PEMBANGUNAN UNTUK SIAPA
Parsudi Suparlan
Universitas Indonesia
Salah satu tujuan utama pembentukan pemerintahan negara Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 adalah:
“ …… untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …… dst”.
Dengan jelas amanat itu menyatakan tanggung jawab pemerintah bukan sekedar memberikan perlindungan fisik terhadap seluruh warga negaranya, melainkan juga perlindungan non-fisik dengan memajukan kesejahteraan mereka dalam arti luas.
Sesungguhnya amanat tersebut bukan tanpa alasan, kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu terbentuk sebagai perwujudan tekad bersama segenap penduduk di kepulauan Nusantara atau bekas jajahan Hindia Belanda yang semula hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang mandiri dengan aneka ragam kebudayaan Indonesia mereka. Kenyataan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia itu seringkali diabaikan. Walaupun masyarakat dengan bangga orang mengucapkan semboyan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika, dalam kenyataan kebhinnekaan itu seringkali dilupakan kalau tidak tergusur oleh ketunggalan yang dipaksakan.
Sebagaimana kenyataan kemajemukan mesyarakat Indonesia itu tidak hanya terwujud dalam berbagai struktur sosial, melainkan juga dalam keanekaragaman kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakat kepulauan sebagai perwujudan adaptasi mereka terhadap lingkungannya secara aktif. Oleh karena itulah keanekaragaman kebudayaan yang mereka kembangkan itu tidak hanya bersigat mendatar yang mencerminkan pola-pola adaptasi setempat yang berbeda, melainkan juga bersifat tegak lurus karena sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan bangsa yang dirintis sejak awal kebangkitan kebangsaan.
Sungguhpun semangat kebangsaan telah ditanamkan oleh para pelopor jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, namun dalam kenyataan tidaklah mudah untuk mempersatukan mesyarakatmajemuk yang mengembangkan aneka ragam kebudayaan itu menjadi satu bangsa yang besar. Lebih dari 25 tahun pertama sejak kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami pergolakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, yang oleh Geertz (1965) disebut sebagai “Integrative revolution”.
Sesungguhpun banyak kendala yang menghambat pembangunan bangsa yang baru merdeka, sekalipun ia merupakan cita-cita yang melandasi perjuangan kemerdekaan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Harris (1964), kebanyakan negara yang baru merdeka sejak berakhirnya perang dunia yang lalu menghadapi berbagai persoalan dalam membangun bangsanya. Mereka harus menghadapi pergolakan yang timbul dalam perjuangan untuk mengembangkan kesetaraan dengan negara-negara lain. Pergolakan nasional yang dinamakan oleh Harris sebagai Revolution of Equality atau revolusi kesetaraan meliputi: Pertama, perjuangan kemerdekaan penuh (total independence); kedua, pengembangan administrasi pemerintahan (administrative equality); ketiga, perjuangan kesetaraan budaya (cultural equality).
“ …… untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …… dst”.
Dengan jelas amanat itu menyatakan tanggung jawab pemerintah bukan sekedar memberikan perlindungan fisik terhadap seluruh warga negaranya, melainkan juga perlindungan non-fisik dengan memajukan kesejahteraan mereka dalam arti luas.
Sesungguhnya amanat tersebut bukan tanpa alasan, kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu terbentuk sebagai perwujudan tekad bersama segenap penduduk di kepulauan Nusantara atau bekas jajahan Hindia Belanda yang semula hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang mandiri dengan aneka ragam kebudayaan Indonesia mereka. Kenyataan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia itu seringkali diabaikan. Walaupun masyarakat dengan bangga orang mengucapkan semboyan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika, dalam kenyataan kebhinnekaan itu seringkali dilupakan kalau tidak tergusur oleh ketunggalan yang dipaksakan.
Sebagaimana kenyataan kemajemukan mesyarakat Indonesia itu tidak hanya terwujud dalam berbagai struktur sosial, melainkan juga dalam keanekaragaman kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakat kepulauan sebagai perwujudan adaptasi mereka terhadap lingkungannya secara aktif. Oleh karena itulah keanekaragaman kebudayaan yang mereka kembangkan itu tidak hanya bersigat mendatar yang mencerminkan pola-pola adaptasi setempat yang berbeda, melainkan juga bersifat tegak lurus karena sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan bangsa yang dirintis sejak awal kebangkitan kebangsaan.
