Wednesday 15 April 2015

The Hungaria Suicide Song "Gloomy Sunday"




Gloomy Sunday

Sunday is gloomy, my hours are slumberless
Dearest the shadows I live with are numberless
Little white flowers will never awaken you
Not where the black coach of sorrow has taken you
Angels have no thought of ever returning you
Would they be angry if I thought of joining you?

Gloomy Sunday

Gloomy is Sunday, with shadows I spend it all
My heart and I have decided to end it all
Soon there'll be candles and prayers that are sad I know
Let them not weep let them know that I'm glad to go
Death is no dream for in death I'm caressing you
With the last breath of my soul I'll be blessing you

Gloomy Sunday

Dreaming, I was only dreaming
I wake and I find you asleep in the deep of my heart, here
Darling, I hope that my dream never haunted you
My heart is telling you how much I wanted you

Gloomy Sunday

===========================================================================

Awal sejarahnya lagu ini diciptakan oleh seorang pianis sekaligus komposer asal Hungaria yaitu RezsQ Seress yang dia beri judul Szomorú Vasárnap yg juga berarti Gloomy Sunday pada tahun 1933. Lagu tersebut ditulis berdasarkan puisi yang di tulis oleh László Jávor yg menceritakan tentang seorang penyanyi yang depresi akibat kematian kekasihnya dan ingin bunuh diri. Dan kenyataannya, sesaat setelah lagu itu dirilis ... László Jávor mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.


Semenjak awal diciptakannya lagu itu, banyak peristiwa bunuh diri terjadi bagi mereka yang mendengarkan dan juga menyanyikan lagu itu. Dan pada puncaknya yaitu sekitar tahun 1941, seorang musisi asal Inggris yaitu Billie Holiday menyanyikan lagu itu dan menjadi hits di putar di radio2. Tapi akibat yang terjadi banyak ratusan kasus bunuh diri terjadi setelah lagu itu diputar di radio2 Inggris, Amerika maupun Hungaria. Hal ini yang menyebabkan kegelisahan stasiun radio saat itu dan mereka depresi untuk mengudara kembali pasca kejadian itu. Lalu mulai mem-banned lagu tersebut untuk di putar lagi di radio-radio. Dan statiun radio Inggris BBC pun memasukan lagu tersebut sebagai lagu terlarang untuk diputar di radio mereka. Dari Inggris lalu ke Amerika untuk mem-banned lagu tersebut serta di Hungaria sendiri sebagai tanah kelahiran dari lagu tersebut.


=====================================================================

Original Version

"Szomorú Vasárnap száz fehér virággal,
Vártalak, kedvesem, templomi imával,
Álmokat kergető vasárnap délelőtt,
Bánatom hintaja nélküled visszajött.
Azóta szomorú mindig a vasárnap,
Könny csak az italom, kenyerem a bánat...
Szomorú vasárnap.
Utolsó vasárnap, kedvesem, gyere el;
Pap is lesz, koporsó, ravatal, gyászlepel,
Akkor is virág vár, virág és - koporsó,
Virágos fák alatt utam az utolsó.
Nyitva lesz szemem, hogy még egyszer lássalak,
Ne félj a szememtől, holtan is áldalak...
Utolsó vasárnap."

==================================================================

English Version


"On a sad Sunday with a hundred white flowers,
I was waiting for you, my dear, with a church prayer,
That dream-chasing Sunday morning,
The chariot of my sadness returned without you.
Ever since then, Sundays are always sad,
tears are my drink, and sorrow is my bread...
Sad Sunday.
Last Sunday, my dear, please come along;
There will even be priest, coffin, catafalque, hearse-cloth,
Even then flowers will be awaiting you, flowers and coffin,
Under blossoming (flowering in Hungarian) trees my journey shall be the last.
My eyes will be open, so that I can see you one more time,
Do not be afraid of my eyes as I am blessing you even in my death...
Last Sunday."

=================================================================

Terjemahan Original Version

"Minggu yang suram dengan ratusan bunga warna putih,
Aku telah menunggumu, sayangku, bersama seorang pendoa gereja,
Mengejar mimpi di Minggu pagi,
Kereta kesedihanku telah kembali tanpamu.

Sejak itu, Minggu Minggu adalah kesedihan,  
minumanku adalah air mata, rotiku adalah kesedihan....
Minggu yang suram.

Minggu terakhir, sayangku, datanglah kepadaku;
Akan ada seorang pendeta, peti mati, panggung, kain dan mobil jenazah,
Bahkan akan ada bunga-bunga yang menunggumu, bunga bunga dan peti mati,
Di bawah mekar (berbunga di Hungaria) pepohonan - perjalananku akan berakhir.

Mataku akan terbuka, sehingga aku bisa melihatmu sekali lagi
Jangan takut melihat mataku karena aku memberkatimu bahkan dalam kematianku ...
Minggu yang terakhir."

=====================================================================

Bandingkan versi Billie Holiday dan versi aslinya. Menurut saya versi aslinya lebih misterius dan agak sedikit menyeramkan....


Gloomy Sunday - Billie Holiday

Gloomy Sunday - The Hungarian Suicide Song





Diambil dari berbagai sumber.

Thursday 12 March 2015

Ibu Saya, Di Suatu Maghrib --- True Story --- Berdasarkan Kisah Nyata

Ibu Saya, Di Suatu Maghrib

Arif Rohman




Maghrib


Kami baru saja bertengkar. Seluruh pakaian basah kuyup kena air hujan. Masalahnya sebenarnya sederhana. Ibu menyuruh saya pinjam sepeda tetangga untuk beli kayu. Ibu maunya semua kayu dinaikkan ke atas sepeda. Saya mendorong dari depan dan ibu mendorong dari belakang. Kami harus membeli kayu di tempat itu yang jaraknya lumayan jauh karena lebih murah daripada di tempat lain. Harusnya kalau kami punya uang lebih, mungkin kami bisa menyuruh tukang becak untuk mengangkut kayu. Tapi uang kami terbatas. Tidak tahu kenapa hujan deras turun. Petir meraung-raung di sana-sini seperti mengejek kami. Karena sepeda tua kelebihan muatan, dan saya memegang stang sepeda sedikit goyang, akhirnya semua kayu itu jatuh. Tepat di depan sebuah kuburan. Hari memang beranjak gelap. Ibu marah, katanya saya adalah anak laki-laki yang lemah. Bagaimana mampu bertahan hidup yang keras kalau memegang sepeda seperti ini saja tidak kuat. Saya pun menangis. Saya tidak bisa membedakan mana air hujan dan mana air mata saya. Terus saya pun bilang bahwa saya tadi sudah mengusulkan ke Ibu biar saya panggul saja kayunya, toh 3-4 kali pikulan saya bisa melakukannya sendiri, tanpa Ibu harus ikut dan berhujan-hujan seperti ini. Tapi Ibu justru marah besar. Sambil memunguti kayu yang jatuh Ibu berkata bahwa Ibu menyekolahkan saya bukan untuk memintari Ibu dan membantah semua perkataan Ibu. Ibu juga berkata bahwa Ibu tidak tega melihat anaknya bolak-balik memanggul kayu dan akhirnya punggung sampai lecet-lecet seperti hari kemarin. Saya terharu. Ibu hidup sendirian tanpa Bapak dan harus memberi makan 4 orang anaknya tanpa bantuan siapapun. Banyak masalah, hutang yang menumpuk, demi kami supaya bisa sekolah. Dan sekarang saya justru membantah Ibu. Anak macam apakah saya ini? Saya sungguh anak durhaka. Selama perjalanan saya merenungi peristiwa itu. Tidak tahu kenapa air mata saya justru meleleh terus. Membanjir keluar. Ibu tidak tahu. Saya menatap ke depan dengan masih diguyur hujan. O, Ibu saya yang kuat. O, Ibu saya yang berhati baja. O, Ibu saya yang ingin anak-anaknya menjadi seorang sarjana. Saya pun mengeraskan hati saya. Menggigit bibir saya dalam-dalam sampai berdarah. Darah yang jatuh dari bibir saya ke bumi sebagai saksi bahwa saya tidak akan membantah perkataan Ibu saya lagi. Cukuplah sekali itu. Cukuplah sekali. Bukankah sebagai anak yang baik, saya harus menghibur Ibu? Menghibur Ibu bahwa perjuangannya tidak akan sia-sia. Menghibur Ibu bahwa Ibu tidak sendiri berjuang. Meyakinkan Ibu bahwa kebahagiaan pasti akan datang walau harus menunggu seribu tahun lamanya. Sampai di rumah saya pun mencium kaki Ibu saya. Saya meminta maaf atas kelakuan saya yang tidak berbhakti. Ibu pun hanya menangis. Sedihnya, Ibu mengatakan kepada saya, bahwa Ibu lah yang salah. Katanya Ibu kepikiran besok harus mengirim wesel untuk anaknya yang kuliah di jurang mangu. Air mata ini pun mengalir kembali. Saya cium kaki Ibu saya berkali-kali. Saya tidak akan pernah membantah Ibu. Tidak akan pernah. O, Ibu… Yakinlah Tuhan tidak buta. Yakinlah Tuhan tidak tuli, Ibu.. Ketika saya memandangi langit yang mulai menghitam, hati saya diselimuti haru. Dan ketika maghrib datang, saya yakin malaikat-malaikat itu kembali ke langit ke tujuh sambil membawa catatan tentang cerita saya.

