MANUSIA, KEBUDAYAAN, DAN LINGKUNGANNYA
Perspektif Antropologi Budaya*)
PARSUDI SUPARLAN
UNIVERSITAS INDONESIA
PENDAHULUAN
Tidaklah dapat disangkal bahwa untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya, manusia dimana pun secara langsung atau tidak, bahkan seringkali tanpa disadarinya, akan selalu tergantung pada lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup. Baik yang berkaitan dengan macam dan jumlah serta kualitas udara, angin, cuaca, air, kelembaban, dan sebagainya; maupun yang berkenaan dengan jumlah, macam, dan kualitas sumber-sumber alam yang digunakannya untuk makan dan minum, untuk berbagai peralatan dan berbagai kesenangannya, dan sebagainya.
Sesungguhnya hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dan alamnya tidaklah semata-mata terwujud sebagai hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, tetapi juga terwujud sebagai suatu hubungan dimana manusia mempengaruhi dan merubah lingkungannya. Dengan kata lain, manusia juga turut menciptakan corak dan bentuk lingkungannya; dan dalam lingkungan yang diciptakannya, baik yang nyata dan maupun yang sebagaimana dilihat atau dibayangkannya itulah dia hidup dan tergantung pada serta mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Manusia dari satu segi menjadi sebagian dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup; tetapi dari segi yang lain, lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup adalah sebagian dari dirinya.
Kerangka landasan bagi menciptakan dan membuat manusia menjadi tergantung pada dan merupakan sebagian dari lingkungan fisik dan alamnya adalah kebudayaannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Forde (1963:463), "hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai manusia". Dengan menggunakan kebudayaan inilah manusia mengadaptasi dengan lingkungannya, dan dalam proses adaptasi ini manusia mendaya-gunakan lingkungannya untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya (Tax, 1953:243). Masalahnya, kemudian adalah bagaimanakah sebenarnya kenyatakannya operasionalisasi dari penggunaan kebudayaan oleh manusia dalam hal melihat dan menginterpretasi, menghadapi, mengadaptasi dirinya dengan, dan mendayagunakan lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup? Dalam tulisan ini, pertanyaan tersebut akan dikaji, menurut perspektif antropologi budaya, yang tercakup dalam uraian mengenai kebudayaan, manusia, dan lingkungan, dan penutup.
KEBUDAYAAN
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam definisi ini, kebudayaan dilhat sebagai "mekanisme kontrol" bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia (Geertz, 1973a), atau sebagai "pola-pola bagi kelakuan manusia" (Keesing & Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).
Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia (Geertz, 1973b).
Implikasi dari melihat kebudayaan sebagai pengetahuan manusia adalah, bahwa kelakuan dan hasil kelakuan (yang terwujud dalam bentuk benda-benda kebudayaan) tidak dapat digolongkan sebagai kebudayaan. Dalam kenyataannya, perbedaan ini dapat diuji kalau kita melihat bahwa kebudayaan itu adalah sebagai satuan ide yang tidak dapat di-observasi karena adanya didalam kepala manusia, sedangkan kelakuan dan benda-benda kebudayaan adalah satuan gejala yang dapat di-observasi karena terwujud dalam berbagai tindakan manusia. Lebih lanjut, kebudayaan merupakan seperangkat ciri-ciri yang dipunyai oleh para anggota masyarakat, sedangkan kelakuan merupakan seperangkat ciri-ciri yang ada pada masyarakat karena kelakuan terwujud dalam berbagai interaksi sosial yang melibatkan para warga masyarakat, baik secara sebagian maupun secara keseluruhan.
Secara sederhana, masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas peranan-peranan dan kelompok-kelompok yang saling berkaitan dan saling pengaruh-mempengaruhi, yang dalam mana kelakuan dan tindakan-tindakan manusia diwujudkan. Dalam masyarakat, manusia belajar mengenal dan mengembangkan kebudayaannya. Pengetahuan yang diperolehnya adalah dari pengalaman-pengalamannya dalam kehidupan sosial dan dari berbagai petunjuk serta pengajaran yang diperolehnya melalui pendidikan sekolah yang resmi maupun berbagai pendidikan lainnya yang tidak resmi. Dengan demikian, luasnya cakrawala dari kebudayaan yang dipunyai oleh seseorang tidaklah terlepas dari pengaruh pengalaman-pengalaman yang dipunyainya sebagai warga masyarakatnya, dan tidaklah berbeda jauh dari kebudayaan yang dipunyai oleh para warga masyarakatnya dimana dia hidup kalau pengalaman-pengalaman yang diperolehnya tersebut semata-mata berasal dari interaksi sosial dengan para warga masyarakatnya.