Sungguhpun semangat kebangsaan telah ditanamkan oleh para pelopor jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, namun dalam kenyataan tidaklah mudah untuk mempersatukan mesyarakatmajemuk yang mengembangkan aneka ragam kebudayaan itu menjadi satu bangsa yang besar. Lebih dari 25 tahun pertama sejak kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami pergolakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, yang oleh Geertz (1965) disebut sebagai “Integrative revolution”.
Sesungguhpun banyak kendala yang menghambat pembangunan bangsa yang baru merdeka, sekalipun ia merupakan cita-cita yang melandasi perjuangan kemerdekaan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Harris (1964), kebanyakan negara yang baru merdeka sejak berakhirnya perang dunia yang lalu menghadapi berbagai persoalan dalam membangun bangsanya. Mereka harus menghadapi pergolakan yang timbul dalam perjuangan untuk mengembangkan kesetaraan dengan negara-negara lain. Pergolakan nasional yang dinamakan oleh Harris sebagai Revolution of Equality atau revolusi kesetaraan meliputi: Pertama, perjuangan kemerdekaan penuh (total independence); kedua, pengembangan administrasi pemerintahan (administrative equality); ketiga, perjuangan kesetaraan budaya (cultural equality).
Kemerdekaan sepenuhnya
Sesungguhnya, keutuhan wilayah negara dan kedaulatan suatu bangsa itu sulit dipertahankan kalau masyarakat bangsa itu sendiri tidak mampu membebaskan diri atau sekurang-kurangnya memperkecil pengaruh kekuasaan asing sejauh mengkin. Perjuangan untuk membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan asing itu terasa lebih berat bagi negara yang baru merdeka dan masyarakatnya majemuk seperti Indonesia. Kebanyakan bekas negara kolonial tidak rela melepaskan pengaruhnya terhadap negara bekas jajahannya. Dengan berbagai cara, mereka berusaha mengikat kesetiaan bekas negara jajahan dalam berbagai bentuk kespakatan, seperti program bantuan pembangunan, kerjasama ekonomi dan pemasaran bersama maupun organisasi persemakmuran. Dengan demikian mereka dapat mempertahankan kepentingan mereka, seperti jaminan sumber bahan baku bagi industrinya maupun pangsa pasar yang potensial. Sebaliknya ikatan nyata maupun terselubung itu dapat menghambat pembangunan bangsa-bangsa yang baru merdeka, karena mereka tidak bebas dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan yang hendak diselenggarakan. Bahkan ada kecenderungan bahwa berbagai bantuan yang diberikan oleh bekas negara kolonial itu justru memperpanjang ketergantungan mereka terhadap kekuasaan asing. Karena itulah mereka harus membebaskan diri sepenuhnya dari segala bentuk pengaruh kekuasaan asing untuk menegaskan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka.
Perjuangan itu tidak mudah, terutama di negara yang masyarakat majemuk dengan aneka ragam latar belakang kebudayaannya seperti Indonesia. Sejarah telah membuktikan betapa berbagai negara boneka dibentuk menjelang penyerahan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia oleh pihak Belanda dengan tujuan untuk mempertahankan pengaruhnya. Pergolakan sosial berlangsung sejak penyerahan kedaulatan bangsa dan negara oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menentukan hari depan dan membangun bangsa.
Pembangunan administrasi pemerintahan
Perjuangan yang tidak kalah beratnya adalah mengembangkan administrasi pemerintahan yang menjamin pelayanan umum dan berlaku di seluruh tanah air. Pembangunan administrasi pemerintahan untuk menunjukan kemampuan bangsa mengatur dirinya tanpa campur tangan kekuasaan asing itu tidak mungkin ditunda-tunda. Namun dalam kenyataan banyak kendala yang harus dihadapi. Disamping kurangnya tenaga kerja yang terampil dan ahli untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan yang sehat, banyak peraturan dan perundangan yang harus dibuat untuk menggantikan berbagai peraturan dan perundangan kolonial. Belum lagi terhitung sistem pemerintahan apa yang hendak diterapkan.
