebagai hasil pembekalan yang diperolehnya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dalam dunia kerja yang dapat diterima oleh masyarakat secara normatif, keterampilan tersebut antara lain : menjahit, salon memasak, tukang batu, tukang kayu, montir, pertanian, dan industri rumah tangga (membuat tahu tempe dan lain-lain). Dalam hal ini pekerja sosial perlu mengukur kapasitas yang dimiliki klien apakah sudah mencukupi untuk memasuki dunia kerja pada umumnya atau belum. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi kegagalan yang mungkin terjadi, yang disebabkan karena keterampilan yang kurang dengan tuntutan kerja dalam kompetisi dunia kerja.

3. Optimasi abilitas klien
Hal yang juga harus diperhatikan setelah pekerja sosial mengetahui kapasitas klien, adalah kemungkinan optimasi abilitas klien. Artinya, klien yang dinilai masih kurang kapasitasnya, diharapkan dapat diberikan pelayanan yang akan dapat meningkatkan kemampuannya, sehingga dianggap cukup bekal untuk memasuki dunia kerja yang kompetitif di masyarakat. Sementara itu, bagi klien yang dinilai sudah cukup, bisa lebih dioptimalkan untuk dapat menembus pasaran kerja yang sekaligus mendapat pengakuan di kalangan para pengusaha.

4. Respon-respon klien yang mungkin muncul
Respon klien yang muncul ketika mendapat informasi atau penjelasan tentang rencana dikembalikannya klien dalam lingkungan kehidupan keluarga/masyarakat walaupun kurun waktu dan pemberian bimbingan pelayanan dan rehabilitasi sosial sama, namun kenyataannya tidak seluruh klien memberikan reaksi yang sama pula. Ada yang menunjukan respon positif, tetapi ada pula yang menunjukan respon negatif.
a. Respon positif
Dapat dilihat dari perangai klien yang kini gembira, optimis, sehingga kegiatan penyaluran dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana.
b. Respon negatif
Hal ini ditunjukan dengan sikap dan tingkah laku seperti khawatir, sedih, cemberut, menangis, menyendiri. Oleh karena itu perlu ada kegiatan :
1) Mencari faktor penyebab, melalui konsultasi, simulasi, observasi, dan diskusi.
2) Membantu klien mencari alternatif pemecahan, melalui kegiatan rujukan atau bimbingan sosial perorangan.


D. Teknik Pendekatan

Penyiapan klien dalam rangka kegiatan penyaluran menggunakan teknik pendekatan pemberian motivasi, persuasif, dan konsultasi.

1. Pemberian motivasi dimaksudkan untuk memberikan dorongan semangat klien secara verbal (dengan kata-kata), maupun dengan non verbal (dengan bahasa isyarat) agar lebih siap mental dalam menyongsong kehidupan baru di lingkungan masyarakat.
2. Persuasif dimaksudkan untuk mempengaruhi cara berfikir, sikap dan tingkah laku klien ke arah yang lebih mantap.
3. Konsultasi dimaksudkan untuk mendengarkan dan merasakan serta mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan atas kemungkinan apa yang dirasakan dan dikeluhkan klien.

E. Jenis Kegiatan

Jenis kegiatan penyaluran terdiri dari :

1. Penyiapan klien hidup di lingkungan dalam panti.
Sebelum klien kembali dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat, perlu diberikan bimbingan khusus yang berkaitan dengan cara hidup bermasyarakat, agar nantinya dapat berintegrasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat yang normatif.
a. Pentingnya penyiapan klien hidup bermasyarakat
Perlu disadari bahwa sebagian masyarakat akan memberikan respon yang tidak mengenakan bagi klien seperti menolak, mencemoh, tidak peduli, jijik, tidak layak hidup bersama, dsb. Karena adanya kondisi penolakan masyarakat yang demikian tersebut, perlu penyiapan klien hidup bermasyarakat sebelum pelaksanaan terminasi, agar :
1) Klien siap mental menerima respon negatif dari masyarakat, dan mampu mengantisipasi respon negatif tersebut.
2) Klien lebih menyadari perlunya beradaptasi dengan lingkungan.

