Tuesday 2 December 2014

Sejarah RSCM Jakarta ---- Centraal Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ)

Ada ungkapan terkenal di kalangan masyarakat yang sudah kenal Rumah Sakit : 'Dokter atau Perawat belon jago kalo bukan keluaran RSCM'. Mau tidak mau RSCM memang Lembah Tidarnya para dokter dan perawat digembleng untuk merawat orang sakit. Dulu RSCM bernama Centraal Burgerlijke Ziekenhuis atau CBZ. Orang Djakarta tempo dulu selalu menyebut CBZ. Kakek saya saja selalu bilang "Naar CBZ" kalo mau ke RSCM. Barulah generasi ibu saya menyebut Rumah Sakit itu RSCM atau RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat). Kenapa CBZ begitu hebat, apakah ada hubungannya antara CBZ dan nama Cipto. Bagi saya nama Cipto yang diberikan pada 17 Agustus 1964 oleh pemerintahan Sukarno atas usulan Menteri Kesehatan saat itu Dokter Satrio bukan tanpa sebab. Suatu sore di bulan Maret 1963 Bung Karno memanggil tim dokter CBZ untuk bertanya tentang nama Rumah Sakit itu. Di teras Istana Negara mereka bicara ngalor ngidul tentang RS, Bung Karno berkata "Aku ingin Rumah Sakit ini, menjadi Rumah Sakit Rakyat, dia harus melayani rakyat secara penuh dan total. Rakyat harus dibebaskan dari biaya-biaya atau minimal sedikit biaya untuk berobat. Dan untuk itu nama kebelanda-belandaan, bukanlah nama yang baik. Aku bertanya kepada kalian nama apa yang cocok untuk Rumah Sakit ini" lalu dokter Satrio nyeletuk "Bagaimana kalau kita namakan Rumah Sakit Tjiptomangunkusumo saja Pak?" Bung Karno terdiam matanya langsung berkaca-kaca. Tak lama kemudian air mata pelan mengalir ke pipinya. "Aku ingat Onze Tjip...Aku ingat Onze Tjip...."

Tjiptomangunkusumo lahir dari keluarga jelata. Ayahnya sesungguhnya anak petani namun karena kecerdasannya dia mampu menjadi guru HIS. Tjip, ditakdir memang hidup menembus kelas-kelas sosial. Ia yang hanya anak guru mampu masuk sekolah STOVIA. Ini sekolah elite jaman dulu yang belajar tentang bidang kedokteran. Usia masuk Stovia dulu adalah berkisar 12-16 tahun. Jadi mereka diajarkan dari yang paling dasar sekali tentang bidang pengobatan dengan alat ajar yang minim. Tapi memang Indonesia selalu melahirkan generasi yang cerdas. Tjip salah satunya. Ia merasa dirinya adalah anak si Kromo, dan sedari awal ia sudah menentang sikap kepriyayi-priyayian yang merupakan penghalang pencerdasan bagi rakyat. Saat itu kepala sekolah memerintahkan setiap murid mengenakan pakaian adat. Hal ini untuk dimaksud agar membedakan diri mereka satu sama lain. Tapi Tjip menolak ia hanya pakai, pakaian dekil, kumal, pakaian anak Jawa jelata, pakaian tukang angon wedhus -anak gembala kambing- saat seorang gurunya mengusir Tjip keluar karena memakai pakaian proletar, kepala sekolahnya melarang dan berteriak pada guru itu :"Tjip, een begaafd leerling," - Hei, Tjip itu salah seorang yang berbakat. Sejak itu Tjip boleh bebas mengenakan pakaian si Kromo. 

Tjip dengan cepat menyelesaikan sekolah kedokteran. Tak lama kemudian ia mendengar juniornya mengadakan kongres Budi Utomo. Tjip tau ini dari adiknya Gunawan Mangunkusumo yang teman akrab Sutomo, penggagas Budi Utomo. Disana Tjip diundang bicara pada salah satu sesi kongres. Di depan kongres dia berkata "Saudara-saudara organisasi ini bukan organisasi orang Jawa, bukan kumpulannya para priyayi, saya menghendaki organisasi ini jadi tempat berkesadarannya rakyat Jawa dan juga seluruh Hindia Belanda" ucapan itu diucapkan tahun 1908. Bila Budi Utomo dirujuk sebagai Tahun Kebangkitan Nasional maka sangat tidak tepat bila tidak mengikuti ucapan Tjip tentang nasionalisme. Ucapan ini ditentang oleh banyak peserta kongres termasuk Radjiman Wediodiningrat. Radjiman meminta agar Kongres Budi Utomo merupakan buah kesadaran priyayi saja tidak masuk ke dalam rakyat kecil. Tjip menggebrak meja saat Radjiman bicara itu dan berteriak dalam bahasa Jawa Ngoko "Aku Keluar!!"........dan ini membuat kaget banyak orang.

Tak lama dari Budi Utomo, Tjip buka praktek di Solo. Disana dia langsung terkenal sebagai dokter rakyat. Ia sendiri masuk ke kampung-kampung naik sepeda. Ia mengobati rakyat kecil dan tidak usah membayar. Rakyat mengenalnya sebagai 'wong pinter' dulu dokter belum banyak, Tjip disangka dukun tapi ia mengenakan alat-alat kedokteran macam stetoskop. Sore hari Tjip senang jalan-jalan ke alun-alun. Ia kadang2 menggunakan bendi-nya. Ia sengaja meledek peraturan yang bendi tidak boleh lewat depan keraton. Suatu saat bendinya lewat keraton Sunan Pakubuwono X sedang duduk-duduk, Sang Sunan langsung berdiri :"Siapa itu naik bendi" abdi dalemnya menjawab "Dokter Tjip, sinuwun"...Sunan langsung menggerutu "Woo Kurang ajar" tapi Sunan tidak mau berbuat apa-apa ia tau Tjip ini orang pintar dan Sunan suka dengan orang2 pintar ia kerap menyekolahkan abdi dalemnya untuk sekolah ke Batavia termasuk Purbatjaraka yang kelak jadi ahli bahasa Jawa kuno. 

Suatu pagi di rumahnya, Tjip membaca koran tentang wabah pes di Malang. Saat itu wabah pes sangat luar biasa. Penyakit ini disebabkan kutu tikus saat itu wabah ini susah ditangani karena sarana kesehatan dan alat kedokteran yang minim. Cara tradisional adalah membakar orang yang mati kena Pes dan juga membakar rumahnya. Tjip datang ke Malang dan ia mendengar tidak ada satu pun dokter yang berani ke Malang. Ia sendirian menantang maut. Orang yang terkena air liur dari penderita akan ketularan, Tjip berani bekerja tanpa masker. Suatu saat ia mendengar ada anak yang sakit parah dan ibunya sudah mati rumahnya di bakar. Tjip langsung membongkar rumah dan mencegah membakar, ia menggendong anak itu tanpa rasa takut dan dengan telaten mengobatinya. Tjip berhasil. Anak itu sudah yatim piatu dan kedua orang tuanya meninggal karena Pes. Tjip mengangkat anak ini dan memberi nama menjadi Pesyati. Sepanjang hidup Pesyati-lah yang merawat Tjip, Tuhan selalu memberikan hadiah perbuatan baik dibalas jauh lebih baik. Atas keberaniannya Tjip dihadiahi oleh pemerintah Belanda bintang jasa tertinggi yang bernama "Orde Van Oranje Nassau" atau kerap disebut "Ridderorde". Awalnya Tjip menerima tapi setelah ia tau ternyata Pemerintah hanya bisa omong doang, Tjip menaruh bintang jasa itu di pantatnya dengan bintang jasa di pantat ia ke Batavia wartawan banyak memotret dan membuat headline olok-olok untuk pemerintah "Seorang Jawa berani taruh hadiah raja di pantatnya" Pemerintah jelas marah, tapi tidak ambil tindakan. 