Kebudayaan yang telah menjadi sistem pengetahuannya, secara terus menerus dan setiap saat bila ada rangsangan, digunakan untuk dapat memahami dan menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa, dan benda-benda yang ada dalam lingkungannya sehingga kebudayaan yang dipunyainya itu juga dipunyai oleh para warga masyarakat di mana dia hidup. Karena, dalam kehidupan sosialnya dan dalam kehidupan sosial warga masyarakat tersebut, selalu mewujudkan berbagai kelakuan dan hasil kelakuan yang harus saling mereka pahami agar keteraturan sosial dan kelangsungan hidup mereka sebagai makhluk sosial dapat tetap mereka pertahankan.
Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan manusia untuk membaca dan memahami serta menginterpretasi secara tepat berbagai gejala dan peristiwa yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka. Kesanggupan ini dimungkinkan oleh adanya kebudayaan yang berisikan model-model kognitif yang mempunyai peranan sebagai kerangka pegangan untuk pemahaman. Dan dengan kebudayaan ini, manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan kelakuan tertentu sesuai dengan rangsangan-rangsangan yang ada atau yang sedang dihadapinya. Kebudayaan, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai sebuah resep bagi tukang obat atau apoteker, yang dengan resep ini dia dapat meramu berbagai bahan tertentu menurut aturan-aturan yang berlaku untuk dapat menghasilkan obat yang dimaksud.
Sebagai sebuah resep, kebudayaan menghasilkan kelakuan dan benda-benda kebudayaan tertentu, sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan motivasi yang dipunyai ataupun rangsangan yang dihadapi. Resep-resep yang ada dalam setiap kebudayaan terdiri atas serangkaian petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyeleksi, dan merangkaikan simbol-simbol yang diperlukan, sehingga simbol-simbol yang telah terseleksi itu secara bersama-sama dan diatur sedemikian rupa diwujudkan dalam bentuk kelakuan atau benda-benda kebudayaan sebageimana diinginkan$oleh pelakunya. Di samping itu, dalam setiap kebudayaan juga terdapat resep-resep yang antara lain berisikan pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai sesuatu dengan sebaik-baiknya, berbagai ukuran untuk menilai berbagai tujuan hidup dan menentukan mana yang terlebih penting, berbagai cara untuk mengidentifikasi adanya bahaya-bahaya yang mengancam dan asalnya, serta bagaimana mengatasinya (Spradley, 1972).
Dalam pengalaman dan proses belajar manusia, sesungguhnya dia memperoleh serangkaian pengetahuan mengenai simbol-simbol. Simbol adalah segala sesuatu (benda, peristiwa, kelakuan atau tindakan manusia, ucapan) yang telah ditempeli sesuatu arti tertentu menurut kebudayaan yang bersangkutan. Simbol adalah komponen utama perwujudan kebudayaan karena setiap hal yang dilihat dan dialami oleh manusia itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian simbol-simbol yang dimengerti oleh manusia. Sehingga Geertz (1966) menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem pengetahuan yang mengorganisasi simbol-simbol. Dengan adanya simbol-simbol ini kebudayaan dapat dikembangkan karena sesuatu peristiwa atau benda dapat dipahami oleh sesama warga masyarakat hanya dengan menggunakan satu istilah saja. Misalnya: meja. Setiap orang Indonesia yang dapat berbahasa Indonesia mengetahui apa yang dinamakan meja, sehingga tidak perlu harus menyebuntukannya sebagai berikut: sebuah benda terbuat dari kayu atau besi, ada kakinya yang menyangga kayu atau besi atau plastik atau marmer yang datar dan yang bentuknya bisa persegi empat, persegi panjang, bulat, bulat panjang, yang digunakan orang untuk tempat menaruh makanan atau tempat menulis. Mungkin yang diajak bicara malah tidak mengerti, sehingga ditanyakan kayu itu apa? pohon itu apa?, dan seterusnya.