Sesungguhnya untuk menghasilkan tenaga trampil dan ahli dalam administrasi pemerintahan tidaklah terlalu sulit. Akan tetapi sebagaimana halnya yang terjadi di berbagai negara yang berkembang, justru pembinaan sikap mental sumberdaya manusia sebagai bagian dari mesin birokrasi sehat merupakan hambatan utama. Banyak di antara mereka yang berhasil memangku jabatan dalam administrasi pemerintahan yang mengidap sikap mental administrator kolonial (colonial administrator mentality) yang beranggapan bahwa masyarakat masih bodoh dan terkebelakang. Oleh karena itu mereka seringkali bukannya melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai abdi masyarakat yang baik, melainkan justru sebaliknya memperlakukan masyarakat sebagai bawahan (subordinates) yang harus dibina dan dibimbing selalu. Hal ini bertentangan dengan prinsip pengembangan pemerintahan nasional yang seharusnya juga memperjuangkan kesetaraan kebudayaan dalam pergaulan antar bangsa. Pembinaan dan bimbingan yang meperlakukan masyarakat seolaholah masih terkebelakang dan perlu pimpinan itu, tanpa disadari telah mematikan kreativitas pembaharuan yang justru diperlukan untuk pengembangan kebudayaan.
Pembangunan kebudayaan
Sementara itu untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan (cultural equality) dalam pergaulan antar bangsa, pengembangan kebudayaan sebagai lambang kesetaraan tidak boleh diabaikan oleh negara yang baru merdeka. Pengembangan kebudayaan sebagai lambang kesetaraan itu sama pentingnya dengan kemerdekaan penuh dan tertibnya administrasi pemerintahan yang diperlukan untuk mempertahankan keutuhan wilayah negara dan kedaulatan bangsa. Oleh karena itu pembangunan kebudayaan nasional bagi Indonesia tidak mungkin ditunda-tunda, lebih-lebih kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu majemuk masyarakatnya dan beranekaragam kebudayaannya.
Kebutuhan akan kebudayaan nasional sebagai kerangka acuan dalam bermasyarakat dan berbangsa secara nasional itu disadari sepenuhnya oleh para pendiri negara kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercermin dalam amanat UUD 1945, khususnya pasal 32 yang berbunyi “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Akan tetapi kerena besarnya semangat kebangsaan pada awal kemerdekaan, dalam mengembangkan kebudayaan nasional orang menabaikan keberadaan dan fungsi kebudayaan-kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk. Kekhilafan itulah yang kemudian menimbulkan berbagai masalah sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dalam pembangunan bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengakuan kesetaraan dalam pergaulan antar bangsa.
PEMBANGUNAN NASIONAL
Perjuangan bangsa untuk mencapai kesetaraan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dalam masyarakat yang majemuk dengan kebudayaannya yang beranekaragam itu tidaklah mudah. Ia harus dilakukan serentak dengan melibatkan segenap rakyat untuk mengambil bagian secara aktif. Oleh karena itu pembangunan semesata di masa pemerintahan Orde Lama maupun pembangunan nasional di masa Orde Baru merupakan jawaban yang tepat. Akan tetapi kedua kebijaksanaan pembangunan itu tidak memperhatikan faktor dominan sosial dan kebudayaan masyarakat majemuk Indonesia. Kebijaksanaan pembangunan semesta berencana, kerena situasi politik dunia, lebih menitik beratkan pada ekonomi. Kedua pembangunan itu nampaknya kurang memperhatikan faktor sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Akibatnya, kedua pembangunan itu tidak berhasil memicu sebagian besar penduduk untuk mengambil bagian secara aktif. Karenanya bukan hanya sasaran pembangunan tidak tercapai, melainkan justru semakin menambah parah penderitaan, kalau tidak kemiskinan yang harus ditanggung oleh bangsa Indonesia.
Sesungguhnya pembangunan nasional itu pada hakekatnya merupakan usaha berencana dan berkelanjutan untuk merubah keadaan menuju ke arah perbaikan. Karena itu pembangunan itu, apapun titik beratnya, merupakan suatu kekuatan pembaharuan sosial dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Dengan dimikian, keberhasilan suatu pembangunan itu tidak bebas dari pengaruh sosial dan kebudayaan masyarakat yang menyelenggarakannya.
