Semoga Gw Yang Salah
Arif Rohman
Once again, a good paper. This essay contained good evidence of thinking logically through the issues and reading appropriate texts. A good grasp of the issues. The essay has a straightforward structure, which is easy to follow, presents an argument, has a clear writing style, and shows, well-developed analytical skills. Your paper does reflect considerable thought and effort. You have provided a coherent response to the topic and your ideas and opinions were presented in a clear and logical fashion. Analytical skills are evident. You are a genious. Well done.
Baru kali ini seumur-umur gw dipuji sama dosen. Bule lagi.. Pendidikan di Barat memang benar-benar terkesan menghargai sebuah usaha dan pemikiran studentnya. Ada semacam semangat egaliter, dan kebersamaan di dalamnya.. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan mengarah ke sana.. Gw jadi teringat cerita teman yang sekolah di ITB drop-out, tapi disekolahin professornya di Amerika, ehh.. Malah lulus Cum-Laude. Gw jadi bertanya-tanya apa ada yang salah dengan sistem pendidikan di negara kita? Apakah memberikan penghargaan untuk student adalah sesuatu yang sangat mahal? Seumur-umur jujur gw kagak pernah nerima feed-back dari dosen atas tulisan-tulisan yang gw produce. Tahu-tahu nilai sudah keluar.. Jujur gw gembira, tapi itu tidak membuat gw bahagia. Gw sempat berpikir semoga tulisan-tulisan yang dulu gw tulis, ga dibuang ke tempat sampah atau dijadikan bungkus kacang. Dan semoga tulisan-tulisan itu benar-benar dibaca dosen-dosen dan dikritisi secara ilmiah. Kalau tidak, pantaslah perkembangan pendidikan di Indonesia disalip oleh negara-negara tetangga sebelah. Menurut gw, sekolah yang baik adalah sekolah yang benar-benar mampu meningkatkan potensi para studentnya, mengukur tingkat pemahaman mahasiswanya, menunjukkan kesalahan studentnya dalam berpikir ilmiah dengan pendekatan yang membangun, mencetak budaya diskusi ilmiah, dan tak kalah pentingnya yaitu memberikan sentuhan personal kepada studentnya dalam situasi khusus. Ironisnya, saat ini, gw merasa 'belum' melihat itu. Tapi, semoga penilaian gw lah yang salah.. Bukankah di negeri yang 'ramah' ini ngomong jujur malah dianggap aneh dan bila perlu dihukum beramai-ramai? Bukankah ngomong jujur di negara ini sudah dianggap sebagai pendosa? Memang, dimanapun pendekatan penghukuman terasa lebih mudah daripada repot-repot mengurusi suatu perbaikan yang seringkali njlimet? Tapi bukankah itu yang harus dilakukan untuk sebuah kemajuan? Benar, gw seringkali iri melihat para journalists dan sastrawan. Bagi gw, mereka adalah pendekar-pendekar demokrasi. Walaupun kadang ada juga dari mereka yang melacurkan informasi. Tapi setidaknya, sebagian besar mereka, memperjuangkan kebebasan dengan torehan tinta dan puisi-puisi mereka. Jujur, gw sungguh kagum.. Kembali ke masalah kritik dalam pendidikan. Gw selalu ngomong dari apa yang gw lihat dan apa yang gw rasakan. Dan bisa jadi penilaian gw salah. Dan gw sudah menjelaskan berkali-kali sampai mulut gw berbusa-busa (bc. sampai mau muntah) bahwa pendapat gw, tidak lebih hanyalah sebuah penilaian subyektif. Jika ada yang merasa berseberangan dan tidak senang, itu hak mereka, dan bukankah itu hal yang biasa dalam sebuah negara demokrasi? Jika gw memang salah, apakah kemudian gw harus menjadi 'sais kereta kuda untuk membuat semua orang yang berseberangan dengan gw menjadi senang dan berbahagia?'. Bukankah manusia diciptakan tuhan dengan segala kesempurnaan dan keunikannya? Bukankah kita bisa mengendarai seekor kuda dari puncak gunung menuju ke sungai, tapi kita tidak bisa memaksa kuda tersebut untuk minum air sungai itu? Bukankah perbedaan justru melambangkan kebhinnekaan yang oleh para founding father kita selalu digadang-gadangkan? Sejarah membuktikan bahwa si penentang norma yang conservative dan orthodox harus lari semisal dari Perancis ke Inggris dan terbang ke Australia ataupun ke Amerika untuk memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berpikirnya? Dan sejarah juga mencatat bahwa perbedaan-perbedaan itu adalah 'syarat perlu' untuk sebuah kehidupan yang progressive dan humanis? Well, gw sudah kehabisan kata.. Condemnation is easier than introspection.. Tapi sekali lagi, semoga penilaian gw yang salah. Dan sekarang ini, jika ada anggur atau air sumur yang bisa membuat gw 'sama dengan orang lain', gw akan dengan senang hati meminumnya. Tapi bukankah itu mengkhianati kodrat penciptaan Tuhan yang maha misterius?? Sigh..!! Dunia memang benar-benar panggung sandiwara, dan gw adalah salah satu korbannya..
Armidale, 30 June 2009.
Menanti-nanti turunnya salju sambil berucap, 'Tulisan untuk seni dan kebebasan memang harus dibayar mahal..'
