Tuesday 23 November 2010

Anak Semata Wayang

Anak Semata Wayang

Cerpen Whani Darmawan



SELEMBAR diary tersibak, sebaris puisi tertera...

Ayah,....

Tuliskanlah darahmu, di atas kanvas putih jiwaku. Agar tak hanya kukenang selalu, tetapi mengalir juga dalam derasan darahku....

Wanadri tertegun. Jelas itu buku harian anaknya yang masih berusia delapan tahun. Apakah anak usia sewindu bisa menulis seperti itu? Jangan-jangan ia hanya menjiplak bait puisi yang ia temukan dalam koleksi buku yang ada di rak. Tetapi apa maksudnya? Mengertikah ia?

Wanadri meletakkan sapu yang sedang dipegangnya. Ia duduk, seolah bersiap memecahkan teka-teki sudoku yang gampang-gampang sulit.

"Hidup seperti mimpi," gumamnya kemudian tanpa mengerti pasti mengapa tiba-tiba kalimat padat itu terlontar demikian. Mungkin, ya, hidup memang seperti mimpi. Sudah setara umur anaknya ia menduda, semenjak Surati isterinya meninggal dalam kecelakaan gantung diri. Waktu itu Surati ketakutan tak mampu menjawab kebutuhan ekonomi, dan ketakutan akan hamil lagi. Wanadri merasa, kadang peristiwa dan persoalan hidup memang sulit untuk dipahami, kendati sesuatu sungguh-sungguh terjadi. Cerita seperti yang terjadi pada dirinya kadang-kadang lebih bisa dipercaya jika dilihat sebagai film. Ia sendiri dulu juga pernah menyangkal, kenapa kepahitan hidup bisa menimpa dirinya, tetapi selang ia merenung, ia sendiri menganggap bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sombong. Seolah menafikan dirinya sebagai manusia yang tak bakal bisa terjamah oleh peristiwa pahit sepahit-pahitnya. Ia pun menghela napas dan tafakur sejenak memohon ampunan atas kelancangan pertanyaannya itu kepada Tuhan.

Wanadri mengempaskan napasnya.


Masa itu sudah lama sekali. Wanadri sudah tak ingin mengingatnya. Tetapi ada yang ia lupa. Lupa mengingat rasa sakitnya. Itu mengherankan dirinya. Sudah lama ia tidak lagi bisa merasakan apakah ia sedih ataukah gembira, apakah perlu menangis ataukah tertawa. Seolah semua kelengkapan hidup, penderitaan, semua sudah lewat. Anaknya semata wayang menggoreskan tekad, bahwa ia tidak boleh menghindar dari tanggung jawab.

Wanadri menyadari gerunjalan napasnya, dan kembali menunduk mencermati jilidan kertas tulis di tangannya,....

Ayah,

Rekamlah kisahmu dalam recorder otakku. Agar tak hanya terngiang selalu, tetapi mengebor dalam pilihan sikap hidupku. Agar senantiasa cerita kepahlawanan sehari-hari menjadi milikku. Menjadi kakiku.

Ia tulis ini semua tentang kepahlawanan? Dari mana anak ini mampu menulis dengan bahasa dan pemaknaan sedalam itu!? Wanadri tak ingin mengecilkan arti anak kecil, ia hanya merasa takjub setakjub-takjubnya. Apakah ada kelainan spiritual pada anaknya tersebut? Ataukah kecerdasan emosinya terlalu tinggi? Hmm,...kepahlawanan. Itukah yang selama delapan tahun Wanadri lakukan kepada anaknya? Wanadri tak yakin dirinya seheroik kata-kata itu. Sepenuhnya ia hanya merasa tanggung jawab. Lumrah kalau ia melakukan hal-hal yang itu bisa mencukupi kebutuhan jiwa-raga anaknya. Oleh teman-temannya, Wanadri dijuluki sang akrobater. Pemain sirkus. Tentu, julukan itu bermakna canda, ledekan, sekaligus serius. Pagi hari sebelum termenung di hadapan mesin tulis, ia memasak untuk sarapan anaknya, kemudian mengantarnya ke sekolah. Siang pada saat ia istirahat, ia menjemput anaknya. Jika tak satu pun teman anaknnya itu muncul, ia taruh anaknya di antara tumpukan kertas, koran dan buku. Menggambar, mencoret-coret, menjadi permainannya yang biasa. Kadang waktu menulis dan mengasuh anak bertubrukan tak terelakkan. Wanadri sering memilih untuk menemani anaknya. Ada kalanya antara perasaan dan tubuhnya ia rasakan seperti cerai-berai. Antara tubuhnya yang lelah dengan kehendak ingin menemani anaknya guna mendapatkan dunia permainan yang semestinya sesuai umurnya. Bahkan ia pernah punya suatu simpulan atas peran orangtua kepada anaknya dan kemauan untuk menulis. Di tengah kepap pikirannya ia sering menarik napas dalam, "Ini keperkasaan ataukah kebodohan?" gumamnya. "Ataukah sesuatu yang biasa saja."

