Monday 13 February 2012

Sepotong Senja Untuk Pacarku

Cerpen Seno Gumira: Sepotong Senja Untuk Pacarku

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

–Cerpen Pililihan Kompas 1993

Jangan Menyebut Dua Frasa Itu

Jangan Menyebut Dua Frasa Itu

Cerpen Marhalim Zaini

Yang hidup di tepi laut, tak takut menyambut maut.
Tapi ia, juga orang-orang yang tubuhnya telah lama tertanam dan tumbuh-biak-berakar di kampung nelayan ini, adalah sekelompok paranoid, yang menanggung kecemasan pada dua frasa. Dua frasa ini merupa hantu, bergentayangan, menyusup, menyelinap, dan acapkali hadir dalam sengkarut mimpi, mengganggu tidur. Dan saat bayangannya hadir, ia membawa kaleidoskop peristiwa-peristiwa buruk, yang menyerang, datang beruntun. Maka, ketahuilah bahwa dua frasa itu sesungguhnya kini hadir lebih sebagai sebuah energi negatif yang primitif, selain bahwa ia juga sedang menghadirkan dirinya dalam sosoknya yang energik, molek dan penuh kemegahan.

Tapi mampukah ia, si renta yang bermulut tuah, bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya.

"Ingat ya Tuk, Datuk tak boleh menyebut dua frasa itu. Bahaya!" Demikian proteksi dari yang muda, dari cucu-cicitnya. Dan merekalah yang sesungguhnya membuat ia kian merasa cemas. Di usianya yang susut, ia justru merasa kekangan-kekangan datang menelikung. Tak hanya kekangan fisik karena kerentaan yang datang dari kodrat-kefanaan tubuhnya sendiri, tapi juga kekangan-kekangan yang kerap ia terima dari orang-orang di luar tubuhnya. Orang-orang yang sebenarnya sangat belia untuk mengetahui rasa asam-garam, sangat rentan terhadap patahnya pepatah-petitih di lidah mereka.

Tapi, di saat yang lain, ia merasa aneh. Kenapa dua frasa itu, akhir-akhir ini demikian bergaram di lidahnya, tetapi demikian hambar di lidah orang muda? Tengoklah mereka, orang-orang muda, mengucapkan dua frasa itu seperti angin yang ringan, terlepas begitu saja, dan terhirup tak berasa. Dua frasa itu mereka ucapkan di merata ruang, merata waktu. Dari ruang-ruang keluarga, sampai dalam percakapan di kedai kopi. Dan setelahnya, secara tersurat, memang tak ada satu pun peristiwa buruk yang tampak terjadi, seperti layaknya ketika ia, si lelaki renta, yang mengucapkannya.

"Datuk kan bisa melihat akibatnya, ketika dua frasa itu keluar dari mulut Datuk yang bertuah itu. Badai topan datang menyerang dari arah laut. Habis semua rumah-rumah penduduk. Lintang-pukang seisi kampung nelayan. Nah, kalau Datuk memang tak ingin melihat anak-cucu-cicit datuk porak-poranda, ya sebaiknya Datuk jangan sesekali menyebut dua frasa itu. Dan Datuk tak boleh iri pada kami, ketika kami dengan sangat bebas bisa menyebut dua frasa itu, karena Datuk sendiri tahu bahwa lidah kami memang tak sebertuah lidah Datuk."

Tapi ia, si lelaki renta itu, selalu merasakan ada yang aneh. Instingnya mengatakan bahwa ada badai-topan dalam wujudnya yang lain yang sedang menyerang, sesuatu yang tersirat. Sejak ia mengunci mulut untuk tidak menyebut dua frasa itu, justru kini ia menyaksikan persitiwa-peristiwa buruk yang lain datang, sedang menyusun kaleidoskopnya sendiri. Tengoklah, kenapa kian menjamurnya anak-anak perempuan yang hamil luar nikah, dan anak-anak terlahir tak ber-Ayah. Kenapa kian dahsyatnya anak-anak muda yang tenggen, mengganja, dan saling membangun anarkhi dan istana-istana mimpi dalam tubuh mereka. Kadang-kadang malah mereka kini tampak serupa robot, atau bahkan kerbau dungu, atau serupa mesin-mesin yang bergerak cepat tak berarah, membabi-buta. Akibatnya, kampung nelayan yang serupa tempurung ini, kini lebih tampak sebagai sebuah ruang diskotek tua yang pengap, sebuah ruang yang sedang menanggung beban masa lampau sekaligus beban masa depan.

Dan tengoklah pertikaian demi pertikaian yang terjadi. Jaring Batu hanyalah sebuah sebab, yang membuat perahu-perahu dibakar, orang-orang diculik, dipukul, dan perang saudara kemudian membangun tembok yang sangat angkuh di antara orang-orang Pambang dan orang-orang Rangsang. Hanya egoisme sesat yang membuat mereka lupa bahwa mereka sesungguhnya berasal dari satu rumpun, satu ras, satu suku. Dan mereka para nelayan, yang mestinya adalah para penjaga tepian ini, tapi kini mereka telah menjelma para nelayan yang meruntuhkan tepian ini.

Peristiwa buruk lain yang kini melanda adalah timbulnya beragam penyakit yang aneh. Penyakit-penyakit yang tak bisa disembuhkan hanya dengan tusukan jarum suntik pak mantri, dan kebal dari obat-obat generik yang dijual di kedai-kedai runcit. Dan anehnya lagi, penyakit-penyakit itu membuat si penderita seperti terkunci mulutnya untuk bisa mengucapkan dua frasa itu. Dan biasanya, ujung dari deritanya, mereka kebanyakan menjadi bisu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun selain erangan.

Dan ia, si lelaki renta itu, seolah dapat memastikan bahwa sebab dari semua ini adalah karena kelancangan mereka yang menyebut dua frasa itu secara sembarangan. Tak hanya itu, dua frasa itu kini bahkan telah diperjual-belikan ke mana-mana, karena rupanya ia bernilai tinggi karena dianggap eksotis dan jadi ikon historis. Maka dua frasa itu diproduksi, seperti layaknya memproduksi kayu arang atau ikan asin. Dan anehnya, mereka tidak percaya bahwa lidah mereka sendiri sebenarnya juga bergaram. Tapi mungkin garam dengan rasa asinnya yang lain.

Sesekali ia, lelaki renta itu, pernah juga melemparkan saran, "Sebenarnya kalian juga tak boleh menyebut dan memperlakukan dua frasa itu secara sembarangan. Buruk padahnya nanti." Tapi, saran dari seorang renta yang bersuara parau, bagi mereka, hanya bagai suara gemerisik semak dalam hutan. Dan mereka selalu menjawab dalam bisik yang sumbang, "Maklum, masa mudanya tak sebahagia kita…"
***
Tapi di malam yang mendung itu, ia tak menduga tiba-tiba segerombolan orang secara agak memaksa, membawanya ke tepian laut. Lelaki renta itu bingung, kenapa orang-orang yang biasanya selembe saja padanya, kini demikian bersemangat memintanya untuk ikut bersama mereka. Apakah ada sebuah perayaan? Setahu ia, di sepanjang bulan ini tak ada perayaan hari besar maupun perayaan adat. Dan, kalaupun ada, biasanya ia lebih sering tidak diundang, karena mungkin dianggap telah demikian uzur, atau mungkin kehadirannya membuat orang-orang muda tak bebas berekspresi, karena pastilah terkait dengan pantang-larang.

Sesampainya di tepian laut, ia menyaksikan orang-orang telah duduk bersila, sebagian bersimpuh, di atas pasir hitam. Mereka tampak tertunduk demikian hikmat. Di bibir pantai, terlihat beberapa buah perahu yang berbaris, seperti barisan meriam yang moncongnya mengarah ke laut, siap diluncurkan. "Ah, inilah satu frasa itu, yang tampaknya akan dilayarkan ke satu frasa yang lain," pikir lelaki renta itu. Dan ia langsung dapat menduga bahwa akan ada sebuah upacara pengobatan tradisional. Tapi siapa yang sakit?

