Sunday, 6 July 2008

KOTA DAN MASYARAKAT PERKOTAAN

KOTA DAN MASYARAKAT PERKOTAAN
DALAM OTONOMI DAERAH

Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D

Universitas Indonesia


Abstrak/Abstract
Kerancuan makna Otonomi Daerah bagi wilayah kabupaten di Indonesia menimbulkan munculnya isyu yang menggolongkan dan membedakan penduduk asli dari penduduk pendatang. Dampak dari diskriminasi ini mencakup bidang-bidang birokrasi, kehidupan sosial, kebudayaan demokrasi dan HAM, dan pembangunan wilayah. Tulisan ini akan membahas permasalahan tersebut di atas dengan melihat bahwa pemberian otonomi daerah atau desentralisasi tersebut ada dalam batas-batas sistem nasional yang menekankan pentingnya Bhinneka Tunggal Ika, demokrasi, kelestarian lingkungan, dan birokrasi modern untuk meniadakan KKN sesuai cita-cita Reformasi.

Misperception of Regional Autonomy by regency in Indonesia has been generating issues that stratified and make the differences between local and migrant. Impact of this discrimination impedes other aspect such as bureaucrat ion, social life, democracy and human rights, and regional development. This paper will discuss about that issues with focus on the regional autonomy and the decentralization were given in national system boundary in order to keep some valuable values from Unity in Diversity, democracy, sustainable environment, and modern bureaucracy for eliminating KKN to achieve Reform goal.

Kata Kunci: sukubangsa, kesukubangsaan, primordial, patrimonial, birokrasi rasional, multikulturalisme





PENDAHULUAN

Konsekwensi dari diberlakukannya Otonomi
Daerah bagi wilayah kabupaten di Indonesia adalah
kerancuan berpikir mengenai makna otonomi daerah.
Kerancuan tersebut yang nampak menonjol adalah
bahwa melalui otonomi daerah atau desentralisasi
seolah-olah pemerintah telah memberikan kebebasan
seluas-luasnya kepada masyarakat kabupaten dan juga
propinsi untuk menentukan nasib sendiri dan mengatur
kehidupan mereka sendiri terlepas dari sistem nasional
Indonesia atau Negara Republik Indonesia. Sehingga
muncul pertanyaan apakah pemberlakuan otonomi
daerah oleh pemerintah Indonesia kepada kabupatenkabupaten
atau sejumlah propinsi itu sama dengan
pemberian restu untuk melakukan tindakan
separatisme (Morell 2002: 13-24).


Konsekwensi lebih lanjut dari kerancuan berpikir
tersebut nampak secara menonjol berkenaan dengan
munculnya isyu yang menggolongkan dan
membedakan penduduk asli dari penduduk pendatang.
Penduduk asli adalah mereka yang tergolong sebagai
anggota sukubangsa asli setempat sedangkan
penduduk pendatang adalah para pendatang dari
berbagai sukubangsa di luar sukubangsa asli serta
keturunan mereka, baik keturunan sukubangsa
pendatang yang tinggal menetap di wilayah tersebut
ataupun mereka yang merupakan hasil kawin silang
dengan anggota sukubangsa asli setempat (Suparlan
2001: 1-12). Isyu asli dan pendatang muncul dalam
berbagai peristiwa nasional maupun lokal, tetapi tidak
pernah mendapat perhatian yang sungguh-sungguh
dari pemerintah dan media massa, walaupun dampak
dari diskriminasi1ini mencakup bidang-bidang birokrasi,
kehidupan sosial, kebudayaan demokrasi dan HAM,
dan pembangunan wilayah yang bersangkutan.


Tulisan ini akan membahas permasalahan
tersebut di atas dengan melihat bahwa pemberian
otonomi daerah atau desentralisasi tersebut ada dalam
batas-batas sistem nasional yang menekankan
pentingnya Bhinneka Tunggal Ika, demokrasi,
kelestarian lingkungan, dan birokrasi modern untuk
meniadakan KKN sesuai cita-cita Reformasi.


