Showing posts with label Pengemis. Show all posts
Showing posts with label Pengemis. Show all posts

Sunday 20 February 2011

REHABILITASI SOSIAL BERBASISKAN MASYARAKAT ( RBM)

RBM


KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN DAN REHABILITASI SOSIAL



REHABILITASI BERBASISKAN MASYARAKAT
( R. B. M.)



I. PENDAHULUAN

1. Umum

a. Upaya untuk memperluas jangkauan pelayanan dan rehabilitasi terhadap penyandang masalah tuna sosial akan menghadapi banyak hambatan, mengingat adanya keterbatasan dana maupun sumberdaya lainnya yang dimiliki pemerintah. Dengan demikian perlu mencari alternatif lain agar kegiatan perluasan jangkauan pelayanan penyandang masalah tuna sosial dapat ditingkatkan.

b. Disisi lain, pembangunan nasional telah menunjukkan hasil-hasil yang cukup memadai, sehingga secara umum keadaan sosial ekonomi masyarakat relatif telah meningkat, dan telah menunjukkan adanya sebagian masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk dapat membantu kelompok masyarakat lainnya yang kurang beruntung.

c. Dengan demikian salah satu alternatif untuk dapat mendukung perluasan upaya peningkatan kesejahteraan penyandang masalah tuna sosial adalah dengan mengikut sertakan masyarakat, menggerakkan atau memobilisir potensi sumberdaya yang ada dalam masyarakat untuk mendorong kelompok masyarakat yang mampu untuk memiliki taraf kesetiakawanan sosial yang memadai terhadap kelompok mesyarakat yang kurang mampu atau kurang beruntung.

d. Upaya ini tentunya memerlukan inovasi untuk mampu mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar kesadaran kesetiakawanan sosialnya menigkat. Berbagai upaya kearah ini telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri, melalui kegiatan-kegiatan bersama.

e. Bahkan diharapkan peran masyarakat akan lebih menonjol, sehingga keseluruhan kegiatan termasuk kegiatan rehabilitasi penyandang masalah tuna sosial, dapat diselenggarakan oleh masyarakat sendiri.

f. Kegiatan rehabilitasi sosial yang merupakan kegiatan oleh masyarakat, bersumber dari masyarakat, dan untuk masyarakat ini disebut Rehabilitasi Berbasiskan Masyarakat (RBM) atau Community Based Rehabilitation (CBR).

g. Beberapa permasalahan mengenai pencapaian penanganan tuna sosial antara lain :

1) Menurut estimasi, sekitar 60% - 70% orang tuna sosial berada di pedesaan (rural) dan jumlah tuna sosial yang dapat dilayani hanya sekitar 7.47% dari populasi tuna sosial.

2) Tuna sosial yang berada di sekitar perkotaan (urban). Fasilitas perpantian umumnya berada di daerah perkotaan saja sehingga sulit untuk di jangkau oleh tuna sosial yang tinggal di pedesaan (rural).

3) Sehingga pelayanan rehabilitasi yang dikerjakan, yang umumnya oleh panti-panti, hanya menjangkau tuna sosial yang ada diperkotaan yang jumlahnya jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan yang ada di daerah pedesaan.

4) Bila tetap dipertahankan pengembangan pelayanan rehabilitasi hanya difokuskan pada pengembangan perpantian, maka jumlah sasaran garapan sulit ditingkatkan karena pada tuna sosial pedesaan sulit menjangkau fasilitas yang hanya ada di perkotaan tersebut.

5) Untuk lebih meningkatkan jumlah sasaran garapan, maka pada dasawarsa terakhir telah dikembangkan suatu program pengoprasian Unit Rehabilitasi Sosial Keliling (URSK) atau Mobile Rehabilitation Unit (MRU), dengan harapan akan mampu menjangkau para tuna sosial yang sebagaian besar berada di daerah pedesaan.

6) Dalam tahun yang akan datang program-program pengoperasian URSK akan lebih ditingkatkan dan dikembangkan lebih lanjut dan lebih intensif. Diharapkan program URSK ini tidak hanya dimanfaatkan bagi pelayanan tuna sosial akan tetapi juga bagi para penyandang masalah tuna sosial lainnya (gelandangan/pengemis), ex-narapidana, WTS, waria, anak nakal, dan ex-korban narkotika), dan bahkan dapat juga digunakan bagi kegiatan bimbingan dan penyuluhan kepada para penyandang masalah tuna sosial lainnya, misalnya bagi masyarakat terasing, pembinaan kesejahteraan anak, keluarga dan lanjut usia, Karang Taruna dan sebagainya.

h. Pengembangan program RBM di lingkungan jajaran Kementerian Sosial, sebenarnya baru dikembangkan secara konsepsional untuk para tuna sosial, akan tetapi pada dasarnya konsep tersebut dapat berlaku untuk program RBM bagi penyandang masalah tuna sosial lainnya. Dengan demikian materi uraian dalam makalah ini, pada umumnya merupakan konsepsi dan pengalaman mengenai program RBM bagi tuna sosial.

i. kegiatan-kegiatan program Rehabilitasi Berbasiskan Masyarakat (RBM) atau Community Based Rehabilitation (CBR), akan lebih ditingkatkan dan dikembangkan, dimana antara lain masyarakat akan lebih disadarkan (melalui awareness campaign mengenai masalah kecacatan) bahwa penanganan para tuna sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat.

j. Masyarakat akan lebih banyak dilibatkan dalam upaya-upaya pencegahan, penyuluhan, rehabilitasi sosial, resosialisasi, dan pembinaan lanjut.

k. Dalam menampung kegiatan-kegiatan masyarakat sebagai keikut sertaannya dalam rangka Rehabilitasi Berbasiskan Masyarakat ini, maka fasilitas-fasilitas yang ada, misalnya Loka Bina Karya (LBK), URSK (Unit Rehabilitasi Sosial Keliling) dan lainnya, dapat dimanfaatkan oleh masnyarakat setempat.

l. Hakekatnya RBM merupakan suatu kegiatan di bidang rehabilitasi sosial tuna sosial dari, oleh dan untuk masyarakat. Ini berarti bahwa kekuatan utama untuk cacat dari, oleh dan untuk masyarakat, ini berarti bahwa kekuatan utama untuk menopang kegiatan-kegiatan tersebut bersumber dari masyarakat sendiri.

m. Untuk menyongsong kegiatan-kegiatan rehabilitasi sosial tuna sosial, maka diperlukan kesadaran, kesediaan dan kesiapan masyarakat untuk menerima, mengelola, dan mengembangkan kegiatan-kegiatan dimaksud.

n. Unit Rehabilitasi Sosial Keliling (URSK) merupakan suatu sarana yang dapat digunakan secara efektif untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan kesiapan masyarakat sebagaimana dimaksud di atas.

o. Peranan pemerintah dalam hal ini ialah membina mengawasi dan ikut serta memelihara hasil-hasil yang dicapai oleh kegiatan-kegiatan dimaksud agar dapat dimanfaatkan sejauh mungkin oleh masyarakat.

2. Maksud dan tujuan

a. Maksud diterbitkannya Buku Pedoman RBM ini, adalah sebagai penjelasan yang diharapkan merupakan pembakuan dari suatu kegiatan RBM, baik dalam artian pengertian, prosedur maupun langkah-langkah pelaksanaannya di lapangan.

b. Dengan tujuan agar terdapat keseragaman jalan pikiran, sikap dan langkah dalam pelaksanaan RBM secara nasional, sehingga terdapat efisiensi dan efektivitas kerja, serta merupakan suatu kegiatan yang terpadu dan utuh.





3. Dasar-dasar
1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2, pasal 28 h, pasal 34.
2. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
3. Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan.
4. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia.
5. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
6. Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
7. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
8. Undang–Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
9. Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1983 tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
11. Keputusan Bersama Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia dan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 01-PK.0301/1984; KEP 354/MEN/84; 63/HUK/X/1984, tentang Penyelenggaraan Pelayanan Rehabilitasi Narapidana dan Bekas Narapidana.
12. Keputusan Menteri RI Sosial RI Nomor 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi Sosial Bekas Penyandang Masalah Tuna Susila.
13. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 82/HUK/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial RI.