Pembangunan nasional yang diselenggarakan semasa pemerintahan Orde Baru lebih banyak beranjak pada pengertian yang menyamakannya dengan pertumbuhan ekonomi (economicgrowth) itu sesungguhnya merupakan tanggapan spontan terhadap penderitaan materiil yang dialami oleh bangsa Indonesia akibat kebijaksanaan pembangunan semesta berencana yang lebih mengutamakan pembangunan politik. Dengan pembangunan ekonomi itu diharapkan akan dapat memacu perkembangan di segala kehidupan bangsa. Akan tetapi karena kurangnya perhatian terhadap kesiapan sosial dan kebudayaan masyarakat untuk mengambil bagian secara menguntungkan, pembangunan ekonomi itu tidak dapat berfungsi sebagai motor pembangunan bangsa sebagaimana dicita-citakan.
Sesungguhnya konsep pembangunan yang disamakan dengan pertumbuhan ekonomi itu tidak akan dapat membangkitkan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk berperan aktif, kalau is tidak dipahami, apalagi tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu model pembangunan apapun yang hendak diselenggarakan seharusnya mengacu pada kebudayaan yang dirasakan oleh masyarakat (society oriented definition problem). Dengan demikian, pembangunan itu bukan sekedar mengejar efisiensi dalam kegiatan ekonomi, melainkan harus meliputi upaya untuk menegakan keadilan sosial-budaya masyarakat harus mendapatkan perhatian yang setara dengan usaha pembangunan ekonomi.
Pembangunan Industri
Dihadapkan pada situasi ekonomi yang memburuk selama masa pemerintahan Orde Lama yang berusaha untuk mempertahankan kemandirian politik, pemerintah Orde Baru bertekad untuk segera mengatasi dengan kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang mendahulukan pertumbuhan (economicgrowth) daripada perkembangan (economic development). Dengan pertumbuhan ekonomi yang cupuk tinggi, diharapkan akan banyak tenaga kerja yang selama ini menganggur atau setengah menganggur akan dapat ditampung sehingga akan memacu peningkatan kesejahteraan umum. Untuk keperluan itulah, industrialisasi yang ditopang dengan penerapan teknologi modern menjadi pilihan utama, walaupun pembangunan sektor pertanian tidak diabaikan. Model pembangunan tersebut ternyata berpangkaltolak dari anggapan salah, seolah-olah hanya ada satu jalur menuju “modernisasi”. Dalam kenyataan untuk mencapai kemajuan itu ada banyak lintasan sosial (social path), tergantung pada titik awal kondisi politik, kebudayaan dan lingkungan hidup yang ada. Titk awal pembangunan nasional di Indonesia sudah tidak sama dengan titik-titik awal pembangunan di berbagai negeri asal model pembangunan yang hanya mengejar efisiensi ekonomi.
Dalam kenyataan, pembangunan industri yang mengejar efisiensi dan produktifitas kerja dengan penerapan teknologi modern itu menuntut persyaratan sosial dan budaya yang mendukung peningkatan kegiatan ekonomi yang menyertainya. Persyaratan sosial budaya itu terutama adalah keadilan sosial (socila justice), demokrasi politik (political democracy) dan kebebasan budaya (cultural freedom) untuk mengimbangi masuknya nilai-nilai budaya merkantil, materialistik, dan kompetitif dalam perkembangan ekonomi pasar dalam masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Ketiga persyaratan sosial budaya itu terutama diperlukan untuk menciptakan iklim yang mendukung perkembangan persaingan yang sehat dalam penanaman modal yang besar, pengembangan organisasi yang lebih kompleks dan luas jaringannya serta pengerahan tenaga kerja trmapil dan ahli untuk mengendalikan usaha. Sebagaimana terjadi, penanaman modal yang berskala besar itu mempunyai implikasi sosial, politik dan kebudayaan yang tidak mungkin diabaikan dalam perkembangannya.