Seorang muda, tiba-tiba seperti berbisik ke telinga lelaki renta itu. "Datuk, kami mengundang Datuk ke sini untuk meminta Datuk supaya bisa mengobati kami semua." Lelaki renta yang dipanggil Datuk itu agak terkejut. Keningnya berkerut. Ia tidak melihat ada gejala atau tanda-tanda bahwa orang-orang yang berada di sini dalam keadaan sakit. Yang tampak olehnya adalah sekumpulan besar orang yang seperti sedang berdoa. Tapi pemuda itu berbisik lagi, "Datuk, kami semua yang berkumpul di sini sedang menderita penyakit bisu. Sebagian mereka telah benar-benar bisu dan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dan sebagian kecil yang lain, termasuk saya, tak bisa mengucapkan dua frasa itu, Datuk. Sementara untuk melakukan upacara ini tentu harus mengucapkan dua frasa itu kan, Datuk? Untuk itu, kami semua meminta Datuk untuk melakukan prosesi pengobatan… …pengobatan…pengobatan…tak bisa Datuk, saya betul-betul tak bisa mengucapkannya." Lidah pemuda itu seperti tersangkut saat hendak menyebut sebuah frasa.

Lelaki renta itu seperti tak percaya. Tapi kepalanya tampak mengangguk-angguk perlahan. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga pemuda, dan membalas berbisik, "Anak muda, kalian pernah melarangku untuk mengucapkan dua frasa itu. Kini kalian juga yang meminta aku untuk mengucapkannya. Apakah kalian tak takut badai topan yang akan menyerang? Kalian tak takut maut?"

Pemuda itu tertunduk ragu. Tak lama kemudian berbisik kembali. "Datuk, kami semua pasrah. Kalaulah ditakdirkan untuk menerima badai topan, dan kami harus mati karenanya, mungkin itu akan lebih baik daripada kami harus hidup membisu, dan tak bisa mengucapkan dua frasa itu…"

Bibir lelaki renta itu mengguratkan senyum. Ia kini tak yakin bahwa ia akan mampu bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya. Paling tidak di dalam hatinya, ia senantiasa mengucapkan dua frasa itu menjadi sebuah kalimat, Lancang Kuning yang tersesat di tepian Selat Melaka.***
Pekanbaru, 2005

Malam-Malam Nina

Malam-Malam Nina

Cerpen Lan Fang

Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.

Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.

Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.

"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.

"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.

Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.

Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.

Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Nina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.

Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.

"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.

"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.

"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.

Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.

Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.

"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.

Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.

"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."

Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.

Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.

"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.

"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.

"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.

Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.

Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.

"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?

"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.

Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."

"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"

Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.

Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.

"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.

Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.

"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.

Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!

Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.

Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.

Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…

"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.

Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"

"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?

Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.

Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.

Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu. ***

MOKSA

MOKSA

Cerpen Putu Wijaya

Telepon berdering di kamar praktik dokter Subianto. Dokter yang sedang menyanyi-nyanyi sambil memeriksa pasiennya itu, mengangkat telepon.
"Hallo, ini pasti kamu Moksa!"
"Bener, Pak."
"Kamu kan janji mau pulang. Jam begini kamu kok belum datang?"
"Moksa tidak jadi pulang."
"Lho, kenapa? Kamu bilang kamu butuh duit untuk beli kado buat teman baik kamu itu."
"Pokoknya tidak jadi. Dan Moksa tidak jadi pulang. Mau langsung ke pesta ulang tahun kawan itu."
"Lho, katanya kamu tidak punya uang untuk beli kado!"
"Udah beres!"
"Beres gimana! He Moksa, Ibu kamu minta diantarkan makan di Planet Hollywood."
"Tidak bisa Pak. Besok aja. Moksa pulang besok, Minggu."
"Tapi kamu kan butuh duit..."
"Udah ya Pak. Selamat malam Minggu sama Ibu. Besok Moksa pulang!"
"Tunggu!"
"Tidak bisa, ini coinnya sudah habis."
Telepon putus.
Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan tanpa ditanya lantas ngomong.
"Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil meneruskan menelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop.
"Kenapa, Dok?"
"Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya hanya sebulan sekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi pulang. Padahal kemaren merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100 ribu, sebab ada kawannya yang ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas untuk apa, tetapi harus pulang dulu! Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma mau uangnya. Akibat iklan-iklan tv, anak-anak sekarang memang jadi mata duitan semuanya. Oke. Sudah. Anda sudah tokcer. Anda sudah boleh melakukan apa saja dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan seperti pejabat-pejabat yang KKN itu!"
Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali menggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S. Effendie.
"Mari menyusun, bunga Seroja......"
Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol.
"Moksa nelpon ya?"
Dokter menarik napas panjang.
"Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih penting. Kita memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua. Uang sakunya harus dikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang."
Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran.
"Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!"
Istri dokter Subianto duduk di kursi.
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."
"Apa lagi apologinya kali ini?"
"Bukan apologi."
"Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 ribu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang memang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!"
Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suaminya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia bercerita.
"Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang."
Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan sedih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar.
"Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?"
Nyonya dokter berhenti menangis.
"Masak mencuri!"
"Habis apa? Kamu kok menangis?"
"Aku menangis karena terharu."
"Kenapa terharu?"
"Sebab anakmu ngamen di dalam bus!"
"Apa?"
"Ngamen!"
Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tambah tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan.
"Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya. Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinya dengan senang hati."
Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu dikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Itu harus dibanggakan.
Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada satu pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu diam-diam masuk ke dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran air matanya. Ia cepat berpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu.
Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya sudah duduk pasien. Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amat kesakitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada kanannya. Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat menulis resep.
"Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari. Mungkin memerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum obatnya sampai habis. Ini ada 4 macam."
Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke dokter seperti bimbang.
"Kok banyak sekali Dokter?"
"Bisa diambil separuhnya saja dulu."
"Ini kira-kira berapa Dokter?"
"Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal sekali."
Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran.
"Kenapa?"
"Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bayar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa sebabnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baiknya. Saya katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung mendengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang tinggal di daerah Depok, bukan?"
Dokter Subianto terkejut.
"Ya, anak saya Moksa, indekos di situ."
"Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?"
"Ya betul."
"Maaf, kalau tidak salah, kidal?"
"Betul."
Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong.
"Kenapa? Bapak kesakitan?"
Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita.
"Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang. Semua uang saya untuk berobat ada di dalamnya. Saya bingung. Tapi karena sakitnya bukan main, saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa saya bisa membayar Dokter lain kali saja?"
Dokter Subianto tercengang.
"Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?"
"Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?"
"Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?"
"Saya tidak tahu. Mungkin tidak."
"Berapa isi dompet Bapak?"
"Seratus ribu."
Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka laci mejanya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu.
"Ini. Tebuslah resep itu."
Orang itu tercengang. Nampak agak malu.
"Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya.
Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu.
"Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus resep. Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya akan memberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu saya bantu, datang saja jangan ragu-ragu."
Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan.
"Selamat malam."
Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Subianto cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul meja.
"Bangsat!"
Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai praktek, ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya. Tanpa mendengarkan komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke rumah pondokan Moksa di Depok.
Subianto terpaksa menunggu di ruang tamu, karena Moksa baru saja berangkat ke pesta. Ia menghabiskan 5 gelas teh, karena perasaannya tak menentu. Tengah malam Moksa baru muncul. Anak itu juga nampak heran melihat papanya sudah menunggu.
"Kan saya bilang besok pulangnya, Pak?"
Subianto menyembunyikan kemarahannya dengan senyuman.
"Ibumu tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu harus pulang sekarang."
Moksa terpaksa ikut. Dengan muka agak mengantuk, ia duduk di mobil di samping bapaknya. Ketika ia hampir saja tertidur, bapaknya mulai bicara.
"Bapak dengar kamu sudah ngamen tadi untuk dapat beli kado."
"O Ibu udah cerita?"
"Ya. Dapat berapa?"
"Lumayan. Yang penting kan bukan kadonya tetapi kehadirannya."
"Jadi kamu menyanyikan lagu Seroja di dalam bus?"
Moksa tersenyum.
"Bener kamu menyanyikan lagu Seroja?"
"Ya bener dong, masak tidak."
Subianto mengangguk.
"Di antara yang memberi kamu uang, ada lelaki pendek hitam dan memakai rompi hitam?"
Moksa mengerling.
"Kok Bapak tahu?"
"Ibu kamu menceritakan semuanya."
"Tapi Moksa tak menceritakan tentang orang itu."
"O ya?"
"Moksa hanya bilang, orang-orang di dalam bus itu heran sebab Moksa ngamennya lain. Kok pakai lagu Seroja. Mereka tertarik dan menanyakan apa Moksa pengamen betulan? Moksa jawab tidak. Cuma iseng. Kebetulan kurang duit buat beli kado untuk temen. Ee tahunya semua pada bersimpati, lalu ngasih. Kecuali Bapak itu."
"Bapak yang mana? Yang pakai rompi hitam?"
"Bapak kok seperti paranormal, tahu aja. Ya, dia pakai rompi hitam. Dia paling menikmati lagu Moksa tapi nggak mau ngasih duit."
"O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?"
"Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu Moksa, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia memanggil Moksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu nostalgia Bapak. Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak supaya Moksa mnceritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja, semuanya. Lama juga kami ngobrol. Kami salam-salaman sebelum pisah. Moksa terus ngamen sampai capek, karena rasanya enak dapat uang karena cucur keringat sendiri, makanya kagak jadi pulang."
Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil.
"Kenapa Pak? Ngantuk?"
Subianto menggeleng.
"Nggak. Aku hanya terkejut."
"Kenapa?"
"Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu orang."
"Ditipu bagaimana?"
"Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!"
"O ya? Kok bisa?"
Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian.
"Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?"
"Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan. Dia menjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100 ribu. Habis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter kok ngamen. Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu. Padahal uang itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya Bapak terpaksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan kejahatannya, dia pasti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa Bapak. Kalau tidak, dia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia ini sudah penuh dengan kejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang. Kamu juga harus hati-hati."
Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan mesin kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja menubruk pagar.
Istri dokter Subianto memeluk Moksa begitu mereka sampai.
"Kamu anak hebat. Ternyata kamu bisa mandiri, kalau kamu mau. Ibu bangga sekali pada kamu!"
Subianto cepat-cepat pergi ke kamar studinya. Kalau sedang senewen, ia suka tidur di situ menyepi. Tanpa salin pakaian, ia berbaring. Kecewa karena merasa sudah gagal mendidik anak. Ia menyesali dirinya karena terlalu sibuk. Kenapa ia dulu memilih jadi dokter, padahal ia tahu dokter sepanjang hari sibuk, tak akan sempat memperhatikan anak. Mestinya dia jadi seniman saja, supaya bisa menemani anak 24 jam. Mestinya ia tidak membiarkan Moksa indekos di Depok, supaya bisa diawasi terus. Sekarang sudah terlambat.
"Kini sudah waktunya. Aku harus, harus, harus, harus bicara pada Moksa secara blak-blakan, serius, dan keras. Kalau tidak, akan terlalu terlambat!" bisiknya dengan geram.
Sampai subuh, Subianto tak bisa memincingkan matanya. Tapi baru saja lelap sebentar, istrinya muncul membangunkam. Ternyata hari sudah pukul sebelas siang.
"Moksa sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia ingin bicara. Kelihatannya serius sekali," kata istrinya.
Subianto duduk lalu memberi isyarat supaya Moksa disuruh masuk. Perempuan itu berbalik lalu memberi isyarat pada anaknya yang sudah sejak tadi menunggu di pintu. Dengan anggukan rahasia Subianto minta supaya istrinya pergi.
"Selamat siang, Pak. Bapak nggak ke kantor?"
"Selamat pagi Moksa. Bapak kurang enak badan. Kamu mau bicara dengan Bapak?"
"Ya."
Subianto memandangi Moksa tajam.
"Apa lagi? Mau menuntut kenaikan uang saku?"
"Tidak."
"Tidak? Lalu apa?"
Moksa terdiam.
"Ada apa Moksa?"
Moksa menunduk. Setelah diam beberapa lama, ia berbisik. Suaranya hampir tidak kedengaran.
"Pak, kenapa Bapak percaya pada Moksa?"
Giliran Subianto yang terkejut.
"Maksudmu apa?"
"Kata Bapak, Bapak sudah ditipu oleh pasien yang mengaku memberi Moksa uang seratus ribu itu!?"
"Betul."
"Berarti, Bapak percaya pada Moksa, dong!"
Subianto terdiam. Dadanya berdetak keras.
"Kenapa Bapak tidak percaya kepada orang itu?"
Subianto mengalihkan pandangan. Itu pertanyaan yang sulit.
"Kenapa Pak?"
Subianto menghela napas.
"Karena kasihan?"
"Tidak. Kenapa kasihan?"
"Kalau begitu kenapa?"
"Karena aku percaya kepada kamu, Moksa."
Moksa termenung beberapa lama.
"Jadi Bapak lebih percaya kepada Moksa?"
"Ya dong!"
"Jadi masih percaya?"
Subianto menarik napas.
"Ya dong! Kenapa tidak?"
Moksa menunduk. Tiba-tiba ia menangis. Subianto sangat terkejut. Tapi ia berusaha menahan perasaannya.
"Kamu menangis Moksa?"
Moksa mengangguk. Ia berusaha menahan isakannya.
"Kenapa kamu menangis?"
"Moksa malu, Pak."
"Malu? Kenapa?"
"Malu, karena Bapak masih percaya kepadaku."
Subianto terdiam. Moksa memaksa dirinya berhenti menangis. Lalu ia memandangi bapaknya.
"Moksa jadi malu sekali, sebab Bapak masih percaya pada Moksa. Beri Moksa kesempatan satu kali lagi Pak. Moksa akan mengubah semuanya ini. Bapak mau memberi Moksa kesempatan?"
Subianto bingung. Ia tidak tahu apa yang lebih baik. Menjawab ya atau tidak. Akhirnya ia menjawab, seperti orang yang bingung.
"Tak ada yang harus dimaafkan. Kalau kamu nanti besar dan sudah punya anak, kamu akan tahu sendiri, di dalam keluarga tidak ada maaf, semuanya sudah diselesaikan dengan sendirinya. Karena kepada siapa lagi kita bisa berbuat kesalahan kecuali kepada orang tuamu yang menyayangimu?!"
Moksa nampak semakin tertikam. Tapi kemudian ia berdiri dan menghampiri bapaknya. Memegang tangan orang tua itu, lalu menciumnya.
"Maap Pak."
Subianto tambah bingung. Ia mengangkat tangan dan mengusap kepala Moksa. Anak itu menangis kembali.
"Terima kasih, Bapak masih percaya kepada Moksa. Tidak ada yang lebih berharga dari kepercayaan Bapak buat Moksa. Moksa akan berusaha baik lagi, Pak. Moksa pergi sekarang, Pak, ada banyak PR. Moksa tidak mau ketinggalan lagi. Jangan katakan sama Ibu, ya Pak!"
Subianto mengangguk, lalu membarut kepala Moksa. Kemudian mencium kening anak yang cakep tapi badung itu. Moksa menangis lagi. Ia memeluk bapaknya erat-erat, kemudian cepat-cepat hendak pergi ketika terdengar suara pintu terbuka. Tapi ibunya keburu masuk.
Istri Subianto yang masuk karena mendengar suara tangis, terkejut karena tiba-tiba anak itu memeluk.
"Ibu, Ibu punya seorang suami yang hebat. Moksa ternyata punya Bapak yang hebat. Moksa balik dulu sebab banyak urusan. Nanti Moksa nelpon lagi. Kapan-kapan Moksa anterin Ibu ke Planet Hollywood. Moksa yang akan traktir dengan hasil ngamen."
Tak menunggu jawaban, Moksa mencium pipi ibunya, lalu bergegas keluar. Wanita itu hendak memburu keluar, tetapi Subianto memberi isyarat.
"Jangan, biar saja dia pergi."
Perempuan itu bingung.
"Tapi, kamu kemaren bilang, ini sudah terlalu berbahaya."
Subianto menggeleng.
"Kita harus memberi dia kepercayaan."
"Tapi...mungkin dia perlu uang!"
Subianto menggeleng.
"Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!"
Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan bubuk jahanam.
"Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan."
Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu.
"Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu.
"Kita lawan semua ini dengan kepercayaan."
"Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"
"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!"
Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sendiri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya. ***

Tuesday 18 October 2011

Soekarno: His Mannerism and Method of Communication

Soekarno: His Mannerism and Method of Communication
Justin Wejak

Abstract
The main purpose of this article is to discuss Soekarno’s mannerism and method of
communication. Certain aspects such as Soekarno’s use of language in his speeches are highlighted
here in order to provide some basic understanding of Soekarno – both as a person and a political
leader of the nation. The article aims at stimulating further discussions concerning this very well
known leader. This article also examines Soeharto’s style of speech for a comparison.
Keywords: communication, language, power, charisma, monologue, dialogue, politics, personality,
culture, religion, revolution.