4. Sistematika Penguraian

I. Pendahuluan

II. Pengertian RBM

III. Organisasi dan Mekanisme Kerja

IV. Tata Laksana Kegiatan RBM

V. Bagan Visual Pelaksanaan RBM

VI. Penutup





II. PENGERTIAN RBM


1. “RBM adalah rehabilitasi sosial yang dilaksanakan di dalam keluarga para tuna sosial atau masyarakatnya yang bertujuan merubah perilaku dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat berperan aktif secara optimal dalam upaya kesejahteraan sosial bagi tuna sosial dengan menggunakan sumberdaya dan potensi masyarakat dengan koordinasi dan atau kerjasama antara swasta/partisipasi masyarakat dan atau pemerintah.”

2. Mungkin dari satu segi dan bagi kepentingan saat penerbitan Buku Petunjuk Teknis Pelaksanaan tersebut, definisi diatas sudah memadai. Akan tetapi dalam pengembangannya lebih lanjut, mungkin definisi tersebut di atas perlu penyesuaian, terlebih lagi bila ada upaya untuk memperluas program RBM bagi penyandang masalah tuna sosial lainnya. Untuk hal tersebut maka salah satu saran penyesuaian tentang definisi ini adalah sebagai berikut:

“RBM adalah suatu sistem pelayanan rehabilitasi terhadap penyandang masalah tuna sosial, dengan menggunakan berbagai perangkat dan sarana lainnya yang ada pada masyarakat, terutama melalui mobilisasi potensi sumberdaya dalam masyarakat, baik dana, personil, maupun sarana, untuk menengani kesejahteraan sosial penyandang masalah tuna sosial yang ada di lingkungannya.”

3. Konsep sistem RBM, mengandung pengertian bahwa:

a. Rehabilitasi sosial penyandang masalah tuna sosial tuna sosial tersebut dilakukan dan melibatkan secara penuh peran keluarga dan masyarakat lingkungannya, bagi kesejahteraan sosial secara fisik maupun psikologis keseluruhan penyandang masalah tuna sosial, dan mencangkup seluruh tingkatan penyandang masalah tuna sosial, mulai dari saat kelahirannya, masa balita, umur sekolah, dewasa sampai dengan manula.

b. Rehabilitasi sosial penyandang masalah tuna sosial pada pelaksananya difokuskan pada peran dan keterlibatan masyarakat secara penuh, bagi masyarakat lingkungannya sendiri, atau dari masyarakat untuk masyarakat keikutsertaan masyarakat ini mencakup tanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan RBM tersebut, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya.

c. Rehabilitasi sosial penyandang masalah tuna sosial ini mengupayakan agar terhadap perubahan sikap masyarakat kearah sikap yang lebih peduli dan rasa setiakawan terhadap kesejahteraan sosial penyandang masalah tuna sosial, sehingga masyarakat merasakan dan menghayati perlunya dan manfaatnya RBM ini untuk kesejahteraan sosial warganya yang menyandang masalah tuna sosial.

d. Rehabilitasi sosial penyandang masalah tuna sosial dilakukan melalui upaya mobilisasi sumberdaya dan potensi masyarakat, dan dengan memperhatikan faktor sosial ekonomi, budaya, geografi dan demografi masyarakat serta keadaan penyandang masalah tuna sosial setempat, serta melaui koordinasi sebaik-baiknya dengan berbagai sektor terkait, agar keutuhan pelayanan termasuk pelayanan rujukan antar sektor terkait.

III. ORGANISASI DAN MEKANISME KERJA

1. Dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan RBM, perlu dilakukan pengorganisasian kegiatan itu sendiri secara jelas, termasuk kejelasan tentang:

(1). Kegiatan-kegiatan RBM yang akan dilakukan.
(2). Bagan struktur organisasi pelaksana RBM.
(3). Personil yang akan mengawaki RBM.
(4). Perlengkapan dan peralatan, termasuk sarana mobilitas atau perangkat opersional operasi RBM.
(5). Tatalaksana atau prosedur serta pentahapan pelaksanaan kegiatan RBM
(6). Sumber biaya opersional RBM
(7). Dan sebagainya.

2. mekanisme kerja RBM di berbagai tingkat:

a. Sektor pemerintah:

1). Tingkat Pusat

a) Kementerian Sosial sebagai lembaga pemerintah tertinggi dalam pembinaan masalah kesejahteraan sosial, dalam hal ini Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial sebagai pembina pelayanan rehabilitasi penyandang masalah tuna sosial (tuna sosial, tuna susila, anak nakal dan korban narkotika) menyelenggarakan pembinaan dalam bentuk menentukan kebijaksanaan, strategi, langkah-langkah dan program, termasuk kegiatan RBM.

b) Dalam pembinaan masalah kesejahteraan sosial tersebut, khususnya bagi pengaturan dan penunjangan pelaksanaan RBM secara nasional, diharapkan Staf Kementerian Sosial yang terkait khususnya Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, melakukan koordinasi inter maupun intra Kementerian/Lembaga yang terkait, khususnya melalui Tim Koordinasi Usaha Kesejahteraan Sosial bagi Tuna sosial maupun bagi Gelandangan Pengemis serta penyandang masalah tuna sosial lainnya.



2). Tingkat Provinsi

a) Dinas/Instansi Sosial Provinsi, menyusun rencana penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan RBM di wilayah yang bersangkutan.

b) Dalam penyusunan dan peyelenggaraan kegiatan RBM tersebut, dalam rangka menunjang kebijaksanaan dan arahan yang ditentukan pusat, diharapkan jajaran Dinas/Instansi Sosial tingkat Kabupaten/Kota, melakukan koordinasi inter maupun intra instansi/lembaga yang terkait, baik pemerintah maupun non-pemerintah, khususnya dengan aparat Pemerintah Provinsi.

3). Tingkat Kabupaten/Kota

a) Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota menyusun rencana pelaksanaan dan pengoperasian RBM di wilayah yang bersangkutan, sesuai hasil koordinasi dengan berbagai pihak termasuk dengan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat yang terkait dengan kegiatan RBM.

b) Dalam penyusunan rencana pelaksanaan dan pengoperasian RBM tersebut di wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan, pembinaan masalah kesejahteraan sosial tersebut, diharapkan jajaran Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota, melakukan koordinasi inter maupun intra instansi/lembaga yang terkait, baik pemerintah maupun non-pemerintah, khususnya dengan aparat Pemerintah Kabupaten/Kota.

4). Tingkat Kecamatan

a) Jajaran Dinas/Instansi Sosial yang ada di Kecamatan melaksanakan pengaturan dan menunjang pelaksanaan operasional RBM di Kecamatan yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang diarahkan dari tingkat Kabupaten/Kota.

b) Dalam pelaksanaan pengaturan dan penunjangan pelaksanaan RBM di daerah kecamatan ini, diharapkan TKSK setempat berperan secara aktif, disertai koordinasi dengan aparat lain baik pemerintah maupun non-pemerintah yang terkait, khususnya dengan aparat Pemerintah Daerah Tingkat Kecamatan.

5). Tingkat Desa

a) Petugas jajaran Dinas/Instansi Sosial di desa, khususnya para PSM berperan aktif dalam membantu pelaksanaan pengoperasian RBM didesanya.

b) Dalam pelaksanaan RBM di desa yang bersangkutan, diharapkan para PSM setempat berperan secara aktif, disertai koordinasi dengan aparat pemerintah yakni para aparat desa, maupun dengan unsur non-pemerintah khususnya para kader RBM, organisasi-organisasi PKK, LKMD, Karang Taruna, dan kelompok-kelompok masyarakat, para alim ulama, para ketua RT/RW, dan anggota masyarakat lainnya yang melakukan kegiatan-kegiatan sosial.



b. Sektor masyarakat:

1). Masyarakat secara umum dapat ikut membantu penyelenggaraan program RBM sebagai berikut:

a) Membantu mengembangkan dan menunjang kegiatan organisasi non pemerintah dan kegiatan-kegiatan peningkatan taraf kesejahteraan sosial penyandang masalah tuna sosial.

b) Membantu mendukung biaya bagi kegiatan-kegiatan rehabilitasi penyandang masalah tuna sosial.

c) Membantu pelaksanaan kegiatan pencegahan munculnya penyandang permasalahan sosial.

d) Memberikan perawatan rumah bagi penyandang masalah tuna sosial.

e) Mendeteksi dan melaporkan tentang adanya penyandang masalah tuna sosial yang membutuhkan pelayanan jajaran kesehatan maupun jajaran lainnya yang terkait.

f) Membantu kegiatan pelatihan ketrampilan bagi penyandang masalah tuna sosial dilingkungan desanya.

g) Membantu penyaluran dan penempatan kerja bagi tuna sosial terutama dilingkungan desanya.