b. Respon-respon klien yang mungkin muncul
Respon klien yang muncul ketika mendapat informasi atau penjelasan tentang rencana dikembalikanya klien dalam lingkungan kehidupan keluarga masyarakat, walaupun kurun waktu dan materi pembemberian bimbingan pelayanan dan rehabilitasi sosial sama, namun kenyataan tidak keseluruhan klien memberikan reaksi yang sama pula. Ada yang menunjukan respon positif tetapi ada pula yang menunjukan respon negatif.
1) Respon positif
Dapat terlihat dari peranan klien yakni gembira, optimis, sehingga kegiatan penyaluran dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana.
2) Respon negatif
Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan tingkah laku seperti khawatir, sedih, cemberut, menangis, menyendiri. Karena itu perlu ada kegiatan :
a) Mencari faktor penyebab, melalui konsultasi, simulasi, observasi, dan diskusi.
b) Membantu klien mencari alternatif pemecahan melalui kegiatan rujukan atau bimbingan sosial perorangan.

c. Teknik pendekatan
Penyiapan klien dalam rangka penyaluran menggunakan teknik pendekatan pemberian motivasi, persuasif, dan konsultasi.
1) Pemberian motivasi dimaksudkan untuk memberikan dorongan semangat klien secara verbal (dengan kata-kata) maupun non verbal (dengan bahasa isyarat), agar lebih siap mental dalam menyongsong kehidupan baru di lingkungan masyarakat.
2) Persuasif dimaksudkan untuk mempengaruhi cara berpikir, sikap dan tingkah laku klien ke arah yang lebih mantap.
3) Konsultasi dimaksudkan untuk mendengarkan dan merasakan serta mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan atas kemungkinan apa yang dirasakan dan dikeluhkan klien.

d. Jenis-jenis kegiatan
Kegiatan penyiapan klien hidup bermasyarakat dapat berupa :
1) Motivasi persuasif
Dimaksudkan untuk mempengaruhi cara berfikir, cara-cara pandang, sikap dan tingkah laku klien dengan mengajak berbincang-bincang dan berdiskusi sehingga perlahan-lahan klien menyadari bahwa suatu saat harus hidup bermasyarakat tanpa difasilitasi pihak lain.
2) Penugasan pekerjaan rumah tangga
Klien diberi tugas yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti masyarakat pada umumnya, seperti piket membersihkan MCK umum ataupun rumah petugas, berkebun, dsb., untuk membentuk rasa kebersamaan.

3) Diciptakan kegiatan-kegiatan bersama
Kegiatan ini bisa berupa kegiatan bersama antar klien dengan klien, klien dengan petugas panti, dan klien dengan warga masyarakat, misalnya melalui pertandingan olah raga, karaoke, lomba hasil karya keterampilan, dan tilawatil Qur’an.
4) Diskusi bersama klien
Klien diajak berdiskusi untuk menentukan alternatif-laternatif kebutuhan klien dalam rangka meyongsong cara hidup baru di masyarkat.


2. Penyiapan klien hidup bermasyarakat di luar panti
Bagi klien yang telah menunjukan perubahan mental dan tingkah laku positif, perlu diberikan kesempatan dan kepercayaan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan divluar panti sehingga tumbuh rasa percaya diri, lebih yakin bahwa dirinya mampu berintegrasi dan beradaptasi dengan masyarakat. Pendekatan ini dilakukan karena pekerja sosial menyadari bahwa kegiatan tersebut dapat mengembangkan rasa lebih percaya diri akan kemampuannya dalam beradaptasi dengan masyarakat. Kegiatan ini bertujuan untuk :
a. Memberikan penyegaran bagi klien setelah lama mengikuti proses rehabilitasi di dalam panti.
b. Melatih klien dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat.
c. Meningkatkan rasa percaya diri klien.
d. Meningkatkan rasa kebersamaan dalam masyarakat.



















SESI 1-8 : TERMINASI
























-.