Dalam setiap kebudayaan, simbol-simbol yang ada itu cenderung untuk dibuat atau dimengerti oleh para warganya berdasarkan atas konsep-konsep yang mempunyai arti yang tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol-simbol, seseorang biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturan-aturan untuk membentuk, mengkombinasikan bermacam-macam simbol, dan menginterpretasikan simbol-simbol yang dihadapi atau yang merangsangnya. Kalau serangkaian simbol-simbol itu dilihat sebagai bahasa, maka pengetahuan ini adalah tata bahasanya. Dalam antropologi budaya, pengetahuan ini dinamakan kode kebudayaan.
Dalam uraian ini pengetahuan seseorang mengenai kebudayaannya nampaknya terbuka dan orang yang bersangkutan tahu kode-kode kebudayaan yang dipunyainya. Sebetulnya tidaklah selalu demikian dalam kenyataannya, karena sesungguhnya pengetahuan kebudayaan itu terselubung. Artinya, manusia yang bersangkutan tahu bagaimana menggunakan tetapi belum tentu dapat menjelaskan hakekat kebudayaannya yang dipunyainya tersebut kepada orang lain. Contoh yang kira-kira sama, dapat diambil dari seseorang Indonesia yang mengatakan: "Saya harus makan". Kalau ditanya mengapa bukan: "Saya makan harus", yang bersangkutan belum tentu akan dapat menjawabnya secara memuaskan kalau dia bukan seorang ahli linguistik. Kalau ditanyakan kepada seorang penduduk desa: "Mengapa penduduk desa tidak mau buang air di kakus, yang bahkan sudah di-inpres-kan, tetapi lebih senang untuk buang air di sungai atau di galengan-galengan sawah?" Jawabnya: "Sudah naluri" (dari catatan pengalaman saya sendiri). Jawabnya mungkin ada dalam kebudayaan orang desa di Jawa itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan fisiknya - khususnya dengan sawah dan kesuburan tanamannya. Atau mungkin juga karena alasan kemudahan atau praktis, dilihat dari perspektif pelakunya.
Gambar 5 :
+--------------------------+
¦KEBUDAYAAN: ¦ +-------------+
¦Resep-resep ------+ ¦---- +-------------+ +------+ +-----------+ ¦PENGALAMAN ¦
¦Petunjuk-petunjuk ¦ ¦ ¦SIMBOL-SIMBOL¦=¦SISTEM¦=¦UNSUR-UNSUR¦=¦LINGKUNGAN ¦
¦Strategi-strategi +- KODE ¦ +-------------+ +------+ +-----------+ ¦ALAM + FISIK ¦
¦Rencana-rencana + ¦ +-------------+
+--------------------------+
+--------------------------+
¦KEBUDAYAAN: ¦ +-------------+
¦Resep-resep ------+ ¦---- +-------------+ +------+ +-----------+ ¦PENGALAMAN ¦
¦Petunjuk-petunjuk ¦ ¦ ¦SIMBOL-SIMBOL¦=¦SISTEM¦=¦UNSUR-UNSUR¦=¦LINGKUNGAN ¦
¦Strategi-strategi +- KODE ¦ +-------------+ +------+ +-----------+ ¦ALAM + FISIK ¦
¦Rencana-rencana + ¦ +-------------+
+--------------------------+
MANUSIA DAN LINGKUNGANNYA
Salah satu fungsi utama dari kebudayaan bagi manusia adalah dalam proses adaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi adalah suatu proses untuk memenuhi beberapa syarat dasar tertentu untuk dapat tetap menlangsungkan kehidupannya dalam lingkungan tempatnya hidup. Ada tiga macam syarat-syarat dasar yang harus dipenuhi manusia untuk dapat tetap melangsungkan kehidupannya, yaitu: (1) Syarat-syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan, minum, menjaga kestabilan temperatur tubuhnya, menjaga tetap berfungsinya organ-organ tubuh dalam hubungan yang harmonis dan secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainnya); (2) Syarat-syarat kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan-perasaan takut, keterkucilan, gelisah, dan berbagai masalah kejiwaan lainnya); (3) Syarat-syarat dasar sosial (membutuhkan berhubungan dengan orang lain untuk dapat melangsungkan keturunan, untuk tidak merasa terrkucil, untuk dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, dan sebagainya).