Maghrib


Ibu memarahi saya. Katanya saya anak yang paling bodoh sedunia. Saya disuruh membeli tepung gandum untuk campuran membuat gorengan. Sekilonya kata Ibu Rp 850. Seperti biasa saya jalan kaki ke pasar buat membelinya. Sampai di sana engkohnya bilang harganya Rp 875,- katanya kurang Rp 25,- saya pun bilang bahwa kekurangannya besok akan saya bayar. Sayapun melapor ke Ibu bahwa kata si engkoh, uangnya kurang Rp 50,- karena saya beli 2 Kg. Tidak tahu kenapa, Ibu marah besar. Saya dimarahi habis-habisan. Saya katanya sungguh anak yang goblok. Ngomong ke si engkohnya dan bilang kalau kami adalah langganan saja tidak berani. Dasar anak yang lemah! Karena tidak tahan dengan kata-kata Ibu saya, saya pun menangis. Saya bilang, baik, baik, saya akan ngomong ke si engkohnya. Dengan masih menangis, saya pun lari ke toko si engkoh depan pasar. Saya bilang, engkoh kenapa sudah tahu saya ini langganan, kenapa harganya dinaikkan? Tidak tahukah kalau saya dimarahi Ibu saya?! Mungkin karena si engkoh melihat saya mengucap sambil menangis, mata yang memerah dan berteriak, si engkohnya pun bilang terbata-bata bahwa kekurangannya tidak usah dibayar. Harganya dianggap pas. Saya pun kembali ke rumah dan saya melihat Ibu saya diam sendiri. Saya melihat guratan ketuaan yang mulai nampak. Mungkin karena beban hidup yang berat. Saya kemudian bilang ke Ibu kalau si engkoh bilang harganya sudah pas dan tidak perlu bayar lagi. Ibu saya hanya tersenyum getir, katanya hidup itu harus diperjuangkan. Kemudian Ibu saya bilang kalau Ibulah yang salah. Ibu pun bercerita bahwa besok saya ujian sementara SPP masih menunggak 5 bulan, kalau tidak bayar, saya tidak boleh ikut ujian. Ibu kepikiran dan akhirnya marah-marah. Aihh.. Hati saya yang semula menyalahkan Ibu, jadi dipenuhi banyak rasa. Saya terharu. Ahhh… saya sungguh anak yang tidak berbhakti, berani-beraninya berburuk sangka pada Ibu. Saya sungguh berdosa. O, Tuhan… Cepatkanlah siang, cepatkanlah malam… Supaya sekolah saya cepat selesai. Supaya selepas SMA saya bisa bekerja apa saja untuk membantu Ibu saya. Maghrib itu, kembali saya yakin, malaikat sudah terbang ke langit sap-7 untuk melapor pada Tuhan sambil menunjukkan catatan-catatan tentang saya dan kekurangajaran saya, yang sempat mempertanyakan Ibu macam apakah Ibu saya yang suka memarahi saya.

Maghrib


Ibu kembali memarahi saya. Nasi yang dimasak gosong. Kata Ibu saya, orang miskin harus tahu diri. Harus selalu sadar. Selalu memperhatikan sekelilingnya. Kalau sudah diberi perintah harus dilakukan. Jangan malas. Jangan sekali-sekali melupakan tugas dan kewajibannya. Mau jadi apa kalau setiap dikasih tugas terus melalaikan dan tidak bertanggungjawab? Katanya kalau mau ikut Ibu, saya harus disiplin. Kita bukan orang kaya. Kalau kamu tidak sudi ikut Ibu, sana minggat! Saya pun hanya bisa menangis sedih. Adakah seorang Ibu yang selalu memarahi anaknya sampai seperti ini? Tapi saya kemudian menjadi terharu bahwa sebenarnya Ibu kepikiran besok Ibu harus nyari uang untuk saya mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Bandung dan Ibu belum punya uang sama sekali. Nanti Ibu pinjam sama tetangga. Ibu pun kemudian mengambilkan makanan untuk saya. Ibu selalu makan cuma sama nasi putih. Ibu selalu berkata bahwa dia tidak doyan lauk, kalaupun saya paksa berbagi Ibu selalu tidak mau. Kadang air mata saya ini terharu kalau lauk sisa makan saya selalu ditambahi nasi putih oleh Ibu, baru kemudian Ibu makan. Saya terkadang malu dengan diri saya. Masih tegakah saya menjawab ketika dimarahi Ibu? Adakah Ibu yang bertangan besi namun berhati emas seperti Ibu saya. Saya pernah berkata pada Ibu saya kenapa Ibu selalu makannya begitu. Ibu pun bilang ini namanya tirakat. Ini namanya prihatin. Yang penting anaknya jadi orang dan bisa sekolah tinggi. Ibu cuma lulusan SD kelas 2 jadi Ibu tidak ingin nasib anak-anaknya seperti Ibu. Anak-anaknya harus bisa sekolah setinggi mungkin. Kata Ibu, Tuhan menciptakan manusia sama. Tidak ada yang pintar tidak ada yang bodoh. Tergantung kekuatan hati mau sungguh-sungguh belajar atau tidak. Perkataan Ibu saya mengena tepat di hati saya. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba air mata ini mengalir, segera saya ambil semua buku-buku pelajaran. O, Tuhan… Saya berjanji akan menaklukkan semua mata pelajaran. Berikanlah hamba-Mu ini kemudahan dalam menyelami samudera ilmu-Mu. Dan saya yakin, malaikat telah kembali ke langit sap-7 dan mencatat sumpah saya.