MASYARAKAT INDONESIA YANG MAJEMUK

Dalam berbagai tulisan, antara lain Suparlan
(2000a: 1-13), telah saya tunjukkan bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural society).
Yaitu, sebuah masyarakat negara yang terdiri atas lebih
dari 500 sukubangsa yang dipersatukan oleh sistem
nasional sebagai sebuah bangsa dalam wadah negara
kesatuan Republik Indonesia. Corak dari masyarakat
majemuk ini ditonjolkan sebagai motto dalam lambang
negara Republik Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika,
yang artinya berbeda-beda [sukubangsa] tetapi satu
juga [bangsa Indonesia]. Sukubangsa dan
kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa bukan hanya
pemanis bibir atau lirik lagu-lagu yang dinyanyikan oleh
Rhoma Irama tetapi adalah kenyataan hidup sehari-hari
bagi orang-orang Indonesia. Bangsa Indonesia atau
jatidiri sebagai bangsa Indonesia justru yang pada
masa akhir-akhir ini menjadi samar-samar oleh
berbagai upaya separatisme atau upaya memisahkan
diri dari negara Republik Indonesia, yang telah dan
sedang terjadi di beberapa wilayah propinsi Indonesia.


Upaya-upaya pemisahan diri dari negara
kesatuan Republik Indonesia telah terjadi setelah
kejatuhan pemerintahan presiden Suharto. Upayaupaya
tersebut dapat dilihat sebagai kelanjutan dari
ketidakpuasan dan pemberontakan terselubung kepada
pemerintah Indonesia di bawah presiden Suharto yang
kuat karena bercorak otoriter dan militeristik, yang
meledak dan mencapai kekuatannya pada waktu
pemerintahan presiden Habibie dan Abdurrahman
Wahid setelah kejatuhan pemerintahan presiden
Suharto. Baik secara langsung atau tidak langsung,
salah satu sebab diundangkannya UU No.22 Th.1999
tentang Otonomi Daerah dan UU No.25 Th.1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah dapat dilihat sebagai
upaya untuk meredam keinginan memisahkan diri dari
berbagai daerah di Indonesia.


Dalam perspektif ini maka keberadaan dan
berfungsinya Otonomi Daerah dapat dilihat sebagai
bagian dari beroperasinya sistem nasional atau
pemerintahan Indonesia, dan sebagai kepanjangan
tangan dari pemerintah pusat yang dikelola oleh
masyarakat daerah atau putra daerah. Permasalahan
yang kritikal dalam pengelolaan Otonomi Daerah
adalah konsep masyarakat daerah atau putra daerah
yang dilepaskan begitu saja pendefinisiannya oleh
pemerintah nasional Indonesia kepada umum dan
masyarakat-masyarakat daerah di Indonesia. Dengan
dilepaskannya pendefinisian putra daerah kepada
masyarakat-masyarakat daerah yang bersangkutan,
maka konsep kesukubangsaan yang ada dalam
kehidupan setempat menjadi menonjol karena
fungsinya yang penting dalam perebutan sumberdaya
sosial, budaya, fisik, dan alam di daerah-daerah yang
bersangkutan. Masalah ini tidak pernah terpikirkan oleh
pemerintah dan bilapun terpikirkan maka tidak pernah
dipikirkan pemecahannya untuk mengantisipasi
dampak-dampak yang diakibatkannya yang dapat
merugikan persatuan dan kesatuan, merugikan
terlaksananya kebudayaan demokrasi, dan berbagai
konflik antar-sukubangsa yang menelan korban jiwa
raga serta harta benda yang tidak terhingga besarnya.
Permasalahan ini akan saya bahas secara bertahap
melalui pembahasan-pembahasan mengenai Propinsi
dan Kabupaten dalam sistem nasional, Kota sebagai
pusat pendominasian wilayahnya, Administrasi kota
dan birokrasinya, dan masyarakat kota beserta
masyarakat kabupatennya yang beranekaragam dalam
kesederajatan.


PROPINSI DAN KABUPATEN DALAM ERA
OTONOMI DAERAH

Sesuai dengan UUD 1945, Indonesia sebagai
sebuah negara kesatuan yang mengikuti azas
desentralisasi telah membagi seluruh wilayah Indonesia
ke dalam daerah-daerah yang masing-masing
merupakan administrasi pemerintahan propinsi. Secara
berjenjang masing-masing propinsi terdiri atas
kabupaten dan kota, dan masing-masing kabupaten
dan kota mempunyai sejumlah kecamatan, dan jenjang
terbawah dari administrasi daerah adalah desa atau
kelurahan. Kewenangan administrasi pemerintahan
yang diberikan kepada propinsi tergolong sebagai
desentralisasi atau dekonsentrasi, sedangkan
kewenangan yang diberikan kepada kabupaten atau
kota tergolong sebagai desentralisasi (Kansil dan Kansil
2001: 10). Hampir seluruh wilayah propinsi di Indonesia
dihuni secara heterogen oleh masyarakat-masyarakat
sukubangsa, kecuali propinsi Jawa Tengah dan Bali.