Dalam usaha pemenuhan tiga macam syarat dasar yang harus dipenuhi oleh manusia untuk dapat tetap melangsungkan kehidupannya, manusia menggunakan kebudayaan yang dipunyai sebagai kerangka sandarannya. Hal ini yang membedakan dengan hewan, karena hewan melakukan adaptasi ini dengan perlengkapan yang telah dipunyainya dalam sifat-sifat biologi dan genetiknya.
Setiap manusia hidup dalam suatu lingkungan alam dan fisik yang dalam batas-batas tertentu memungkinkan bagi kelangsungan hidupnya. Lingkungan alam dan fisik ini, berikut unsur-unsur yang ada di dalamnya merupakan sesuatu yang nyata ada yang dapat dirasakan oleh pancaindra manusia. Hutan dan pepohonanya; sungai dengan tebing-tebing dan airnya mengalir serta batu-batunya; sawah dengan padi, galengan-galengan yang ditumbuhi rerumputan dan bunga-bungaan yang beraneka ragam baunya; adalah hal-hal yang nyata ada dan tidak bisa lain dari pada keadaannya.
Tetapi manusia dengan kebudayaannya melihat lingkungan alam dan fisik dengan menggunakan kaca mata kebudayaannya sehingga mereka yang mempunyai kebudayaan yang berbeda, akan melihat, menginterpretasi, dan merasakan lingkunagan alam dan fisik tersebut secara berbeda-beda. Seorang turis dari kota Jakarta yang pergi berlibur di sebuah villa di Cipanas, misalnya, akan melihat hamparan gunung dengan hawanya yang sejuk dan suasananya yang tenang yang diselingi oleh bunyi kokok ayam dan margasatwa lainnya, melihat hamparan sawah yang bertingkat-tingkat yang warnanya kuning dan hijau disana-sini bergelombang-gelombang ditiup angin, dan di antara hamparan sawah tersebut air yang jernih gemericik melalui sawah-sawah dan pulau-pulau pepohonan yang merupakan rumah-rumah penduduk. Sang turis akan merasa nyaman dan tentram hatinya, dan yang dilihatnya hanyalah keindahan dari pemandangan di hadapan matanya saja. Mungkin dia akan berkata, sebagaimana banyak orang kota yang mengutarakan impiannya: "Desa adalah tempat yang "tata tentrem kerta raharja".
Tetapi si petani yang menggarap sawahnya yang kebetulan paspasan luasnya, tidak akan memikirkan keindahan sebagaimana dirasakan oleh sang turis tersebut. Dia melihat sawah sebagai tempat bergantung bagi kelanjutan kehidupannya dan keluarganya. Yang dipikirkan adalah bagaimana mengolah sawah dengan sebaik-baiknya sehingga padinya dapat tumbuh dengan baik. Dia memikirkan bagaimana supaya padinya tidak diserang oleh hama wereng, ulat serdadu, tikus, burung. Berapa hasil tuaiannya, setelah dipotong untuk biaya menuai. Dari hasil tuaiannya berapa yang harus dibayarkan untuk membayar hutang BIMAS, berapa besar yang harus dibayarkan untuk membayar hutang-hutangnya, untuk membayar macam sumbangan wajib sebagai warga masyarakat, berapa banyaknya padi yang tersisa untuk dimakan sampai musim panen berikut setelah dikurangi untuk benih dan untuk membiayai bermacam-macam upacara yang harus dilakukannya. Si petani melihat sawah dan lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya, dan hidupnya sendiri merupakan bagian dari kehidupan sawah dan lingkungan alam dan fisiknya.
Contoh yang lain lagi, sebagaimana terdapat dalam harian Kompas tertanggal 31 Januari 1980, penduduk Riau di hulu sungai Rokan melihat hutan sebagai: (a) hutan biasa dan, (b) hutan rimba belantara. Hutan rimba belantara adalah hutan yang pohon-pohonan besar-besar dan tinggi-tinggi, orang yang masuk ke dalam hutan tersebut tidak bisa keluar lagi karena hutan tersebut dihuni oleh makhluk-makhluk halus. Tetapi bagi pengusaha asing pemegang HPH, hutan rimba belantara ini adalah sumber rejeki yang berlimpah- limpah besarnya dan patut dibabat untuk diambil kayu-kayunya.
