ANAK YANG CACAT TELINGANYA
“Bolehkah saya melihat bayi saya?” ibu muda yang baru bersalin itu bersuara lirih kepada seorang perawat. Sambil tersenyum perawat itu membawakan bayi yang masih merah. Si ibu menyambut dengan senyum bahagia. Dibuka selimut yang menutup wajah lucu itu, diciumnya berkali-kali bayi itu selama dipangkuannya. Perawat kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Tidak sanggup dia menatap mata si ibu yang terperanjat melihat bayinya dilahirkan tanpa kedua cuping telinga. Namun kekagetan ibu itu cuma seketika. Dekapan dan ciuman silih berganti dilakukan si ibu sehingga bayi yang sedang tidur itu merengek. Setelah diperiksa dokter, diketahui bahwa pendengaran bayi itu normal! Ini merupakan sesuatu yang mengembirakan ibu itu. Waktu terus berlalu… Pada suatu hari ketika pulang dari sekolah, anak yang tidak punya cuping telinga itu menangis karena di sekolahnya dia selalu diejek teman-temannya. “Mereka bilang saya cacat,” katanya kepada si ibu. Mata si ibu seketika merah menahan tangis. Dibujuknya si anak dengan berbagai kata semangat. Si anak menerimanya dan dia akhirnya menjadi murid yang pandai di sekolahnya dengan menyandang berbagai prestasi. Namun bagaimanapun juga tanpa cuping telinga, si anak tetap merasa rendah diri walaupun si ibu terus membujuk dan membujuk. Ayah anak itu kemudian bertemu dokter. “Saya yakin dapat melakukannya jika ada seseorang yang mendonorkan telinganya ,” kata pakar bedah. Kemudian dicarilah orang yang mau mendonorkan telinganya. Setahun berlalu… “Anakku, kita akan menemui dokter akhir minggu ini. Ibu dan ayah telah mendapatkan seorang pendonor, tapi dia mau jati dirinya dirahasiakan, ” kata si ayah. Pembedahan berjalan lancar dan akhirnya si anak muncul sebagai manusia baru, tampan serta bijak. Studynya semakin cemerlang dan rasa rendah diri yang sering dialaminya sudah hilang. Teman-temannya banyak yang memuji kecantikan parasnya. Si anak cukup bijak, bagaimanapun dia tidak mengabaikan pelajaran sekolahnya. Pada usianya yang menginjak 20 tahun, si anak menjabat posisi yang cukup tinggi di bidang diplomatik. “Sebelum saya berangkat keluar negeri, saya ingin tahu siapakah pendonor telinga ini, saya ingin membalas jasanya,” kata si anak berkali-kali. “Tak mungkin,” balas si ayah. “Perjanjian antara ayah dengan pendonor itu masih berlaku. Tunggulah, masanya akan tiba.” “Kapan?” tanya si anak. “Akan tiba masanya anakku,” balas si ayah dengan diikuti anggukan ibunya. Rahasia itu sudah bertahan bertahun-tahun lamanya. Hari yang ditunggu tiba. Ketika si anak berdiri di sisi keranda ibunya yang telah meninggal, perlahan-lahan si ayah menyibak rambut ibunya yang telah kaku. Gelap seketika pandangan si anak ketika melihat kedua cuping telinga ibunya yang tidak ada. “Ibumu tidak pernah memotong pendek rambutnya,” si ayah berbisik ke telinga anaknya. “Tetapi tidak ada yang mengatakan ibumu cacat, termasuk ayahmu. Bagi ayah dia tetap cantik. Dia satu-satunya wanita paling cantik yang pernah ayah temui….”
Hatiku selembar daun...
No comments:
Post a Comment