2). Anggota masyarakat yang telah mempunyai keterampilan khusus, dapat ikut membantu secara lebih khusus bagi suatu pelayanan rehabilitasi tertentu, khususnya dalam:

a). Membantu melakukan tindakan rehabilitasi sederhana, misalnya memberikan latihan berjalan kepada tuna sosial, membantu pembuatan alat batu cacat buatan sendiri/rumah, dan memberikan nasihat mengenai cara-cara penggunaannya; memberikan bimbingan dan penyuluhan dalam rangka upaya merehabilitasi keadaan psikologi, sosial, edukasi, vokasional yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan yang ada.

b). Menyebarkan informasi mengenai berbagai hal mengenai penyandang masalah tuna sosial, memberikan motivasi dan pelatihan kepada anggota masyarakat lainnya mengenai usaha pencegahan dan rehabilitasi permasalahan sosial.

c). Menunjukkan cara-cara perolehan pelayanan rujukan bagi penyandang masalah tuna sosial yang perlu memperoleh pelayanan rehabilitasi lebih lanjut.

d). Melakukan monitoring, pencatatan, pelaporan dan memberikan umpan-balik bagi rencana pengembangan dan peningkatan program RMB selanjutnya.

3. Perangkat-perangkat yang dibentuk dalam pelaksanaan operasional RBM antara lain adalah:

a. Tim Rehabilitasi Berbasiskan Masyarakat

1). Tim RBM yang dibentuk dengan Surat Keputusan Gubernur, yang bertugas melakukan perencanaan dan monitoring serta evaluasi pelaksanaan RBM diseluruh Provinsi.
2). Tim RBM yang dibentuk dengan Surat Keputusan Gubernur, yang bertugas mengkoordinir pelaksanaan RBM di wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

b. Fasilitas pelayanan rehabilitasi sosial sistem luar-panti:

1). Unit Rehabilitasi Sosial Keliling (URSK), yang bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan rehabilitasi secara bergerak atau mobile, yang terdiri dari:

a). Anggota Tim URSK:

2). Tim URSK (Unit Rehabilitasi Sosial Keliling) yang dibentuk dengan Surat Keputusan Gubernur.

3). Tim URSK yang dibentuk Bupati/Walikota dalam mengawaki operasi URSK ditingkatkan kabupaten/kota dan melaksanakan kegiatan langsung di lapangan.

b). Peralatan pemeriksaan dan pelayanan rehabilitasi keliling.

c). Beberapa kendaraan URSK sebagai sarana angkutan bagi Tim URSK dan peralatannya.

2). Loka Bina Karya (LBK), yang berfungsi sebagai fasilitas non-bergerak di suatu lokasi (kecamatan/desa) sebagai tempat rujukan untuk penyandang masalah tuna sosial yang memerlukan pelayanan rehabilitasi lanjutan yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya.

3). UEP (Usaha Ekonomis Produktif) bagi penyandang masalah tuna sosial, yang berfungsi sebagai suatu kelompok para penyandang masalah tuna sosial yang hendak melaksanakan kegiatan usaha sendiri secara berkelompok di suatu lokasi (kecamatan/desa) yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya.

c. Kelompok masyarakat yang melaksanakan kegiatan pelayanan sosial bagi kesejahteraan sosial penyandang masalah tuna sosial:

1). Organisasi masyarakat desa, diantaranya PKK, LKMD, Karang Taruna, Organisasi kepemudaan, para ibu-ibu Dharma Wanita, kelompok alim-ulama dan organisasi keagamaan, TKSK/PSM, Pramuka Saka Bina Sosial dan sejenisnya.

2). Organisasi non-pemerintah yang bergerak dibidang kesejahteraan sosial penyandang masalah, yayasan-yayasan yang menangani para penyandang masalah tuna sosial, termasuk organisasi-organisasi para penyandang masalah tuna sosial itu sendiri, dan lainnya.

d. Fasilitas-fasilitas lainnya yang menunjang RBM:

1). Fasilitas berbagai jajaran pelayanan yang terkait, misalnya fasilitas kesehatan yang mencakup Rumah Sakit, Puskesmas, Posyandu dan sejenisnya: fasilitas Balai Latihan Kerja (BLK) dari jajaran departeman tenaga kerja; sekolah luar biasa dari jajaran Kementerian pendidikan serta berbagai piranti lunaknya, dan sejenisnya.

2). Personil koordinasi berbagai jajaran Kementerian:

a). Jajaran Kemeterian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk tenaga pelatih ketrampilan.

b). Jajaran Kemeterian Pendidikan Nasional untuk tenaga pengajar/instruktur belajar bagi anak/orang berkelainan.

c). Kemeterian Komunikasi dan Informasi untuk tenaga juru penerang dalam rangka pemberian bimbingan dan penyuluhan mengenai hal-hal mengenai penyandang masalah tuna sosial.

d). Perguruan tinggi untuk tenaga psikologi, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan sebagainya, yang umumnya para mahasiswa tingkat akhir.

e). Dan sebagainya.

IV. TATALAKSANA KEGIATAN RBM

Proses pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat penyandang masalah tuna sosial dilaksanakan dengan alur tahapan sebagai berikut (sesuai pengalaman pada program RBM bagi tuna sosial).


1. Persiapan administrasi

a. Pembentukan Tim Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat tingkat Provinsi, melalui Surat Keputusan Gubernur, dimana anggotanya terdiri dari para staf/petugas dari Kementerian/instansi/organisasi terkait, dan diketahui oleh Kepala Dinas Sosial Propinsi.

b. Melaksanakan Rapat Koordinasi Tim Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat dalam rangka:

1). Persiapan penyelenggaraan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat untuk periode Tahun Kerja yang bersangkutan di wilayah propinsi yang bersangkutan.

2). Persiapan pembentukan Tim RBM tingkat Kabupaten/Kota, dan instruksi Gubernur kepada Bupati/Walikota untuk menerbitkan Surat Keputusan pembentukan Tim Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat di Kabupaten/Kota, yang di ketahui oleh Kepala Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota atau yang setingkat.

c. Persiapan administrasi surat menyurat mengenai penyusunan berbagai petunjuk pelaksanaan operasi RBM tingkat provinsi oleh Staf Dinas/Instansi Sosial Provinsi, sebagai hasil koordinasi Tim Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat Pemerintah Provinsi.

d. Persiapan berbagai perangkat operasional RBM, antaranya kesiapan URSK, LBK dan KUP dan lainnya, yang terkait dengan kegiatan operasi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat, melalui rapat koordinasi Tim Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat dan pertemuan pembicaraan dengan Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota yang terkait.

e. Rapat Tim Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat Kabupaten/Kota yang terkait, dalam rangka:

1). Mempersiapkan pelaksanaan operasi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat di wilayahnya, melalui rapat koordinasi Tim Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat Kabupaten/Kota serta dengan memperhatikan instruksi dari Tim Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat Provinsi dan atau Kepala Dinas Sosial Provinsi selaku Ketua Tim Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat Provinsi.

2). Memantapkan lokasi-lokasi yang akan digarap oleh kegiatan RBM, sesuai dengan rencana lokasi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat yang telah ditentukan oleh Tim RBM Provinsi.





3). Mempersiapkan kelengkapan operasi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat, antara lain:

a). Tim URSK beserta peralatan dan kendaraannya, yang akan melaksanakannya kegiatan operasi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat di lapangan atau lokasi/desa yang telah ditentukan.

b). Kesiapan perangkap Pemerintah Daerah, khususnya aparat desa yang terkait, untuk menerima operasi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat di desanya, termasuk upaya pra-operasi RBM misalnya pemberian penyuluhan mengenai akan adanya operasi RBM, dan perlunya masyarakat memahami mengenai pentingnya pelayanan rehabilitasi bagi penyandang masalah tuna sosial di daerahnya.

c). Kesiapan LBK, KUP, termasuk Puskesmas, Posyandu dan Fasilitas lain dari instansi/lembaga lainnya yang akan terlibat dengan operasi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat.