Tahun 1913 Tjip bersama Douwes Dekker dan Suwardi Surjaningrat (kelak bernama Ki Hadjar Dewantoro) mendirikan partai paling progresif "Indische Partij". Partai ini menjadi corong kuat melawan pemerintah Hindia Belanda. Tjip sendiri masuk jadi wartawan harian 'De Express' dan Majalah Tijdschrift milik Douwes Dekker. Suatu hari Suwardi menulis essay "andai aku orang belanda' sebuah essay satir yang bikin panas pemerintah Hindia Belanda. Saat itu Pemerintah Hindia Belanda mengadakan pungutan besar-besaran bahwa mereka akan mengadakan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda atas Spanyol. Ini sebuah ironi bagaimana bisa sebuah bangsa yang terjajah kok membuat sebuah perayaan yang justru dibiayai oleh penderitaan bangsa yang dijajah. Komite Perayaan Belanda dibuat tandingannya maka berkumpullah Tjipto, Douwes Dekker, Abdul Muis dari Sarekat Islam Medan dan wignjadisastra. Komite ini disebut 'Komite Tandingan' atas perayaan kemerdekaan yang ironis itu. Mereka memang merayakan kemerdekaan Belanda tapi akan memakai baju gembel, dan akan membawa gerobak berupa meja yang diselimuti kain hijau sebagai pralambang untuk 'tuntutan bumiputera berparlemen'. Kaum Bumiputera harus ada perwakilannya di pemerintahan. 

Keruan saja aksi komite tandingan ini buat marah pemerintah. Tjip cs ditangkapi saat digiring ke penjara Tjip berteriak "Ayo kita nyanyikan lagu kebangsaan Republik Transvaal" teriak Tjip (Republik Traansvaal, adalah salah satu wilayah di Afrika Selatan yang kemudian menjadi merdeka dari pemerintahan Belanda- kemerdekaan Transvaal ini kerap menginspirasi perjuangan rakyat Indonesia di tahun belasan). Muis teriak "aku tak bisa nyanyi" . 
"Sudah kamu ikutin saja" kata Tjip sambil bersemangat menyanyi. 

Tjipto menikah dengan anak patih, tapi kemudian bercerai. Ia kemudian menikahi seorang wanita Belanda bernama Nyonya Vogel. Keponakan Nyonya Vogel ini Donald dan Luis diangkat jadi anak Tjipto. Tiga anak : Donald, Luis dan Pesyati akan ikut Tjip. Setelah keliling di beberapa tempat, Tjip tinggal di Bandung ia bekerja untuk rakyat, ia menuliskan plang di depan rumahnya 'Dokter Tjipto, dokter partikelir'. Rumahnya di Bandung ini tepatnya terletak di Tegallega. Pada tahun 1920, Tjip sering kedatangan tamu. Anak muda tampan dan berwajah sangat enak dilihat. Anak muda itu bernama Sukarno. Tjip tau anak ini adalah anak didik Tjokro. Sukarno pada awalnya berpandangan bahwa kemerdekaan bisa dilakukan dengan ide 'Pan Islamisme', Tjipto-lah yang menyadarkan Bung Karno. "Bangsa-bangsa sekarang berdiri didasarkan satu imajinasi, satu gagasan besar yaitu : Negara-Bangsa. Apa itu negara-bangsa, negara-bangsa itu kesadaran bersama satu masyarakat yang tinggal di daerah tertentu memiliki satu bahasa, satu pemerintahan dan satu tujuan. Kemerdekaan harus ditujukan pada 'bangsa' dan bukan 'agama'.

Tahun 1923 saat PKI mengadakan kongres. Foto Tjip terpampang bersama Karl Marx, Lenin dan Tan Malaka. Ini merupakan penghormatan besar PKI terhadap Tjip. Walaupun Tjip tidak pernah masuk jadi anggota PKI. Namun gara2 itu ia kena getahnya saat pemberontakan PKI 1926/1927, Tjip dituduh terlibat dan menghasut karena pernah memberikan dana 10 gulden kepada salah seorang kopral KNIL, ternyata Kopral KNIL itu bersama kawan-kawannya mau meledakkan gudang amunisi di Bandung. Tjip langsung diinterogasi, ditemukan daftar tamu2nya yang kebanyakan juga terlibat pemberontakan PKI. Gubernur Jenderal de jonge kalap luar biasa dan memerintahkan Tjip dibuang ke Banda Neira. Buru-buru kawan Tjip yang bernama Koch datang dan menanyakan pada Tjip :"Tjip, verteel me nou de waarheid" kata Koch sambil mengguncang bahu Tjip -Tjip katakan terus terang". Tapi Tjip tenang2 saja. 

Tjip diantarkan ke stasiun tengah malam, namun Bung Karno sudah menunggu. Bung Karno adalah satu-satunya orang politik yang mengantarkan Tjip. Ia menciumi tangan Tjip sembari menangis. Tjip memegang bahu Bung Karno dan berkata "Ingat, No. Nasionalisme bukan Pan Islamisme" kata Tjip sambil menepuk-nepuk bahu Sukarno. Bung Karno yang saat itu baru saja mendirikan Partai Nasional Indonesia terus memegangi bahu Tjip. 

Tjip berangkat dengan keluarganya ke Banda Neira. Disana ia diawasi oleh Tuan W. C Ten Cate. Tuan Cate ini agak keterlaluan mengawasi Tjip. Setiap hari ia datang dan menggeledah rumah Tjip sampe-sampe telur pun diperiksa. Saat penggeledahan Tjip, Isterinya, Donald, Luis dan Pesjati diperintah naik ke peti. Mereka berdiri dipojokan dan melihat Belanda itu membongkar barang2 mereka, kegiatan itu berlangsung hampir tiap pagi. Tapi kemanusiaan selalu menemukan jalan pertemanan.Tuan Cate ini malah jadi sahabat Tjip. Mereka setiap hari pagi dan sore duduk di pantai dan bicara banyak. 

Kesehatan Tjip memburuk. Setiap waktu mendengar kabar buruk tentang pergerakan nasional ia langsung sakit. Saat tau Sukarno ditahan dan banyak aktivis ditangkapin Tjip menangis sendirian di kamarnya. Donald dan Luis takut saja "Oom Tjip selalu begitu, bila mendengar kabar buruk perdjoangan di Djawa" kata Donald dalam salah satu memoarnya tentang Tjip. Andai tak datang Sjahrir dan Hatta ke Banda mungkin Tjip sudah lama mati. Ia tidak ada teman bicara. Hatta dan Sjahrir memperpanjang usia Tjip karena ada teman bicara yang seimbang.