Apakah sikap bela semacam itu yang diterjemahkan anaknya menjadi kata "pahlawan sehari-hari?" Siapakah sesungguhnya anaknya itu?

Wanadri berdiri. Di tangannya masih terpegang buku harian anaknya. Ia berjalan menuju kamar dan mendapatkan anak itu tertidur pulas. Napasnya halus. Pelupuk matanya licin seperti diolesi minyak. Bibirnya ranum memerah.

"Siapakah kamu?" bisik Wanadri lembut, lebih kepada diri sendiri.


Ayah,

Ajarkanlah kesetiaan kepadaku. Agar tak hanya jadi bualan, tetapi menjadi serat dalam dagingku.


Memang. Ada beberapa peristiwa aneh tentang perilaku anaknya, yang membuat Wanadri tegang, cemas, sekaligus takjub. Pertama, saat ia berumur tiga tahun. Pada saat itu Wanadri sungguh-sungguh merasa naas. Tidak ada pekerjaan yang masuk hingga tabungannya ludes untuk bertahan hidup. Wanadri sangat cemas dan mengutuk dirinya sendiri. Menghakimi dirinya sebagai orangtua yang tidak becus. Bahkan untuk kebutuhan pokok anaknya pun ia harus berhutang. Tetapi ia tidak mampu berkelit. Ia ingat betul bagaimana ia memarahi anaknya karena anaknya tersebut tidak mau makan dan minum susu yang uangnya ia dapat dari pinjam. Bahkan anaknya sampai menangis ketakutan, meski tetap tak mau makan. Baru sehari kemudian anaknya itu mau makan dan minum seperti biasa. Tetapi anehnya, sehari kemudian ia kembali mogok makan. Wanadri sunguh-sungguh marah. Tetapi belum lagi tumpah emosinya, seorang tua tetangganya yang kebetulan lewat nyeletuk, "Anak nggak mau makan itu biasa. Kalau sehari makan sehari tidak, yaa....siapa tahu, mungkin dia sedang nDaud?"

Wanadri tercengang. Anak tiga tahun melakukan puasa Daud? Ia tidak ingin percaya, tetapi setelah anaknya melakukan pola makan demikian, ia menyerah, meski ia sangat cemas, khawatir kalau anaknya sakit. Setelah Wanadri mendapatkan pekerjaan, anaknya menghentikan kebiasaan makan melompat hari tersebut.

Peristiwa kedua pada saat Saketi, anaknya itu, berumur lima tahun. Oleh karena centang-perentang keinginannya untuk menemani anaknya dan kemampuan fisik dan psikisnya terbatas, Wanadri mengalami stres. Ia jadi sering marah dan membentak. Ia tahu itu tidak baik, tetapi ia tak mampu mengendalikan. Jika pada saat demikian datang, Saketi hanya terdiam. Hal yang ia lakukan kemudian adalah mengambil sapu kemudian menyapu lantai, atau mencuci piring dan gelas yang masih teronggok di jerambah sumur. Wanadri mau nangis menghadapi ketidakmampuannya. Wanadri merasa bahwa ia harus membebaskan diri dari himpitan itu. Ia pun mengajak anaknya untuk berenang di telaga Perwitasari -sebuah telaga berdebit raksasa dengan ukuran melingkar dua kali lapangan sepak bola, dengan kedalaman tak seorang pun tahu pasti.