2. Tahapan kegiatan pengoperasian Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat

Dengan memperoleh bimbingan dan pengarahan serta sesuai dengan rencana operasi yang sudah ditentukan, maka Tim Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat Kabupaten/Kota (bila perlu dibantu Tim RBM Propinsi) melaksanakan tahap-tahap kegiatan sebagai berikut:

a. Pengiriman petugas bimbingan dan penyuluhan ke lokasi/desa yang menjadi sasaran Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat untuk memberikan penjelasan mengenai rencana operasi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat dan memberikan penerangan mengenai rencana operasi RBM dan penjelasan masalah penyandang masalah tuna sosial kepada aparat pemerintahan desa. Kegiatan ini dapat dilakukan beberapa minggu sebelum operasi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat.

b. Sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan maka pada hari-hari yang sudah ditentukan, maka operasi Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat secara fisik dapat dilakukan, yang mencangkup tahapan-tahapan kegiatan:

1) PERSIAPAN OPERASI Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat:

a). Pendataan awal:

(1) Pendataan mengenai potensi sumber dana, personil, fasilitas, keadaan geografis sosial budaya, sosial ekonomi, keamanan dan sebagainya yang ada dalam masyarakat setempat, yang sekiranya dapat digerakkan untuk mendukung upaya Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat.

(2) Kegiatan pengumpulan informasi ini dilakukan melalui berbagai macam cara, termasuk pengumpulan data/informasi dari rumah ke rumah maupun dengan cara lain, yaitu dari berbagai kelompok masyarakat, instansi/aparat pemerintah desa, dan sebagainya.

b). Informasi tersebut selanjutnya diinventarisir, diidentifikasi, dan disortir, dalam rangka pencatatan mengenai distribusi potensi tersebut pengelompokan jenis potensi (fasilitas, personil, dana dan sebagainya), dan relevansinya dengan kegiatan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat, dalam dalam rangka penentuan penyandang masalah tuna sosial calon penerima calon penerima pelayanan RBM.

c). Tahapan kegiatan dalam rangka pendataan (bila perlu dengan kunjungan rumah atau home visit) tersebut mencakup:

(1) Registrasi, Registrasi ini mencakup pencatatan kondisi desa tentang jenis permasalahan sosial, populasi penyandang masalah tuna sosial yang ada, penyandang masalah tuna sosial yang telah ditangani, keberhasilan penanganan penyandang masalah tuna sosial, organisasi non-pemerintah dibidang pelayanan bagi penyandang masalah tuna sosial, dan sebagainya yang terkait.

(2) Identifikasi, Identifikasi permasalahan sosial dilakukan dengan tahapan yang mencakup penyiapan formulir isian identifikasi, pengolahan data dari formulir tersebut, penentuan penyandang masalah tuna sosial yang membutuhkan pelayanan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat.

d) Tatacara pendataan dilakukan antara lain dengan cara:

(1). Wawancara/interview, yang dilakukan melalui kontak langsung dengan penyandang masalah tuna sosial dan atau keluarganya.

(2). Questionaire, melalui isian formulir yang diisi oleh penyandang masalah tuna sosial, dari atau keluarganya.

(3). Observasi, yang merupakan kegiatan pengamatan selama periode tertentu terhadap penyandang masalah tuna sosial, keluarganya serta lingkungan terdekatnya.

(4). Dokumentasi, yang merupakan kegiatan pencatatan data/informasi penyandang masalah tuna sosial dari berbagai cacatan atau dokumentasi yang ada setempat misalnya dari RT/RW, kelurahan dan kecamatan.



2) KEGIATAN MOTIVASI, BIMBINGAN DAN PENYULUHAN

Kegiatan motivasi ini mencakup:

a) Pemberian penyuluhan lisan secara langsung (tatap muka) maupun secara kelompok/dalam kelas, oleh petugas PSM atau yang ditunjuk.

b) Ceramah tentang masalah penyandang masalah tuna sosial khususnya yang menyangkut tentang RBM, dan peran keluarga serta masyarakat dalam kegiatan RBM, yang diberikan kepada kelompok-kelompok organisasi sosial, kelompok remaja, kelompok ibu-ibu, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, kelompok yang tergabung pada PKK atau LKMD, dan sebagainya. Kegiatan ceramah dan penyuluhan lisan diatas adalah dalam rangka mendorong masyarakat untuk lebih memahami potensi yang dimilikinya dan mendorong masyarakat agar ikut berpartisipasi, bahkan mampu mengambil peran utama dalam pelayanan rehabilitasi bagi penyandang masalah tuna sosial yang ada di linkungannya.

c) Pembentukan kelompok-kelompok kecil pelaksana Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (7-10 orang), yang juga merupakan kader Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat yang akan bertugas untuk:

(1) Mengupayakan pengalihan dan mobilisasi sumber daya (dana, tenaga manusia, fasilitas/peralatan) yang ada dalam masyarakat untuk mendukung kegiatan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat.

(2) Melakukan upaya motivasi kepada penyandang masalah tuna sosial dan keluarganya untuk mau direhabilitasi.
(3) Melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan adanya kecendrungan munculnya permasalahan sosial, misalnya kecacatan pada anak atau seseorang.

(4) Melakukan koordinasi kerja antara petugas pendataan, motivator, dan deteksi dini, dengan LKMD, dalam rangka mengupayakan rujukan bagi penderita yang membutuhkan pertolongan lebih lanjut, baik ke fasilitas kesehatan, sekolah luar biasa, maupun perpantian atau lainnya.

(5) Melakukan koordinasi dengan kader-kader Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat dan pihak-pihak terkait untuk melakukan bimbingan fisik, mental dan sosial,serta pelatihan keterampilan kepada penyandang masalah tuna sosial.

(6) Melakukan upaya pemberian bantuan sosial kepada penyandang masalah tuna sosial yang membutuhkan.

(7) Melakukan koordinasi dengan PKK/LKMD dalam rangka upaya penyaluran kerja dan pembinaan lanjut penyandang masalah tuna sosial.

(8) Mengadakan pendataan dan pengumpulan informasi mengenai penyandang masalah tuna sosial.

(9) Kegiatan motivasi dilaksanakan terutama oleh TKSK dan bekerjasama dengan petugas setempat.

3) KEGIATAN MOBILISASI POTENSI MASYARAKAT

Kegiaan mobilisasi potensi masyarakat ini merupakan kegiatan pengalihan dan pendayagunaan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, baik dalam bentuk dana, personil/tenaga kerja, fasilitas kerja, termasuk data mengenai keadaan geografis dan sebagainya. Kegiatan ini mencakup:

a) Mempelajari hasil pengumpulan data/informasi yang telah dilakukan pada tahapan pengumpulan data awal di atas.

b) Melaksanakan kegiatan pengumpulan sumberdaya yang berbentuk:

(1) Fasilitas/material, misalnya dalam bentuk jemputan beras setiap rumah, sumbangan peralatan, sumbangan konsumsi dan sebagainya sebagai bantuan dari sukarelawan penduduk dan donatur tertentu.

(2) Tenaga kerja sukarela misalnya tenaga kader Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat, PSM, TKSK, PKK, LKMD, pramuka saka bina sosial, Karang Taruna, dan lain-lain tenaga sukarela dalam pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat, yang dapat berbentuk satu kelompok kerja Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat Desa.

(3) Sumber dana dari sumbangan potongan uang arisan, bantuan sukarela penduduk, donatur tertentu, hasil pameran produksi para penyandang masalah tuna sosial, hasil keuntungan koperasi peyandang masalah tuna sosial atau organisasi tertentu, zakat, infaq, sodakoh, dan sebagainya.