Introduction
The inaugural leader of the Republic of Indonesia, President Soekarno, is
undoubtedly one of the greatest examples of charisma
the world has ever known. For
twenty years as the archipelago’s revolutionary leader and twenty years as the
President of Indonesia, Soekarno used the power
2
1
of language
and his charismatic
appeal for political gain and national advancement. While it is easy to tell who has
charisma and who never will, it is very difficult to define this quality possessed by those
who inspire us. Soekarno’s charisma was evident in his cellubrious sexual allure and
ability, like Mahatma Gandhi, Nelson Mandela and Xanana Gusmao, to mesmerize a
mass audience with a combination of passion, ideas and personality (Porter & Williams,
1999, p. 8).
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/letters/
3
According to John Howard’s biographer, David Barnett, ‘the concept of charisma is
one of the most dangerous concepts in a democracy that you can find. Charisma is a sort
of totalitarian, fascist shorthand for policy and program. To talk about electing people
because you like them as if they are film stars strikes at the fundamentals of the way
the system works. The responsibility of a people is to elect a government that will

1
According to the Oxford Encyclopedic English Dictionary, the term charisma (pl. charismata) means
[a] the ability to inspire followers with devotion and enthusiasm. [b] an attractive aura; great charm.
[c] a divinely conferred power or talent.
In the Oxford Encyclopedic English Dictionary, the word power is defined as [a] the ability to do or
act. [b] a particular faculty of body or mind. [c] government, influence, or authority. [d] political or
social ascendancy or control. [e] authorization; delegated authority. [f] personal ascendancy. [g] an
influential person, group, or organization.
2
3
Language, according to the Oxford Encyclopedic English Dictionary, is [a] the method of human
communication, either spoken or written, consisting of the use of words in an agreed way. [b] the
language of a particular community or country etc. [c] the faculty of speech; a style or the faculty of
expression; the use of words, etc. [d] any method of expression.
53
54
Volume 2, Number 2, December 2000: 54 – 59
govern responsibly. For people to be beguiled by popularity for its own sake, to choose
someone who makes them feel good, is dangerous in the extreme. To my mind, the most
charismatic personality in history was undoubtedly Adolf Hitler’ (Porter & Williams,
1999, p. 8).
How right Barnett was in assessing the charismatic appeal of Hitler. And the same
can invariably be said for Soekarno, although not to the same extent. Given Soekarno’s
Javanese background and the fact that he orchestrated the archipelago’s revolution
which led to the attainment of Indonesian independence, the people were beguiled by his
popularity and charm and chose him because he made them feel good. The amount of
choice the people had, however, was certainly arguable. Charisma implies physical
presence combined with an ability to persuade. Charisma and great talk go together.
But the chat has to be quality. Otherwise, silence is more effective.
A Leader is Born
Soekarno was brought up in a purely Javanese, old style environment which
embraced fairly tales and represented a climate of make-believe. This, perhaps, sounds
rather simplistic in academic context, however, one should bear in mind that Javanese
belief systems are indeed very complex, like all belief systems are. Soekarno never
escaped this grounding and it influenced his whole life, his whole thinking, his soul and
his longings. His grandparents even believed he had supernatural powers and was
predestined to be a great leader.
As a boy, Soekarno thought he would some day be the hero of his people. And he was
just that for a period of time. He conjured up all kinds of happenings in which he played
the hero. He believed he was capable of doing some wonderful and extraordinary things
so that the eyes of not only his nation but the world would look at him, admire him and
applaud him.
Soekarno yearned for the hero’s welcome given by the Romans to Julius
Caesar on his return from the battles of Gallia and to Prince Gadjah Mada, from the
Kingdom of Majapahit in East Java, following his defeat of the strong Kingdom of
Padjadjaran in West Java.
4
5
The belief in his destiny was so strong in him that it was a constant impetus in his
drive for power. And it was this dramatic and theatrical appeal which helped him retain
the presidency for more than twenty years. His burning ambition was to be the first
man in his country capable of enduring the bitter pills fate would force him to swallow.
The Revolution
6
Beckons