Maghrib


Ibu kembali memarahi saya. Ini gara-gara saya di Armidale, NSW, Australia mengatakan malas belajar. Kata Ibu saya, apa yang susah dengan belajar? Pekerjaan yang bisa dilakukan sambil tiduran! Tidak ingatkah kamu dengan apa yang Ibu lakukan untuk membesarkanmu? Harus bangun tengah malam untuk menggoreng bakwan, pisang goreng, mendoan, dll? Beginikah semangat anak yang kubesarkan dengan air mataku? Dan Ibu pun bercerita kenapa didikannya keras selama ini. Karena di kampung saya, pergaulan sangat buruk. Anak kecil sudah mabuk-mabukan, melawan orang tuanya, mencuri, tidak mau sekolah dan main perempuan. Ibu memproteksi saya dengan sistem didikannya itu. Kata Ibu, maghrib itu pada waktu beli kayu, ibu mengajarkan kepada saya bahwa hidup itu berat. Hujan badai pun harus dijalani. Hidup ini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang mau berjuang dan berkemauan keras. Maghrib kedua, ibu ingin mengajarkan bahwa mencari uang itu susah, maka jangan dihambur-hamburkan. Dan orang yang akan sukses adalah orang yang berani memperjuangkan nasibnya sendiri. Kata Ibu, berdoa saja tidak cukup. Kita harus bekerja keras. Maghrib ketiga, Ibu mengatakan bahwa dia yakin suatu saat anaknya akan pergi mencari ilmu kemana-mana. Keterampilan memasak adalah nomor satu. Bertahan hidup. Keahlian masak sangat penting. Kalau kamu kaya kamu bisa tinggalkan, tapi selama kamu masih berjuang, keahlian ini sangat bermanfaat. Bangunlah anakku sayang. Jika kerasnya hidup sudah engkau jalani, kenapa belajar di negeri orang saja kamu menyerah? Bangunlah anakku sayang. Tunjukkan kepada orang yang telah menyekolahkanmu, bahwa dia tidak salah memilih orang. Bangunlah anakku sayang. Tunjukkanlah bahwa kamu bisa menampilkan yang terbaik. Tidak tahu kenapa, air mata saya meleleh lagi. Saya kemudian mengambil buku-buku saya. Saya akan tunjukkan kepada Ibu bahwa saya adalah orang kuat. Bahwa saya bukan orang lemah. Bahwa kesulitan yang saya alami tidak ada apa-apanya dibanding dengan kesulitan yang dialami Ibu. Ibu saya tidak ada bandingannya. Ibu saya adalah dewi tersuci dari jutaan dewi yang ada di dunia ini. Dan saya yakin maghrib ini, malaikat-malaikat itu akan terbang kembali ke langit sap-7 sambil membawa catan-catan tentang saya. O, Tuhan.. Berikan saya kemampuan menyelami samudera ilmu-Mu. Pada-Mu saya tunduk…


Depok, 7 Maret 2011


Semoga cerita ini bermanfaat bagi kita semua, dan bisa menambah rasa kasih dan sayang pada Ibu kita. Amien...




google-site-verification: google4556e648de6b1cea.html

Sunday 4 January 2015

Nasehat seorang Indian kepada anaknya

Anakku
Tidak seorang pun akan menolongmu di dunia ini
Kau harus berbuat sesuatu
Jelajahilah puncak gunung gunung itu dan kembalilah
Itu akan membuatmu perkasa
Anakku
Kau tahu dunia ini
Tidak seorangpun yg dapat kau sebut sebagai sahabat sejati
Hampir tidak juga saudaramu bahkan kekasihmu
Hampir tidak juga ayah dan ibumu
Sahabatmu adalah kakimu
Sahabatmu adalah tanganmu
Sahabatmu adalah rambutmu
Sahabatmu adalah pandanganmu
Kau harus berbuat sesuatu
Dengan semua yg kau miliki itu
Suatu hari
Kau akan ada diantara rakyat yg sengsara
Kau telah memiliki sesuatu
Yang dapat kau berikan pada mereka
Bila kau pergi
Kau harus dapat menghancurkan musuh yg mencoba menyerangmu
Kau harus ada di mukanya dan menghancurkannya
Anakku
Berbuatlah jujur dan jantan
Ingatlah selalu pada Tuhan
Siapkanlah bekal yg harus kau bawa ke alam abadi kelak
Anakku pilihlah jalan ini, rakyatmu akan bangga atas dirimu

-howgh-

Thursday 1 January 2015

The Comparison of Power and Authority of Women in China and Minangkabau Societies



Cite:
Rohman, Arif. (2014). The Comparison of Power and Authority of Women in China and Minangkabau Societies. Humanities & Social Studies, 2(12), 141-145.


Abstract:
The power and authority available for women are very important in measuring the cultural system in each society contains a gender bias or not. This study will examine whether the matrifocal and matrilineal society guarantees gender equality rather than the patriarchal and patrilineal society and to what extent these societies provide power and authority to women in both domestic and public spheres. To support analysis, this article will compare two Asian societies; those are China as a representative of the patriarchal and patrilineal society and Minangkabau as a representative of the matrifocal and matrilineal society. The analysis will be focused on their kinship systems, particularly in the differences in inheritance and descent which affects the role and status of women.

Keywords: Power, Authority, Culture, China, Minangkabau, Women, Gender



1. Introduction
The study of women and gender cannot be separated from the issue of power and authority of women in their families and communities. The power and authority available for women, furthermore, are very important in measuring the cultural system in each society contains a gender bias or not (Rosaldo, 1974; Merry, 2011). Therefore, to compare the power and authority from patrilineal and matrilineal societies requires understanding of respective kinship systems. This is because many people, today, assume that gender equality has adhered automatically in matrifocal and matrilineal societies, whilst the reverse can be found in the patriarchal and patrilineal societies.
This study will examine whether the matrifocal and matrilineal society guarantees gender equality rather than the patriarchal and patrilineal society and to what extent these societies provide power and authority to women in both domestic and public spheres. To support my analysis, I will compare two Asian societies; those are China as a representative of the patriarchal and patrilineal society and Minangkabau as a representative of the matrifocal and matrilineal society. The analysis will be focused on their kinship systems, particularly in the differences in inheritance and descent which affects the role and status of women.

2. Women’s Authority and Power in China
To begin with, it needs to be understood that the status of women in China has mostly been affected by Confucianism. It is mentioned in Confucianism that woman’s element (yin) and man’s element (yang) are two different things. ‘Yin’ is often associated with something that is subordinated, such as dark, passivity, moon and earth, while ‘Yang’ refers to something that is dominant, such as light, activity, sun and heaven (Guisso, 1981; Valutanu, 2012). Confucianism also contributed a stereotype of women as unclean and pollutant which could block people from communicating with the gods since they have menstruation as part of their reproduction (Ahern, 1982; Hedges, 2011). As a result the Chinese kinship system follows patrilineal descent in which descent and inheritance take place only through the male line. In this context, the social structure has successfully marginalised women’s position as second class citizens. This explains why in the Chinese society, most people show more respect to a man than a woman in which a son is more important than a daughter, in order to continue the lineage of their family. History has noted that many infanticides have occurred in the past due to this belief (Holmgren, 1981; King, 2014). Having a daughter especially in traditional rural China has been judged as ‘bad luck’ due to the assumption that a daughter only knows how to eat, dress and be married (Freedman, 1961; Li and Wu, 2011). This was different for a son who received much respect from his parents as he could help them to earn a living in the future. The social structure about women in China can be characterised as a system oppressive to women rather than giving opportunities for women in decision making and participating in society outside domestic boundaries.
The oppression of women was reflected by the marriage system in China. In traditional China, marriages were arranged by parents, where people believed that a beautiful woman should get high ‘bride price’ from the groom (Knight, 2000; Jiang and Sánchez-Barricarte, 2012). In that time, people allied beauty with small feet. As a result, to get a high bride price, many parents bound tightly their daughters’ feet when they were seven years old (Jacka, 1997; Hong, 2013). This factor also contributed to the many trafficking of girls which occurred in China. This practice was oppressive and hurt women. Furthermore, with a ‘high bride price’, a woman found it difficult to divorce to her husband since her husband had paid a high price for her. Indeed, when divorce happened women did not have opportunities to get an inheritance such as land, house or wet rice since these were claimed by men (Watson, 1984; Liaw, 2008). In such a case, a wife was made very vulnerable in proposing divorce since she was unlikely to obtain anything. This practice shows how from childhood to marriage a woman in China did not have authority and power to speak on behalf herself.
According to Cook and Dong (2011), they argue that for women withdraw from their work in the fields to undertake domestic work, it is likely that women’s power in the family is relatively weak. After marriage, a woman became a wife and she had to stay in her husband’s house as an outsider or a stranger (Croll, 1978; Croll, 2013). She could not go outside her house without the permission of her husband. She had to stay at home and do domestic work, such as feeding and caring for children, spouse and kin. The woman was expected to should wait on her husband on his return from work and this was repeated every day. In this context it seems that a woman was property of her husband (Jacka, 1997; Croll, 2013). She did not have authority in public affairs or domestic affairs. This is because all decisions were made by her husband or her mother-in-law who was often unfriendly to her. She was even more oppressed in the expectation that she would give birth to a son. Her failure to do so could lead her husband and her mother-in-law to anger and in some cases to torture. Following the communist revolution in 1949, the new marriage law of 1950 improved the lot women (Kane, 1987; Zuo, 2013). But despite this the one-child policy introduced in 1979 made women oppressed once more due to the cultural expectation that the one child would be a son (Hong, 1987; Ebenstein, 2010).
From this explanation, it can be clearly seen that women in China had no authority and power to participate in either public or domestic spheres. China seems more oppressive to women as a result of its culture and the social structure which is a ‘classic patriarchy’. Women lived in an oppressive situation and often were subjected to violence from their husband, mother-in-law or her sister-in-law (Jacka, 1997; McLaren, 2001). That is why many suicides occurred. A wife could try to use a strategy of persuasion with her mother-in-law and try to improve relationships with her son, but it still did not make her position safe since her husband could chase her easily away from his house. The 1949 revolution led to a gender equality which opened the channel for women to propose divorce (Tsai, 1996; Wang and Purnell, 2008). This resulted in a dramatic number of divorces. This marked the beginning of the fight against the oppression of the past. They fought against a culture which did not recognise a wife as a real member of family and society, who could influence decisions in domestic and public affairs.