4) KEGIATAN DETEKSI DAN STIMULASI DINI

a) Kegiatan deteksi dan stimulasi dini ini merupakan kegiatan untuk mengetahui secara dini atau awal tentang adanya penyandang masalah tuna sosial dalam masyarakat misalnya anak-anak balita yang secara visual belum menampakkan adanya kecacatan akan tetapi dengan pemeriksaan atau deteksi dini ini diharapkan anak cacat tersebut secara awal dapat diketahui kecacatannya dan dapat segera dilakukan langkah-langkah penanganan yang diperlukan, serta memberikan bimbingan dan penyuluhan stimulatif untuk kecacatan pada anak-anak. Deteksi dini inipun menyangkut permasalahan sosial lainnya, misalnya kemunkinan adanya wanita atau remaja rawan sosial yang akan mudah terjerumus pada pekerjaan prostitusi, kenakalan dan penyalahgunaan narkotika.

b) Langkah-langkah kegiatan ini pada pelaksanaanya memerlukan kerja bersama dengan petugas sektor lain antara lain dengan aparat Pemda, serta petugas dari sektor agama, pendidikan tenaga kerja, kesehatan perindustrian, pertanian dan instansi lain, yang antara lain mencakup kegiatan untuk:

(1) Memeriksa dan memberi bimbingan dan penyuluhan mengenai permasalahan sosial, misalnya kecacatan anak dan kecacatan lainnya kepada pasangan suami istri dan ibu hamil, yang mempunyai anak cacat, atau yang diperkirakan mungkin akan memberikan keturunan anak cacat, tentang kebiasaan hidup sehat dan peningkatan gizi dalam rangka pencegahan kecacata, keluarga yang mempunyai masalah anak nakal/korban narkotika, wanita rawan sosial, rawan ekonomi, dan lainnya, yang mempuyai kecenderungan untuk terjerumus ke dalam permasalahan sosial yang lebih buruk.

(2) Melaksanakan pemeriksaan secara awal atau dini pada para penyandang masalah tuna sosial, misalnya bagi anak-anak balita, dan mengambil langkah-langkah untuk mengupayakan penanganan terhadap masalah kecacatannya (termasuk tindakaan rujukan) ke fasilitas kesehatan pemeriksaan masalah psikologi-ekonomi-sosial penyandang masalah tuna sosial lainnya.

(3) Melaksanakan upaya untuk memperbaiki atau meningkatkan fungsi sosial para penyandang masalah tuna sosial, misalnya memperbaiki bagian tubuh tuna sosial dengan memberikan stimulasi agar bagian tubuh yang kurang berfungsi dapat dirangsang atau distimulasi secara awal untuk dapat lebih berfungsi: memberikan bantuan peralatan ekonomis produktif agar mampu menjadi manusia yang produktif dan mampu menghidupi dirinya atau keluarganya.

(4) Memeriksa permasalahan sosialnya, misalnya memeriksa kecacatan pada anak umur sekolah dan tuna sosial usia produktif, serta memberikan bimbingan dan penyuluhan mengenai kemungkian perolehan tindakan perbaikan yang diperlukan terhadap fungsi tubuhnya yang cacat, agar anak tersebut memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk bersekolah, melanjutkan sekolah, memperoleh pelatihan keterampilan dan perolehan lapangan pekerjaan; memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada penyandang masalah tuna sosial lainnya, agar tidak terjerumus ke dalam permasalahan sosial yang lebih buruk.

(5) Memberikan pelatihan kader RBM atau menambah pengetahuan kepada kader RBM yang pernah memperoleh pelatihan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (melalui kegiatan URSK).

5) KEGIATAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN KEPADA PENYANDANG MASALAH TUNA SOSIAL

a) Kegiatan penyuluhan dan bimbingan kepada penyandang masalah tuna sosial ini, dimaksudkan agar penyandang masalah tuna sosial dan keluarganya memperoleh informasi mengenai berbagai hal yang menyangkut permasalahan sosial, dalam rangka meningkatkan peran sertanya pada upaya Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat.

b) Pelaksanaan kegiatan ini mencakup:

(1) Pemberian bimbingan dan penyuluhan yang bersifat motivasi:

(a) Secara langsung/lisan/tatap muka kepada penyandang masalah tuna sosial dan atau keluarganya.

(b) Secara informatif dalam pertemuan desa atau kelompok/arisan/pengajian selebaran atau cara lain, kepada kelompok masyarakat lainnya, mengenai manfaat dari usaha kesejahteraan sosial penyandang masalah tuna sosial melalui Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat.

(c) Secara selebaran dan komunikasi radio maupun mass media lainnya.

6) KEGIATAN KOSULTASI DAN RUJUKAN

a) Kegiatan konsultasi dan rujukan ini, merupakan pemberian nasehat yang lebih teknis profesional sesuai bidangnya, antaranya dalam bidang kosultasi kedokteran/rehabilitasi medik, psikologi, permasalahan sosial, perolehan latihan kerja dan penyaluran kerja, serta lainnya yang terkait, yang kemudian bila tidak dapat ditangani ditingkat setempat maka permasalahan tersebut dirujuk ke instansi/lembaga lain yang dapat memberikan pelayanan yang lebih memadai.

b) Kegiatan konsultasi ini antaranya mencakup:

(1). Kegiatan deteksi dini terhadap masalah tuna sosial yang diarahkan selain untuk memberikan bimbingan dan penuyuluhan, adalah juga untuk memerlukan perlu tidaknya yang bersangkutan untuk dirujuk ke fasilitas yang lebih lanjut.




(2). Kegiatan rujukan ini antara lain adalah:

(a). Untuk memperoleh tindakan lanjutan, baik dibidang rehabilitasi medik tindakan pengobatan, fisioterapi, opersi cacat, dan lainnya.

(b). Untuk memperoleh kesempatan pendidikan formal, misalnya bagi tuna sosial.

(c). Untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi di panti sosial sesuai dengan permasalahan sosialnya.

(d). Untuk memperoleh pelatihan di LBK, kemungkinan ikut program Liposos, peyaluran kerja di perusahaan, penyaluran melalui PBK, pelatihan integratif di LBK, ikut pada kegiatan KUP, dan pembinaan lanjut lainnya.

(3). Kegiatan wawancara untuk mengetahui riwayat yang lebih rinci mengenai sebab timbulnya kecacatan.

(4). Upaya untuk mencari alternatif penanganan permasalahan sosialnya maupun keadaan sosial dari penyandang masalah yang bersangkutan.

c). Dengan demikian:

(1). Para penyandang masalah tuna sosial siap untuk ikut dan mau memperoleh pelayanan terhadap masalah tuna sosialnya, baik yang menyangkut kesempatan perolehan berbagai rehabilitasi sosial, antara lain rehabilitasi edukasional, rehabilitasi/pelatihan vokasional, rehabilitasi medik, bimbingan lanjut, penyaluran kerja, maupun rehabiliasi lain-lainnya.

(2). Keluarga penyandang masalah tuna sosial dan lingkungan terdekatnya siap untuk ikut berperan serta untuk memahami, memikirkan dan melakukan langkah-langkah untuk menangani dan meningkatkan taraf kesejahteraan sosial penyandang masalah.

7) KEGIATAN REHABILITASI SOSIAL

a). Di dalam program ke SDLB dan atau SLB, rehabilitasi sosial dan penanganan bagi masalah tuna sosial yang terdapat ditingkat dasar atau dilingkungan desa yang bersangkutan, yang sekiranya dapat ditangani sendiri, diharapkan untuk dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat setempat, dengan bimbingan perangkat pemerintah (LKMD/PKK), dan/serta jajaran Depsos setempat antara lain (PSM, TKSK, Tim MRU, Tim RBM).

b). Kegiatan persiapan pelaksanaan rehabilitasi sosial ditingkat dasar/desa ini secara lansung bertahap yang menyangkut:

(1). Kegiatan pengumpulan dana, melalui cara-cara yang disepakati bersama, khususnya potensi dana yang dimiliki masyarakat setempat.

(2). Kegiatan persiapan dan pengadaan peralatan (untuk pemeriksaan dan konsultasi) dan fasilitas (gedung atau ruangan atau lokasi kegiatan) yang diperlukan bagi kegiatan-kegiatan RBM setempat.

(3). Kegiatan pengarahan tenaga pelakasana Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat yang mencakup tenaga inti pemeriksa/konsultan/instruktur pelatih keterampilan, tenaga pembimbing/penyuluh, tenaga kader Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat, dan tenaga administrasi, tenaga pembantu, serta tenaga sukarela lainnya termasuk tenaga Tim URSK dan atau Tim Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat terutama Pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang diperlukan.

(4). Peralatan administrasi dan logistik, yang menyangkut alat tulis kantor, formulir-formulir Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat dan atau Tim URSK, buku-buku petunjuk Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat dan atau URSK, termasuk dokumen Rencana Acuan Operasi serta jadwalnya, dan lain-lain kelengkapan administrasi serta logistik lainnya.