Secara sukubangsa, masyarakat-masyarakat
yang hidup di propinsi-propinsi tersebut mempunyai
corak komposisi yang berbeda-beda. Di propinsi Jawa
Tengah masyarakat sukubangsa Jawa adalah sembilan
puluh sembilan persen dan dominan; hal yang sama
juga menjadi corak propinsi Bali. Sedangkan di
sejumlah propinsi lainnya, yang heterogen masyarakat
sukubangsanya, ada salah satu masyarakat
sukubangsanya yang dominan tetapi bukan yang
mayoritas, seperti yang terdapat di propinsi-propinsi
Kalimantan; sedangkan di Propinsi Sulawesi Utara dan
Gorontalo dan Minangkabau dan di sejumlah propinsi
lainnya masyarakat sukubangsa yang mayoritas di
masing-masing propinsi tersebut adalah juga yang
dominan.


Klaim yang mendasar dan yang utama yang
memberi legitimasi bagi pendominasian sesuatu
masyarakat sukubangsa di sesuatu propinsi dalam
administrasi pemerintahan propinsi adalah autentisitas
atau keaslian sebagai penduduk propinsi setempat,
klaim legitimasi atas tanah-tanah ulayat yang diakui
secara adat, sejarah politik dari masyarakat-masyarakat
sukubangsa setempat dimana ada satu golongan
sukubangsa yang dominan dalam sejarah politik
tersebut. Berdasarkan klaim tersebut maka dibedakan
antara anggota-anggota masyarakat sukubangsa yang
dominan dari yang minoritas (walaupun jumlahnya
mayoritas), dan antara yang asli dari yang pendatang
atau keturunan pendatang. Penggolongan ini dilakukan
untuk menggolongkan hak-hak atas sumberdaya dan
rezeki yang ada dalam wilayah propinsi tersebut,
dimana mereka yang tergolong sebagai minoritas
(seperti orang-orang Sakai, Hutan, Talang Mamak, Apit,
Laut, yang tergolong sebagai masyarakat terasing atau
masyarakat adat di propinsi Riau) atau para pendatang
dan keturunannya didiskriminasi oleh orang-orang
Melayu yang tergolongan dominan. Hal yang sama
juga terjadi di hampir seluruh propinsi di Indonesia,
kecuali di propinsi DKI Jakarta dan di Kotamadya
Tarakan.


Karena itu tidaklah mengherankan bahwa
sampai dengan sekarang ini banyak masyarakatmasyarakat
sukubangsa dalam propinsi yang
didominasi oleh sesuatu masyarakat sukubangsa
menuntut supaya propinsi tersebut dimekarkan menjadi
dua propinsi atau lebih supaya kelompok-kelompok
sukubangsa minoritas tersebut dapat mempunyai
propinsi sendiri terpisah dari propinsi yang sudah ada.
Tujuan utama dari tuntutan untuk mempunyai propinsi
sendiri bagi masyarakat sukubangsa yang
bersangkutan adalah supaya sumber-sumber daya dan
rezeki jatuh ke tangan mereka sebagai sebuah
kelompok atau masyarakat sukubangsa dan tidak jatuh
kepada kelompok atau masyarakat sukubangsa yang
dominan yang membuat mereka itu menjadi minoritas.
Morell (2002: 15) mencatat bahwa ada 17 kabupaten
dan kota dari sejumlah 24 kabupaten di Sulawesi
Selatan yang masing-masing menuntut untuk menjadi
propinsi tersendiri. Seorang sahabat saya dari
Sambas, Kalimantan Barat, mengatakan bahwa pada
saat ini sedang ada tuntutan kepada Depdagri untuk
mengubah status kabupaten Sambas menjadi propinsi
Sambas yang khusus untuk masyarakat sukubangsa
Melayu. Bayangkan! Begitu pentingnya sukubangsa
dan kesukubangsaan dalam otonomi daerah ini.
Sebuah isyu yang dapat diaktifkan untuk memecah
belah negara kesatuan Republik Indonesia.


Dalam zaman pemerintahan Presiden Sukarno
kesukubangsaan sebagai potensi kekuatan politik
pemecah belah kebangsaan dilarang untuk digunakan
dalam partai politik, dalam upayanya untuk membangun
nasionalisme Indonesia. Partai politik sukubangsa
yang terakhir membubarkan diri adalah Partai Daya
Raya pada tahun 1953. Politik presiden Sukarno pada
waktu itu adalah melarang semua kajian atau
pembahasan mengenai sukubangsa dan
kesukubangsaan (Suparlan 1979: 53-55) tetapi
mendukung segala usaha pengungkapan karya-karya
seni sukubangsa dan saling kawin diantara mereka
yang berbeda sukubangsanya dalam upaya melebur
semua sukubangsa yang ada di Indonesia menjadi
sebuah bangsa Indonesia, sebuah politik amalgasi
(amalgation) yang ternyata gagal. Kegagalan politik
amalgasi pada waktu itu disebabkan oleh kurangnya
landasan pemahaman teori mengenai apa itu amalgasi
dan kaitannya dengan konsep sukubangsa dan
kesukubangsaan.