3. Women’s Authority and Power in Minangkabau
Compared to China, Minangkabau has a matrilineal lineage system which is more respectful to women than to men. This is because adat (customary law and practice) gives more rights to women. Based on adat, a man has to respect a woman as is shown in the proverb ‘Surga ada di telapak kaki ibu’ (paradise lies at the feet of mothers) (Whalley, 1998; Sanday, 2002). The adat believes women have a higher status as noble human beings created by God. As a consequence, a man should respect a woman. This explains why Minangkabau uses matrilineal descent in its kinship system in which descent and inheritance are traced exclusively through the female line. So parents will be very happy if they have a daughter rather than a son. Women can own land, houses and wet rice which means that harto pusako (ancestral property) can be theirs (Kato, 1982; Wiryomartono, 2014). This property is transmitted from generation to generation exclusively through the female line. In this context women have a stronger authority and power than men.
In the marriage system, Minangkabau shows a unique custom. A bride decides a ‘groom price’ and the value of a groom. This depends on the status of the groom. It could result from his education or from adat. For example, a doctor could be paid $ 6,000 whilst others obtain only $ 1,000. After marriage, a husband will live in his wife’s house, called rumah gadang (large house or matrilineal communal house) (Kato, 1978; Stark, 2014). At dusk, a husband goes back to his mother’s house to work and later he will be return to his wife’s house. This system which operates in Minangkabau is referred to as a duolocal system. Moreover, the woman has a strong authority in her house and domestic affairs. The woman is the head of household.
The kinship system also protects her from her husband due to her husband’s position as a ‘guest’ in her family (Tanner and Thomas, 1985; Wiryomartono, 2014). In Minangkabau, a husband (orang sumando) will be stigmatised if he does not follow the adat, such as orang sumando lapiak buruak (a husband who is irresponsible and ignores his family), orang sumando kacang miang (a husband who is very lazy) and orang sumando lango ijo (a husband who practices polygamy and has many children in many places, like a bluebottle which has many larva). When a divorce happens a husband must go from his wife’s house without taking anything, such as lands or houses (laki-laki yang turun). Under this system, divorces are rare in Minangkabau society.
Even though all lands are managed by mamak (the eldest male in the household or mother’s brother), mamak has to obey what bundo kanduang (the eldest or senior woman) says. A Minangkabau woman also has a power in public affairs. Even in the nagari (a grouping of several villages with its own laws and government) which is lead by penghulu (lineage or kin headman), bundo kanduang influences who can became a penghulu. In this context, a woman in Minangkabau has a higher bargaining position to men and she has active roles both in domestic and public spheres. The authority and power of women in Minangkabau society in both domestic and public affairs can be shown in the tale of ‘Kaba Rantjak di Labueh’. This story tells of the powerf of bundo kanduang in Minangkabau society since she could influence who became a penghulu (Schrijvers, 1977; Sanday, 2010). By her power and authority she can influence any musyawarah (discussion) and mufakat (consensus) since she has a veto right. This reflected the lack of class distinction within the society. So it is not a surprising that there were many heroines from Minangkabau during the war against the Dutch colonial government.
4. Some Changes in the Matriarchal Society: Lessons Learned from Minangkabau
Based on my explanation, Minangkabau society has given a higher status to women than in Chinese society. However, this system did not survive intact long. Because of Islam and the Dutch colonial government, the adat system has changed significantly (Sanday, 1990; Chadwick, 1991; von Benda-Beckmann and von Benda-Beckmann, 2014). This means that the oppressor from outside (external factors) has contributed to the changing of this society. For example, the interpretation of Islam that a woman cannot be a leader of men has influenced much of the Minangkabau society. This interpretation affects the attitude of men and has challenged the adat system. Another interpretation allows men to practice polygamy. These interpretations legitimise the practice polygamy and encourage the dominance of men over women. Adat was defeated by Islam is sumned up in a proverb that says, ‘Syarak mandaki, adaik manurun’ (Islam goes uphill and custom descends the hills) (Chadwick, 199; Uker and Fanany, 2011). According to Adamson (2007), she believes that ‘Muslim doctrine and culture contributed to ideologies that threatened to oppress women.
This situation became worse with the Dutch colonial government in the nineteenth century. This government believed that a man is the head of household. From that time, men became more involved in public affairs. The offer from the government that Minangkabau men could become part in the Dutch colonial government introduced harta pencarian (earned property) in that society (Kahn, 1976; Iman and Mani, 2013). This allowed men in Minangkabau to gain authority and power in public affairs even though in domestic affairs a woman still had authority and power to make any decision. Many men (scholars) who came back from merantau (go to other places to get better lives) also challenged and contributed to the changes of kinship system in Minangkabau (Sanday, 1990; Wiryomartono, 2014). These people (orang merantau) claimed that the system was ‘not modern’ and oppressed men. This arose out of their experience of patriarchal culture when merantau in Java. As a consequence, women’s position became marginalised as was shown by the increase in the divorce rate and in the practice of polygamy in 1930’s (Tanner, 1974; Schrijvers, 1977; Kato, 1978; Rohman, 2013). These changes brought suffering to women in Minangkabau.
In their marriage system, women were also influenced by these changes. For example, in the marriage practice, men often set ‘a high groom-price’ and ‘a high dowry’ which was too expensive for women in Minangkabau. As a consequence, many women from Minangkabau today are doing merantau and marry men outside Minangkabau. The preference for a nuclear family rather than extended family structure means that the adat in this community is slowly becoming extinct (Kato, 1978; Parker and Nilan, 2013).
In Minangkabau societies nowadays, there are tigo tungku sajarangan (three parties which have same level) in decision making. These include ninik mamak, alim ulama and cadiak pandai (adat expert, Islam expert and scholar). Based on this system, all positions are only for men. Ironically, the role of bundo kanduang was marginalised and she then just became a figure or symbol without authority and power in public affairs. This shows the ambiguity of women’s role as represented by bundo kanduang today: In theory her status remains but not in reality (Sanday, 1990; Blackwood, 2001; Elvira, 2007; Nurwani, 2011). The policy of the Indonesian government under the ‘New Order Regime’ sought to impose Javanese culture universally. The change from nagari into desa (Javanese village) affected title to all lands in Indonesia including Minangkabau. Many certificates of title were issued to men, since the Indonesian government only recognised a man as a head of household. Even though the local government today supports the ‘going back to adat’ policy (mambangkik batang nan tarandam), this seems just a romantic idea of the past without any real changes for women.
5. Conclusion
This article has analysed the differences of authority and power available in both Chinese and Minangkabau societies. The differences mostly were due to the Confucianism and adat which have governed the position of women in these societies. As a result, Chinese society tends to use patrilineal descent while Minangkabau tend to use matrilineal. Based on my explanation, China could be categorised as a classical patriarchal society which oppresses women and did not give an opportunity for women to be involved in public or even in domestic spheres. However, since 1949 the women’s movement has progressed under communist rule. The oppression history of woman has clearly opened women’s eyes in China to struggle for gender equality, to obtain authority and power in their society. On the other hand, Minangkabau in the past, with its matrilineal system gave authority and power to women to make and to influence all decisions in both private and public affairs. However, the status of women has become a lower than men since the adat was influenced by from Islam, Dutch colonialism, orang merantau and Indonesian government policy under the ‘New Order Regime’. Women in Minangkabau are now marginalised in domestic sphere. In conclusion, even though today it seems no longer to exist anymore in Minangkabau, it is true that the matrilineal system a reverse image of the patrilineal one. Furthermore, the greater separation between public and domestic spheres, the lower the status of women in their societies.
6. Acknowledgment
The author wishes to express his gratitude to his mentor, Dr. Makmur Sunusi who was abundantly helpful and offered invaluable assistance, support and guidance. The author would also like to convey thanks to the Indonesian Ministry of Social Affairs for providing the financial means and facilities.