(5). Koordinasi dengan pejabat pemerintah, termasuk Dinas Sosial dan Instansi terkait lainnya, dan khsusnya dengan pejabat Pemda Desa/Kecamatan, termasuk organisasi-organisasi desa (LKMD, PKK) dan Orsos setempat.

c). Langkah berikutnya adalah pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat secara fisik di lokasi yang menyangkut:

(1). Persiapan lokasi: yang mecakup antara lain:

(a). Persiapan gedung/ruang, misal dengan meminjam balai desa, Puskesmas, Posyandu, gedung sekolah dan sebaginya.

(b). Persiapan perangkat URSK, kendaraan Tim URSK, dan peralatan URSK, serta personil pendukung lainnya.

(2). Pelaksanaan kegiatan yang mencakup:

(a). Registrasi penyandang masalah tuna sosial yang akan ditangani.

(b). Pemeriksaan dan konsultasi kesehatan umum, dalam rangka menetukan keadaan kesehatan penyandang masalah tuna sosial secara umum.

(c). Konsultasi psikologis dalam rangka memeriksa kemungkinan adanya gangguan kejiwaan atau kelainan psikologis, termasuk kemungkinan adanya cacat mental (retardasi maupun psikotik).

(d). Konsultasi sosial dalam rangka meneliti keadaan sosial ekonomi-budaya dari penyandang masalah tuna sosial yang bersangkutan dan atau keluarganya.

(e). Pemeriksaan lebih rinci mengenai kualitas atau berat-ringan permasalahan sosial, misalnya berat-ringannya kecacatan seseorang tuna sosial, dalam rangka penentuan langkah pelayanan rehabilitasinya.

(f). Penentuan rujukan bila dibutuhkan, karena penanganan rehabilitasi setempat tidak memadai.

(g). Pelatihan singkat keterampilan kerja tertentu yang memungkinkan dan akan segera bermanfaat bagi penyandang masalah tuna sosial, agar yang bersangkutan dapat menjadi warga yang produktif dan dapat hidup normatif.

(h). Pemberian alat bantu cacatnya yang akan dapat digunakan di lingkungan kehidupannya, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitarnya.

(i). Pemberian bantuan sosial, yang dapat berupa bantuan uang maupun peralatan kerja, untuk memulai bekerja dan berproduksi.

(j). Penyaluran dan pembinaan lanjut agar penyandang masalah tuna sosial memperoleh pekerjaan dan atau peningkatan kemampuan kerjanya.

(k). Saresehan dengan kelompok-kelompok masyarakat terutama para pramuka masyarakat, para kader RBM dan petugas terkait, dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai permasalahan sosial penyandang masalah tuna sosial, dan meningkatkan peran sertanya untuk ikut menangani permasalahan sosial tersebut.

(l). Kegiatan monitoring dan evaluasi keseluruhan kegiatan Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat dan atau kegiatan URSK, sebagai tolak ukur keberhasilan serta sebagai bahan peningkatan pengoperasian Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat dan atau URSK selanjutnya.

d). Kegiatan Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat di lapangan dilakukan oleh Kelompok Kerja (Pokja) atau Satuan Karya (Saka) yang terdiri dari tenaga kader RBM, anggota Karang Taruna, PSM, PKK, LKMD, tokoh masyarakat, pramuka saka bina sosial, petugas Posyandu/Puskesmas, tenaga dari panti, BLK, LBK, dan lainnya yang terkait.

e). Kegiatan-kegiatan diatas dikoordinasikan dan di arahkan oleh Kepala Pemda/Desa/Kecamatan, yang pelaksanaan hariannya dikoordinasikan oleh LKMD setempat.

V. BAGAN VISUAL PELAKSANAAN RBM

Bagan visual pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat, periksa lampiran.

VI. PENUTUP

1. Dengan adanya Buku Pedoman mengenai RBM ini, diharapkan akan terdapat kesamaan jalan pikiran dan langkah-langkah pelaksanaannya, sehingga akan terdapat efisiensi dan efektifitas kerja dan hasil yang akan di harapkan bersama.

2. Hal-hal yang belum diatur dan memerlukan kejelasan lebih lanjut akan di tuangkan dalam ketentuan atau uraian tersendiri.





For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here

Tuesday 23 November 2010

PROGRAM PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS, DAN ANAK JALANAN TERPADU MELALUI PENGUATAN KETAHANAN EKONOMI KELUARGA BERORIENTASI DESA

PROGRAM DESAKU MENANTI


Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa[1]


Arif Rohman
University of New England
School of Behavioural, Cognitive and Social Sciences 


Cite:
Rohman, Arif. (2010). 'Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa'. Disampaikan Pada Acara Workshop Penanganan Gelandangan di Perkotaan. Jakarta, 14 Oktober 2010. Jakarta: Kementerian Sosial RI.

A. Latar Belakang

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.

Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).

B. Data dan Fakta

Dalam upaya untuk merumuskan program penanganan yang tepat untuk gelandangan, pengemis dan anak jalanan, ada baiknya disampaikan data dan fakta sebagai berikut :
1.  Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang, jumlah pengemis mencapai 35.057 orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang. Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.

2.  Angka gelandangan, pengemis, dan anak jalanan diperkirakan naik, mengingat daya tarik kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah impian bagi orang desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat kecenderungan kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada gejala ‘satu kota’ yaitu ibu kota Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.

3.   Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut ‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih mencerminkan orang kampung.

4.  Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan kota-kota lainnya.

5.  Masalah gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal, keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri. Terbukti dari tingkat kegagalan layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti ataupun layanan transmigrasi, namun kembali menggelandang di kota. Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk setempat.

C. Filosofi dan Trend Penanganan Masalah Tuna Sosial

Permasalahan, gelandangan, pengemis dan anak jalanan memiliki dimensi yang sangat kompleks. Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila program penanganan yang disusun mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan trend penanganan yang sedang berkembang saat ini:
1.   Persoalan Hulu
Bahwa masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder dari Dinas/Instansi Sosial terkait.

Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota. Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota. Hal ini dikarenakan modus munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).

2.   Persoalan Hilir
Kaum urban yang dating ke kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang, akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai ’Anak’ (client). Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar.

Persoalan kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut.

Pengemis sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan program keluarga harapan (PKH) yang dilaunching Kementerian Sosial pada tahun 2008 tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu melibatkan para patron, pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal gelandangan dan pengemis.

3.   Persoalan Anak Jalanan
Kajian sosial filosofis pada anak jalanan membuktikan bahwa layanan harus berpusat atau berbasis pada keluarga. Tugas utama anak adalah sekolah dan bermain. Melalui penguatan ketahanan ekonomi keluarga diharapkan anak dapat bersekolah kembali dan memperoleh pendidikan dengan baik, layaknya anak-anak yang hidup normal lainnya.

Banyak program untuk anak jalanan yang langsung difokuskan kepada anak tetapi tingkat keberhasilannya rendah, dikarenakan bahwa usia anak adalah usia dimana seseorang belum bisa menggunakan nalarnya secara benar. Mereka masih mudah terpengaruh dengan teman sebayanya dan belum memahami arti kehidupan secara utuh. Hal ini terlihat dari banyaknya anak jalanan yang mengikuti pelatihan keterampilan (vocational training), namun mudah sekali keluar, atau mereka sudah menyelesaikan pendidikannya namun kembali ke jalan. Kajian sosial filosofis anak membuktikan bahwa seseorang di jalan baru kemungkinan sukses mengikuti program pelatihan keterampilan jika paling tidak berusia 21 tahun. Pada tahapan umur ini sesorang sudah dihadapkan pada pilihan logis yaitu ingin bekerja dan menjadi orang baik-baik, atau tetap di jalan dan menjadi preman. Intinya tetap sama yaitu intervensi yang tepat untuk anak adalah dengan kembali ke sekolah.

Semua program layanan akan lebih efektif jika melalui keluarga. Di sinilah keluarga diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan dan pendidikan informal dalam keluarga demi kualitas sumber daya manusia (SDM) anak-anaknya di masa mendatang. Trend atau kecenderungan dalam pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial lebih mengedepankan perlindungan hak-hak anak (child rights) demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child).

D. Program Yang Diajukan

1.   Nama Program
Nama program yang diajukan adalah ‘Desaku Menanti’ (Program Penangananan Gelandangan dan Pengemis Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa).