Sukubangsa adalah golongan atau kategori
sosial askriptif yang mengacu pada keturunan dan
tempat asal. Kategori sosial askriptif ini diterima begitu
saja oleh pelaku, tanpa yang bersangkutan dapat
menolaknya, sama halnya dengan kategori sosial
askriptif lainnya yaitu umur dan jenis kelamin atau
gender (Suparlan 2002a). Sebagai golongan sosial
sukubangsa terwujud dalam diri orang-perorang atau
individu dan dalam kelompok (keluarga, komuniti,
masyarakat). Sebuah kelompok sukubangsa hidup
dalam wilayah alam dan fisik yang diklaim sebagai
haknya menurut adat yang berlaku, yang biasanya
dinamakan wilayah hak ulayat dari kelompok
sukubangsa tersebut. Anggota-anggota sukubangsa
dan kelompok-kelompok sukubangsa hidup dari
memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada dalam
wilayah hak ulayat atau lingkungan mereka masingmasing.
Masing-masing kelompok sukubangsa
mengembangkan kebudayaan atau pedoman bagi
kehidupan sesuai dengan lingkungan yang mereka
hadapi dan manfaatkan.


Kebudayaan, sebagai pedoman bagi kehidupan
untuk menghadapi dan memanfaatkan lingkungan
beserta isinya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
hidup mereka sebagai manusia, berisikan
pengetahuan, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai.
Sejak masa kelahiran, anak-anak diajari dan dilatih
mempraktekkan pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai
budayanya, yaitu kebudayaan sukubangsanya. Setiap
anak manusia di bumi ini dijadikan manusia oleh
kebudayaan sukubangsanya, sehingga yang namanya
manusia adalah manusia dengan jatidiri
sukubangsanya atau kesukubangsaannya. Karena itu
kebudayaan sukubangsa dan jatidiri sukubangsa
seringkali digolongkan sebagai bercorak primordial atau
yang utama dan pertama dalam kehidupan manusia.


Orang-orang dari sukubangsa lain akan dilihat
sebagai berbeda karena ciri-ciri fisik, bahasa yang
digunakan, dan tindakan-tindakan yang merupakan
ungkapan-ungkapan kebudayaannya. Dalam
hubungan antar-sukubangsa pengetahuan mengenai
sukubangsa lain akan berupa stereotip atau
pengetahuan yang diyakini kebenarannya tetapi secara
obyektif belum tentu benar yang dijadikan acuan dalam
menghadapi mereka yang tergolong sukubangsa lain,
dan prasangka atau penilaian berdasarkan atas
sangkaan yang belum tentu benar tetapi diyakini
kebenarannya. Adanya stereotip dan prasangka ini
menjadi salah satu faktor utama yang membatasi atau
memisahkan dua kelompok sukubangsa atau lebih,
yang hidup secara bersama dalam sebuah wilayah
administrasi. Stereotip atau prasangka ini memperkuat
kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa dalam
hubungan antar-sukubangsa, yang dengan jelas
memperbedakan antara 'kami' dari 'mereka'.
Perbedaan antara 'kami' dari 'mereka' menghasilkan
kesamaan diantara sesama 'kami', dan kesamaan
diantara 'kami' memudahkan kerjasama dan solidaritas
sosial diantara mereka yang sama sukubangsanya
dalam kompetisi memperebutkan sumber-sumber-daya
dan rezeki. Kondisi seperti inilah yang saya amati
dalam masyarakat-masyarakat daerah yang sekarang
ini hidup dalam suasana administrasi otonomi daerah.
Tanpa disadari muncul jenjang sosial diantara
kelompok-kelompok sukubangsa yang ada setempat,
jenjang sosial ini berkembang dan mantap sebagai
sebuah struktur sosial yang mendefinisikan peranperan
dari mereka yang berbeda sukubangsanya dalam
berbagai interaksi sosial yang berlaku setempat. Dan,
lebih lanjut, muncul dan berkembang stratifikasi sosial
berdasarkan kemampuan ekonomi dari kelompokkelompok
sukubangsa dalam kehidupan masyarakat
setempat.