7. References
Adamson, C., 2007. Gendered anxieties: Islam, women’s rights and moral hierarchy in Java. Anthropological Q., 80: 5-37. DOI: 10.1353/anq.2007.0000
Ahern, E.M., 1982. The Power and Pollution of Chinese Women. In: Women in Chinese Society, Wolf, M. and R. Witke, (Eds.), Stanford University Press, Stanford, ISBN-10: 0804708746, pp: 193-214.
Blackwood, E., 2001. Representing women: The politics of minangkabau adat writings. J. Asian Studies, 60: 125-149. DOI: 10.2307/2659507
Chadwick, R.J., 1991. Matrilineal inheritance and migration in a minangkabau community. Indonesia, 51: 47-81.
Cook, S. and Dong, X.Y., 2011. Harsh Choices: Chinese Women's Paid Work and Unpaid Care Responsibilities Under Economic Reform. Development and Change, 42: 947-965. DOI: 10.1111/j.1467-7660.2011.01721.x
Croll, E., 1978. A Frog in a Well: Mechanisms of Subordination. In: Feminism and Socialism in China, Croll, E. (Ed.), Routledge, ISBN-10: 1136337318, pp: 12-44.
Croll, E., 2013. Feminism and Socialism in China. Routledge, London, ISBN-10: 0415519152.
Ebenstein, A., 2010. The “Missing Girls” of China and the Unintended Consequences of the One Child Policy. Journal of Human Resources, 45: 87-115.
Elfira, M., 2007. Bundo Kanduang: A Powerful Or Powerless Ruler? Literary Analysis Of Kaba Cindua Mato (Hikayat Nan Muda Tuanku Pagaruyung). Makara, Sosial Humaniora, 11: 30-36.
Freedman, M., 1961. The family in China, past and present. Pacific Affairs, 34: 323-336.
Guisso, R.W.L., 1981. Thunder over the lake: The five classics and the perception of woman in early China. Historical Reflections, 8: 47-62.
Hedges, P., 2011. Guanyin, Queer Theology, and Subversive Religiosity: An Experiment in Interreligious Theology. In: Interreligious Hermeneutics in Pluralistic Europe: Between Texts and People, Cheetham, D. and Winkler, U. (Eds.). Radopi, New York, ISBN-10: 9401200378, pp. 203-229.
Holmgren, J., 1981. Myth, fantasy or scholarship: Images of the status of women in traditional china. Aus. J. Chinese Affairs, 6: 147-170.
Hong, F., 2013. Footbinding Feminism and Freedom: The Liberation of Women's Bodies in Modern China. Routledge, New York, ISBN-10: 0714646334.
Hong, L.K., 1987. Potential effects of the one-child policy on gender equality in the people’s republic of China. Gender Society, 1: 317-326.
Iman, D.T. and Mani, A., 2013. Motivations for migration among Minangkabau women in Indonesia. Ritsumeikan Journal of Asia Pacific Studies, 23: 114-123.
Jacka, T., 1997. Families. In: Women’s Work in Rural China: Change and Continuity in an Era of Reform, Jacka, T. (Ed.), Cambridge University Press, Cambridge, ISBN-10: 0521599288, pp: 54-72.
Jiang, Q. and Sánchez-Barricarte, J.J., 2012. Bride Price in China: The Obstacle to ‘Bare Branches’ Seeking Marriage. The History of the Family, 17: 2-15. DOI: 10.1080/1081602X.2011.640544.
Kahn, J.S., 1976. “Tradition”, matriliny and change among the Minangkabau of Indonesia. Bijdragen, 132: 64-95.
Kane, P., 1987. The Chinese Family and Change. In: The Second Billion: Population and Family Planning in China, Kane, P. (Ed.), Penguin Books, Ringwood, ISBN-10: 0140086579, pp: 4-45.
Kato, T., 1978. Change and continuity in the Minangkabau matrilineal system. Indonesia, 25: 1-16.
Kato, T., 1982. Traditional Minangkabau Society. In: Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia, Kato, T. (Ed.), Cornell University Press, Ithaca, ISBN-10: 0801414113, pp: 33-71.
King, M.T., 2014. Between Birth and Death: FemaleIinfanticide in Nineteenth-Century China. Stanford University Press, Stanford, California, ISBN-13: 9780804785983.
Knight, N., 2000. Tradition and Modernity: The Family. In: Thinking about Asia: An Australian introduction to East and Southeast Asia, Knight, N. (Ed.), Crawford House Publishing Australia, Adelaide, ISBN-10: 1863331972, pp: 28-50.
Li, L. and Wu, X.. 2011. Gender of Children, Bargaining Power, and Intrahousehold Resource Allocation in China. Journal of Human Resources, 46: 295-316.
Liaw, H.R., 2008. Women’s Land Rights in Rural China: Transforming Existing Laws into a Source of Property Rights. Pacific Rim Law & Policy Journal Association. Pacific Rim Law & Policy Journal Association, 17: 237-264. http://digital.law.washington.edu/dspace-law/bitstream/handle/1773.1/572/17PacRimLPolyJ237.pdf?se..
McLaren, A.E., 2001. Marriage by abduction in twentieth century China. Modern Asian studies, 35: 953-984.  http://dx.doi.org/do1:10.1017/S0026749X01004073
Merry, S.E., 2011. Gender Violence: A Cultural Perspective. Wiley-Blackwell, Chichester, UK, ISBN-13: 9780631223597.
Nurwani Idris, N., 2011. The External and Internal Barriers to the Political Leadership for Minangkabau Women in West Sumatera, 24: 130-141.
Parker, L. and Nilan, P., 2013. Adolescents in contemporary Indonesia. Routledge, New York, ISBN-13: 9780415508551.
Rohman, A., 2013. Reinterpret Polygamy in Islam: A Case Study in Indonesia. Int J Hum & Soc Sci Inv, 2: 68-74. http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2258284
Rosaldo, M.Z., 1974. Women, Culture and Society: A Theoretical Overview. In: Women, Culture and Society, Rosaldo, M.Z. and Lamphere,  L. (Eds.), Stanford University Press, Stanford, ISBN-10: 0804708517, pp: 17-42.
Sanday, P.R., 1990. Androcentric and Matrifocal Gender Representations in Minangkabau Ideology. In: Beyond the Second Sex, Sanday, P.R. and Goodenough, R.G. (Eds.), University of Pennsylvania Press, Philadelphia, pp: 139-168.
Sanday, P.R., 2002. Women at the Center : Life in a Modern Matriarchy. Cornell University Press, Ithaca, New York, ISBN-13: 9780801489068.
Sanday, P.R., 2010. Going Home: An Anthropological Memoir. General Anthropology, 17: 1-7. DOI: 10.1111/j.1939-3466.2010.00009.x
Schrijvers, J., 1977. Minangkabau women: Change in a matrilineal society. Archipel, 13: 79-103.
Stark, A. (2014). Sometimes the Government Must Solve the Case: The Example of a Minangkabau Land Conflict. American Journal of Humanities and Social Sciences, 2: 111-116.
Tanner, N., 1974. Matrifocality in Indonesia and Africa and Among Black Americans. In: Women, Culture and Society, Rosaldo, M.Z. and Lampere, L. (Eds.). Stanford University Press, Stanford, ISBN-10: 0804708517, pp: 129-156.
Tanner, N.M. and Thomas, L.L., 1985. Rethinking Matriliny: Decision-Making and Sex Roles in Minangkabau. In: Change and Continuity in Minangkabau: Local, Regional and Historical Perspectives on West Sumatra, Thomas, L.L. and Benda-Beckmann, F.V. (Eds.). Ohio University Center for International Studies, Athens, ISBN-10: 0896801276, pp: 45-71.
Tsai, K.S., 1996. Women and the state in post-1949 rural China. J. Int. Affairs, 49: 493-524.
Uker, D. and Fanany, R., 2011. The Traditional Decision-Making Process of Berkaul in Tanjung Emas, West Sumatra: Its Nature and Significance. Sojourn Journal of Social Issues in Southeast Asia, 26: 1-15. DOI: 10.1353/soj.2011.0002
Valutanu, L.I., 2012. Confucius and Feminism. Journal of Research in Gender Studies, 2: 132-140.
von Benda-Beckmann, F. and von Benda-Beckmann, K. (2014). Temporalities in Property Relations Under a Plural Legal Order: Minangkabau Revisited. The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 46: 18-36. DOI: 10.1080/07329113.2014.886869
Wang, Y. and Purnell, L.D., 2008. People of Chinese Heritage. In: Transcultural Health Care : A Culturally Competent Approach, Purnell, L.D. and Paulanka, B.J (Eds.). F.A. Davis, Philadelphia, ISBN-13: 9780803637054, pp. 129-144.
Watson, R.S., 1984. Women’s Work and Inheritance in Chinese Society: An Anthropologist’s View. In: Women in Asia and Asian Studies, Miller, B.D. and Hyde, J. (Eds.), Committee on Women in Asian Studies of the Association for Asian Studies, Syracuse, pp: 7-23.
Whalley, L.A. 1998. Urban Minangkabau Muslim Women: Modern Choices, Traditional Concerns. In: Women in Muslim Societies: Diversity Within Unity, H.L. Bodman and Tohidi, N.E. (Eds.), Lynne Rienner Publishers, Boulder, ISBN-10: 1555875785, pp: 229-249.
Wiryomartono, B., 2014. Ninik Mamak: Motherhood, Hegemony and Home in West Sumatra, Indonesia. In: Perspectives on Traditional Settlements and Communities, Wiryomartono, B. Springer, Singapore, ISBN-13: 978-981-4585-05-7, pp. 113-131.
Zuo, J., 2013. Women's Liberation and Gender Obligation Equality in Urban China: Work/Family Experiences of Married Individuals in the 1950s. Science & Society, 77: 98-125. DOI: 10.1521/siso.2013.77.1.98