Saat Djepang masuk Tjip dibawa pulang ke Djakarta. Awalnya ia mau diangkut ke Australia tapi dia menolak "Bila rakyat Indonesia hancur oleh Djepang, biarlah aku mati bersamanya" pesan Tjip pada perwira Belanda yang akan mengirim Tjip ke Australia. Tjip yang sakit paru-paru itu dengan pipi peot dan lubang (dekok) yang dalam antara jidat di dekat batang hidungnya makin besar. Tapi Tjip berusaha gembira ia berbicara filsafat dengan rasa senang. 

Setelah sampai di Djawa awalnya Tjip dibawa ke Sukabumi karena disana udaranya bersih, tapi kesehatan Tjip menurun. Dia kemudian dibawa ke Djakarta. Disana ia sering berteriak kesakitan saat itu di Jaman Jepang obat sangat langka sekali. Tjip berteriak minta disuntik adrenalin, tapi Donald dan Bu Tjip tidak punya uang. Luis sampai menangis di depan teras rumah mendengar Oom-nya berteriak kesakitan. Donald akhirnya bersama Pesjati nekat memberikan ampul berisi air untuk menyuntik Tjip sebagai sugesti. Akhirnya seorang dokter yang bernama dokter Loe Ping Kian, menyarankan donald untuk membawa Oom-nya ke Rumah Sakit Jang Seng Ie (Sekarang Rumah Sakit Husada di Jalan Mangga Besar). Dokter Tjip tak kuat menahan sakit disana dan ia wafat dalam keadaan sengsara. Donald, Luis, Pesjati dan Bu Tjip menangis meraung-raung. 

Itulah kisah Dokter Ciptomangunkusumo, penggagas Indonesia Raya, orang yang menyadarkan Bung Karno tentang arti sebuah bangsa. Dia rela hidup susah demi rakyat. Apabila ada dokter sekarang yang memeras pasien dengan obat mahal padahal ada obat murah, yang mempermainkan pasien, pasien masuk Rumah Sakit sampai jual harta benda tapi dokternya gonta ganti mobil. Lihatlah pada kisah Dokter Tjip ini. Seorang dokter adalah pejuang kemanusiaan, bukan pejuang harta benda. Bila dokter bersikap materialistis dalam melaksanakan tugasnya. percayalah dia adalah sampah masyarakat. Pada Cipto kita banyak belajar.



Sumber:
http://www.lareosing.org/archive/index.php/t-1468.html

Wednesday 26 November 2014

Kelamnya Kehidupan Philosophers: Heraclitus, Socrates, dan Plato

Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University

Cite:
Rohman, Arif. (2013). Kelamnya Kehidupan Philosophers: Heraclitus, Socrates, dan Plato. Kompasiana, 4 September 2013.



Tahukah saudara kalau istilah filosofi itu mempunyai latar sejarah yang panjang, penuh perdebatan dan sebuah perjalanan yang kelam? Filosofi bisa diartikan sebagai ’sudut pandang atau opini tentang dunia dan bagaimana kehidupan seharusnya ditempatkan’. Ahli filsafat adalah para perintis ilmu berpikir dan pengetahuan modern sekarang ini. Namun sayangnya banyak yang masih awam tentang orang-orang yang berjasa yang membawa kita dari dunia kegelapan, dan salah satunya adalah saya. Tulisan ini saya rangkum dari tulisan-tulisan kecil pada waktu saya membaca buku-buku filsafat. Mungkin lebih tepat disebut serpihan ”notes’ kecil daripada tulisan diskusi yang ‘njlimet’.

Heraclitus (535–475 BC) adalah ahli filsafat Yunani sebelum Socrates. Dia terkenal dengan doktrinnya bahwa segala sesuatu di dunia ini selalu berubah. Sebagai perumpamaan dia menunjuk pada seseorang yang berjalan menyeberangi sungai untuk kedua kalinya, maka air yang mengalir mengenainya bukanlah air yang sama ketika dia menyeberang untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, perubahan adalah pusat dari semesta. Sayang tulisan Heraclitus tidak selesai karena dia menderita melancholia (mental disorder, sering depresi, dan derajat entushiasm yang rendah). Maka dia sering disebut dengan ‘the weeping philosopher’, jago filsafat yang mudah menitikkan air mata. Ini berbeda dengan Democritus yang.........................




For Full Text Pdf Download Here









Aristoteles, Kota, dan Rumah bagi Orang Miskin

Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University



Cite:
Rohman, Arif. (2013). Aristoteles, Kota, dan Rumah bagi Orang Miskin. Kompasiana, 4 September 2013.


Ladang dan pepohonan tidak menarik bagiku, tetapi tidak demikian halnya dengan manusia yang ada di kota (Aristoteles).


Kata-kata filusuf Aristoteles di masa lampau menunjukkan bahwa isu-isu perkotaan selalu menarik untuk dibahas, apalagi berkaitan dengan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Salah satu masalah yang dianggap penting dalam kajian perkotaan adalah rumah bagi orang miskin. Tulisan ini khusus menyoroti fungsi dan makna rumah bagi orang miskin dan bagaimana kesulitan-kesulitan yang dialami orang miskin dalam mengakses rumah yang layak di perkotaan...............


For Full Text Pdf Download Here

The Strengths and Weakness of Pluralism Theory


Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University



Cite:
Rohman, Arif. (2014). The Strengths and Weakness of Pluralism Theory. Kompasiana, 25 November 2014.

Pluralism theory is well-known as a theoretical tradition used to analyse political actions in modern democratic states. This theory is mainly based upon a perspective that citizens are involved in political arenas through different interest groups, and that political power should be dispersed to secure its own legitimate interests and none of these groups will dominate the system (Miller, 1983: 735). This essay will examine both the strengths and weakness of pluralism theory.............


For Full Text Pdf Download Here

Tuesday 25 November 2014

Apa dan Siapa Anak Punk Itu?


Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University



Cite:
Rohman, Arif. (2013). Apa dan Siapa Anak Punk Itu?. Kompasiana, 3 September 2013.

Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara di dunia dengan jumlah populasi anak jalanan yang lumayan besar. Data dari Kementerian Sosial RI menyebutkan bahwa pada tahun 2009 jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai 135.139 anak dan tersebar di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Bandung dan Yogyakarta (Kemensos RI, 2009). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menghapuskan anak jalanan, baik melalui penangkapan maupun penahanan, dan dalam beberapa kasus ekstrim adalah penyiksaan, namun keberadaan anak jalanan tetap tidak berkurang secara signifikan. Sebaliknya, ketika pemerintah cenderung menganggap fenomena anak jalanan sebagai perilaku menyimpang yang secara potensial mengarah pada kriminalitas, media dan lembaga non pemerintah justru menganggap mereka sebagai kelompok rawan sekaligus korban kekerasan secara pasif yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak lagi memiliki kepedulian dan solidaritas sosial. Perbedaan cara pandang ini semakin rumit tatkala fenomena anak punk muncul dipermukaan, yang sekaligus meruntuhkan anggapan bahwa anak jalanan identik dengan kemiskinan dan keterpaksaan. Tulisan ini mencoba................