Proses-proses seperti tersebut di atas juga
berlaku dalam kehidupan masyarakat di wilayahwilayah
kabupaten, yang merupakan satuan-satuan
administrasi di bawah propinsi. Karena, pada masa
sekarang ini wilayah administrasi kabupaten tidak
hanya dihuni oleh sebuah kelompok sukubangsa, tetapi
oleh lebih dari satu sukubangsa. Bahkan daerah
pedesaan yang di masa lampau dihuni secara
homogen oleh sebuah kelompok sukubangsa pada
masa sekarang telah secara heterogen dihuni oleh
sejumlah kelompok sukubangsa. Ini semua disebabkan
oleh berbagai kemudahan komunikasi dan arus
informasi serta kemudahan transportasi dan biayanya
yang relatif terjangkau oleh para pendatang dari
berbagai penjuru tanah air, dan oleh adanya program
transmigrasi dari pemerintah.


Dari konflik antara sukubangsa Madura dan
Melayu dan Dayak di kabupaten Sambas (Suparlan
2000b) konflik-konflik antar-sukubangsa justru bermula
di desa yang kemudian meluas melibatkan desa-desa
lain, yang kemudian berkembang meliputi sebuah
wilayah kecamatan dan meluas melibatkan sejumlah
wilayah kecamatan dalam sebuah wilayah administrasi
kabupaten. Dampak dari konflik-konflik antar
sukubangsa yang terjadi di propinsi Kalimantan Barat,
terutama di kabupaten Sambas adalah bahwa
kabupaten Sambas dimekarkan menjadi kabupaten
Sambas untuk masyarakat sukubangsa Melayu,
kabupaten Bengkayang untuk masyarakat sukubangsa
Dayak. Kota Singkawang yang semula adalah ibukota
kabupaten Sambas, sekarang ini menjadi kotamadya
dengan status otonomi. Penduduk kota Singkawang
yang mayoritas Cina didominasi oleh kelompokkelompok
sukubangsa Melayu yang dalam sejarah kota
Singkawang dan kabupaten Sambas memang
mendominasi kehidupan masyarakat kota tersebut.


KOTA DAN MASYARAKATNYA

Kota adalah sebuah permukiman yang dihuni
secara permanen, yang jelas batas-batas wilayahnya
(Suparlan 1995). Penduduk kota bukan hanya terdiri
atas sebuah kelompok kerabat, klen atau marga, atau
sebuah kelompok sukubangsa yang merupakan
penduduk asli kota setempat. Penduduk kota terdiri
atas keturunan dari penduduk asli setempat dan
penduduk pendatang yang berasal dari berbagai
sukubangsa dan asal daerah di Indonesia beserta
keturunannya, dan penduduk pendatang asal dari
berbagai kebangsaan beserta keturunan mereka.
Semakin besar kotanya semakin beranekaragam asal
sukubangsa dan kebangsaan dari penduduknya,
semakin beraneka-ragam dan kompleks kebudayaan
dari kota tersebut, dan semakin jelas batas-batas kelas
sosial yang membentuk stratifikasi sosial masyarakat
kota tersebut dan semakin memudar berlakunya
jenjang sosial yang berdasarkan atas prestige sosial.


Penduduk kota ditandai oleh jumlahnya yang
besar dan tingkat kepadatannya yang tinggi. Jumlah
penduduk yang besar dapat disebabkan oleh adanya
urbanisasi maupun oleh kelahiran alamiah dari
penduduknya atau oleh kedua sebab tersebut. Kota
dapat menampung jumlah penduduk yang besar karena
perekonomian kota tidak tergantung pada memungut
hasil alam atau mengolah alam yang terbatas
potensinya untuk dieksploitasi, tetapi pada industri dan
pelayanan jasa-jasa. Penduduk kota tidak akan
menganggur selama masih ada kegiatan industri dan
pelayanan jasa-jasa yang memerlukan tenaga mereka.
Karena itu satuan kegiatan ekonomi di daerah
perkotaan berbeda dari satuan kegiatan ekonomi di
daerah pedesaan. Bila di daerah pedesaan satuan
ekonomi ada dalam rumah tangga, maka di daerah
perkotaan satuan ekonomi ada dalam pranata-pranata
(institutions) pelayanan administrasi, sosial, budaya,
ekonomi dan dalam organisasi-organisasi industri dan
bisnis, dan pasar. Sedangkan rumah tangga hanya
berfungsi sebagai satuan konsumen. Sebuah kota
menjadi besar karena adanya dan kompleksnya
pranata-pranata pelayanan, organisasi-organisasi
bisnis, dan pasar. Karena itu di daerah perkotaan,
uang menjadi amat penting dalam kehidupan
warganya. Uang bukan hanya sebagai alat tukar, tetapi
uang juga menjadi kapital, dan bahkan untuk kota besar
uang adalah komoditi. Tanpa adanya uang yang cukup
dan yang lancar peredarannya untuk tukar-menukar
uang, jasa, dan barang, maka kehidupan di daerah
perkotaan tidak mungkin dapat berjalan dan
berkembang, dan tanpa adanya uang yang cukup untuk
pembiayaan berbagai pranata pelayanan dan industri
serta kegiatan bisnis dan pasar maka kota tersebut
akan mengalami kemunduran dan kematiannya, yang
berdampak bukan hanya pada masyarakat dari kota
yang bersangkutan tetapi juga pada kota-kota dan
desa-desa yang ada di sekelilingnya, yang tercakup
dalam wilayah administrasinya.