Wednesday 3 December 2014

Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa - DESAKU MENANTI

DESAKU MENANTI

Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa[1]


Arif Rohman
University of New England
School of Behavioural, Cognitive and Social Sciences 


Cite:
Rohman, Arif. (2010). 'Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientasi Desa'. Disampaikan Pada Acara Workshop Penanganan Gelandangan di Perkotaan. Jakarta, 14 Oktober 2010. Jakarta: Kementerian Sosial RI.

A. Latar Belakang

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.

Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).

B. Data dan Fakta

Dalam upaya untuk merumuskan program penanganan yang tepat untuk gelandangan, pengemis dan anak jalanan, ada baiknya disampaikan data dan fakta sebagai berikut :
1.   Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang, jumlah pengemis mencapai 35.057 orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang. Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.

2.   Angka gelandangan, pengemis, dan anak jalanan diperkirakan naik, mengingat daya tarik kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah impian bagi orang desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat kecenderungan kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada gejala ‘satu kota’ yaitu ibu kota Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.

3.   Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut ‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih mencerminkan orang kampung.

4.   Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan kota-kota lainnya.

5.   Masalah gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal, keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri. Terbukti dari tingkat kegagalan layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti ataupun layanan transmigrasi, namun kembali menggelandang di kota. Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk setempat.

C. Filosofi dan Trend Penanganan Masalah Tuna Sosial

Permasalahan, gelandangan, pengemis dan anak jalanan memiliki dimensi yang sangat kompleks. Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila program penanganan yang disusun mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan trend penanganan yang sedang berkembang saat ini:
1.   Persoalan Hulu
Bahwa masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder dari Dinas/Instansi Sosial terkait.

Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota. Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota. Hal ini dikarenakan modus munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).

2.   Persoalan Hilir
Kaum urban yang dating ke kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang, akhirnya mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai ’Anak’ (client). Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar.

Persoalan kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut.

Pengemis sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan program keluarga harapan (PKH) yang dilaunching Kementerian Sosial pada tahun 2008 tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu melibatkan para patron, pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal gelandangan dan pengemis.

3.   Persoalan Anak Jalanan
Kajian sosial filosofis pada anak jalanan membuktikan bahwa layanan harus berpusat atau berbasis pada keluarga. Tugas utama anak adalah sekolah dan bermain. Melalui penguatan ketahanan ekonomi keluarga diharapkan anak dapat bersekolah kembali dan memperoleh pendidikan dengan baik, layaknya anak-anak yang hidup normal lainnya.

Banyak program untuk anak jalanan yang langsung difokuskan kepada anak tetapi tingkat keberhasilannya rendah, dikarenakan bahwa usia anak adalah usia dimana seseorang belum bisa menggunakan nalarnya secara benar. Mereka masih mudah terpengaruh dengan teman sebayanya dan belum memahami arti kehidupan secara utuh. Hal ini terlihat dari banyaknya anak jalanan yang mengikuti pelatihan keterampilan (vocational training), namun mudah sekali keluar, atau mereka sudah menyelesaikan pendidikannya namun kembali ke jalan. Kajian sosial filosofis anak membuktikan bahwa seseorang di jalan baru kemungkinan sukses mengikuti program pelatihan keterampilan jika paling tidak berusia 21 tahun. Pada tahapan umur ini sesorang sudah dihadapkan pada pilihan logis yaitu ingin bekerja dan menjadi orang baik-baik, atau tetap di jalan dan menjadi preman. Intinya tetap sama yaitu intervensi yang tepat untuk anak adalah dengan kembali ke sekolah.

Semua program layanan akan lebih efektif jika melalui keluarga. Di sinilah keluarga diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan dan pendidikan informal dalam keluarga demi kualitas sumber daya manusia (SDM) anak-anaknya di masa mendatang. Trend atau kecenderungan dalam pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial lebih mengedepankan perlindungan hak-hak anak (child rights) demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child).

D. Program Yang Diajukan

1.   Nama Program
Nama program yang diajukan adalah ‘Desaku Menanti’ (Program Penangananan Gelandangan dan Pengemis Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa).

2.   Tujuan
Adapun tujuan dari Program Desaku Menanti adalah mengembangkan model penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan, agar hilang secara permanen di kota-kota besar. Program ini adalah inovasi dari program penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang selama ini dilakukan, yaitu dengan memfokuskan semua layanan di daerah asal para gelandangan dan pengemis (berbasis desa). Disamping itu, semua kegiatan akan melibatkan seluruh komponen di daerah asal, seperti pemerintah daerah, pengusaha (CSR), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Inti dari program ini adalah menciptakan keteraturan sosial melalui peningkatak kontrol sosial dari masyarakat.