Kebudayaan bukan hanya menentukan bagaimana sesuatu lingkungan alam dan fisik itu dilihat dan difahami, tetapi juga menjadi kerangka landasan bagi manusia dalam menggolong-golongkan unsur- unsur yang ada di dalamnya, sebagaimana contoh penggolongan hutan oleh Orang Riau. Penggolongan ini bisa berbeda dari satau sama sekali tidak diketahui oleh orang-orang yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Misalnya penggolongan tanah menjadi tanah pekarangan, tanah tegalan, dan tanah sawah oleh Orang Jawa belum tentu diketahui oleh Orang Dani, yang tinggal di pegunungan Jaya Wijaya, serta berbeda dengan cara penggolongan mereka mengenai tanah.
Lebih lanjut, penggolongan atas tanah pada Orang Jawa tersebut berkaitan dengan sistem penggolongan jenis-jenis tanaman dan menurut musim-musim tertentu tumbuhnya jenis-jenis tanaman tersebut. Penggolongan jenis-jenis tanah dan tanaman berkaitan dengan penggolongan jenis-jenis peralatan yang digunakan untuk mengolah tanah, menanam, memelihara tanaman, memetik hasil tanaman, mengangkut hasil tanaman dari tempat ditanam ke rumah. Berikut ini adalah contoh garis besar penggolongan tanah dan penggunaannya pada Orang Jawa.
----------------------------------------------------------------
tanah tanaman musim hujan musim kemarau peralatan
mengolah
tanah
------------------------------------------------------------
peka- buah- buah-buahan buah-buahan cangkul
rangan buahan palawija palawija
palawija
------------------------------------------------------------
tegalan palawija palawija palawija cangkul
------------------------------------------------------------
TANAH
sawah padi padi padi bajak garu
irigasi palawija palawija cangkul
--------------------------------------------------
sawah padi padi palawija cangkul
tadah palawija
hujan
-----------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------
tanah tanaman musim hujan musim kemarau peralatan
mengolah
tanah
------------------------------------------------------------
peka- buah- buah-buahan buah-buahan cangkul
rangan buahan palawija palawija
palawija
------------------------------------------------------------
tegalan palawija palawija palawija cangkul
------------------------------------------------------------
TANAH
sawah padi padi padi bajak garu
irigasi palawija palawija cangkul
--------------------------------------------------
sawah padi padi palawija cangkul
tadah palawija
hujan
-----------------------------------------------------------------
Sistem penggolongan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan yang lebih kecil lagi dari sesuatu unsur lingkungan alam dan fisik tidaklah berlaku hanya atas unsur tersebut saja. Tetapi juga berlaku atas unsur-unsur alam dan fisik lainnya - keseluruhannya sebagaimana tercakup dalam kebudayaannya, dan berkait-kaitan dengan sistem penggolongan yang berlaku bagi sistem peralatan dan tindakan manusia dalam rangka penggunaannya bagi usaha untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya. Lebih lanjut, sistem penggolongan ini juga berlaku dan saling berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam kebudayaan, yaitu: sistem ekonomi, sistem politik, struktur sosial, sistem agama, bahasa dan komunikasi. Sehingga secara keseluruhan, manusia kebudayaan, dan lingkungannya merupakan suatu kesatuan sistem yang berada dalam hubungan saling pengaruh-mempengaruhi.
Karena itu tidaklah mengherankan kalau sesuatu alat, kapak besi misalnya yang dipunyai oleh seorang warga dari suku Dani di Irian Jaya, bukan semata-mata mempunyai arti dalam hal kegunaannya untuk sebagai alat senjata untuk menebang kayu tetapi juga sebagai simbol status bagi yang mempunyainya. Hal sama, sebenarnya juga terjadi dalam masyarakat pedesaan di Indonesia dewasa ini dimana televisi bukan hanya sebagai alat hiburan atau alat untuk dapat memperoleh informasi secara audio-visual tetapi juga sebagai simbol status bagi pemiliknya.