Karena itu dari satu segi, sebuah kota dilihat
sebagai bagian dari jaringan politik, administrasi,
perdagangan dan bisnis, dan sosial dan budaya
dengan kota-kota lainnya, dan dari segi lain kota dapat
dilihat sebagai pusat pendominasian atas wilayahwilayah
yang ada di sekelilingnya. Pendominasian
secara administratif, ekonomi dan bisnis, sosial, dan
budaya. Sebuah kota, terutama yang berstatus ibukota
propinsi, kabupaten, atau kecamatan, adalah pusat
pendominasian wilayah administrasinya dan karena itu
menjadi orientasi dari wilayah-wilayah yang berada
dibawah administrasi pemerintahannya. Kota yang
karena kegiatan industri dan pelayanan jasa-jasanya
serta pasarnya berkembang dapat mendominasi
wilayah-wilayah di sekelilingnya melampaui batas-batas
wilayah administrasi pemerintahannya. Kota seperti ini
menjadi pusat orientasi dari wilayah-wilayah di
sekelilingnya dalam hal ekonomi dan bisnis, dan dalam
kebijakan politik dan administrasi berkenaan dengan
bisnis. Semakin besar dan maju kota tersebut semakin
besar dan luas pula cakupan wilayah dominasinya.
Contohnya kota Singapura.


Dalam perspektif otonomi daerah, yang
terutama dilihat adalah kota sebagai pusat
pendominasian administratif wilayah administrasinya.
Dalam otonomi daerah yang coraknya menekankan
pentingnya kesukubangsaan, dan kesukubangsaan
yang menekankan pembedaan antara yang asli dengan
yang bukan asli setempat, yang mendiskriminasikan
mereka yang pendatang dari yang asli terhadap akses
pemilikan, penguasaan, dan pendistribusian sumbersumber
daya, masyarakat daerah perkotaan juga
tergolong dalam mereka yang sukubangsa asli dan
mereka yang tergolong sebagai sukubangsa pendatang
atau tidak asli. Dengan demikian, pranata administrasi
pemerintahan wilayah administratif propinsi, kabupaten,
dan kecamatan, akan dikuasai oleh mereka yang
tergolong sebagai sukubangsa asli.


Walaupun dalam petunjuk yang tercakup dalam
UU No.2 Th.1999 dinyatakan bahwa kepala daerah
harus adil, bijaksana, menjunjung azas demokrasi
tetapi primordialisme sukubangsa dan kesukubangsaan
dalam politik administrasi pemerintahan tidak dapat
dihindari, atau si kepala daerah tersebut akan
dikucilkan dari kelompok sukubangsanya dan dicabut
dukungan solidaritas dari kelompok sukubangsanya
yang dominan diwilayah administrasi pemerintahannya.
Sehingga, sebetulnya petunjuk yang normatif tersebut
hanya menjadi petunjuk saja. Karena itu, yang terjadi
di propinsi-propinsi dan di kabupaten-kabupaten adalah
corak pranata-pranata pelayanan administratif,
ekonomi, sosial, dan budaya yang didominasi oleh
kelompok atau kelompok-kelompok sukubangsa asli
setempat. Inilah sebuah bentuk penguasaan monopoli
dan diskriminatif yang memperoleh legitimasi dari
diadakannya kebijakan otonomi daerah. Melalui
legitimasi kekuasaan yang monopolisitik bagi golongan
sukubangsa asli, maka mereka yang tidak asli tersingkir
dari persaingan untuk jabatan adminsitratif. Sedangkan
jabatan-jabatan administratif yang terbatas dan
berharga tersebut secara eksklusif menjadi ajang
persaingan kelompok-kelompok sukubangsa asli yang
ada dalam masyarakat kota yang bersangkutan.