3.   Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam program Desaku Menanti adalah :
a.   Gelandangan.
b.   Pengemis.
c.   Anak Jalanan.
d.   pemerintah Daerah.
e.   Lembaga Pendidikan.
f.    Dunia Usaha (CSR).
g.   Masyarakat.

4.   Jenis Kegiatan
Program Desaku Menanti adalah program yang komprehensif dalam penghapusan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang ada pun, baik preventif maupun kuratif dilakukan secara bersamaan, simultan, dan berkesinambungan. Mengingat program ini adalah uji coba pengembangan model, untuk keberlanjutannya (sustainability), diharapkan pada tahap replikasi dapat mengadvokasi pemerintah daerah supaya program ini ke depan dapat dibiayai dengan menggunakan APBD.
a.    Kegiatan Preventif
Kegiatan preventif dilakukan di tempat-tempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis, maupun anak jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah lebih baik daripada mengobati. Kegiatan difokuskan pada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) atau wanita rawan sosial ekonomi.
1)  Kampanye Sosial di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Penentuan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan statistik daerah asal gelandangan dan pengemis terbanyak di Jakarta. Adapun kegiatan dalam kampanye sosial meliputi :
a)   Rapat koordinasi dengan Pemerintah Daerah di sepuluh lokasi.
b)   Penyuluhan sosial intensif langsung ke masyarakat di sepuluh lokasi. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui lain :
ü Pemutaran film dokumenter yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis di desa-desa.
ü Penyebaran pamflet dan leaflet tentang gelandangan dan pengemis, serta bahaya merantau ke kota tanpa bekal keterampilan, pendidikan dan modal.
ü Gelar panggung/drama yang berkisah tentang kesulitan hidup di kota besar.
ü Penyuluhan sosial dengan melibatkan tokoh agama dan tokah masyarakat yang peduli pada permasalahan gelandangan dan pengemis.
ü Temu duta anti gelandangan dan pengemis dengan masyarakat desa.

2)  Pemberian Bantuan Ekonomi Langsung di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Sasarannya adalah RTSM dan wanita rawan sosial ekonomi.

3)  Pemberian Bantuan Perumahan di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Konsep pemberian bantuan perumahan ada dua model. Pertama, melalui program transmigrasi yang berkoordinasi dengan Kemenakertrans. Kedua, bantuan perumahan sangat sederhana di kampung mereka masing-masing. Konsepnya untuk yang pertama melalui koordinasi saja. Sedangkan konsep kedua melalui advokasi ke pemerintah daerah dan Kementerian Perumahan dan Permukiman untuk penyediaan lokasi tanah dan pendirian bangunan. Melalui bantuan perumahan ini diharapkan nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan serta arti penting rumah sebagai simbol utama keluarga dapat kembali ditumbuhkan.

4)  Pemberian Bantuan Peralatan Sekolah di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia.

b.    Kegiatan Dukungan
1)  Pemilihan ’Duta Anti Gelandangan dan Pengemis’
Pemilihan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ dapat dipilih atau ditentukan oleh Kementerian Sosial di Jakarta. Diharapkan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ berasal dari kalangan artis yang memiliki background keagamaan yang relatif kuat, mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat kelas bawah, dan memiliki komitmen yang kuat dalam gerakan penghapusan gelandangan dan pengemis.

2)  Pemberian Penghargaan Bagi ’Kota Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Penghargaan/trophy akan diberikan kepada kota-kota yang memiliki komitmen yang besar dalam penghapusan gelandangan dan pengemis di daerahnya. Piagam penghargaan ’Kota Bersih Gelandangan dan Pengemis’ langsung diberikan oleh Menteri Sosial setiap setahun sekali.

3)  Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ dapat dilakukan oleh Presiden RI, Wakil Presiden RI, maupun Menteri Sosial RI disesuaikan dengan kebutuhan dan keuangan. Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ sudah dipastikan akan mengundang simpati publik, terutama kalangan media baik cetak maupun elektronik.

c.    Kegiatan Rehabilitatif
Kegiatan rehabilitasi sosial selama ini dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, melalui panti-panti gelandangan pengemis milik Kementerian Sosial maupun Pemda DKI Jakarta. Akan tetapi jumlah gelandangan dan pengemis tidak pernah berkurang. Berkenaan dengan ini sudah seyogyanya apabila kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan di daerah asal gelandangan dan pengemis, yang difokuskan pada penguatan ketahanan ekonomi keluarga dan kontrol sosial masyarakat.
1)  Penjangkauan dan Pemulangan Gelandangan dan Pengemis
Kementerian Sosial bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta (Pemda DKI Jakarta sebagai pilot project) menyediakan alokasi dana untuk pemulangan gelandangan dan pengemis ke daerah asal. Gelandangan dan pengemis yang akan dipulangkan adalah hasil dari operasi yustisi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, Dinas Sosial dan Tramtib DKI Jakarta. Dalam Program Desaku Menanti, uji coba pemulangan dilakukan di 3 propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari sinilah 10 lokasi di 3 propinsi pada kegiatan preventif dilakukan dengan memperhitungkan daerah yang potensial mengirimkan gelandangan dan pengemis ke DKI Jakarta. Dalam pemulangannya, pendamping (pekerja sosial) dari Kementerian Sosial berkoordinasi dengan Dinas/Instansi Sosial di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, bahkan sampai dengan tingkat kecamatan dan desa. Pemulangan dilakukan sampai di tingkat desa dengan mengundang tokoh masyarakat setempat. Proses ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis malu atau jera. Pemulangan ini juga sekaligus sebagai upaya diseminasi dan penyuluhan sosial yang sifatnya preventif untuk masa mendatang. Kegiatan ini sekaligus untuk menggugah kepedulian masyarakat mengenai kondisi ekonomi warganya, dan untuk menerima kembali mantan gelandangan dan pengemis dengan baik (reintegrasi sosial).

2)  Pemberian Pelatihan Keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM)
Para gelandangan dan pengemis yang sudah dipulangkan kemudian mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai minat dan bakatnya di ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota. Biaya pelatihan ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan pemda setempat (sharing cost). Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi. Mereka yang lulus kemudian diberikan bantuan stimulan untuk modal usaha sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya.

3)  Pemberian Bantuan Stimulan untuk Eks Gelandangan dan Pengemis
Setelah dipulangkan, mantan gelandangan dan pengemis yang yang tidak memungkinkan mengikuti pelatihan keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota akan mendapatkan bantuan stimulan langsung. Bantuan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi.

4)  Layanan Perumahan/Transmigrasi
Layanan ini diberikan pada mereka yang mempunyai mental kuat untuk mengubah diri, diperkirakan tidak mempunyai kerabat lagi di desa, dan membutuhkan lingkungan baru, sementara usianya masih masuk dalam kategori usia produktif. Kegiatan ini perlu bekerja sama dengan Kementerian Perumahan dan Permukiman atan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pusat maupun yang ada di Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Bagi mereka yang masih punya keluarga di desa akan dibangunkan rumah sederhana di daerah asalnya, dan bagi yang sudah tidak punya keluarga akan ditawarkan transmigrasi atau dibangunkan perumahan sangat sederhana di desanya terdahulu. Intinya, mereka mempunyai pilihan dan tidak ada paksaan.

5)  Pengembalian Anak ke Keluarga dan Bangku Sekolah
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia. Pendamping juga melakukan advokasi ke lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal untuk menerima anak kembali bersekolah. Khusus untuk anak jalanan yang perorangan (tanpa keluarga), mereka dipertemukan kembali dengan keluarga ataupun kerabat dekatnya (reunifikasi).

