Friday, 12 November 2010

Bima

Bima



Bima (Sanskerta: भीम, bhīma) atau Bimasena (Sanskerta: भीमसेन, bhīmaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara se'ayah'-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.

Kata bhīma dalam bahasa Sanskerta artinya kurang lebih adalah "mengerikan". Sedangkan nama lain Bima yaitu Wrekodara, dalam bahasa Sanskerta dieja vṛ(ri)kodara, artinya ialah "perut serigala", dan merujuk ke kegemarannya makan. Nama julukan yang lain adalah Bhimasena yang berarti panglima perang.

Dalam wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa karena Pandu tidak dapat membuat keturunan (akibat kutukan dari seorang resi di hutan), maka Kunti (istri Pandu) berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu, lahirlah Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang yang paling kuat dan penuh dengan kasih sayang.

Pada masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kekuatan Bima tidak ada tandingannya di antara anak-anak sebayanya. Kekuatan tersebut sering dipakai untuk menjahili para sepupunya, yaitu Korawa. Salah satu Korawa yaitu Duryodana, menjadi sangat benci dengan sikap Bima yang selalu jahil. Kebencian tersebut tumbuh subur sehingga Duryodana berniat untuk membunuh Bima.

Pada suatu hari ketika para Korawa serta Pandawa pergi bertamasya di daerah sungai Gangga, Duryodana menyuguhkan makanan dan minuman kepada Bima, yang sebelumnya telah dicampur dengan racun. Karena Bima tidak senang mencurigai seseorang, ia memakan makanan yang diberikan oleh Duryodana. Tak lama kemudian, Bima pingsan. Lalu tubuhnya diikat kuat-kuat oleh Duryodana dengan menggunakan tanaman menjalar, setelah itu dihanyutkan ke sungai Gangga dengan rakit. Saat rakit yang membawa Bima sampai di tengah sungai, ular-ular yang hidup di sekitar sungai tersebut mematuk badan Bima. Ajaibnya, bisa ular tersebut berubah menjadi penangkal bagi racun yang dimakan Bima. Ketika sadar, Bima langsung melepaskan ikatan tanaman menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia membunuh ular-ular yang menggigit badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri untuk menemui rajanya, yaitu Naga Basuki.

Saat Naga Basuki mendengar kabar bahwa putera Pandu yang bernama Bima telah membunuh anak buahnya, ia segera menyambut Bima dan memberinya minuman ilahi. Minuman tersebut diminum beberapa mangkuk oleh Bima, sehingga tubuhnya menjadi sangat kuat. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama delapan hari, dan setelah itu ia pulang. Saat Bima pulang, Duryodana kesal karena orang yang dibencinya masih hidup. Ketika para Pandawa menyadari bahwa kebencian dalam hati Duryodana mulai bertunas, mereka mulai berhati-hati.

Pada usia remaja, Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer oleh Drona. Dalam mempelajari senjata, Bima lebih memusatkan perhatiannya untuk menguasai ilmu menggunakan gada, seperti Duryodana. Mereka berdua menjadi murid Baladewa, yaitu saudara Kresna yang sangat mahir dalam menggunakan senjata gada. Dibandingkan dengan Bima, Baladewa lebih menyayangi Duryodana, dan Duryodana juga setia kepada Baladewa.

Ketika para Bima beserta ibu dan saudara-saudaranya berlibur di Waranawata, ia dan Yudistira sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka, telah dirancang untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Pesuruh Duryodana, yaitu Purocana, telah membangun rumah tersebut sedemikian rupa dengan bahan seperti lilin sehingga cepat terbakar. Bima hendak segera pergi, namun atas saran Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan.

Pada suatu malam, Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita yang dekat dengan Purocana turut hadir di pesta itu bersama dengan kelima orang puteranya. Ketika Purocana beserta wanita dan kelima anaknya tersebut tertidur lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu dan saudara-saudaranya melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan mereka. Oleh karena ibu dan saudara-saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima membawa mereka sekaligus dengan kekuatannya yang dahsyat. Kunti digendong di punggungnya, Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira dan Arjuna berada di lengannya.

Ketika keluar dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga. Di sana mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura, yaitu menteri Hastinapura yang mengkhwatirkan keadaan mereka. Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana. Dalam perjalanan tersebut, Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak kurang lebih tujuh puluh dua mil.

Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan Hidimbi/arimbi yang jatuh cinta dengannya. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba, menjadi marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan seseorang yang seharusnya menjadi santapan mereka. Kemudian Bima dan Hidimba berkelahi. Dalam perkelahian tersebut, Bima memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba dengan tangannya sendiri. Lalu, Bima menikah dengan Hidimbi. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang putera yang diberi nama Gatotkaca. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan Hidimbi dan Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.

Setelah melewati Hidimbawana, Bima dan saudara-saudaranya beserta ibunya tiba disebuah kota yang bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di rumah keluarga brahmana. Pada suatu hari ketika Bima dan ibunya sedang sendiri, sementara keempat Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik rumah memberitahu mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota Ekacakra. Atas permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu kota, namun sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan makanan yang enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini, keluarga brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat giliran untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan kebaikan hati keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan menyerahkan Bima yang nantinya akan membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira sangsi, namun akhirnya ia setuju.