Arif Rohman
Once again, a good paper. This essay contained good evidence of thinking logically through the issues and reading appropriate texts. A good grasp of the issues. The essay has a straightforward structure, which is easy to follow, presents an argument, has a clear writing style, and shows, well-developed analytical skills. Your paper does reflect considerable thought and effort. You have provided a coherent response to the topic and your ideas and opinions were presented in a clear and logical fashion. Analytical skills are evident. You are a genious. Well done.
Baru kali ini seumur-umur gw dipuji sama dosen. Bule lagi.. Pendidikan di Barat memang benar-benar terkesan menghargai sebuah usaha dan pemikiran studentnya. Ada semacam semangat egaliter, dan kebersamaan di dalamnya.. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan mengarah ke sana.. Gw jadi teringat cerita teman yang sekolah di ITB drop-out, tapi disekolahin professornya di Amerika, ehh.. Malah lulus Cum-Laude. Gw jadi bertanya-tanya apa ada yang salah dengan sistem pendidikan di negara kita? Apakah memberikan penghargaan untuk student adalah sesuatu yang sangat mahal? Seumur-umur jujur gw kagak pernah nerima feed-back dari dosen atas tulisan-tulisan yang gw produce. Tahu-tahu nilai sudah keluar.. Jujur gw gembira, tapi itu tidak membuat gw bahagia. Gw sempat berpikir semoga tulisan-tulisan yang dulu gw tulis, ga dibuang ke tempat sampah atau dijadikan bungkus kacang. Dan semoga tulisan-tulisan itu benar-benar dibaca dosen-dosen dan dikritisi secara ilmiah. Kalau tidak, pantaslah perkembangan pendidikan di Indonesia disalip oleh negara-negara tetangga sebelah. Menurut gw, sekolah yang baik adalah sekolah yang benar-benar mampu meningkatkan potensi para studentnya, mengukur tingkat pemahaman mahasiswanya, menunjukkan kesalahan studentnya dalam berpikir ilmiah dengan pendekatan yang membangun, mencetak budaya diskusi ilmiah, dan tak kalah pentingnya yaitu memberikan sentuhan personal kepada studentnya dalam situasi khusus. Ironisnya, saat ini, gw merasa 'belum' melihat itu. Tapi, semoga penilaian gw lah yang salah.. Bukankah di negeri yang 'ramah' ini ngomong jujur malah dianggap aneh dan bila perlu dihukum beramai-ramai? Bukankah ngomong jujur di negara ini sudah dianggap sebagai pendosa? Memang, dimanapun pendekatan penghukuman terasa lebih mudah daripada repot-repot mengurusi suatu perbaikan yang seringkali njlimet? Tapi bukankah itu yang harus dilakukan untuk sebuah kemajuan? Benar, gw seringkali iri melihat para journalists dan sastrawan. Bagi gw, mereka adalah pendekar-pendekar demokrasi. Walaupun kadang ada juga dari mereka yang melacurkan informasi. Tapi setidaknya, sebagian besar mereka, memperjuangkan kebebasan dengan torehan tinta dan puisi-puisi mereka. Jujur, gw sungguh kagum.. Kembali ke masalah kritik dalam pendidikan. Gw selalu ngomong dari apa yang gw lihat dan apa yang gw rasakan. Dan bisa jadi penilaian gw salah. Dan gw sudah menjelaskan berkali-kali sampai mulut gw berbusa-busa (bc. sampai mau muntah) bahwa pendapat gw, tidak lebih hanyalah sebuah penilaian subyektif. Jika ada yang merasa berseberangan dan tidak senang, itu hak mereka, dan bukankah itu hal yang biasa dalam sebuah negara demokrasi? Jika gw memang salah, apakah kemudian gw harus menjadi 'sais kereta kuda untuk membuat semua orang yang berseberangan dengan gw menjadi senang dan berbahagia?'. Bukankah manusia diciptakan tuhan dengan segala kesempurnaan dan keunikannya? Bukankah kita bisa mengendarai seekor kuda dari puncak gunung menuju ke sungai, tapi kita tidak bisa memaksa kuda tersebut untuk minum air sungai itu? Bukankah perbedaan justru melambangkan kebhinnekaan yang oleh para founding father kita selalu digadang-gadangkan? Sejarah membuktikan bahwa si penentang norma yang conservative dan orthodox harus lari semisal dari Perancis ke Inggris dan terbang ke Australia ataupun ke Amerika untuk memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berpikirnya? Dan sejarah juga mencatat bahwa perbedaan-perbedaan itu adalah 'syarat perlu' untuk sebuah kehidupan yang progressive dan humanis? Well, gw sudah kehabisan kata.. Condemnation is easier than introspection.. Tapi sekali lagi, semoga penilaian gw yang salah. Dan sekarang ini, jika ada anggur atau air sumur yang bisa membuat gw 'sama dengan orang lain', gw akan dengan senang hati meminumnya. Tapi bukankah itu mengkhianati kodrat penciptaan Tuhan yang maha misterius?? Sigh..!! Dunia memang benar-benar panggung sandiwara, dan gw adalah salah satu korbannya..
Armidale, 30 June 2009.
Menanti-nanti turunnya salju sambil berucap, 'Tulisan untuk seni dan kebebasan memang harus dibayar mahal..'
No comments:
Post a Comment