For Full Text Pdf Download Here

The Positive and Negative Social Capital

Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University

Cite:
Rohman, Arif. (2014). The Positive and Negative Social Capital. Kompasiana, 25 November 2014.

Social capital can be defined as trust, norms and networks that facilitate cooperation for mutual benefit (Putnam, 1993: 167). However, the concept of social capital is not always positive. This article will discuss positive and negative social capital.

Social capital can be useful when cooperation for mutual benefit can be facilitated by social network and norms of reciprocity (Putnam, 2000: 21). In this context....


For Full Text Pdf Download Here

Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia: Hambatan, Tantangan dan Peluang

Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University

Cite :
Rohman, Arif. (2014). Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia: Hambatan, Tantangan dan Peluang. Kompasiana, 24 November 2014.

Pendahuluan

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa tujuan pembentukan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebagai perwujudan dari cita-cita luhur tersebut maka pembangunan kesejahteraan sosial diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dalam menyelesaikan masalahnya secara bersama-sama, agar peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat 1, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar adalah tanggung jawab negara. Negara bertanggung jawab untuk mengatur dan memastikan bahwa hak untuk hidup sejahtera bagi seluruh lapisan masyarakat dipenuhi, khususnya mereka yang hidup tidak layak secara kemanusiaan, seperti : (1) Kemiskinan; (2) Keterlantaran, (3)  Kecacatan, (4) Keterpencilan, (5) Ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, (6) Korban bencana, dan (vii) Korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi Deklarasi Millennium Development Goals (MDG’s), menjadikan MDG’s sebagai orientasi pembangunan dan mengadopsi tujuan serta target sasarannya ke dalam rencana pembangunan nasional sehingga Kementerian Sosial dalam menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesejahteraan sosial tidak hanya memiliki keberpihakan pada orang miskin (pro poor) dan keberpihakan pada keadilan (pro justice), namun juga berorientasi pada pencapaian MDG’s.
Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional  (RPJMN) 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010, terutama dalam mendukung dan mencapai Prioritas Pembangunan Nasional, maka upaya-upaya dalam : (1) Penanggulangan kemiskinan; (2) Pengelolaan bencana, serta (3) Daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik, menjadi bagian tugas Kementerian Sosial.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Sosial RI memiliki visi ‘Terwujudnya Kesejahteraan Sosial Masyarakat’. Guna mewujudkan visi tersebut, Kementerian Sosial menetapkan tiga misi yang akan dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan yaitu : (1) Meningkatkan aksesibilitas masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan dasar melalui rehabilitasi sosial, perlindungan dan jaminan sosial serta pemberdayaan sosial dan penanggulangan kemiskinan; (2) Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia kesejahteraan sosial dalam penyelenggraan  kesejahteraan sosial; dan (3) Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial......
For Full Text Pdf Download Here

Monday 24 November 2014

A Critical Review of Gaylyn Studlar’s Work: ‘Masochism and The Perverse Pleasures of The Cinema (1985)’


Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University

Cite:
Rohman, Arif. (2014). A Critical Review of Gaylyn Studlar’s Work: ‘Masochism and The Perverse Pleasures of The Cinema (1985)’. Kompasiana, 24 November 2014.



The domination of psychoanalysis in criticism of women in Hollywood traditional movies appeared when Laura Mulvey published her seminal essay ‘visual pleasure and narrative cinema’ in 1975. However, after dominating for a long time, pros and cons about her work have appeared.

Gaylyn Studlar in ‘Masochism and the perverse pleasures of the cinema’ tries to encounter the ‘male gaze’ theory using Peircean semiotic and psychoanalysis. She believes that Mulvey’s concepts of ‘castration anxiety’ and ‘voyeuristic sadistic’...


For Full Text Pdf Download Here

The Death of Steve Irwin and Its Controversy

Arif Rohman

School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University


Cite:
Rohman, Arif. (2014). The Death of Steve Irwin and Its Controversy. Kompasiana, 24 November 2014.



Steve Irwin occupied a special place in the Australian psyche which was shown by the extraordinary reaction to his death. Those who admired Irwin as a hero called him a wildlife warrior because of his skills and bravery in taking care of many animals, especially crocodiles. He also made a good impression as a celebrity and conservationist with his masculinity, enthusiasm and spirit to promote the wild animals’ conservation. Like any romantic story, Irwin died as a hero doing what ‘he loved and fought for’ (Himes, 2006). On the contrary, there are other who claimed that Steve Irwin went to far by invading the animal realm. This essay will discuss both the positive and negative responses to the Steve Irwin’s death, and try to identify the reasons behind this debate.

In her article, Greer (2006) stated that Irwin’s death was basically the revenge of the animal kingdom. She argued that animals also need space to live in their natural habitat, but Irwin broke and ignored this conservation ethic and created a new genre of animal documentary film for entertainment purposes which was ‘nature nasty’. On the subject of conservation, it is a consensus that protection of the habitat of wild creatures is an essential part of this process. Greer was more disappointed in Irwin when in 2004 he fed a crocodile with a dead chicken in one hand and his baby in the other hand. Although a disaster did not happen, Greer said that using a baby as part of the show was dangerous and was a silly thing and she called it child abuse....

For Full Text Pdf Download Here


A Critical Review of Laura Mulvey’s Work: ‘Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975)’

Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University


Cite:
Rohman, Arif. A Critical Review of Laura Mulvey’s Work: ‘Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975)’. Kompasiana, 13 December 2013.



The second feminist wave in the 1960s has influenced feminists to increase their ideology against patriarchy in almost all areas. One of the areas which made women very vulnerable is the issue of women in cinema. This is based on the assumption that Hollywood traditional movies have a strong gender bias and position women as subordinate (Marshment, 1997: 126). Therefore studying the representation of women in narrative cinema became a big issue due to the film fascination which could affect the spectators.


Mulvey in her seminal essay ‘Visual pleasure and narrative cinema’ tries to reveal the Hollywood misogyny which has its visual manipulation in the mainstream of narrative cinema. Using Freudian and Lacanian works of psychoanalysis, she argues that Hollywood traditional cinema represented the ideas and values of patriarchy and oppressed women by ‘male gaze’. Women were led to become erotic objects by ‘fetishistic scopophilia’ and ‘voyeuristic sadism’. By this, using psychoanalysis is appropriate as a ‘political weapon’ to criticism women and film...

For Full Text Pdf Download Here

The Media and Academic Representation of Princess Diana

Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University


Cite:
Rohman, Arif. The Media and Academic Representation of Princess Diana. Kompas, 23 November 2014.


The life of Princess Diana cannot be separated from the media nor can it be discussed aside from academic publications and discussions. Anywhere she went, the media would go and publish news of her as a headline. In other words, the image of Princess Diana was affected by the role of the media. This article will examine why the media always reported on Princess Diana excessively and continually, how it created the image of Princess Diana, and how this image had affected her.

It is not a secret that Princess Diana was considered an icon by the public and highlighted by the media. The media continually reported most aspects of her lifeand this could be understood based on three main reasons: (1) The needs of media to find international news; (2) Princess Diana was a person who was open to the media; and (3) The high demand from the people who wanted to know the latest news about her.