Modal
Pembangunan ekonomi di Indonesia telah memacu pengusaha untuk meningkatkan eksploitasi sumber daya (exploitative) tanpa mengenal batas waktu maupun lingkungan (expansive) dalam mengejar keuntungan materi secara optimal. Kecenderungan pengurasan sumberdaya secara besar-besaran itu tidak dapat dielakkan, kerena besarnya modal yang ditanamkan dan harus mendatangkan keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Kenyataan tersebut telah memacu persaingan yang tidak berimbang, terutama antara pengusaha besar yang memiliki keunggulan ekonomi, sosial , dan politik, dengan pengusaha kecil dan menengah yang dianggap tidak mampu mengolah sumber daya secara menguntungkan. Tidaklah mengherankan kalau penggusuran oleh pengusaha besar terjadi bukan hanya terhadap pengusaha kecil dan menengah yang dianggap kurang mampu, malainkan juga terhadap penduduk di kawasan yang kaya dengan sumber daya alam maupun di pusat-pusat pertumbuhan.
Ratusan pengusaha batik kecil dan menengah digusur oleh dua perusahaan batik raksasa dengan segala keunggulannya. Sementara itu pengusaha batik kecil dan menengah terpaksa menjadi bagian dari perusahaan raksasa kalau tidak beralih bidang usaha yang masih bebas dari jangkauan belalai gurita yang mencari mangsa. Demikian pula ratusan pengusaha kecil menengah yang menghasilkan mie, tergusur oleh perusahaan raksasa penghasil bahan makanan dari terigu. Dengan alasan demi efisiensi dan produktifitas, pengusaha kecil dan menengah terpaksa bertindak sebagai pengecer atau penjual mie masak. Sedemikian jauh tinggal 80-an pengusaha mie basah (kecil dan menengah) yang bertahan di Jakarta karena mereka telah mempunyai langganan lewat restoran yang dikelola masing-masing. Sungguh pun demikian mereka tidak bebas dari bujuk rayu pengusaha raksasa yang menjanjikan keuntungan materi yang lebih besar. Tidak mustahil mereka itu akan menyerah terhadap rayuan, kecuali mereka yang benar-benar telah mapan, karena kesulitan mendapatkan pinjaman untuk menambah modal dan mendapatkan bahan mentah.
Dengan alasan demi efisiensi dan produktifitas, yang menjadi semboyan pembangunan ekonomi di masa Orde Baru, penduduk perkotaan yang kurang mampu, penduduk pedesaan yang lahannya berpotensi ekonomi tinggi untuk dikembangkan sebagai real-estate maupun industrial-estate maupun penghuni hutan yang kaya raya dengan kayu atau mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai perkebunan, tidak lebih baik nasibnya daripada pengusaha kecil dan menengah yang tidak berdaya. Lingkungan pemukiman yang mempunyai banyak fungsi sosial (social asset) itu hanya dinilai sebagai kekayaan ekonomi (economic asset) yang rendah harganya karena selama ini tidak mendatangkan keuntungan (pajak) bagi pemerintah dialihfungsikan kepada pengusaha besar yang menjanjikan keuntungan materi di atas keuntungan sosial dan ekonomi penduduk.
Masyarakat Indonesia dewasa ini menghadapi tekanan lingkungan ganda akibat pengurasan sumber daya yang menggunakan teknologi modern. Tekanan ganda itu disebabkan upaya penungkatan intensitas pengolahan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah bagi industri dalam negeri maupun untuk memenuhi permintaan pasar internasional demi devisa sebagai pembayar utang. Akibat tekanan lingkungan yang mempercepat penyusutan sumber daya dan mutu lingkungan (environmental scarity) sangat besar dampaknya terhadap kesejahteraan sebagian besar penduduk yang kurang mampu dalam bersaing untuk memperebutkannya.