TERMINASI



A. Pengertian

Terminasi adalah pemutusan hubungan pelayanan sosial antara pekerja sosial panti dan klien kegiatan terminasi dibentuk sejak awal proses rehabilitasi dimulai. Artinya, terminasi dapat dilakukan kapan saja selama proses rehabilitasi berlangsung, apabila situasi menghendaki. Beberapa contoh situasi yang menjadi alasan dilakukanya terminasi adalah :

1. Seorang calon klien dalam proses asesmen tidak memenuhi persyaratan untuk diketegorikan sebagai klien, baik berdasarkan hasil penilaian lembaga dan atau atas kemauan calaon klien (menolak, melarikan diri, dan sebagainya).
2. Seorang calon klien yang sedang berada dalam proses rehabilitasi mengalami masalah baik fisik maupun mental (misalnya sakit), tidak dapat melanjutkan proses rehabilitasi, kepada yang bersangkutan dapat dilakukan terminasi yang biasanya diikuti dengan rujukan (yang ditujukan kepada dokter, rumah sakit, psikologis dan pelayanan profesional lain yang berkompeten).
3. Seorang klien yang sedang mendapatkan pelayanan dari seorang pekerja sosial, baik kemauan pekerja sosial atau klien sendiri dengan alasan tertentu (misalnya tidak suka kepada pekerja sosial, keterlibatan emosional yang mendalam dan alasan lain yang tidak mendukung jalannya proses pelayanan yang sehat) tidak dapat melanjutkan proses pelayanan, dapat dilakukan terminasi dan dirujuk untuk memperoleh pelayanan dari pekerja sosial lain. Hal ini dapat dilakukan demi kepentingan keberlangsungan pelayanan kepada klien.
4. Seorang klien yang sedang berada dalam proses rehabilitasi atas kemauan sendiri memutuskan untuk tidak melanjutkan kegiatan rehabilitasi. Contoh kasus dalam hal ini adalah klien kabur dari panti. Kasus ini dimungkinkan oleh beberapa faktor penyebab antara lain klien tidak menyukai kehidupan di panti yang dinilainya terlalu mengikat. Klien lebih menyukai kehidupan di luar panti yang bebas, dimana klien dapat melakukan apa saja yang diinginkannya, termasuk di dalamnya kegiatan mencari uang. Faktor lain yaitu klien tidak puas dengan pelayanan yang diberikan (seperti sikap pekerja sosial atau petugas panti, fasilitas yang kurang memadai) serta motivasi untuk berubah yang rendah sehingga ingin kembali pada kehidupan semula sebelum mendapatkan pelayanan rehabilitasi.


B. Pengertian

Terminasi dilaksanakan ketika tujuan telah dicapai dan pelayanan telah lengkap, ketika kegiatan lebih lanjut tidak ada lagi, ketika pemutusan permintaan klien berhenti, dan ketika referal dibuat untuk sumber-sumber pertolongan yang lain dan pekerja sosial sudah tidak akan terlibat lagi. Pada terminasi, seperti halnya tahap-tahap yang lain, partisipasi klien merupakan hal yang sangat penting. Jika relationship pertolongan semuanya signifikan, maka hal itu merupakan cara terakhir yang penting didalam gambaran diri (self image) dan kemampuanya berelasi di masa mendatang. Alasan untuk melakukan terminasi akan lebih jelas pada pemikiran klien maupun pekerja sosial tentang segala kemungkinan yang diekspresikan dan dipahami. Terminasi juga merupakan pintu masuk bagi kontak selanjutnya/yang akan datang (future contact). Semua itu merupakan proses pemecahan masalah secara terus menerus, dan pekerja sosial yang menjalin kontak dengan klien harus mengetahui bahwa orang pada waktu yang berbeda membutuhkan beberapa pertolongan yang berbeda pula, disamping tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan tentang sumber-sumber, tetapi juga meningkatkan kepekaan klien untuk memanfaatkan sumber-sumber tersebut.