2.   Tujuan
Adapun tujuan dari Program Desaku Menanti adalah mengembangkan model penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan, agar hilang secara permanen di kota-kota besar. Program ini adalah inovasi dari program penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang selama ini dilakukan, yaitu dengan memfokuskan semua layanan di daerah asal para gelandangan dan pengemis (berbasis desa). Disamping itu, semua kegiatan akan melibatkan seluruh komponen di daerah asal, seperti pemerintah daerah, pengusaha (CSR), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Inti dari program ini adalah menciptakan keteraturan sosial melalui peningkatak kontrol sosial dari masyarakat.

3.   Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam program Desaku Menanti adalah :
a.   Gelandangan.
b.   Pengemis.
c.   Anak Jalanan.
d.   pemerintah Daerah.
e.   Lembaga Pendidikan.
f.    Dunia Usaha (CSR).
g.   Masyarakat.

4.   Jenis Kegiatan
Program Desaku Menanti adalah program yang komprehensif dalam penghapusan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang ada pun, baik preventif maupun kuratif dilakukan secara bersamaan, simultan, dan berkesinambungan. Mengingat program ini adalah uji coba pengembangan model, untuk keberlanjutannya (sustainability), diharapkan pada tahap replikasi dapat mengadvokasi pemerintah daerah supaya program ini ke depan dapat dibiayai dengan menggunakan APBD.
a.    Kegiatan Preventif
Kegiatan preventif dilakukan di tempat-tempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis, maupun anak jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah lebih baik daripada mengobati. Kegiatan difokuskan pada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) atau wanita rawan sosial ekonomi.
1)  Kampanye Sosial di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Penentuan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan statistik daerah asal gelandangan dan pengemis terbanyak di Jakarta. Adapun kegiatan dalam kampanye sosial meliputi :
a)   Rapat koordinasi dengan Pemerintah Daerah di sepuluh lokasi.
b)   Penyuluhan sosial intensif langsung ke masyarakat di sepuluh lokasi. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui lain :
ü Pemutaran film dokumenter yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis di desa-desa.
ü Penyebaran pamflet dan leaflet tentang gelandangan dan pengemis, serta bahaya merantau ke kota tanpa bekal keterampilan, pendidikan dan modal.
ü Gelar panggung/drama yang berkisah tentang kesulitan hidup di kota besar.
ü Penyuluhan sosial dengan melibatkan tokoh agama dan tokah masyarakat yang peduli pada permasalahan gelandangan dan pengemis.
ü Temu duta anti gelandangan dan pengemis dengan masyarakat desa.

2)  Pemberian Bantuan Ekonomi Langsung di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Sasarannya adalah RTSM dan wanita rawan sosial ekonomi.

3)  Pemberian Bantuan Perumahan di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Konsep pemberian bantuan perumahan ada dua model. Pertama, melalui program transmigrasi yang berkoordinasi dengan Kemenakertrans. Kedua, bantuan perumahan sangat sederhana di kampung mereka masing-masing. Konsepnya untuk yang pertama melalui koordinasi saja. Sedangkan konsep kedua melalui advokasi ke pemerintah daerah dan Kementerian Perumahan dan Permukiman untuk penyediaan lokasi tanah dan pendirian bangunan. Melalui bantuan perumahan ini diharapkan nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan serta arti penting rumah sebagai simbol utama keluarga dapat kembali ditumbuhkan.

4)  Pemberian Bantuan Peralatan Sekolah di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia.

b.    Kegiatan Dukungan
1)  Pemilihan ’Duta Anti Gelandangan dan Pengemis’
Pemilihan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ dapat dipilih atau ditentukan oleh Kementerian Sosial di Jakarta. Diharapkan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ berasal dari kalangan artis yang memiliki background keagamaan yang relatif kuat, mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat kelas bawah, dan memiliki komitmen yang kuat dalam gerakan penghapusan gelandangan dan pengemis.

2)  Pemberian Penghargaan Bagi ’Kota Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Penghargaan/trophy akan diberikan kepada kota-kota yang memiliki komitmen yang besar dalam penghapusan gelandangan dan pengemis di daerahnya. Piagam penghargaan ’Kota Bersih Gelandangan dan Pengemis’ langsung diberikan oleh Menteri Sosial setiap setahun sekali.

3)  Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ dapat dilakukan oleh Presiden RI, Wakil Presiden RI, maupun Menteri Sosial RI disesuaikan dengan kebutuhan dan keuangan. Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ sudah dipastikan akan mengundang simpati publik, terutama kalangan media baik cetak maupun elektronik.

c.    Kegiatan Rehabilitatif
Kegiatan rehabilitasi sosial selama ini dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, melalui panti-panti gelandangan pengemis milik Kementerian Sosial maupun Pemda DKI Jakarta. Akan tetapi jumlah gelandangan dan pengemis tidak pernah berkurang. Berkenaan dengan ini sudah seyogyanya apabila kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan di daerah asal gelandangan dan pengemis, yang difokuskan pada penguatan ketahanan ekonomi keluarga dan kontrol sosial masyarakat.
1)  Penjangkauan dan Pemulangan Gelandangan dan Pengemis
Kementerian Sosial bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta (Pemda DKI Jakarta sebagai pilot project) menyediakan alokasi dana untuk pemulangan gelandangan dan pengemis ke daerah asal. Gelandangan dan pengemis yang akan dipulangkan adalah hasil dari operasi yustisi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, Dinas Sosial dan Tramtib DKI Jakarta. Dalam Program Desaku Menanti, uji coba pemulangan dilakukan di 3 propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari sinilah 10 lokasi di 3 propinsi pada kegiatan preventif dilakukan dengan memperhitungkan daerah yang potensial mengirimkan gelandangan dan pengemis ke DKI Jakarta. Dalam pemulangannya, pendamping (pekerja sosial) dari Kementerian Sosial berkoordinasi dengan Dinas/Instansi Sosial di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, bahkan sampai dengan tingkat kecamatan dan desa. Pemulangan dilakukan sampai di tingkat desa dengan mengundang tokoh masyarakat setempat. Proses ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis malu atau jera. Pemulangan ini juga sekaligus sebagai upaya diseminasi dan penyuluhan sosial yang sifatnya preventif untuk masa mendatang. Kegiatan ini sekaligus untuk menggugah kepedulian masyarakat mengenai kondisi ekonomi warganya, dan untuk menerima kembali mantan gelandangan dan pengemis dengan baik (reintegrasi sosial).

2)  Pemberian Pelatihan Keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM)
Para gelandangan dan pengemis yang sudah dipulangkan kemudian mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai minat dan bakatnya di ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota. Biaya pelatihan ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan pemda setempat (sharing cost). Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi. Mereka yang lulus kemudian diberikan bantuan stimulan untuk modal usaha sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya.

3)  Pemberian Bantuan Stimulan untuk Eks Gelandangan dan Pengemis
Setelah dipulangkan, mantan gelandangan dan pengemis yang yang tidak memungkinkan mengikuti pelatihan keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota akan mendapatkan bantuan stimulan langsung. Bantuan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi.

4)  Layanan Perumahan/Transmigrasi
Layanan ini diberikan pada mereka yang mempunyai mental kuat untuk mengubah diri, diperkirakan tidak mempunyai kerabat lagi di desa, dan membutuhkan lingkungan baru, sementara usianya masih masuk dalam kategori usia produktif. Kegiatan ini perlu bekerja sama dengan Kementerian Perumahan dan Permukiman atan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pusat maupun yang ada di Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Bagi mereka yang masih punya keluarga di desa akan dibangunkan rumah sederhana di daerah asalnya, dan bagi yang sudah tidak punya keluarga akan ditawarkan transmigrasi atau dibangunkan perumahan sangat sederhana di desanya terdahulu. Intinya, mereka mempunyai pilihan dan tidak ada paksaan.

5)  Pengembalian Anak ke Keluarga dan Bangku Sekolah
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia. Pendamping juga melakukan advokasi ke lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal untuk menerima anak kembali bersekolah. Khusus untuk anak jalanan yang perorangan (tanpa keluarga), mereka dipertemukan kembali dengan keluarga ataupun kerabat dekatnya (reunifikasi).