Firstly, it cannot be denied that the media....

For Full Text Pdf Download Here




Thursday 6 November 2014

Gelandangan di Perkotaan dan Kompleksitas Masalahnya


Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University


Cite:
Rohman, Arif. (2013). Gelandangan di Perkotaan dan Kompleksitas Masalahnya. Kompasiana, 2 September 2013.

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya. Tulisan ini ingin menunjukkan kompleksitas permasalahan gelandangan melalui penyajian data dan fakta yang dianggap relevan, dan memunculkan pertanyaan tentang kapan persoalan gelandangan akan selesai kita tangani?

Anomali Istilah Gelandangan, Pengemis dan Pemulung
Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami..........................





For Full Text Pdf Gelandangan di Perkotaan dan Kompleksitas Masalahnya Download Here

For Full Text Program Desaku Menanti Download Here


Permasalahan Orang Gila dan Kompleksitas Penanganannya di Indonesia

Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University

Cite:
Rohman, Arif. (2014). Permasalahan Orang Gila dan Kompleksitas Penanganannya di Indonesia. Kompasiana, 5 November 2014.


Pendahuluan
Pada pertengahan tahun 2014, ketika saya pulang ke kampung saya di Demak – Jawa Tengah, Ibu saya bercerita tentang almarhum Lek Jupri. Lek Jupri adalah penjual ‘bakso kojek tusuk lidi’ dan ‘es pasah sirup frambos’ yang sangat terkenal dan cukup legend di kampung kami. Sampai sekarang saya belum menemukan tandingan kelezatan bakso kojek bikinannya. Kalau membayangkan bakso kojeknya, langsung terbit selera saya, pun saat saya menulis artikel ini. Pada waktu saya masih SD, saya masih ingat, walaupun mulai berdatangan para tukang siomay dari daerah lain (Bandung – Jawa Barat), yang menawarkan dagangan lebih komplit seperti ada kol, tahu, dan pare-nya, namun penggemar Lek Jupri tidak pernah surut. Mungkin karena rasanya yang yummy dan harganya yang relatif lebih murah, disamping  penyajiannya yang sederhana, yaitu bakso tepung kecil-kecil yang direbus dan diberi sambal kacang dan kecap dan sedikit saos yang dimasukkan dalam plastik kecil ukuran ½ ons.  Saya tidak bisa membayangkan berapa banyak orang yang pernah mencicipi makanannya dan saat ini sudah menjadi orang-orang sukses dalam hidupnya. Dia orang yang baik dan taat beribadah di mata masyarakat sekitar.
Namun sayangnya, kenangan tersebut seketika hilang manakala saya tahu bahwa beliau sudah meninggal. Meninggalnya pun boleh dikatakan menurut saya sangat tragis. Bermula dari kondisi fisiknya yang sudah mulai menua, dan pembeli yang semakin berkurang, serta mungkin banyak hutang pada rentenir, akhirnya dia mengalami stress ringan. Atas usul salah satu tokoh masyarakat, dia dikirim ke salah satu panti orang gila di Semarang. Bukannya kondisinya semakin baik, ternyata justru semakin buruk karena di panti itu dia dicampur dengan orang-orang gila beneran hasil razia di jalanan. Banyak orang yang menyayangkan bahwa sebenarnya pada waktu Lek Jupri masih dalam keadaan stress ringan, dia bisa saja sembuh dengan sendirinya, jika masyarakat sekitar lebih peduli pada keadaannya dan bersama-sama memberikan perhatian yang lebih pada kehidupannya, tentu saja dengan mencari akar masalah yang membuat dia merasa tertekan.
Tulisan ini berusaha untuk memotret permasalahan orang gila di Indonesia, dan perlakuan yang sering mereka terima dalam kehidupan sehari-hari. Maksud dari tulisan ini adalah untuk menunjukkan betapa...............................


For Full Text Pdf Download Here

Thursday 2 October 2014

Does God Give Special Kids to Special Parents?

Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University


Cite:
Rohman, A. (2013). Does God Give Special Kids to Special Parents?. Kompasiana, 15 October 2013.


Apakah Tuhan memberikan anak dengan kebutuhan khusus kepada para orang tua yang khusus pula (mereka yang beruntung dan terpilih— the chosen one)? Pertanyaan ini sering mengganggu saya. Paling tidak ketika saya mencari-cari jawabannya, otak saya langsung mumet dan ngehang (memakai istilah komputer). OK. Saya mau sedikit membahasnya melalui tulisan singkat ini.
Studi literatur menunjukkan bahwa ada beberapa model dalam memahami disability. Pertama adalah moral/religious model, kedua yaitu medical model, dan terakhir yakni social model. Pertanyaan yang diajukan sangat berkaitan dengan salah satu model yaitu moral/religious model. Moral/religious model menganggap bahwa disability pada dasarnya adalah hukuman dari tuhan atas dosa-dosa yang telah diperbuat seseorang atau anggota kerabatnya (Thomson, 1997). Meminjam istilah karma di India, maka disabilitas bisa lebih luas scoopnya karena hukuman dari Tuhan bisa jadi akibat dari dosa-dosa yang diperbuat dalam kehidupan sebelumnya –sebelum reinkarnasi– (Ghai, 2001). Pandangan-pandangan ini sebenarnya menggunakan rujukan kitab suci dan ajaran-ajaran agama untuk............


For Full Text Pdf Download Here

Fenomena Anak Punk: Sisi Lain Mengenai Ruwetnya Permasalahan Anak Jalanan di Indonesia

Fenomena Anak Punk: Sisi Lain Mengenai Ruwetnya Permasalahan Anak Jalanan di Indonesia

Cite:
Rohman, A. (2009). Fenomena Anak Punk: Sisi Lain Mengenai Ruwetnya Permasalahan Anak Jalanan di Indonesia. Warta Demografi Universitas Indonesia, 39 (3), 52-55.


A. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara di dunia dengan jumlah populasi anak jalanan yang lumayan besar. Data dari Kementerian Sosial RI menyebutkan bahwa pada tahun 2009 jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai 135.139 anak dan tersebar di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Bandung dan Yogyakarta (Kemensos RI, 2009). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menghapuskan anak jalanan, baik melalui penangkapan maupun penahanan, dan dalam beberapa kasus ekstrim adalah penyiksaan, namun keberadaan anak jalanan tetap tidak berkurang secara signifikan. Sebaliknya, ketika pemerintah cenderung menganggap fenomena anak jalanan sebagai perilaku menyimpang yang secara potensial mengarah pada kriminalitas, media dan lembaga non pemerintah justru menganggap mereka sebagai kelompok rawan sekaligus korban kekerasan secara pasif yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak lagi memiliki kepedulian dan solidaritas sosial. Perbedaan cara pandang ini semakin rumit tatkala fenomena anak punk muncul dipermukaan, yang sekaligus meruntuhkan anggapan bahwa anak jalanan identik dengan kemiskinan dan keterpaksaan. Tulisan ini mencoba membuka persoalan mengenai semakin maraknya anak punk dan eksistensi mereka di jalanan serta usulan mengenai pola pendekatan dan penanganan yang ideal yang perlu dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi kemanusiaan non pemerintah.
B. Sekilas Mengenai Anak Jalanan
Banyak definisi mengenai anak jalanan yang dipakai para akademisi maupun pemerhati anak guna menggambarkan karakteristik anak jalanan. Namun ironisnya, konsep-konsep tersebut disamping memperkaya pandangan pandangan mengenai anak jalanan, seringkali justru mangaburkan pengertian anak jalanan itu sendiri. Aptekar dan Heinonen (2003) mengungkapkan bahwa definisi umum yang sering dipakai terkait dengan istilah anak jalanan mengacu pada istilah yang digunakan oleh Unicef. Di sini, anak jalanan diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Pertama, children on the street yaitu anak beraktifitas di jalanan namun masih memiliki kontak secara rutin dengan keluarga mereka. Kedua, children of the street, dimana anak hidup, bekerja dan tidur di jalanan. Ketiga, children on and off the street, merujuk pada anak yang..............