Bila kita melihat kota adalah pusat
pendominasian atas wilayah administrasinya, dan bila
kita secara terbatas melihat pendominasian kota atas
wilayah administrasinya itu adalah pendominasian
secara administrasi pemerintahan, maka dalam
otonomi daerah seperti sekarang ini pendominasian
tersebut adalah pendominasian secara kesukubangsaan
yang primordial atau patrimonial menurut
Max Weber. Gejala ini juga bertentangan dengan
prinsip demokrasi dan sarat dengan potensi KKN.


Saya akan mulai membahas permasalahan
tersebut di atas dari permasalahan administrasi dan
birokrasi perkotaan. Pembahasan mengenai birokrasi
akan saya acu dari tulisan Weber (1946: 196-294)
dengan tujuan untuk menunjukkan ciri-ciri birokrasi
modern yang anti primordialisme atau patrimonialisme.
Birokrasi adalah sebuah tipe administrasi dimana
administrasi tersebut diatur menurut prinsip-prinsip
impersonal, aturan-aturan tertulis, dan sebuah jenjang
jabatan-jabatan. Dalam birokrasi dengan jelas
dibedakan antara masalah jabatan dari masalah
pribadi, dan posisi-posisi jabatan didasarkan atas
kualifikasi formal yang impersonal. Dengan demikian
yang namanya birokrasi haruslah didasarkan atas
pemikiran rasional, dan karena itu yang namanya
birokrasi adalah bentuk-bentuk hukum yang rasional
mengenai pendominasian yang tergantung pada
perkembangan dari ekonomi uang, pasar bebas,
modifikasi hukum, dan ekspansi dari kekuasaan
administrasi atas wilayahnya. Weber melihat birokrasi
dalam kerangka teori tentang kekuatan, yaitu teori
sehubungan dengan hubungan kekuatan diantara
pejabat-pejabat dalam sesuatu birokrasi dan dengan
kekuatan yang dimiliki oleh birokrasi dalam mengatur
kehidupan sosial, politik, dan ekonomi serta bisnis
dalam wilayah administrasi yang secara legal menjadi
kewenangan administratifnya.


Dalam penjelasannya lebih lanjut, Weber
menyatakan bahwa model birokrasi modern yang
dikemukakannya adalah sebuah tipe ideal yang
dibedakan dari model birokrasi yang berkembang
dalam masyarakat dan pemerintahan tradisional yang
coraknya patrimonial, yang sarat dengan hubunganhubungan
personal dan kekerabatan, pendiskriminasian
pelayanan berdasarkan atas suka atau tidak suka
terhadap yang dilayani dan atas penggolongan sosial
yang berlaku dalam masyarakatnya. Weber
menyatakan bahwa model birokrasi rasional yang
impersonal dan sesuai ketentuan hukum adalah
responsif terhadap perkembangan ekonomi pasar yang
kapitalistik dan terhadap kehidupan modern karena
birokrasi yang rasional jauh lebih efisien daripada
birokrasi yang patrimonial.


KESIMPULAN

Bila kita perhatikan corak birokrasi yang
dikembangkan dalam administrasi kota-kota di
Indonesia dalam kerangka otonomi daerah, terutama di
ibukota propinsi dan kabupaten serta kecamatan,
secara hipotetis kita akan menyimpulkan bahwa
birokrasi yang berlaku bukanlah birokrasi rasional yang
modern yang antisipatif terhadap ekonomi uang dan
kebebasan pasar, tetapi birokrasi yang patrimonial.
Jadi jangan kaget kalau kehidupan kita bangsa
Indonesia ini semakin terpuruk, secara ekonomi, sosial,
dan budaya. Apakah kondisi birokrasi yang menjadi
corak dari pranata-pranata pelayanan administratif
pemerintahan kota terhadap warga kota dan warga
wilayahnya dapat diperbaiki? Tentu saja dapat.
Asalkan kepala daerah dan pejabat-pejabat yang
menjadi pimpinan administrasi wilayahnya yang
bercokol di kota itu mau memperbaikinya. Yang
mendasar yang harus diperbaiki adalah konsep
kesukubangsaaan dan sukubangsa sebagai landasan
bagi penggolongan masyarakat di wilayahnya,
landasan bagi pemupukan kekuatan dan
penggunaannya sebagai acuan bagi persaingan dan
konflik untuk memperebutkan posisi-posisi publik dan
menguasai sumber-sumber daya dan
pendistribusiannya. Karena penggolongan masyarakat
atas dasar sukubangsa dan kesukubangsaan
menghasilkan diskriminasi, dan ini bertetangan dengan
prinsip demokrasi dan kesamaan hak individual dan
hak komuniti (Suparlan 2001: 1-12).