5.   Tahapan Kegiatan
a.    Penjangkauan
ü Untuk penjangkauan program preventif dilakukan di 10 titik lokasi (3 propinsi) dengan memperhitungkan stastistik daerah pengirim (sending).
ü Untuk penjangkauan program rehabilitatif dilakukan melalui operasi yustisi, bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta. Mereka yang terjaring akan ditampung di panti-panti gelandangan dan pengemis milik pemerintah.

b.    Registrasi dan Identifikasi
ü Untuk program preventif, di 10 titik lokasi (3 propinsi) yang telah ditentukan, didata dengan lengkap RSTM dan wanita rawan sosial ekonomi yang ada.
ü Untuk program rehabilitatif, pendataan dan identifikasi dilakukan setelah operasi yustisi dilakukan.

c.     Penentuan Layanan Sosial
ü Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.
ü Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.

d.    d. Pemberian Layanan Sosial
ü Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil needs assessment, diberikan layanan yang sesuai (kampanye sosial, bantuan ekonomi langsung, bantuan perlengkapan sekolah).
ü Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat (pemulangan, pemberian pelatihan keterampilan di RKDM, bantuan perumahan, bantuan ekonomi langsung, bantuan untuk kembali ke sekolah dan reunifikasi).

e.    Tindak Lanjut
ü Untuk program preventif, selanjutnya dilakukan tindak lanjut dalam rangka penguatan ketahanan ekonomi keluarga, seperti advokasi melalui kerja sama lintas sektor dunia usaha (KLSDU).
ü Disusun buku khusus yang memuat pengalaman hidup mantan gelandangan dan pengemis dengan mengedepankan prinsip kerahasiaan (confidentiality) sebagai bahan kampanye sosial di masa mendatang.

f.     Terminasi
Keluarga mantan gelandangan dan pengemis diadvokasi kembali agar dapat menjadi keluarga binaan atau dapat mengakses program PKH. Proses rujukan ini dengan meminta bantuan dari lembaga-lembaga terkait di daerah.

g.    Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang dan intensif untuk meminimalisir resiko kegagalan program.

6.   Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi dilakukan secara terus menerus oleh Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, LSM dan masyarakat secara luas (tokah masyarakat dan tokoh agama). Kerja sama juga dilakukan dengan media nasional maupun lokal untuk mendukung Program Desaku Menanti (para gelandangan dan pengemis kembali ke desa/kampung halamannya).

7.   Indikator Keberhasilan
Adapun indikator keberhasilan dari Program Desaku Menanti adalah sebagai berikut :
a.   Mantan gelandangan dan pengemis ataupun mereka yang rawan menjadi gelandangan dan pengemis dapat menyelesaikan proses layanan sampai tuntas.
b.   Ketahanan ekonomi keluarga meningkat dan mereka dapat hidup kembali normal di desa.
c.   Pemerintah daerah semakin peduli dan berkontribusi pada Program Desaku Menanti dengan mengalokasikan dana untuk pengembangan dan keberlanjutan program dimasa mendatang.
d.   Masyarakat mendukung penuh pelaksanaan Program Desaku Menanti dan berpartisipasi aktif baik dalam sosialisasi maupun pengawasan.
e.   Kesadaran orang tua meningkat dan ikut berperan aktif dalam mendorong anaknya untuk kembali ke dunia pendidikan dan terus memotivasi anak untuk melanjutkan sekolahnya (untuk anak jalanan).
f.    Intitusi/lembaga penyelenggara pendidikan dapat lebih memahami permasalahan yang menghambat proses belajar anak sehingga dapat memberikan perlakukan yang tepat sesuai dengan karakteristik anak (untuk anak jalanan).

E. Analisis Program

1.   Kekuatan
ü  Program Desaku Menanti tidak hanya berfokus kepada kegiatan rehabilitatif namun juga mencakup kegiatan preventif.
ü  Kegiatan-kegiatan dalam Program Desaku Menanti berbasis desa atau dilakukan di daerah asal sehingga kemungkinan menggelandang kembali sehabis menerima layanan relatif kecil.
ü  Program Desaku Menanti dipastikan akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat, daerah, LSM maupun masyarakat luas, mengingat permasalahan gelandangan dan pengemis adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi isu nasional.

2.   Kelemahan
ü  Program Desaku Menanti membutuhkan pendamping yang cakap, profesional dan penuh dedikasi serta memiliki pengalaman dalam menangani gelandangan dan pengemis.
ü  Program Desaku Menanti ini hanya menjangkau di sepuluh titik lokasi di 3 propinsi (Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur). Artinya untuk daerah luar Jawa dapat dikatakan belum tersentuh.
ü  Program Desaku Menanti membutuhkan dana yang tidak sedikit dan meminta keseriusan dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya.

3.   Peluang
ü  Program Desaku Menanti searah dengan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs) sehingga besar kemungkinan akan disupport oleh lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang kemiskinan.
ü  Program Desaku Menanti berbasis desa sehingga pelaksanaannya pun dilakukan di daerah asal, sehingga tidak menambah rumit pemerintah kota.
ü  Program Desaku Menanti dilakukan di desa asal sehingga pembinaan mental pun dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan-kearifan lokal.

4.   Ancaman
ü  Resistensi atau penolakan dari patron (pelindung) para gelandangan dan pengemis yang ironisnya justru mendapatkan dukungan dari oknum pemerintah.
ü  Adanya stereotype negatif pada keluarga mantan gelandangan dan pengemis baik oleh masyarakat maupun lembaga pendidikan tempat anak akan bersekolah.
ü  Jika Pemerintah Daerah tidak konsisten atau memiliki komitmen yang besar, program ini terncam gagal.

F. Pembiayaan

Pembiayaan adalah sharing budget antara Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.

G. Penutup

Demikianlah garis besar mengenai Program Desaku Menanti (Program Penanganan Gelandangan, Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa). Selain berupaya menghapus gelandangan dan pengemis di perkotaan, program ini juga dapat menumbuhkan kepedulian sosial dan kontrol sosial dari pemerintah daerah dan masyarakat. Disamping itu, Program Desaku Menanti membuka peluang bagi para sarjana yang ingin kembali dan mengabdi ke desa dapat bergabung dalam program ini. Program ini juga bisa bersinergi dengan program pemerintah lainnya seperti PKH, PKSA maupun Pusdaka (Pusat Pemberdayaan Keluarga).



Bibliografi:

Evers, Hans Dieter & Korff, Rudiger. (2012). Urbanisme di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Rohman, Arif. (2004). Kehidupan Ekonomi Orang Gelandangan di Senen: Suatu Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Ekonomi Informal dalam Mempertahankan Kelangsungan Usahanya. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta : Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas Indonesia.

Rubington, Earl & Weinberg, Martin S. (1970). The Study of Social Problems. Oxford : Oxford University Press.

Schwab, William A. (1992). The Sociology of Cities. New Jersey : Prentice Hall.

Suparlan, Parsudi. (1993). ‘Orang gendangan di Jakarta : Politik pada golongan termiskin’, dalam Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Weinberg, S. Kirson. (1971). Social Problems in Modern Urban Society. New Jersey : Prentice Hall.


*Kredit diberikan kepada Mas Doso dan Mbak Siti dari Sekretariat Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI,  yang memberikan dorongan dalam penulisan program ini sebagai kontribusi terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Semoga program ini bisa bermanfaat dan menempatkan gelandangan dan pengemis secara lebih manusiawi.

**Sebagai insan akademisi yang baik, jika anda menggunakan tulisan ini sebagai sumber referensi, harap mencantumkan sumbernya. Hal ini dikarenakan banyak bagian dari tulisan ini yang dicopas (copy & paste) sebagai bahan untuk menulis makalah, tugas lapangan, skripsi bahkan buku-buku panduan atau pedoman tanpa mencantumkan nama pengarang aslinya. Perbuatan ini sungguh memalukan dan tercela sekali. Terima kasih. Mari kita menjadi bagian dari upaya memerangi praktek plagiarism di Indonesia.



Bagian yang sering dicopas dari tulisan ini adalah :

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.


Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).




[1] Diajukan untuk mensukseskan program 100 hari Menteri Sosial RI dalam penghapusan gelandangan, pengemis dan anak jalanan di perkotaan tahun 2009.



LAMPIRAN








For Full Text Pdf Program Desaku Menanti Download Here