4
Soekarno was referring here to the Battle of Surabaya (November 1945) in which heavily armed
British troops aided by planes and artillery met fierce resistance from the lightly armed Indonesian
irregulars.
5
Gadjah Mada was the Prime Minister of the Kingdom of Majapahit which was centred in East Java
and at the zenith of its power during the fourtheenth century controlled large parts of the present
Indonesian and Southeast Asia.
6
In the Oxford Encyclopeddic English Dictionary, revolution means [a] the forcible overthrow of a
government or social order, in favour of a new system. [b] any fundamental change or reversal of
conditions. [c] the act or an instance of revolving.
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/letters/
Soekarno: His Mannerism and Method of Communication (Justin Wejak)
During the 1920s, Soekarno was already dreaming of his great destiny which was to
be the man in Indonesia to unite the beliefs of all the people. He would like to unite the
religious people, the Nationalists and the Marxists in one big force. He was sure he
would find the solution, and then he would be admired and worshipped by everybody as
a new Messiah. He separated the Indonesian people into three categories: Moslems,
Nationalists and Marxists. He did all this because he believed that he was destined to be
the savior of his country and therefore prayed in his own way for the safety of his life
and the greatness of his person.
Soekarno’s deep and indestructible belief in his destination allowed him to patiently
undergo the humiliation by the Dutch and later by the Javanese. This belief allowed
him to persevere and be tough in politics. His perseverance was the primary factor
which sustained him and enabled him to surpass other leaders at the time who were
better educated than he, but who did not have the bulldog-like perseverance so necessary
for a long struggle like the fight for independence. Soekarno fought hard for leadership
and was always a genius in exploiting the right moments in time with his oratorical
brilliance.
Soekarno was undoubtedly a great orator. Even before he assumed the presidency of
the Indonesian Republic, he was capable of bewitching whole gatherings with his
speeches. His language was not too pure and often outright crude, but his use of the
language, his intonation and the gestures he made at the right time were flawless. His
appearance was impressive. In front of the common people who were captivated by his
charm, exuberance and delivery, Soekarno was in his element (Hanifah, 1972, p. 76).
Indonesia’s inaugural President often used animal symbolism to convey his feelings
during the revolutionary years under the archipelago’s Japanese occupation. From his
pre-war writings, the locals knew Soekarno considered Japan the modern imperialist of
Asia. So, during this period he coined his famous metaphor: ‘Under the blanket of the
Rising Sun the Chinese dragon co-operates with the white elephant of Thailand, the
caribou of the Philippines, the peacock of Burma, the nandi cow of India, the hydra
snake of Vietnam and, now, with the banteng buffalo of Indonesia, in ridding our
continent of Imperialism’.
To the Indonesian mind this was clear. It meant the occupied territories were united
in the desire to exterminate aggression, not by co-operating with the Rising Sun, but
rather by co-operating under the Rising Sun (Soekarno, 1965, p. 179). The Japanese
were pleased with Soekarno’s oratory and considered it purely a vehicle to keep the
vanquished in line. Little did they know just how influential and overwhelming
Soekarno would prove to be, especially against the Dutch and Japanese.
Given that he was Soekarno, the man who really could enchant the masses into
feeling as one, the masses forgave him for his constant boasting. He was really an orator
of exceedingly great strength. Whether one heard his speeches and stories once or
multiple times, one could not help being overawed and overwhelmed by his thundering
voice and absolute conviction. After all, he was charming, calm and fatherly. If he
wished, he could be very disarming and pleasing. He was constantly aware that he had
that kind of influence on his listeners who believed Soekarno was indeed their Savior. In
his autobiography, Soekarno was quoted as saying:
I learned to grab my audience’s attention at the very beginning. I not only
grabbed it, I held it. They listened spellbound. A shiver went through me when I
first discerned I embodied the kind of power that could move masses. I made my
points simply. My hearers found them easy to grasp because I relied on
descriptive terms rather than facts and figures. I appealed to the emotions …
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/letters/
55
56
Volume 2, Number 2, December 2000: 54 – 59
They looked up at me as I spoke. They stared at me adoringly, eyes open wide,
faces turned up, drinking it all in trustingly, expectantly. It seemed apparent I
was becoming a great public speaker. It was in my blood (Soekarno, 1965, p. 179).
President Soekarno and the Dawn of his New Nation
The combination of Soekarno and Hatta during the revolution and initial years of the
Republic of Indonesia was indeed a fortunate one. Soekarno alone could not have brought
about the revolution, but in union with Hatta he was neutralized. Soekarno, the
dreamer of great things to come, the man of the unbridled imagination, could be a great
danger in a real crisis, just because he was full of wishful thinking and was a credulous
person if only you could please him the right way.
Soekarno’s vanity, in fact, made him from the very beginning a bad security risk.
But Soekarno was undeniably the more popular and charismatic man among the
masses because he had been known for so long. His name had already become a legend.
Hatta, on the other hand, was strict, cool-headed, realistic and practical. He was a
scholar, an economics expert, a pragmatist—essentially the right man to have beside
Soekarno. According to Soekarno:
I never thought of mundane things like money. Only people who have never
breathed the fire of nationalism can concern themselves about such trivia. Liberty
was the food I lived on. Ideology. Idealism. The nourishment of the soul. That’s
what I fed on. I myself lived in rags, but what did it matter? Pulling together my
party and my people, that’s all I lived for … I formulated my people’s hidden
feelings into the political and social terms which they would have spoken
themselves if they could. I called to the old to remember their sufferings and to
see them redeemed. I called to the young to think for themselves and to labor for
the future. I became their mouthpiece … Soekarno, the Great Ear of the
Indonesian people, became Bung Karno, the tongue of the Indonesian people …
You can force a person to stand, but you cannot force him to smile trustingly or
gaze admiringly or wave at you happily. I call upon humanity to examine the
upturned faces of my people when Bapak speaks. They are smiling at me. Praying
for me. Loving me. This no government can force (Soekarno, 1965, pp. 120-121).
Draping himself in nationalist clothes, Soekarno used strident rhetoric and nimble
politicking to strengthen the executive branch and keep actual and potential opponents
off balance. Foreign policy took a decidedly anti-western tone. Soekarno intensified
efforts to wrest control of West Papua from the Dutch and launched an ill-fated military
campaign against Malaysia to protest the establishment of the Malaysian states of
Sabah and Serawak on the island of Kalimantan. Relations with Beijing and Moscow
improved while ties with Washington D.C. increasingly soured, not least because of CIA
support for the PRRI rebellion in West Sumatra.
For Soekarno, still imbued with notions of revolutionary grandeur, the economy took
a back seat to the political struggle. In a famous speech on 25 March 1964, Soekarno
told the United States to “go to hell with your aid”. Nine months later he pulled
Indonesia out of the United Nations in a pique against the latter’s admission of Malaysia
as a member state. “To intoxicate the masses until they were heady with the wine of
inspiration was all I lived for. To me this was elixir. When I speak about my land I
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/letters/
Soekarno: His Mannerism and Method of Communication (Justin Wejak)
become excited. I become poetic. I was lyrical. I literally am overcome and this is
transmitted to my listeners” (Soekarno, 1965, p. 82).
Notwithstanding that Marxism was arguably incompatible with the religiously
affiliated Indonesian people, it was suggested in 1950 that Soekarno should have a party
of his own. His answer was that he knew that whatever he believed in, the people would
believe in too. Soekarno believed that in an election in which his ideas would be put at
stake, he would win the majority of people to his side. He maintained that he did not
need a party because the people, regardless of their own party allegiances, would follow
him because he was Soekarno, their real leader (Hanifah, 1972, p. 5). After all, Bung
Karno was a man not easily frightened, not easily beaten, and certainly not easily
ousted from the Presidential Palace. But perhaps it was at this point in time that
Soekarno’s vanity started to get the better of him.
People could rightly say that Soekarno was a frustrated man. During all his
speeches, he became fiercer and fiercer, to an extent where it looked as if he was trying
to surpass himself. He often appeared obsessed and probably could not help saying the
things he did say. Often contrary to the opinions he expressed in a calmer mood, many
wondered whether he really meant what he said while delivering many of his speeches.
Notwithstanding the mistakes Soekarno made as President, it cannot be denied that he
really was the savior of his country and it is this honor which people cannot and should
not deprive him (Hanifah, 1972, p. 204).
Language, Persuasion and Great Oratory:
A Comparison Between Soekarno’s and Soeharto’s Style
Virginia Hooker once examined the very distinct styles of communication
employed
by Indonesia’s founding President, Soekarno, and his long-standing, recently retired
successor, Soeharto. While the former was considered poetic, charismatic, informal,
even chaotic, the latter showed less compassion and militaristic tendencies in many
formal and impersonal deliveries. While these rivaling manifestations were arguably
indicative of the respective political environments in which these leaders found their
country at the time, I believe their mannerisms and methods of communication reveal
more about each man’s upbringing, attitude and lifestyle.
One way in which the differing styles employed by the nation’s first and second
Presidents were exposed was the Independence Day Speeches. For instance, Soeharto’s
speech assessed key events of the past twelve months, proposed future goals and was
directed at the Indonesian nation in its entirety. He would pay tribute to the significance
of the 1945 Constitution and more contemporary agendas. Moreover, Soeharto would
discuss the strength of productivity, industry, economic development and foreign policy
as well as encourage the nation to strive for success and embrace the New Order’s
endeavors. On the other hand, however, Hooker makes reference to the fact that
Soekarno was more concerned with presenting his own policies than with national policy

7
In the Oxford Encyclopedic English Dictionary, the term communication means [a] the act of
imparting , esp. news. [b] the information etc. communicated. [c] a means of connecting different
places, such as a door, passage, road, or railway. [d] social intercourse. [e] the science and practice of
transmitting information esp. by electronic or mechanical means. [f[ the means of transport between a
base and the front. [g] a paper read to a learned society.
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/letters/
7
57
58
Volume 2, Number 2, December 2000: 54 – 59
during his Independence Day Speech. She argues that Soekarno’s addresses were
unplanned, unstructured, lacked an underlying theme and concerned merely the distant
and recent past.
When addressing the nation, Soeharto often used the pronoun kita, the participatory
and all-inclusive ‘we’. He spoke with full authority, without intimacy and
confidentiality, unlike his predecessor. Soeharto’s use of memper- verbal prefixes and
lebih dari pada itu (English: ‘more than that’) before a verb, although not surprising,
was intriguing and to a certain extent, unbelievable. However, any ambiguity and
argument implied by the audience would always be subsumed by Soeharto’s confident
tone and non-negotiable stance.
Notwithstanding his unmistakable authority as well, one characteristic evident in
the speeches delivered by Soekarno, and not his successor, is the way he drew the
audience close to him through references to shared experiences. Whereas Soeharto used
monologue
8
, the role of language itself, through dialogue
, was obvious during Soekarno’s
time. He not only persuaded and inspired his audience, but emotionally entangled and
even captivated them. He invited negotiation and argument when Soeharto did not.
9
Critics, however, such as Hooker allege that there was no sense of order, no rational
argument nor controlled direction in Indonesia’s founding-father’s addresses. The
element which enabled his style to succeed was that his delivery was ‘inimitable and
unforgettable’. Soekarno’s speeches were undeniably ‘personality-based’ while Soeharto’s
were more policy driven and remembered only through repetition and cliché.
Stability has been viewed as the engaging quality of Soeharto’s New Order and the
underlying difference between both Presidential regimes. However, it must be noted the
threat of the archipelago breaking up, the West’s endeavor to disallow the spread of
communism and the economic turmoil that followed as a result of independence, all
impeded Soekarno.
According to Hooker, stability is a quality valued highly by Javanese society.
Soeharto’s Kromo (High Javanese) style revealed that he was in authority, whereas
Soekarno’s Ngoko (Low Javanese) style suggested otherwise. Soekarno’s over-confidence,
flamboyance, aggressive posturing, and individualism were not in keeping with the
Kromo paradigm. This is in spite of the fact that both leaders were Javanese and
Soekarno came from a more upper-class background than his successor. Each, however,
assumed a contrasting aspect of ‘Javaneseness’ for his public persona and platform
(Hooker, 1993, p. 75).
I think that as an Indonesian constituent, Soeharto’s endeavor to progress and keep
developing the Indonesian economy and society alike, without corruption, would be
considerably heartening and well-received. As a public speaker, however, Soekarno’s
confident, enthusiastic and awe-inspiring deliveries would also drive me to greater
heights. A potential leader with both Soekarno’s and Soeharto’s better qualities is the
very person required to lead the Indonesian archipelago. B.J. Habibie does not appear to
be of that mould.