5.   Tahapan Kegiatan
a.    Penjangkauan
ü Untuk penjangkauan program preventif dilakukan di 10 titik lokasi (3 propinsi) dengan memperhitungkan stastistik daerah pengirim (sending).
ü Untuk penjangkauan program rehabilitatif dilakukan melalui operasi yustisi, bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta. Mereka yang terjaring akan ditampung di panti-panti gelandangan dan pengemis milik pemerintah.

b.    Registrasi dan Identifikasi
ü Untuk program preventif, di 10 titik lokasi (3 propinsi) yang telah ditentukan, didata dengan lengkap RSTM dan wanita rawan sosial ekonomi yang ada.
ü Untuk program rehabilitatif, pendataan dan identifikasi dilakukan setelah operasi yustisi dilakukan.

c.     Penentuan Layanan Sosial
ü Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.
ü Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.

d.    d. Pemberian Layanan Sosial
ü Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil needs assessment, diberikan layanan yang sesuai (kampanye sosial, bantuan ekonomi langsung, bantuan perlengkapan sekolah).
ü Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat (pemulangan, pemberian pelatihan keterampilan di RKDM, bantuan perumahan, bantuan ekonomi langsung, bantuan untuk kembali ke sekolah dan reunifikasi).

e.    Tindak Lanjut
ü Untuk program preventif, selanjutnya dilakukan tindak lanjut dalam rangka penguatan ketahanan ekonomi keluarga, seperti advokasi melalui kerja sama lintas sektor dunia usaha (KLSDU).
ü Disusun buku khusus yang memuat pengalaman hidup mantan gelandangan dan pengemis dengan mengedepankan prinsip kerahasiaan (confidentiality) sebagai bahan kampanye sosial di masa mendatang.

f.     Terminasi
Keluarga mantan gelandangan dan pengemis diadvokasi kembali agar dapat menjadi keluarga binaan atau dapat mengakses program PKH. Proses rujukan ini dengan meminta bantuan dari lembaga-lembaga terkait di daerah.

g.    Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang dan intensif untuk meminimalisir resiko kegagalan program.

6.   Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi dilakukan secara terus menerus oleh Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, LSM dan masyarakat secara luas (tokah masyarakat dan tokoh agama). Kerja sama juga dilakukan dengan media nasional maupun lokal untuk mendukung Program Desaku Menanti (para gelandangan dan pengemis kembali ke desa/kampung halamannya).

7.   Indikator Keberhasilan
Adapun indikator keberhasilan dari Program Desaku Menanti adalah sebagai berikut :
a.   Mantan gelandangan dan pengemis ataupun mereka yang rawan menjadi gelandangan dan pengemis dapat menyelesaikan proses layanan sampai tuntas.
b.   Ketahanan ekonomi keluarga meningkat dan mereka dapat hidup kembali normal di desa.
c.   Pemerintah daerah semakin peduli dan berkontribusi pada Program Desaku Menanti dengan mengalokasikan dana untuk pengembangan dan keberlanjutan program dimasa mendatang.
d.   Masyarakat mendukung penuh pelaksanaan Program Desaku Menanti dan berpartisipasi aktif baik dalam sosialisasi maupun pengawasan.
e.   Kesadaran orang tua meningkat dan ikut berperan aktif dalam mendorong anaknya untuk kembali ke dunia pendidikan dan terus memotivasi anak untuk melanjutkan sekolahnya (untuk anak jalanan).
f.    Intitusi/lembaga penyelenggara pendidikan dapat lebih memahami permasalahan yang menghambat proses belajar anak sehingga dapat memberikan perlakukan yang tepat sesuai dengan karakteristik anak (untuk anak jalanan).

E. Analisis Program

1.   Kekuatan
ü  Program Desaku Menanti tidak hanya berfokus kepada kegiatan rehabilitatif namun juga mencakup kegiatan preventif.
ü  Kegiatan-kegiatan dalam Program Desaku Menanti berbasis desa atau dilakukan di daerah asal sehingga kemungkinan menggelandang kembali sehabis menerima layanan relatif kecil.
ü  Program Desaku Menanti dipastikan akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat, daerah, LSM maupun masyarakat luas, mengingat permasalahan gelandangan dan pengemis adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi isu nasional.

2.   Kelemahan
ü  Program Desaku Menanti membutuhkan pendamping yang cakap, profesional dan penuh dedikasi serta memiliki pengalaman dalam menangani gelandangan dan pengemis.
ü  Program Desaku Menanti ini hanya menjangkau di sepuluh titik lokasi di 3 propinsi (Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur). Artinya untuk daerah luar Jawa dapat dikatakan belum tersentuh.
ü  Program Desaku Menanti membutuhkan dana yang tidak sedikit dan meminta keseriusan dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya.

3.   Peluang
ü  Program Desaku Menanti searah dengan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs) sehingga besar kemungkinan akan disupport oleh lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang kemiskinan.
ü  Program Desaku Menanti berbasis desa sehingga pelaksanaannya pun dilakukan di daerah asal, sehingga tidak menambah rumit pemerintah kota.
ü  Program Desaku Menanti dilakukan di desa asal sehingga pembinaan mental pun dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan-kearifan lokal.

4.   Ancaman
ü  Resistensi atau penolakan dari patron (pelindung) para gelandangan dan pengemis yang ironisnya justru mendapatkan dukungan dari oknum pemerintah.
ü  Adanya stereotype negatif pada keluarga mantan gelandangan dan pengemis baik oleh masyarakat maupun lembaga pendidikan tempat anak akan bersekolah.
ü  Jika Pemerintah Daerah tidak konsisten atau memiliki komitmen yang besar, program ini terncam gagal.

F. Pembiayaan

Pembiayaan adalah sharing budget antara Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.

G. Penutup

Demikianlah garis besar mengenai Program Desaku Menanti (Program Penanganan Gelandangan, Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa). Selain berupaya menghapus gelandangan dan pengemis di perkotaan, program ini juga dapat menumbuhkan kepedulian sosial dan kontrol sosial dari pemerintah daerah dan masyarakat. Disamping itu, Program Desaku Menanti membuka peluang bagi para sarjana yang ingin kembali dan mengabdi ke desa dapat bergabung dalam program ini. Program ini juga bisa bersinergi dengan program pemerintah lainnya seperti PKH, PKSA maupun Pusdaka (Pusat Pemberdayaan Keluarga).



Bibliografi:

Evers, Hans Dieter & Korff, Rudiger. (2012). Urbanisme di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Rohman, Arif. (2004). Kehidupan Ekonomi Orang Gelandangan di Senen: Suatu Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Ekonomi Informal dalam Mempertahankan Kelangsungan Usahanya. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta : Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas Indonesia.

Rubington, Earl & Weinberg, Martin S. (1970). The Study of Social Problems. Oxford : Oxford University Press.

Schwab, William A. (1992). The Sociology of Cities. New Jersey : Prentice Hall.

Suparlan, Parsudi. (1993). ‘Orang gendangan di Jakarta : Politik pada golongan termiskin’, dalam Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Weinberg, S. Kirson. (1971). Social Problems in Modern Urban Society. New Jersey : Prentice Hall.







*Kredit diberikan kepada Mas Doso dan Mbak Siti dari Sekretariat Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI,  yang memberikan dorongan dalam penulisan program ini sebagai kontribusi terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Semoga program ini bisa bermanfaat dan menempatkan gelandangan dan pengemis secara lebih manusiawi.

**Sebagai insan akademisi yang baik, jika anda menggunakan tulisan ini sebagai sumber referensi, harap mencantumkan sumbernya. Hal ini dikarenakan banyak bagian dari tulisan ini yang dicopas (copy & paste) sebagai bahan untuk menulis makalah, tugas lapangan, skripsi bahkan buku-buku panduan atau pedoman tanpa mencantumkan nama pengarang aslinya. Perbuatan ini sungguh memalukan dan tercela sekali. Terima kasih. Mari kita menjadi bagian dari upaya memerangi praktek plagiarism di Indonesia.



Bagian yang sering dicopas dari tulisan ini adalah :

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.


Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial (Rohman, 2004 : 72-74).



[1] Diajukan untuk mensukseskan program 100 hari Menteri Sosial RI dalam penghapusan gelandangan, pengemis dan anak jalanan di perkotaan tahun 2009.


LAMPIRAN






For Full Text Pdf Download Here