Mochtar Lubis (1994) menyatakan bahwa
demokrasi sebagai ideologi mencakup prinsip-prinsip
kekuasaan berdasarkan atas persetujuan dari rakyat
yang diperintah, kekuasaan oleh mayoritas yang
dibarengi dengan adanya hak-hak minoritas, prosesproses
hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan
pemerintah secara konstitusional, kemajemukan secara
sosial, budaya, dan ekonomi, dan nilai-nilai toleransi
atas perbedaan-perbedaan. Bila demokrasi dilihat
sebagai ideologi, maka demokrasi tersebut hanya ada
dalam benak kepala kita. Bila demokrasi itu betul-betul
ada dalam kehidupan masyarakat maka demokrasi
menjadi pedoman hidup atau kebudayaan dan terutama
menjadi pedoman etika dan moral dari masyarakat
tersebut dan terserap dalam pranata-pranata yang ada
dalam masyarakat tersebut, termasuk dalam
birokrasinya. Diantara prinsip-prinsip yang ada dalam
pedoman etika dan moral demokrasi yang seharusnya
ada dalam diri orang-perorang dan pranata-pranata
adalah kesetaraan derajat individu, individualisme dan
individualitas, toleran terhadap perbedaan, menghargai
kesederajatan dalam perbedaan, dan meniadakan
jenjang sosial berdasarkan atas ciri-ciri askriptif seperti
gender dan kesukubangsaan. Pemerintahan kota di
Indonesia dalam otonomi daerah belum menerapkan
prinsip-prinsip demokrasi ini melalui berbagai
pranatanya dan terutama melalui birokrasinya. Dengan
demikian, pemerintahan kota dalam otonomi daerah,
secara sadar ataupun tidak sadar telah mendiskriminasi
warga masyarakatnya sendiri ke dalam golongan atau
kategori asli dan tidak asli, dan menciptakan dua
golongan yang berbeda akses-aksesnya terhadap
sumber-sumberdaya dan pendistribusiannya, dan
menciptakan adanya golongan minoritas yang tidak
diperhatikan atau disikriminasi hak-haknya.


Apakah kondisi ini dapat diperbaiki? Tentu saja
dapat. Proses-prosesnya tentu saja tidak harus
revolusioner tetapi secara evolusi atau bertahap
menerapkan ideologi multikulturalisme (multiculturalism),
yang intinya adalah kesederajatan dalam perbedaan,
terutama perbedaan-perbedaan diantara kategorikategori
sosial yang askriptif (Suparlan 2002b: 98-105).



DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C.S.T. dan Christine C. Kansil. 2001. Kitab
Undang-Undang Otonomi Daerah 1999-2001.
Jakarta: Pradnya Paramita


Lubis, Mochtar (ed.). 1994. Demokrasi Klasik dan
Modern. Jakarta: Yayasan OBOR


Morell, Gerard. 2002. "Desentralisasi atau Separasi?".
Jurnal Antropologi Indonesia, 68: 13-24


Suparlan, Parsudi. 1979. "Ethnic Groups of Indonesia".
Indonesian Quarterly, 7, 2: 53-75
_____________. 1995. Diktat Antropologi Perkotaan.
Jakarta: Jurusan Antropologi. FISIP-UI
_____________. 2000a. "Masyarakat Majemuk dan
Perawatannya". Jurnal Antropologi Indonesia,
63: 1-13
_____________. 2000b. "Kerusuhan Sambas". Jurnal
Polisi Indonesia, 2: 71-85
_____________. 2001. Kesetaraan Warga dan Hak
Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk".
Jurnal Antropologi Indionesia, 66: 1-12
____________. 2002a. Diktat Hubungan Antar
Sukubangsa. Jakarta: PTIK
____________. 2002b. "Menuju Masyarakat Indonesia
yang Multikultural". Jurnal Antropologi Indonesia,
69: 95-105


Weber, Max. 1946. From MaxWeber: Essays in
Sociology. Translated, Edited, and with an
Introduction by H.H.Gerth and C. Wright Mills.
New York: Oxford University Press


1 Seminar Nasional “Urban Management”,
Kajian Pengembangan Perkotaan, Pascasarjana, UI, bekerjasama
dengan Pusat Kajian Wilayah dan Perkotaan, U.I., Jakarta, 2003

Parsudi Suparlan
adalah Pengajar Tetap pada Program Pascasarjana
Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia

No comments:

Post a Comment