For Full Text Pdf Download Here

Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa

DESAKU MENANTI

Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa[1]


Arif Rohman
University of New England
School of Behavioural, Cognitive and Social Sciences 


Cite:
Rohman, Arif. (2010). 'Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa'. Disampaikan Pada Acara Workshop Penanganan Gelandangan di Perkotaan. Jakarta, 14 Oktober 2010. Jakarta: Kementerian Sosial RI.

A. Latar Belakang

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.

Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).

B. Data dan Fakta

Dalam upaya untuk merumuskan program penanganan yang tepat untuk gelandangan, pengemis dan anak jalanan, ada baiknya disampaikan data dan fakta sebagai berikut :
1.   Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang, jumlah pengemis mencapai 35.057 orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang. Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.

2.   Angka gelandangan, pengemis, dan anak jalanan diperkirakan naik, mengingat daya tarik kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah impian bagi orang desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat kecenderungan kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada gejala ‘satu kota’ yaitu ibu kota Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.

3.   Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut ‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih mencerminkan orang kampung.

4.   Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan kota-kota lainnya.

5.   Masalah gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal, keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri. Terbukti dari tingkat kegagalan layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti ataupun layanan transmigrasi, namun kembali menggelandang di kota. Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk setempat.

C. Filosofi dan Trend Penanganan Masalah Tuna Sosial

Permasalahan, gelandangan, pengemis dan anak jalanan memiliki dimensi yang sangat kompleks. Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila program penanganan yang disusun mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan trend penanganan yang sedang berkembang saat ini:
1.   Persoalan Hulu
Bahwa masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder dari Dinas/Instansi Sosial terkait.

Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota. Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota. Hal ini dikarenakan modus munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).

2.   Persoalan Hilir
Kaum urban yang dating ke kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang, akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai ’Anak’ (client). Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar.

Persoalan kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut.

Pengemis sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan program keluarga harapan (PKH) yang dilaunching Kementerian Sosial pada tahun 2008 tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu melibatkan para patron, pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal gelandangan dan pengemis.

3.   Persoalan Anak Jalanan
Kajian sosial filosofis pada anak jalanan membuktikan bahwa layanan harus berpusat atau berbasis pada keluarga. Tugas utama anak adalah sekolah dan bermain. Melalui penguatan ketahanan ekonomi keluarga diharapkan anak dapat bersekolah kembali dan memperoleh pendidikan dengan baik, layaknya anak-anak yang hidup normal lainnya.

Banyak program untuk anak jalanan yang langsung difokuskan kepada anak tetapi tingkat keberhasilannya rendah, dikarenakan bahwa usia anak adalah usia dimana seseorang belum bisa menggunakan nalarnya secara benar. Mereka masih mudah terpengaruh dengan teman sebayanya dan belum memahami arti kehidupan secara utuh. Hal ini terlihat dari banyaknya anak jalanan yang mengikuti pelatihan keterampilan (vocational training), namun mudah sekali keluar, atau mereka sudah menyelesaikan pendidikannya namun kembali ke jalan. Kajian sosial filosofis anak membuktikan bahwa seseorang di jalan baru kemungkinan sukses mengikuti program pelatihan keterampilan jika paling tidak berusia 21 tahun. Pada tahapan umur ini sesorang sudah dihadapkan pada pilihan logis yaitu ingin bekerja dan menjadi orang baik-baik, atau tetap di jalan dan menjadi preman. Intinya tetap sama yaitu intervensi yang tepat untuk anak adalah dengan kembali ke sekolah.

Semua program layanan akan lebih efektif jika melalui keluarga. Di sinilah keluarga diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan dan pendidikan informal dalam keluarga demi kualitas sumber daya manusia (SDM) anak-anaknya di masa mendatang. Trend atau kecenderungan dalam pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial lebih mengedepankan perlindungan hak-hak anak (child rights) demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child).

D. Program Yang Diajukan

1.   Nama Program
Nama program yang diajukan adalah ‘Desaku Menanti’ (Program Penangananan Gelandangan dan Pengemis Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa).

2.   Tujuan
Adapun tujuan dari Program Desaku Menanti adalah mengembangkan model penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan, agar hilang secara permanen di kota-kota besar. Program ini adalah inovasi dari program penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang selama ini dilakukan, yaitu dengan memfokuskan semua layanan di daerah asal para gelandangan dan pengemis (berbasis desa). Disamping itu, semua kegiatan akan melibatkan seluruh komponen di daerah asal, seperti pemerintah daerah, pengusaha (CSR), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Inti dari program ini adalah menciptakan keteraturan sosial melalui peningkatak kontrol sosial dari masyarakat.

3.   Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam program Desaku Menanti adalah :
a.   Gelandangan.
b.   Pengemis.
c.   Anak Jalanan.
d.   pemerintah Daerah.
e.   Lembaga Pendidikan.
f.    Dunia Usaha (CSR).
g.   Masyarakat.

4.   Jenis Kegiatan
Program Desaku Menanti adalah program yang komprehensif dalam penghapusan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang ada pun, baik preventif maupun kuratif dilakukan secara bersamaan, simultan, dan berkesinambungan. Mengingat program ini adalah uji coba pengembangan model, untuk keberlanjutannya (sustainability), diharapkan pada tahap replikasi dapat mengadvokasi pemerintah daerah supaya program ini ke depan dapat dibiayai dengan menggunakan APBD.
a.    Kegiatan Preventif
Kegiatan preventif dilakukan di tempat-tempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis, maupun anak jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah lebih baik daripada mengobati. Kegiatan difokuskan pada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) atau wanita rawan sosial ekonomi.
1)  Kampanye Sosial di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Penentuan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan statistik daerah asal gelandangan dan pengemis terbanyak di Jakarta. Adapun kegiatan dalam kampanye sosial meliputi :
a)   Rapat koordinasi dengan Pemerintah Daerah di sepuluh lokasi.
b)   Penyuluhan sosial intensif langsung ke masyarakat di sepuluh lokasi. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui lain :
ü Pemutaran film dokumenter yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis di desa-desa.
ü Penyebaran pamflet dan leaflet tentang gelandangan dan pengemis, serta bahaya merantau ke kota tanpa bekal keterampilan, pendidikan dan modal.
ü Gelar panggung/drama yang berkisah tentang kesulitan hidup di kota besar.
ü Penyuluhan sosial dengan melibatkan tokoh agama dan tokah masyarakat yang peduli pada permasalahan gelandangan dan pengemis.
ü Temu duta anti gelandangan dan pengemis dengan masyarakat desa.