Organisasi
Sesungguhnya penanaman modal yang besar dalam industrialisasi itu harus dikelola secara intensif agar dapat mendatangkan keuntungan materi secara optimal. Tuntutan industrialisasi itu tidak mudah dipenuhi oleh kebanyakan pengusaha Indonesia yang pada umumnya masih mengandalkan pengelolaan usahanya pada organisasi kekerabatan (intra family organization). Hubungan antar person (interpersonal relation) lebih bermakna dalam mengerjakan seseorang di perusahaaan dari pada keahlian atau keterampilan yang dimiliki seseorang (impersonal relation). Sesungguhnya dengan pengembangan industri yang menuntut penanaman modal yang besar dalam mengejar efisiensi dan produktifitas kerja, akan merangsang pengusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka mengelola usahanya. Akan tetapi karena kurangnya kesiapan sosial dan kebudayaan, justru sebaliknya mereka cenderung mencari jalan pintas. Kenyataan tersebut memperlemah daya saing mereka untuk menghadapi pengusaha asing yang telah mapan. Tidaklah menherankan kalau dalam menghadapi persaingan, kebanyakan pengusaha besar maupun menengah Indonesia cenderung mengembangkan strategi yang tidak sehat (KKN). Akibatnya banyak pengusaha kecil dan menengah yang tersisihkan dalam persaingan yang tidak imbang melawan pengusaha besar dan menengah yang mempunyai kemampuan untuk menggalang kerjasama dengan penguasa dan perbankan.
Tenaga kerja
Untuk mengendalikan teknologi modern diperlukan tenaga kerja terampil dan ahli agar efisiensi dan produktifitas kerja yang optimal dapat tercapai. Kebutuhan akan tenaga kerja terampil dan ahli itu, pada gilirannya akan merangsang penduduk untuk menghargai tinggi pendidikan sekolah sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Kenyataan telah membuktikan betapa keberhasilan pembangunan industri yang mebuka peluang kerja bagi tenaga terdidik dalam memacu penduduk untuk mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah. Dengan demikian mobilitas sosial akan diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan penduduk pada umumnya. Akan tetapi, penerapan teknologi modern dalam industri ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja manusia yang digantrikan dengan tenaga mesin yang dibangkitkan dengan sumber energi fosil. Di samping itu kebanyakan tenaga kerja manusia terdidik belum siap, secara sosial maupun kebudayaan, untuk memangku tugas baru (Herskovitz, 19…). Hasil penelitian Galtung (1976) di beberapa negara Asia dan Afrika menunjukkan bahwa kegagalan pengambilalihan teknologi modern itu bukan karena kurangnya tenaga kerja terampil dan ahli, melainkan karena tidak sesuainya sikap mental mereka menghadapi pekerjaan baru. Kurang sesuainya sikap mental pekerja itu karena pengaruh kebudayaan yang mereka hayati sebagai kerangka acuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan selama ini. Hasil penelitian itu, akhirnya menyimpulkan bahwa kurangnya kesiapan sosial san kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang mengakibatkan kegagalan pangambil alihan teknologi modern secara mulus. Hal yang sama, sesungguhnya dihadapi masyarakat Indonesia dalam pembangunan nasional yang menerapkan teknologi modern tanpa memperhatikan faktor sosial dan kebudayaan dalam masyarakat yang majemuk.
Ahli-ahli menciptakan lapangan kerja baru, pembangunan industri yang ditopang dengan penerapan teknologi modern, justru menghasilkan lebih banyak pengangguran murni maupun terselubung. Penggusuran penduduk pedesaan ataupun perkotaan yang lahannya diperlukan untuk pembangunan, telah memisahkan mereka dari sumber penghidupan yang selama ini mereka tekuni, sementara lapangan kerja baru yang sesuai dengan kemampuan sosial dan kebudayaan mereka sangat terbatas. Kenyataan ini, bersama dengan menyusutnya sumber daya dan mutu lingkungan hidup yang sehat, telah memicu terjadinya keberingasan sosial atau gejala “amuk massa” yang semakin sulit dikendalikan.
Perebutan sumber daya dang lingkungan yang sehat dewasa ini terbatas antara mereka yang mempunyai serba keunggulan dengan yang kurang beruntung (vetical social conflict). Untuk menghimpun kekuatan, mereka cenderung membangkitkan kesetiakawanan sosial dengan mangaktifkan simbol-simbol primordial terutama kesukubangsaan.
Berdasarkan uraian tersebut, timbul pertanyaan: “Pembangunan untuk siapa”, kalau pembangunan itu gagal memicu segenap penduduk untuk mengambil bagian secara menguntungkan?