8
In the Oxford Encyclopedic English Dictionary, the term monologue means [a] a scene in a drama
in which a person speaks alone. [b] a dramatic composition for one performer. [c] a long speech by one
person in a conversation etc.
9
According to the Oxford Encyclopedic English Dictionary, the term dialogue means [a] conversation.
[b] conversation in written form; this as a form of composition. [c] a discussion, esp. one between
representatives of two political groups. [d] a conversation, a talk.
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/letters/
Conclusion
Soekarno: His Mannerism and Method of Communication (Justin Wejak)
There is no doubt that Soekarno’s confident, enthusiastic and awe-inspiring
deliveries drove Indonesians to greater heights. Soeharto and Habibie, however, would
not be justified in thinking that they achieved the same. The time will reveal how
charismatic Gus Dur is and how enthusiastic he will be to use language effectively.
Virginia Hooker’s article shows just how powerful language can be. Effective use of
language may yield Gus Dur continued success and acclaim whereas ineffective use may
ultimately signal an unfortunate fate for Indonesia’s fourth president. It may be the
very thing that leads to his downfall.
Paul Lyneham, a political commentator, argues that the general charisma shortage
in the present Australian Parliament does leave the Australian people all the poorer.
The same could be said of Indonesia during Soeharto’s New Order regime. According to
Lyneham, charisma is the essential difference between a mere politician and a
statesman: the latter can inspire and unite a community and paint a vision to get people
to fall in behind it, while the former generally fails in this regard. Nobody in Indonesia
has ever inspired such a conflict of emotion as Soekarno.
Soekarno was cursed like a villain and worshipped like a god. He admitted to having
an ego and justified it by welding more than thirteen thousand islands into a nation. He
was vain, but more so appreciated, and so often applauded merely for his theatrical
nature and accomplished oratory skills. Soekarno was without a doubt one of the
greatest charismatic statesmen the world has ever seen. Notwithstanding his affiliation
with communist ideology, Soekarno will long be remembered for his ability to wisely
assimilate performance and language which undeniably facilitated his long-standing
position of power in the Indonesian Republic’s short but dramatic political history.
References
Anderson, Ben. (1991). Language & power: Exploring political cultures in Indonesia.
Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
Hanifah, A. (1972). Tales of a revolution. Sydney: Angus and Robertson.
Hooker, Virginia. (1993). New Order Language in Context. Culture & society in New
Order Indonesia. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Lev & McVey. Editors. (1996). Making Indonesia. New York: Cornell University.
Mani. (1986). The story of Indonesian revolution 1945-1950. Madras: University of
Madras.
Porter, L. & S. Williams. (1999). The It Factor. The Sunday Age Magazine 7 November
1999. Melbourne.
Soekarno. (1965). Soekarno: An autobiography. Hong Kong: Gunung Agung.
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/letters/
59

Monday 18 July 2011

BERSANDAR PADA SENJA - PUISI PABLO NERUDA

Bersandar Pada Senja

Sewaktu bersandar pada senja, kutebarkan jala dukaku
ke lautan matamu.

Di sana, kesepianku membesar dan membakar dalam marak api maha tinggi
tangannya menggapai bagai orang lemas.

Kukirim isyarat merah ke arah matamu yang hampa
yang menampar lembut seperti laut di pantai rumah api.

Kau jaga hanya kegelapan, perempuanku yang jauh
pantai ketakutan kadang-kadang muncul dari renunganmu.

Sewaktu bersandar pada senja, kucampakkan jala dukaku
ke laut yang mengocak lautan matamu.

Burung-burung malam mematuk pada bintang-bintang pertama
yang mengerdip seperti kalbuku ketika menyintaimu.

Malam menunggang kuda bayangan
sambil menyelerakkan tangkai-tangkai gandum biru di padang-padang.



Soneta XVII


aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topaz,
atau panah anyelir yang menyalakan api.
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai,
secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa.

aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dalam dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi;
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat,
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku.

aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan;
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya

beginilah: dimana aku tiada, juga kau,
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku,
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur.

Soneta LXVI


Aku tidak mencintaimu kecuali karena aku mencintaimu;
aku pergi dari mencintaimu menjadi tidak mencintaimu,
dari menunggu menjadi tidak menunggu dirimu
hatiku berjalan dari dingin menjadi berapi.

Aku mencintaimu hanya karena kamulah yang aku cinta;
aku membencimu tanpa henti,
dan membencimu bertekuk kepadamu
dan besarnya cintaku yang berubah untukmu adalah bila aku tidak mencintaimu tetapi mencintaimu dengan buta.

Mungkin cahaya bulan Januari akan memamah hatiku dengan sinar kejamnya,
mencuri kunciku pada ketenangan sejati.

Dalam bagian cerita ini hanya akulah yang mati, hanya satu-satunya,
dan aku akan mati karena cinta karena aku mencintaimu.
karena aku mencintaimu, cintaku, dalam api dan dalam darah.

Soneta XXV


Sebelum aku mencintaimu, cinta, tiada ada yang menjadi milikku:
Aku melambai melalui jalan-jalan, di antara benda-benda:
tiada ada yang berarti ataupun mempunyai sebuah nama:
dunia terbuat dari udara, yang menunggu.

Aku mengenal kamar-kamar yang penuh oleh debu,
terowongan dimana bulan hidup,
gudang-gudang kasar yang menggeram Pergilah,
pertanyaan yang memaksa di dalam pasir.

Semua adalah kekosongan, mati, bisu,
jatuh, terlantar dan membusuk:
tidak diragukan asing, semuanya.

milik orang lain --tidak pada siapapun:
sampai kecantikanmu dan kemiskinanmu
dipenuhi oleh musim gugur yang penuh dengan hadiah.

Tiada Selain Kematian


Adalah kuburan yang kesepian,
makam yang penuh dengan tulang belulang yang tak berbunyi,

Oh Bumi, Nantikan Aku


Pulangkan daku, oh mentari,
ke takdir kasapku,
hujan hutan tua,
kembalikan padaku aroma dan pedang-pedang
yang lepas dari angkasa,
kedamaian sunyi padang rumput dan karang,
kelembapan tepi-tepi sungai,
bau pohon cemara,
angin yang riang laksana jantung
yang berdetak di tengah sesak kegelisahan
araucaria yang besar.

Bumi, kembalikan padaku kado-kado sejatimu,
menara-menara kesunyian yang dahulu
menjulang dari ketakziman akar-akar mereka.
kuingin kembali jadi sosok masa silamku
dan belajar untuk berpaling dari bisikan kalbu
bahwa di antara segala sosok alamiah,
aku mungkin hidup atau hadapi maut;
tak mengapa jadi satu batu baru, batu kelam,
batu sejati yang hanyut oleh sungai.

hati yang berjalan melalui sebuah terowongan,
seperti bangkai kapal kita akan mati memasuki diri kita sendiri,
seakan-akan kita tenggelam dalam hati masing-masing
seakan-akan kita hidup lepas dari kulit kedalam jiwa.

Dan adalah mayat-mayat,
kaki yang terbuat dari tanah liat yang dingin dan lengket,
kematian ada di dalam tulang-tulang,
seperti gonggongan dimana tiada anjing-anjing,
keluar dari bel entah di mana, dari makam entah di mana,
tumbuh di dalam udara lembab seperti tangisan hujan.

Terkadang aku melihat sendiri,
peti mayat yang sedang berangkat,
dimulai dengan kepucatan kematian, dengan wanita yang memiliki rambut mati,
dengan tukang-tukang roti yang seputih malaikat,
dan gadis-gadis muda yang termenung menikah dengan notaris publik,
peti mati melayari vertikal sungai kematian,
sungai berwarna ungu gelap,
menyusuri hulu dengan layar-layar yang berisikan suara-suara kematian,
berisikan suara kematian yang merupakan diam.

Kematian datang dengan semua suara itu
seperti sebuah sepatu tanpa kaki di dalamnya, seperti sebuah jas tanpa seorang laki laki di dalamnya,
datang dan mengetuk, menggunakan sebuah cincin tanpa batu di dalamnya, tanpa jari di dalamnya,
datang dan berteriak tanpa mulut, tanpa lidah, tanpa kerongkongan.
namun langkah-langkahnya bisa didengar
dan pakaiannya membuat suara keheningan, seperti sebuah pohon.

Aku tidak yakin, aku mengerti cuma sedikit, aku tidak bisa begitu melihat,
tetapi sepertinya untukku nyanyiannya memiliki warna kelembaban bunga violet,
dari bunga violet yang berada di rumah di dalam bumi,
karena wajah kematian adalah hijau,
dan muka yang diberikan kematian adalah hijau,
dengan penetrasi kelembaban dari sehelai bunga violet
dan warna muram dari musim dingin yang menyakitkan hati.