Di antara aspek-aspek kebudayaan tersebut, sistem ekonomi dan teknologi (yaitu pengetahuan mengenai membuat dan menggunakan peralatan) adalah menjadi tonggak utama yang menentukan corak dan tingkat hubungan antara manusia dengan lingkungannya dan turut menentukan tingkat ketergantungan manusia terhadap lingkungannya. Tingkat hubungan manusia dengan lingkungannya turut menentukan tingkat kualitas kesejahteraan hidup dan kondisi lingkungan tersebut, dan hal ini berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan dari para warga masyarakat tersebut.
Dalam masyarakat-masyarakat primitif, yaitu dengan sistem teknologi dan ekonomi yang rendah dan terbatas untuk keperluan subsistensi, ekuilibrium yang mencakup unsur-unsur manusia, kebudayaan, dan lingkungannya dapat tetap dipertahankan. Karena: (1) masyarakatnya bersifat homogen dan interaksi sosial yang terwujud terbatas pada warga masyarakat yang bersangkutan dan berlaku secara menyeluruh karena populasi yang terbatas, sehingga pengetahuan kebudayaan para warga masyarakat tersebut relatif sama dan totalitas kebudayaannya serta tradisi yang ada dapat dipertahankan; (2) jumlah penduduk relatif stabil, dalam jangka waktu yang cukup lama, karena berbagai penyakit infeksi dan epidemi yang menyerang secara berkala, yang belum dapat diatasi dengan tingkat teknologi yang mereka punyai; (3) keadaan lingkungan alam dan fisik relatif stabil, dalam jangka waktu yang cukup lama, karena eksploitasi atasnya masih terbatas hanya untuk kepentingan subsistensi dan untuk populasi yang terbatas dan juga karena tingkat teknologi yang rendah tidak memungkinkan dilakukannya eksploitasi atas sumber-sumber alam secara besar-besaran; (4) ada suatu mekanisme dalam kebudayaan orang primitif yang menahan dilakukannya eksploitasi alam secara besar-besaran, yang mekanisme ini terselimuti oleh berbagai pantangan dengan sanksi-sanksi moral dan keagamaan, sehingga keadaan lingkungan alam dan fisik relatif stabil dalam suatu jangka waktu yang cukup lama.
Dalam masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan kebudayaan yang berlaku secara besar-besaran dan cepat, hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan fisiknya menjadi lebih intensif sehingga lingkungan sebagai suatu sistem terganggu keseimbangannya. Hal ini dapat mungkin terjadi karena: (1) penekanan yang ada dalam kebudayaan tersebut adalah pada usaha untuk menaikkan tingkat kesejahteraan hidup baik secara kualitas maupun secara kuantitas, yang mempunyai efek sampingan kepada berkembangnya sifat rakus untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungannya semaksimal mungkin. Kerakusan dapat berkembang karena kebudayaan yang dipunyai oleh para warga masyarakat sebagai suatu kesatuan sudah terpecah-belah dalam hal mana unsur mekanisme kontrol hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang terdapat secara terselubung dalam kebudayaan menjadi tidak berlaku lagi, khususnya mekanisme kontrol yang mempunyai sanksi moral dan keagamaan; (2) penekanan pada hal-hal yang rasional amat dilebih-lebihkan, yaitu hubungan sebab-akibat antara gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya secara obyektif dan empiris, yang membawa akibat sampingan bahwa tempat-tempat angker dan upacara-upacara berkenaan dengan kepercayaan akan adanya makhluk-makhluk gaib di sawah, di hutan, di tempat-tempat tertentu, menjadi tidak ada lagi. Ketiadaan tempat-tempat tersebut dianggap sebagai tahyul - kepercayaan dari orang bodoh, atau juga dianggap sebagai menduakan Tuhan bagi penganut agama-agama besar yang berusaha untuk memumikan ajaran agamanya. Padahal, secara tidak langsung adanya kepercayaan tersebut merupakan mekanisme kontrol yang terselubung dalam kebudayaannya untuk manusia tidak menghabiskan sama sekali sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungannya supaya keseimbangan lingkungan tersebut dapat dipertahankan; (3) kewibawaan makhluk halus yang menghuni tempat-tempat angker tersebut dalam pengamatan manusia yang bersangkutan ternyata tidak dapat dipertahankan dalam melawan teknologi modern. Hutan rimba belantara yang penuh dengan berbagai makhluk halus yang menunggunya dan yang siap untuk menghancurkan manusia yang merusaknya ternyata tidak dapat melawan traktor-traktor besar dan berbagai mesin yang membabatnya. Hilanglah sudah kekuasaan para makhluk halus tersebut dalam memberikan rasa takut kepada manusia untuk merusak alam lingkungannya.