Kegagalan pembangunan nasional untuk memicu segenap masyarakat mengambil bagian dalam perjuangan untuk mempertahankan keutuhan wilayah negara kesatuan dan kedaulatan bangsa yang merdeka dengan mewujudkan kemerdekaan penuh, pengembangan pemerintahan yang efektif dan kemandirian kebudayaan, kerena dalam perencanaan dan pelaksanaannya tidak memperhatikan kesiapan masyarakat Indonesia yang majemuk dengan keanekaragaman kebudayaannya. Sesungguhnya model pembangunan apapun yang pada hakekatnya merupakan kekuatan pembaharuan menuntut pemahaman kondisi sosial dan kebudayaan masyarakat disamping lingkungan hidupnya. Tuntutan pemahaman sosial dan kebudayaan itu bertambah mendesak, kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu merupakan masyarakat majemuk dengan anekaragam kebudayaan yang dikembangkannya. Kerena itu, selain pilihan model pembangunan, perencanaan dan pelaksanaannya harus memperhatikan minat dan kebutuhan masyarakat (society oriented definition problem), di samping potensi lingkungan hidup yang mereka kuasai.
Berbagai program pembangunan nasional yang telah lalu menunjukkan penyeragaman (single path of development) yang mengutamakan pinsip efisiensi dan produktivitas tanpa memperhatikan minat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat Indonesia yang majemuk dan tersebar di daerah-daerah. Akibatnya dapat disaksikan betapa selama proses pembangunan, kesenjangan kesejahteraan antar daerah semakin meningkat. Tidaklah mengherankan kalau kenyataan tersebut telah menimbulkan kecemburuan sosial yang menjurus ke arah perpecahan. Kesenjangan kesejahteraan itu tidak hanya berlaku antar daerah, melainkan juga intra daerah sehingga memperkuat kecemburuan sosial antara mereka yang diuntungkan oleh pembangunan dengan mereka yang kurang beruntung. Kenyataan tersebut membuktikan betapa pentingnya penegakan keadilan sosial, di samping penataan demokrasi dan kebebasan budaya untuk memberdayakan masyarakat agar dapat mengambil bagian dalam pembangunan secara menguntungkan.
Otonomi daerah, diharapkan dapat memperkecil kesenjangan kesejahteraan umum antar daerah maupun intra daerah, karena keleluasaan untuk memperhatikan minat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat yang akan berpartisipasi. Akan tetapi kalau otonomisasi itu tidak disertai dengan penegakan keadilan sosial, penataan demokrasi politik maupun kebebasan budaya, niscaya akhirnya hanya akan memindahkan kesenjangan yang semakin tajam ke daerah masing-masing. Keleluasaan daerah untuk mengelola potensi sumber daya dan meretribusikannya demi kesejahteraan umum, memerlukan pengenadalian sosial yang pada gilirannya menuntut pemberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu ketiga persyaratan keadilan sosial, demokrasi politik dan kebebasan budaya sangat diperlukan untuk menciptakan iklim yang mendukung pengembangan kreativitas mereka dalam pembangunan daerah masing-masing. Tanpa ketiga persyaratan tersebut, tidak mustahil akan timbul masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik baru, antara lain meningkatnya mobilitas penduduk yang mencari kesejahteraan di daerah yang lebih menjanjikan serta meningkatnya intensitas pengurasan sumber daya secara besar-besaran. Kecenderungan terakhir itu justru telah mulai menunjukkan gejalanya, karena masyarakat dan pemerintah tidak dapat melihat pilihan lain kecuali meningkatkan intensitas pengolahan sumber daya yang mereka kuasai. Persaingan dalam memperebutkan sumber daya dan lingkungan yang semakin menyusut persediaan dan mutunya itu (environmental scarity) itu pada gilirannya akan memicu keberingasan sosial antar daerah yang tidak mudah dikendalikan. Pada gilirannya, otonomisasi pemerintahan tanpa kesiapan itu akan menjadi masalah nasional yang menuntut penanggulangan yang jauh lebih berat daripada meluruskan kembali sistem pemerintahan yang telah ada dengan ketiga persyaratan, yaitu penegakan keadilan sosial, penataan demokrasi dan kebebasan budaya untuk memberdayakan masyarakat Indonesia yang majemuk dengan menghormati keanekaragaman kebudayaan mereka.
No comments:
Post a Comment