C. Hal-hal yang perlu diperhatikan

Terminasi seringkali menjadi proses yang mengharukan. Hal ini disebabkan karena relasi yang baik dan cukup mendalam antara pekerja sosial dengan klienya. Pemisahan dengan orang yang terasa dekat, akrab, senasib dan sepenanggungan dalam pemecahan masalah dirasakan sangat berat dan memilukan hati. Klien juga sering merasa ragu dan kurang yakin akan kemampuanya dalam melaksanakan fungsi dan tugas kehidupan selanjutnya tanpa dukungan pekerja sosial. Bagi kien, hal ini dirasa sebagai situasi yang memberatkan hati. Oleh sebab itu, pekerja sosial perlu melakukan tekanan pskologis dengan cermat dan mengamati manifestasi emosional klien dengan hati-hati. Pekerja sosial hendaknya juga mengembangkan berbagai strategi agar klien mampu memelihara perubahan-perubahan yang telah dicapai, walaupun pertolongan akan diberhentikan dan pekerja sosial tidak berada disampingnya. Hal ini perlu diperhatikan, walaupun sering ditemukan klien yang mengalami kemunduran menampilkan kembali perilaku yang disfungsional setelah pertolongan dihentikan.


D. Jenis-Jenis Kegiatan

Kegiatan terminasi dari kegiatan persiapan dan bagi pelaksana :

1. Kegiatan persiapan, meliputi :
a. Mempersiapkan penerimaan lingkungan keluarga, dimana eks klien tinggal bersamanya.
b. Mempersiapkan penerimaan lingkungan masyarakat, baik masyarakat lingkungan tempat kerja maupun lingkungan masyarakat pada umumnya.
c. Lebih memantapkan kemandirian eks klien, baik kemandirian secara materi/usaha ekonomi produktif, maupun dalam penyesuaian diri hidup di masyarakat.
d. Kegiatan tersebut pada nomor a, b, c, dilakukan melalui koordinasi dengan keluarga, tokoh masyarakat, RT dan teman lingkungan kerja.
e. Identifikasi kebutuhan eks klien dan fasilitas yang dapat dimanfaatkan.

2. Kegiatan pelaksanaan, meliputi :
a. Dilakukan kesepakatan pemutusan hubungan kontrak pelayanan antara pekerja sosial/lembaga dalam bentuk surat pernyataan diri.
b. Penyerahan paket bantuan pengembangan usaha ekonomi produktif.
c. Penutupan pencatatan kasus klien.



































SESI 1-9 : BIMBINGAN LANJUT
























-.














BIMBINGAN LANJUT



A. Pengertian

Bimbingan lanjut adalah suatu kegiatan dari serangkaian proses rehabilitasi sosial, sebagai upaya lebih memantapkan kemandirian klien baik, berupa konsultasi, bantuan ulang, bimbingan peningkatan/pengembangan/pemasaran maupun petunjuk lain untuk memperkuat kondisi kehidupan bermasyarakat.


B. Prinsip-prinsip Dalam Bimbingan Lanjut

Kegiatan bimbingan lanjut mengembangkan 3 prinsip pokok yaitu :
1. Partisipasi, keikutsertaan secara aktif keluarga, masyarakat untuk memberikan dukungan kepada eks klien, serta menjaga keberlangsungan kehidupan eks klien secara wajar dan normatif.
2. Pemberdayaan, melibatkan eks klien dalam kegiatan dalam masyarakat termasuk mengembangkan usaha produktif agar eks klien dapat mencapai kemandirian. Dalam hal ini, diupayakan eks klien dapat memenuhi kebutuhan dasar dengan baik; memiliki akses terhadap berbagai sistem sumber yang diperlukan; mengekspresikan pemikiran-pemikirannya; memiliki keberanian dalam pengambilan keputusan; serta menyampaikan pendapatnya di tengah-tengah masyarakat.
3. Kemitraan, yaitu kerjasama antara penyelenggara bimbingan lanjut dengan sumber yang terjalin dengan dilandasi rasa kepedulian, kebersamaan, dan kesepakatan. Dalam hal ini pekerja sosial diharapkan mampu mengetahui pemilik sumber maupun pendekatan dan negoisasi agar tercapai kesepakatan yang saling menunjang untuk memberikan kesempatan kepada eks klien dalam memanfaatkan sumber yang dimilikinya.


C. Jenis/Program Pelayanan Bimbingan Lanjut

Jenis/program pelayanan bimbingan lanjut sangat bervariasi, tergantung kondisi masyarakat dan lingkungan, serta kreativitas pekerja sosial. Namun demikian terdapat jenis/program pelayanan bimbingan lanjut yang dapat dilaksanakan, yaitu :
1. Brokering, yaitu menjembatani eks klien dengan pemilik sumber, hal ini dapat dilakukan kegiatan-kegiatan :
a. Identifikasi dan penggalian sumber dan pemiliknya.
b. Pendekatan kepada pemilik sumber.
c. Melakukan negoisasi dengan pemilik sumber, untuk memberikan kesempatan kepada eks klien dalam memanfaatkan sumber dalam bentuk yang saling menguntungkan.