Tetapi kematian juga melewati dunia berbaju seperti sebuah sapu,
menyapu lantai, mencari tubuh-tubuh mati,
kematian ada di dalam sapu,
sapu adalah lidah dari kematian yang mencari mayat-mayat,
adalah jarum dari kematian yang mencari benang.

Kematian ada di dalam tempat tidur gantung yang terlipat,
yang menghabiskan hidupnya tidur di atas matras-matras lambat,
di dalam selimut-selimut hitam, dan tiba-tiba melepaskan nafas:
meniupkan suara ratapan yang membengkakkan seprai,
dan tempat-tempat tidur pergi berlayar menuju pelabuhan
dimana kematian sudah menunggu, berpakaian seperti seorang laksmana.


Ya, kukenal dia, dan kulewatkan sederet tahun bersamanya,
dengan hakekatnya yang berasal dari emas dan batu,
ia seorang lelaki yang letih �
di Paraguay ia tinggalkan ayah dan bundanya,
anak-anaknya dan semua keponakannya,
ipar-iparnya yang paling akhir,
pintunya dan ayam-ayamnya,
serta beberapa buku yang setengah terbuka.
Ada suara ketukan pintu.
Ketika ia membukanya, ia disambar polisi
dan mereka menderanya tanpa kata ampun
sehingga ia ludahkan darah di Prancis, di Denmark,
di Spanyol, di Italia, dan bergerak ke sana kemari,
kemudian ia mati dan tak lagi kulihat wajahnya,
tak lagi kudengar kesunyiannya yang dalam;
lalu suatu ketika, pada suatu malam berbadai,
dengan salju yang turun menyelubungi
sebuah mantel licin di daerah pegunungan,
di punggung seekor kuda, di sana, di kejauhan,
kulayangkan pandang dan kulihat sahabatku di sana �
parasnya kini terukir di permukaan sebuah batu,
dan raut wajahnya menantang cuaca liar,
dalam rongga hidungnya angin meniupkan
rintihan seorang lelaki yang tanggung siksa.
di sana, pengasingan temukan titik akhir.
kini ia hidup di tanah airnya walau berwujud batu.

Tuesday 24 May 2011

Bangkitlah Indonesia Kita

Bangkitlah

Indonesia

Kita


Ikrar Nusa Bhakti

Profesor riset di Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia







KITA memang

sering sekali menjadi

bangsa yang

suka terkaget-kaget.

Kita juga sering kali lambat

untuk memiliki kesadaran baru.

Tengok, misalnya, ketika pesawat

Merpati Nusantara Airline

jatuh di Kaimana, Papua Barat.

Banyak orang yang kaget mengapa

kita membeli pesawat

buatan China MA-60 dan bukan

menggunakan produk bangsa

sendiri CN-235? Ketika hasil

survei Indo Barometer diumumkan

minggu lalu, banyak

orang yang kaget pula karena

salah satu kesimpulannya ialah

responden menilai Orde Baru

lebih baik daripada situasi saat

ini. Ketika Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) menangkap

Sekretaris Kementerian Pemuda

dan Olahraga Wafi d Muharam

bersama dua orang yang

diduga melakukan penyuapan,

Mindo Rosalina Manulang dan

M El Idris, kita juga terhenyak,

bagaimana mungkin masih ada man

u s i a

Indonesia

yang tega mengorupsi

anggaran

untuk pembangunan

fasilitas olahraga

untuk SEA Games 2011

di Palembang. Kita makin

kaget ketika muncul tuduhan

bahwa Wafid Muharam

adalah kader Partai Keadilan

Sejahtera (PKS) dan mereka

yang terlibat suap-menyuap

antara lain adalah Bendahara

Umum Partai Demokrat M

Nazaruddin dan Angelina

Sondakh, anggota DPR RI dari

Partai Demokrat. Mungkin kita

bertambah kaget lagi saat membaca

berita utama surat kabar

Ibu Kota minggu lalu yang

menyebutkan hampir semua

partai politik tersandera kasus

korupsi! Betapa menyedihkannya

negeri ini.

Kita seakan baru sadar, jika

kelakuan manusia Indonesia,

khususnya kaum elite yang

berada di eksekutif dan legislatif,

amat korup, lebih mementingkan

diri sendiri dan

kelompoknya, bagaimana

pula nasib bangsa ini

ke depan. Di tengah

bangsa-bangsa lain di

Asia Tenggara yang

sedang menggeliat

untuk dapat

bersaing di era

globalisasi

politik dan

ekonomi,

I n d o -

nesia

seakan

m a s i h

t e r k u n g -

kung oleh perilaku

elite politiknya

yang korup

dan kurang memiliki

rasa kebangsaan untuk lebih

mendahulukan penggunaan

produk bangsa sendiri ketimbang

bangsa asing. Slogan

‘cintailah produk-produk Indonesia’

serasa tanpa makna

jika jajaran elite di kabinet sendiri

lebih cinta untuk membeli

produk China pesawat MA-60

ketimbang hasil karya anakanak

bangsa CN-235.

Kita tidak sadar bahwa bangkitnya

Jepang setelah Perang

Dunia II disebabkan adanya

kesadaran warga Jepang untuk

lebih mencintai produk-produk

negaranya sendiri ketimbang

barang impor. Generasi Indonesia

yang lahir pada 1950-an pasti

mengetahui bagaimana produk

Jepang pada era 1960-an atau

1970-an dinilai tidak berkualitas,

cepat rusak, dsb. Namun, melalui

kecintaan orang Jepang pada

produknya sendiri ditambah dengan

inovasi-inovasi baru untuk

menciptakan teknologi baru

yang lebih canggih daripada

teknologi yang diciptakan bangsa-

bangsa Eropa dan Amerika

Serikat, barang-barang Jepang

menjadi barang yang amat berkualitas

di dunia. Melalui sistem

dumping pula barang Jepang

meluas ke seantero dunia dan

dicintai dunia.

Kita juga melihat bagaimana

geliat ekonomi Korea Selatan

sejak 1980-an dan China sejak

1990-an. Produk Korea Selatan

awalnya juga dinilai tidak bermutu.

Kini siapa yang tidak

tahu merek dagang LG, Samsung,

Hyundai, KIA, Daewoo?

Siapa pula di dunia ini yang

tidak pernah membeli suvenir

di luar negeri yang ternyata

buatan China? Siapa yang

tidak sadar betapa produk

alas kaki, tekstil dan produk

tekstil, mainan anak-anak atau

elektronik murahan China menguasai

pasaran dunia? Siapa

yang tidak tahu bahwa China

adalah negara utama yang

membeli surat utang Negara

Amerika Serikat? Siapa pula

yang tidak tahu bahwa perusahaan

kimia dan minyak China

berusaha untuk menguasai

ladang-ladang minyak dunia

termasuk di Indonesia? Sadarkah

kita bahwa pemerintah

Indonesia lebih mendahulukan

perusahaan minyak China untuk

mengeksplorasi minyak di

ladang Madura Barat dan bukan

sebagian besar diberikan

kepada perusahaan

BUMN Pertamina?

Kita jangan kaget

bila ada pejabat

I n d o n e s i a

yang akan

m e n g a -

takan,

“This

i s

nothi

n g t o

do with nationalism,

this

is purely business!”

Kita tentunya akan terus

mengelus dada jika

ada petinggi Republik yang

lebih tunduk pada China atau

AS demi uang atau politik, dan

mengesampingkan kepentingan

nasional kita. Jika kebijakan

ekonomi Indonesia dijadikan patokan, mungkin akan banyak

data bermunculan bahwa

eksekutif dan legislatif kita semuanya

sudah melenceng dari

konstitusi negara kita, Undang-

Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945.

Sadarkah kita bahwa pemerintahan

SBY-Boediono amat

takut untuk mengajukan usulan

kontrak baru PT Freeport

yang lebih menguntungkan

Indonesia? Padahal pada 1994

Freeport mengajukan kontrak

baru karena area produksinya

diperluas. Kita memang tidak

memiliki elite politik seberani

Bung Karno yang mengatakan,

“Go to hell with your aid,” yang

kini bisa ganti dengan kalimat

‘Go to hell with your moneyÊ atau

‘Go to hell with your investmentÊ

jika investasi atau uang China,

AS, atau negara lain yang diinvestasikan

di negeri kita

tidak memberikan manfaat bagi

bangsa dan negara kita, tetapi

hanya untuk mengeruk kekayaan

kita dan memiskinkan

rakyat.