Pada saat itu, Saketi justru tidak mau berenang. Ini sesuatu yang aneh, mengingat Saketi sangat suka bermain air. Jadilah Wanadri berenang sendirian, melepaskan penat pikiran dengan air. Berenang kian kemari, menyelam, melompat, seakan Wanadri lupa diri. Anaknya hanya menunggui di pinggir telaga sambil terus memandang bapaknya. Peristiwa tak dapat ditebak. Pada saat Wanadri berada di tengah telaga, perutnya terasa mengejang. Ia mencoba melawan, tetapi kejang di perut serasa mencengkeram seluruh kemampuannya berenang. Berkecipak tangan Wanadri bergerak serabutan. Ia kemudian tak ingat apa pun. Dan ketika terbangun banyak orang merubungnya. Anaknya menangis laiknya anak kecil kehilangan orangtua. Yang mengagetkan Wanadri kemudian adalah ungkapan orang-orang yang merubungnya,

"Siapakah anak bapak itu?"

Apa maksudnya? Wanadri tak dapat menjawab, karena tak mengerti maksud pertanyaan itu.

"Siapakah anak kecil itu?" tandas mereka lagi.

"Ya anak saya...kenapa?"

"Bukan. Anak bapak tadi berlari di atas air dan menyeret bapak, seperti ia sedang menyeret sesuatu di daratan."

Wanadri tidak mengerti. Ia memandang anaknya yang masih mewek dengan air mata berderai.

"Kamu tadi yang menyelamatkan bapak dari tenggelam?"

"Yaa...," ujar dia sambil merengek.

"Bagaimana?"

"Berenang..."

"Tidak! Dia tadi berlari! Sumpah demi Tuhan! Anak kecil itu tadi berlari di atas air!"

Serentak orang-orang itu bicara hal yang sama, nyaris keras seperti bantahan. Saketi semakin ketakutan dan merangkul bapaknya. Wanadri segera memeluk anaknya dan mengakhiri kemustahilan ini; pulang.

Benak Wanadri terus digumuli ketakjuban. Siapakah kamu, anakku? gumamnya dalam hati sambil memandangi wajah anaknya yang pulas tertidur. Tetapi perenungannya tidak tuntas. Sedari tadi ia terganggu oleh suara pertengkaran tetangga sebelah. Di pelataran, Wanadri melihat isteri Sokran si tukang becak, sedang mengusir suaminya,

"Macam bayi saja kamu! Uang sekolah anakmu kamu makan! Kemarin kamu curi gajiku, sekarang berani-beraninya kamu mau jual televisi hanya untuk berjudi!"

"Judi itu menganakkan uang. Nanti kalau menang juga untuk siapa!?" bantah Sokran.

"Kapan kamu menjadi pemenang!! Selamanya bayi ya tetap bayi! Minggat kamuu!"

Sementara mak dan bapaknya terlibat dalam baratayudha itu, Kopet, anak lelaki satu-satunya pasangan sangar itu terdiam sambil tangannya terus melap sepedanya. Drama pun selesai. Wanadri masuk.

Rasa takjub kepada anaknya mengalahkan peristiwa rumah tangga Sokran. Tiba-tiba terlintas kecemasan dalam diri Wanadri bahwa dia kelak tidak akan mampu menghadapi anaknya. Karena tiba-tiba saja ia merasa menjadi orang asing kepada anaknya. "Adakah antara anak dan orangtua itu sesungguhnya asing?" batin Wanadri. Adakah orangtua-anak yang sungguh-sungguh bisa memahami siapa mereka sesungguhnya, dan hubungan macam apa yang sesungguhnya berlangsung? Jika ketidaktahuan muncul, tidakkah sebaiknya sesama manusia saling menghormati, supaya tidak membuat kesalahan.

Wanadri meraih tangan anaknya di tengah lelap tidurnya. Ia cium punggung tangan anaknya, seperti ia mencium tangan kiai. Hatinya bergumam, "Kamu anakku, kamu bukan anakku. Mungkin saja kita ini kawan yang dijodohkan. Shubanallah.... ***


Omahkebon, Juli 2007.

Suara Merdeka 09/16/2007

No comments:

Post a Comment