2. Konseling, yaitu memberikan kesempatan kepada eks klien mengungkapkan perasaana dan masalah yang dihadapi. Pelayanan ini dapat diberikan dalam bentuk :
a. Face to face, pertemuan langsung antara eks klien dengan pekerja sosial.
b. Hotline service, pengungkapan perasaan dan masalah eks klien memperoleh solusi melalui telepon.

3. Bimbingan kelompok, yaitu kegiatan yang diharapkan untuk bisa lebih mengembangkan kemampuanya pribadi maupun kelompok. Dalam hal ini kelompok diharapkan terdiri dari anggota sejenisnya misalnya (jenis pekerjaan).

4. Advokasi bagi eks klien yang mengalami kekalahan dalam kompetisi, yaitu pelayanan perlindungan dan pembelaan kepada eks klien. Pelayanan ini dilakukan pada eks klien yang mengalami masalah, misalnya, tidak mampu berkompetisi dalam dunia usaha yang pada akhirnya dapat menimbulkan rasa frustasi dan ketidakberdayaan.


D. Metode Pendekatan

Metode yang dapat digunakan dalam tahap ini adalah case work dan group work, dengan teknik pendekatan :
1. Pendekatan persusif.
2. Pemberian motivasi.
3. Advokasi.
4. Dinamika kelompok.


E. Sasaran

1. Eks klien yang telah berada dalam masyarakat.
2. Keluarga eks klien.
3. Tokoh masyarakat, RT, Organisasi sosial dan Dunia Usaha.


F. Tugas-Tugas Yang Dilaksanakan

1. Evaluasi kesiapan klien dan proses.
2. Identifikasi masalah dan kebutuhan untuk hidup bermasyarakat.
3. Pemberian informasi tentang sumber-sumber dan kesempatan fasilitas yang ada di masyarakat.
4. Menghubungkan klien dengan sistem sumber.
5. Mempersiapkan lingkungan masyarakat untuk menerima klien hidup bersama-sama.
6. Apabila dipandang perlu, diberikan bantuan pengembangan paket usaha produktif.







































LAMPIRAN : ASESMEN DAN RENCANA PELAYANAN


Formulir 1








































LAMPIRAN : ASESMEN DAN RENCANA PELAYANAN

Formulir 2

CATATAN PERKEMBANGAN KLIEN

Nomor Register : Jenis Kasus :
Nama Klien : Jumlah Waktu : Minggu/Bulan
Waktu Pelayanan :
Alat Bantu :

Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

1. Permasalahan :
...........................
...........................
2. Tindakan :
..........................
3. Hasil :
a. Positif
.......................
b. Negatif
.......................
4. Rekomendasi tindakan selanjutnya
..........................
..........................

LAMPIRAN : ASESMEN DAN RENCANA PELAYANAN

Formulir 3

LAPORAN PEMECAHAN MASALAH KLIEN


Nomor Register : Tgl Perjanjian Kontrak :
Nama Klien : Waktu Akhir Pelayanan :
Jenis Kasus : Nama Peksos :

Assesment Rencana Pelayanan Pelaksanaan Pelayanan Evaluasi Terminasi Tindak Lanjut
1) .................
..................

2) .................
.................. 1) .................
..................

2) .................
.................. 1) .................

..................

2) .................

.................. 1) .................
..................

2) .................
.................. 1) .................
..................

2) .................
.................. 1) .................
..................

2) .................
..................












LAMPIRAN : ASESMEN DAN RENCANA PELAYANAN

Formulir 4

EVALUASI UNJUK KERJA PEKERJA SOSIAL

No. Nama Peksos Kegiatan yang dilakukan Waktu Kegiatan Cara melakukan tahap-tahap kegiatan Penilaian terhadap unjuk kerja Rekomendasi
1.


2.


3.





For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here