Kita di Indonesia terasa terhenyak

ketika barang-barang

China yang masuk ke Indonesia

ternyata bukan saja barang khas

China, melainkan juga batik

yang notabene adalah produk

khas Indonesia. Entah sampai

kapan kita tetap lebih memilih

untuk menggunakan batik

produk Indonesia ketimbang

produk China. Ini bukan soal

antiglobalisasi atau antiasing,

tapi sadarkah kita kalau di

negara-negara maju seperti di

Australia, AS, dan negara-negara

Eropa banyak kalangan yang

sangat antiglobalisasi dan ingin

memproteksi produk atau hasil

pertanian dari negara mereka

sendiri.

Sadarlah para elite politik

kita di kabinet dan

elite ekonomi kita yang

tergabung di Kamar

Dagang dan Industri

(Kadin) mengenai

gempuran barang-barang

murah dan tidak

bermutu dari China tersebut. Kini China bahkan

sudah merambah ke teknologi

dirgantara, yakni dengan menjual

produk yang di negerinya

sendiri kurang laku, pesawat

MA-60!

Orde Baru lebih baik?

Kita sering tercengang jika

masih ada orang yang mengatakan

bahwa Orde Baru lebih

baik daripada Orde Reformasi

atau Soeharto lebih baik daripada

SBY. Pandangan bahwa

Orde Baru lebih baik daripada

era reformasi bukanlah hal

yang baru. Sejak awal reformasi

pun banyak orang yang menilai

seperti itu, bukan hanya dari

kalangan kroni atau elite politik

yang diuntungkan era otoriter

itu, melainkan juga rakyat miskin

kota.

Sanjungan terhadap Orde

Baru disebabkan anggapan

bahwa di era Soeharto stabilitas

politik dan keamanan

terjaga, pertumbuhan ekonomi

meningkat, pemerataan

juga terjadi. Di era Soeharto

tak dapat dimungkiri harga

barang-barang dan pangan

terjangkau, sekolah dan kuliah

murah, kesehatan juga

terjamin karena puskesmas

ada di hampir semua wilayah

Tanah Air.

Namun, sadarkah kita bahwa

segala yang ada saat itu ada

pula yang bersifat semu? Stabilitas

politik dan keamanan

kita saat itu tercapai karena

politik deparpolisasi dan

depolitisasi yang dilakukan

pemerintah terhadap partaipartai

politik. Demonstrasi mahasiswa

juga hanya sekali-kali

terjadi pada 1974 (Malari), 1978

(saat Sidang MPR RI untuk

melantik Soeharto kembali jadi

presiden), dan 1979 (saat pemerintah

menerapkan normalisasi

kehidupan kampus dan badan

koordinasi kemahasiswaan--

NKK dan BKK--serta pembubaran

Dewan Mahasiswa di

seluruh universitas negeri).

Demonstrasi besar baru terjadi

pada 1997 dan 1998 saat Indonesia

mengalami persoalan

ekonomi besar sejalan dengan

krisis keuangan dan ekonomi

kawasan Asia Tenggara yang

berakhir dengan jatuhnya Soeharto.

Stabilitas politik dan

keamanan juga tercipta karena

semua organisasi sosial adalah

bagian dari korporatisme negara,

dari PWI, KNPI, karang taruna,

sampai ke MUI sekalipun.

Stabilitas politik dan keamanan

juga terjaga karena Indonesia

berada di bawah sepatu lars

tentara, tak ada aspek kehi-

dupan dalam masyarakat yang

lepas dari intervensi ABRI.

ABRI saat itu bukan memiliki

dwifungsi ABRI, melainkan

hanya satu fungsi, ‘that ABRI

was running everything!Ê.

Sadarkah kita betapa persoalan

hak asasi manusia menjadi

persoalan pelik di negeri kita,

baik saat Soeharto dan dalam

kadar yang lebih rendah hingga

saat ini? Sadarkah bahwa perilaku

aparat negara masih belum

berubah secara total menuju

yang lebih manusiawi?

Kita juga masih melihat betapa

korupsi masih merajalela

di eksekutif dan legislatif. Politisi

di eksekutif dan legislatif

dapat dikatakan sebagai

penyumbang terbesar dari

korupsi di negeri ini. Jika para

elite politik yang korup itu

ditangkapi dan ditahan, bukan

mustahil negeri ini akan masuk

Guinness Book of Record sebagai

negara dengan elite politiknya

dari Sabang sampai Merauke

memenuhi rumah-rumah tahanan

dan lembaga-lembaga

pemasyarakatan kita.

Bangkitlah negeriku

Indonesia adalah milik kita dan

kita untuk Indonesia. Demokrasi

kita memang belum matang. Namun,

bila tingkah laku para elite

parpol dipaksa untuk diubah

melalui penerapan penegakan

hukum yang konsisten dan

tanpa pandang bulu, bila pemilu

dijalankan tanpa politik uang,

bila pendidikan politik rakyat

dan para elite partai berjalan

baik, penulis percaya, dalam tiga

pemilihan umum mendatang

Indonesia akan terbentuk menjadi

negara dengan kematangan

demokrasi yang baik.

Bila kita semua mencintai

produk Indonesia, bukan mustahil

kuantitas dan kualitas

produk kita akan semakin baik.

Mari kita jadikan Indonesia

sebagai surga bagi produkproduknya

sendiri sehingga

tanpa kebijakan proteksionis

pun negeri ini akan terhindar

dari deindustrialisasi yang

semakin masif.

Mari kita bangun kembali

keindonesiaan kita sehingga

‘seribu bunga dapat berkembang

dan menghiasi taman nasionalisme

Indonesia!’. Tanpa

rasa kebangsaan kita, negeri

ini akan terus tercabik oleh

konfl ik antaretnik dan agama

yang semuanya terkait dengan

pertarungan antarelite.

Indonesia akan bangkit jika

semua anak bangsa sadar bahwa

kita milik Indonesia dan

Indonesia milik kita!

Lulusan terbaik Demak, Jawa Tengah, terancam tidak akan menerima ijazah

DEMAK - Lulusan terbaik pelajar SMK di Demak, Jawa Tengah, terancam tidak akan menerima ijazah karena ditahan sekolahnya. Ketiadaan biaya membuatnya harus menunggak pembayaran biaya sekolah hingga jutaan rupiah.

Shobar dan ibunya, Lianah, tampak lesu ketika dipanggil bagian tata usaha SMK Al Kautsariyah untuk segera menyelesaikan tunggakan administrasi. Selama tiga tahun belajar di jurusan multimedia, Shobar belum pernah sama sekali membayar sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) yang besarnya Rp50 ribu per bulan.

Selain itu, sejumlah pembayaran lain juga tidak dipenuhi, hingga totalnya mencapai Rp4.185.000. Biaya sebesar itu meliputi SPP, pendaftaran ulang, biaya ujian tengah semester, dan ujian akhir semester.

Menurut Kepala Bagian Tata Usaha SMK Al Kautsariyah, Mushonef, meski menunggak pembayaran sekolah, namun Shobar masih tetap diizinkan mengikuti pelajaran dan ujian nasional (UN) beberapa waktu lalu. Apalagi selama ini, Shobar tercatat sebagai siswa yang berprestasi dan sering mewakili sekolah mengikuti berbagai lomba.

Pada ujian kompetensi keahlian Shobar, memperoleh peringkat pertama di Kabupaten Demak untuk SMK negeri maupun swasta. Sementara pada UN lalu, dia memperoleh nilai 9 pada mata pelajaran bahasa Inggris, dan nilai rata-rata semua mata pelajaran 8,2. Jika hingga akhir bulan Mei ini Shobar belum melunasi tunggakannya, maka ijazah tidak dapat diberikan.

Sementara ibu Shobar, Lianah, hanya bisa pasrah jika nanti ijazah anaknya ditahan sekolah. Sebagai pembuat tali tampar dari tanaman gebang, dengan penghasilan Rp6.000 per hari, tentu kesulitan untuk mengumpulkan uang lebih dari Rp4 juta itu dalam waktu singkat.

Lianah berharap, pihak sekolah melunak dan bersedia memberikan ijazah anaknya, agar dapat digunakan untuk mendaftar pekerjaan.(Taufik Budi/SUN TV/rfa)