P E N U T U P
Yang telah diuraikan dalam tulisan ini adalah peranan kebudayaan dalam menjembatani hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan fisiknya. Dalam proses ini peranan kebudayaan amat menentukan tingkat kesanggupan adaptasi manusia, dan dalam meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya. Dalam uraian ini faktor-faktor lingkungan dan kebudayaan dilihat sebagai suatu bagian dari suatu sistem yang satu dengan yang lain saling berkaitan dan saling pengaruh-mempengaruhi, sejalan dengan pendekatan yang dilakukan oleh Geertz (1968:9-10) dalam uraiannya mengenai kebudayaan sawah dari petani Jawa.
Dalam uraian ini juga diperlihatkan bahwa lingkungan alam dan fisik tidaklah dapat dilihat sebagai suatu benda alamiah oleh para warga masyarakat yang hidup di dalamnya, tetapi sebagai suatu hasil kebudayaan; sebagaimana dikemukakan oleh Edmund Leach (1965: 25, 37-38), sebagai berikut:
"The enviroment is not a natural thing; it is a set of interrelated percepts, a product of culture. What this enviroment is, is not discoverable objectively; it is a matter of perception. The relation between a society and its enviroment can be understood only when we see how the enviroment is organized in terms of the verbal categories of those who use it"
Sebagai akhir kata, mungkin ada baiknya juga kalau pernyataan Leach tersebut di atas kita kaji dalam kaitannya dengan beberapa kegagalan kebijaksanaan kelestarian lingkungan yang digariskan oleh pemerintah. Baik yang berkenaan dengan masalah hutan sampai dengan masalah dampak industri yang pada masa akhir-akhir ini diberitakan di berbagai surat kabar di Indonesia akibat-akibat yang sampingannya telah dirasakan oleh para warga masyarakat setempat. Pengkajian mungkin akan lebih membawa hasil kalau sekiranya melihat perobahan dalam lingkungan, yang akan membawa hasil yang cuku mengerikan dalam jangka panjang bagi kehidupan manusia Indonesia khususnya, dengan melihatnya sebagai hasil dari perobahan kebudayaan yang sedang dengan cepat dan secara besar-besaran dialami oleh Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Forde, C.D.
1963 Habitat, Economy and Society, New York: Dutton.
Geertz, Clifford
1966 "Religion as A Cultural System", dalam Anthropological Approaches to the Study of Religion, (editor oleh: Michael Banton), London: Tavistock, pp.85-126.
1968 Agricultural Involution, Berkeley: University of California Press.
1973a "The Impact of the Concept of Culture on the Consept of Man", dalam The Interpretation of Culture: Selected Essays, (oleh Clifford Geertz), New York: Basic Books, pp.126-141.
Kessing, F.M. & R.M. Kessing
1971 New Perspective in Cultural Anthropology, Chicago: Holt, Rinehart, and Winston.
Leach, E.R.
1965 Culture and Social Cohesion: An Anthropologist's View, dalam Science and Culture (editor oleh: Gerald Holton), Boston: Houghton Miffin.
Spradley, J.P.
1972 Foundations of Cultural Knowlegde, dalam Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans (editor oleh: James P. Spradley), San Francisco: Chandler, pp.2-33.
Tax, S.
1953 An Appraisal of Anthropology Today, Chicago: University of Chicago Press.
*) Makalah disampaikan dalam Seminar Manusia Dalam Keserasian Lingkungannya, oleh Pusat Studi Lingkungan Universitas Indonesia dan Departemen Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup RI, Jakarta, 7 Februari 1980.
No comments:
Post a Comment