2)  Pemberian Bantuan Ekonomi Langsung di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Sasarannya adalah RTSM dan wanita rawan sosial ekonomi.

3)  Pemberian Bantuan Perumahan di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Konsep pemberian bantuan perumahan ada dua model. Pertama, melalui program transmigrasi yang berkoordinasi dengan Kemenakertrans. Kedua, bantuan perumahan sangat sederhana di kampung mereka masing-masing. Konsepnya untuk yang pertama melalui koordinasi saja. Sedangkan konsep kedua melalui advokasi ke pemerintah daerah dan Kementerian Perumahan dan Permukiman untuk penyediaan lokasi tanah dan pendirian bangunan. Melalui bantuan perumahan ini diharapkan nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan serta arti penting rumah sebagai simbol utama keluarga dapat kembali ditumbuhkan.

4)  Pemberian Bantuan Peralatan Sekolah di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia.

b.    Kegiatan Dukungan
1)  Pemilihan ’Duta Anti Gelandangan dan Pengemis’
Pemilihan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ dapat dipilih atau ditentukan oleh Kementerian Sosial di Jakarta. Diharapkan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ berasal dari kalangan artis yang memiliki background keagamaan yang relatif kuat, mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat kelas bawah, dan memiliki komitmen yang kuat dalam gerakan penghapusan gelandangan dan pengemis.

2)  Pemberian Penghargaan Bagi ’Kota Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Penghargaan/trophy akan diberikan kepada kota-kota yang memiliki komitmen yang besar dalam penghapusan gelandangan dan pengemis di daerahnya. Piagam penghargaan ’Kota Bersih Gelandangan dan Pengemis’ langsung diberikan oleh Menteri Sosial setiap setahun sekali.

3)  Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ dapat dilakukan oleh Presiden RI, Wakil Presiden RI, maupun Menteri Sosial RI disesuaikan dengan kebutuhan dan keuangan. Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ sudah dipastikan akan mengundang simpati publik, terutama kalangan media baik cetak maupun elektronik.

c.    Kegiatan Rehabilitatif
Kegiatan rehabilitasi sosial selama ini dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, melalui panti-panti gelandangan pengemis milik Kementerian Sosial maupun Pemda DKI Jakarta. Akan tetapi jumlah gelandangan dan pengemis tidak pernah berkurang. Berkenaan dengan ini sudah seyogyanya apabila kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan di daerah asal gelandangan dan pengemis, yang difokuskan pada penguatan ketahanan ekonomi keluarga dan kontrol sosial masyarakat.
1)  Penjangkauan dan Pemulangan Gelandangan dan Pengemis
Kementerian Sosial bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta (Pemda DKI Jakarta sebagai pilot project) menyediakan alokasi dana untuk pemulangan gelandangan dan pengemis ke daerah asal. Gelandangan dan pengemis yang akan dipulangkan adalah hasil dari operasi yustisi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, Dinas Sosial dan Tramtib DKI Jakarta. Dalam Program Desaku Menanti, uji coba pemulangan dilakukan di 3 propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari sinilah 10 lokasi di 3 propinsi pada kegiatan preventif dilakukan dengan memperhitungkan daerah yang potensial mengirimkan gelandangan dan pengemis ke DKI Jakarta. Dalam pemulangannya, pendamping (pekerja sosial) dari Kementerian Sosial berkoordinasi dengan Dinas/Instansi Sosial di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, bahkan sampai dengan tingkat kecamatan dan desa. Pemulangan dilakukan sampai di tingkat desa dengan mengundang tokoh masyarakat setempat. Proses ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis malu atau jera. Pemulangan ini juga sekaligus sebagai upaya diseminasi dan penyuluhan sosial yang sifatnya preventif untuk masa mendatang. Kegiatan ini sekaligus untuk menggugah kepedulian masyarakat mengenai kondisi ekonomi warganya, dan untuk menerima kembali mantan gelandangan dan pengemis dengan baik (reintegrasi sosial).

2)  Pemberian Pelatihan Keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM)
Para gelandangan dan pengemis yang sudah dipulangkan kemudian mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai minat dan bakatnya di ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota. Biaya pelatihan ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan pemda setempat (sharing cost). Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi. Mereka yang lulus kemudian diberikan bantuan stimulan untuk modal usaha sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya.

3)  Pemberian Bantuan Stimulan untuk Eks Gelandangan dan Pengemis
Setelah dipulangkan, mantan gelandangan dan pengemis yang yang tidak memungkinkan mengikuti pelatihan keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota akan mendapatkan bantuan stimulan langsung. Bantuan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi.

4)  Layanan Perumahan/Transmigrasi
Layanan ini diberikan pada mereka yang mempunyai mental kuat untuk mengubah diri, diperkirakan tidak mempunyai kerabat lagi di desa, dan membutuhkan lingkungan baru, sementara usianya masih masuk dalam kategori usia produktif. Kegiatan ini perlu bekerja sama dengan Kementerian Perumahan dan Permukiman atan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pusat maupun yang ada di Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Bagi mereka yang masih punya keluarga di desa akan dibangunkan rumah sederhana di daerah asalnya, dan bagi yang sudah tidak punya keluarga akan ditawarkan transmigrasi atau dibangunkan perumahan sangat sederhana di desanya terdahulu. Intinya, mereka mempunyai pilihan dan tidak ada paksaan.

5)  Pengembalian Anak ke Keluarga dan Bangku Sekolah
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia. Pendamping juga melakukan advokasi ke lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal untuk menerima anak kembali bersekolah. Khusus untuk anak jalanan yang perorangan (tanpa keluarga), mereka dipertemukan kembali dengan keluarga ataupun kerabat dekatnya (reunifikasi).

5.   Tahapan Kegiatan
a.    Penjangkauan
ü Untuk penjangkauan program preventif dilakukan di 10 titik lokasi (3 propinsi) dengan memperhitungkan stastistik daerah pengirim (sending).
ü Untuk penjangkauan program rehabilitatif dilakukan melalui operasi yustisi, bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta. Mereka yang terjaring akan ditampung di panti-panti gelandangan dan pengemis milik pemerintah.

b.    Registrasi dan Identifikasi
ü Untuk program preventif, di 10 titik lokasi (3 propinsi) yang telah ditentukan, didata dengan lengkap RSTM dan wanita rawan sosial ekonomi yang ada.
ü Untuk program rehabilitatif, pendataan dan identifikasi dilakukan setelah operasi yustisi dilakukan.

c.     Penentuan Layanan Sosial
ü Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.
ü Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.

d.    d. Pemberian Layanan Sosial
ü Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil needs assessment, diberikan layanan yang sesuai (kampanye sosial, bantuan ekonomi langsung, bantuan perlengkapan sekolah).
ü Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat (pemulangan, pemberian pelatihan keterampilan di RKDM, bantuan perumahan, bantuan ekonomi langsung, bantuan untuk kembali ke sekolah dan reunifikasi).

e.    Tindak Lanjut
ü Untuk program preventif, selanjutnya dilakukan tindak lanjut dalam rangka penguatan ketahanan ekonomi keluarga, seperti advokasi melalui kerja sama lintas sektor dunia usaha (KLSDU).
ü Disusun buku khusus yang memuat pengalaman hidup mantan gelandangan dan pengemis dengan mengedepankan prinsip kerahasiaan (confidentiality) sebagai bahan kampanye sosial di masa mendatang.

f.     Terminasi
Keluarga mantan gelandangan dan pengemis diadvokasi kembali agar dapat menjadi keluarga binaan atau dapat mengakses program PKH. Proses rujukan ini dengan meminta bantuan dari lembaga-lembaga terkait di daerah.

g.    Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang dan intensif untuk meminimalisir resiko kegagalan program.

6.   Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi dilakukan secara terus menerus oleh Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, LSM dan masyarakat secara luas (tokah masyarakat dan tokoh agama). Kerja sama juga dilakukan dengan media nasional maupun lokal untuk mendukung Program Desaku Menanti (para gelandangan dan pengemis kembali ke desa/kampung halamannya).

7.   Indikator Keberhasilan
Adapun indikator keberhasilan dari Program Desaku Menanti adalah sebagai berikut :
a.   Mantan gelandangan dan pengemis ataupun mereka yang rawan menjadi gelandangan dan pengemis dapat menyelesaikan proses layanan sampai tuntas.
b.   Ketahanan ekonomi keluarga meningkat dan mereka dapat hidup kembali normal di desa.
c.   Pemerintah daerah semakin peduli dan berkontribusi pada Program Desaku Menanti dengan mengalokasikan dana untuk pengembangan dan keberlanjutan program dimasa mendatang.
d.   Masyarakat mendukung penuh pelaksanaan Program Desaku Menanti dan berpartisipasi aktif baik dalam sosialisasi maupun pengawasan.
e.   Kesadaran orang tua meningkat dan ikut berperan aktif dalam mendorong anaknya untuk kembali ke dunia pendidikan dan terus memotivasi anak untuk melanjutkan sekolahnya (untuk anak jalanan).
f.    Intitusi/lembaga penyelenggara pendidikan dapat lebih memahami permasalahan yang menghambat proses belajar anak sehingga dapat memberikan perlakukan yang tepat sesuai dengan karakteristik anak (untuk anak jalanan).

E. Analisis Program

1.   Kekuatan
ü  Program Desaku Menanti tidak hanya berfokus kepada kegiatan rehabilitatif namun juga mencakup kegiatan preventif.
ü  Kegiatan-kegiatan dalam Program Desaku Menanti berbasis desa atau dilakukan di daerah asal sehingga kemungkinan menggelandang kembali sehabis menerima layanan relatif kecil.
ü  Program Desaku Menanti dipastikan akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat, daerah, LSM maupun masyarakat luas, mengingat permasalahan gelandangan dan pengemis adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi isu nasional.

2.   Kelemahan
ü  Program Desaku Menanti membutuhkan pendamping yang cakap, profesional dan penuh dedikasi serta memiliki pengalaman dalam menangani gelandangan dan pengemis.
ü  Program Desaku Menanti ini hanya menjangkau di sepuluh titik lokasi di 3 propinsi (Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur). Artinya untuk daerah luar Jawa dapat dikatakan belum tersentuh.
ü  Program Desaku Menanti membutuhkan dana yang tidak sedikit dan meminta keseriusan dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya.

3.   Peluang
ü  Program Desaku Menanti searah dengan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs) sehingga besar kemungkinan akan disupport oleh lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang kemiskinan.
ü  Program Desaku Menanti berbasis desa sehingga pelaksanaannya pun dilakukan di daerah asal, sehingga tidak menambah rumit pemerintah kota.
ü  Program Desaku Menanti dilakukan di desa asal sehingga pembinaan mental pun dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan-kearifan lokal.

4.   Ancaman
ü  Resistensi atau penolakan dari patron (pelindung) para gelandangan dan pengemis yang ironisnya justru mendapatkan dukungan dari oknum pemerintah.
ü  Adanya stereotype negatif pada keluarga mantan gelandangan dan pengemis baik oleh masyarakat maupun lembaga pendidikan tempat anak akan bersekolah.
ü  Jika Pemerintah Daerah tidak konsisten atau memiliki komitmen yang besar, program ini terncam gagal.

F. Pembiayaan

Pembiayaan adalah sharing budget antara Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.

G. Penutup

Demikianlah garis besar mengenai Program Desaku Menanti (Program Penanganan Gelandangan, Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa). Selain berupaya menghapus gelandangan dan pengemis di perkotaan, program ini juga dapat menumbuhkan kepedulian sosial dan kontrol sosial dari pemerintah daerah dan masyarakat. Disamping itu, Program Desaku Menanti membuka peluang bagi para sarjana yang ingin kembali dan mengabdi ke desa dapat bergabung dalam program ini. Program ini juga bisa bersinergi dengan program pemerintah lainnya seperti PKH, PKSA maupun Pusdaka (Pusat Pemberdayaan Keluarga).



Bibliografi:

Evers, Hans Dieter & Korff, Rudiger. (2012). Urbanisme di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Rohman, Arif. (2004). Kehidupan Ekonomi Orang Gelandangan di Senen: Suatu Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Ekonomi Informal dalam Mempertahankan Kelangsungan Usahanya. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta : Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas Indonesia.

Rubington, Earl & Weinberg, Martin S. (1970). The Study of Social Problems. Oxford : Oxford University Press.

Schwab, William A. (1992). The Sociology of Cities. New Jersey : Prentice Hall.

Suparlan, Parsudi. (1993). ‘Orang gendangan di Jakarta : Politik pada golongan termiskin’, dalam Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Weinberg, S. Kirson. (1971). Social Problems in Modern Urban Society. New Jersey : Prentice Hall.







*Kredit diberikan kepada Mas Doso dan Mbak Siti dari Sekretariat Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI,  yang memberikan dorongan dalam penulisan program ini sebagai kontribusi terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Semoga program ini bisa bermanfaat dan menempatkan gelandangan dan pengemis secara lebih manusiawi.

**Sebagai insan akademisi yang baik, jika anda menggunakan tulisan ini sebagai sumber referensi, harap mencantumkan sumbernya. Hal ini dikarenakan banyak bagian dari tulisan ini yang dicopas (copy & paste) sebagai bahan untuk menulis makalah, tugas lapangan, skripsi bahkan buku-buku panduan atau pedoman tanpa mencantumkan nama pengarang aslinya. Perbuatan ini sungguh memalukan dan tercela sekali. Terima kasih. Mari kita menjadi bagian dari upaya memerangi praktek plagiarism di Indonesia.



Bagian yang sering dicopas dari tulisan ini adalah :

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.


Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).



[1] Diajukan untuk mensukseskan program 100 hari Menteri Sosial RI dalam penghapusan gelandangan, pengemis dan anak jalanan di perkotaan tahun 2009.


LAMPIRAN






For Full Text Pdf Download Here