Pada hari yang telah ditentukan, Bima membawa segerobak makanan ke gua Bakasura. Di sana ia menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan kepada sang raksasa. Setelah itu, Bima memanggil-manggil raksasa tersebut untuk berduel dengannya. Bakasura yang merasa dihina, marah lalu menerjang Bima. Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama, Bima meremukkan tubuh Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret tubuh Bakasura sampai di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima, kota Ekacakra tenang kembali. Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai akhirnya Pandawa memutuskan untuk pergi ke Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala, karena mendengar cerita mengenai Dropadi dari seorang brahmana.

Dalam perang di Kurukshetra, Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Ia berperang dengan menggunakan senjata gadanya yang sangat mengerikan.

Pada hari terakhir Bharatayuddha, Bima berkelahi melawan Duryodana dengan menggunakan senjata gada. Pertarungan berlangsung dengan sengit dan lama, sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha Duryodana. Setelah pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah, dan beberapa lama kemudian ia mati.

Bima adalah seorang tokoh yang populer dalam khazanah pewayangan Jawa. Suatu saat mantan presiden Indonesia, Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa ia sangat senang dan mengidentifikasikan dirinya mirip dengan karakter Bima.

Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewa Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki berbagai macam senjata, antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak Pangantol-antol.

Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.

Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu:
1. Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja,
2. Dewi Arimbi, berputera Raden Gatotkaca dan
3. Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena.

Menurut versi Banyumas, Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Rekatawati, berputera Srenggini.
Nama lain:
Bratasena
Balawa
Birawa
Dandungwacana
Nagata
Kusumayuda
Kowara
Kusumadilaga
Pandusiwi
Bayusuta
Sena
Wijasena
Jagal Abilowo



In the Mahābhārata, Bhima (Sanskrit: भीम, IAST: Bhīma) was the second of the Pandava brothers. He was son of Kunti by Vayu, but like the other brothers, he was acknowledged son by Pandu . He was distinguished from his brothers by his great stature and strength.

His legendary prowess has been mentioned in glowing terms throughout the epic. Eg: "Of all the wielders of the mace, there is none equal to Bhima; and there is none also who is so skillful a rider of elephants. In fight, they say, he yields not to even Arjuna; and as to might of arms, he is equal to ten thousand elephants. Well-trained and active, he who hath again been rendered bitterly hostile, would in anger consume the Dhartarashtras in no time. Always wrathful, and strong of arms, he is not capable of being subdued in battle by even Indra himself."

He was furious when the game of dice between his brother, King Yudhisthira, and Duryodhana reached its final stages. But when Dushasana attempted to strip Draupadi in the court, he swore that he would kill him one day and drink his blood. During the second exile of the Pandavas, he visited Alakapuri and was blessed by Kubera. At the end of their exile at the court of Virata, he disguised himself and acted as a palace cook.

Although there are several instances of Arjuna and others doubting or questioning the will of Krishna (Draupadi), the portrayal of Bhima's devotion to Krishna (Draupadi or Panchali) is umblemished in the original Mahābhārata.

After the first return of the Pandavas to the Kuru lands, he challenged the king of Magadha, Jarasandha, to a wrestling bout and killed him, thus making it possible for his brothers to take part in the Rajasuya Yajna.

Bhima also embarked on a military expedition to the east as directed by his elder brother Yudhisthira, the king, to collect tribute for the Rajasuya sacrifice. It is believed that Yudhisthira chose Bhima to lead the army to eastern kingdoms because these kingdoms were famous for their strong armies protected by war-elephants and Bhima was an expert in defeating any army consisting of war-elephants with his great skill in mace-fight. In his expedition Bhima defeated using either diplomacy or military might, many kingdoms in the east including the hostile tribes of Panchalas who were enemies of Panchala king Drupada, the Chedis, the Kosalas, Kasis, Mallas, Videhas, Magadhas, Angas and Vangas. In Mahabharata, 2 chapters (MBh 2.28, 2.29), are dedicated to this eastern military expedition of Bhima.

Bhima was a great general in the great battle of Kurukshetra, second in command only to the generalissimo Dhristadyumna, killing six out of the eleven akshauhinis of the other side (Kauravas). Six akshauhinis adds up to the astronomical figure of around 1,705,860 men and 787,320 beasts which is testimony to the portrayal as the character of supreme physical prowess. In the battle, his charioteer was Krishna's son himself. During the battle, the Kauravas were frightened to face his might and sent elephants to fight him. An entire sub-chapter is devoted to describing the "light chat" or banter that he used to maintain with Krishna's son whilst fighting the enemies - yet another glimpse into the power that VedaVyasa invests in Bhima's persona. Bhima's weapon of choice was the mace - in the use of which he was second to none (The 4 greatest mace wielders of that time were reputed to be Bhima, Balarama, Jarasandha and Duryodhana, with there being none to be considered close enough to be named the 5th, so that slot was left unnamed). Amongst the most important personalities that he quelled were Baka (head of a cannibalistic race), Kirmira (Baka's brother), MaNiman (leader of the anger-demons in Kubera's garden), Jarasandha, Dushasana etc. He also defeated mighty Dronacharya by breaking his chariot eight times while Arjuna was trying to find and kill Jayadratha, and initially held his own against Karna; Karna defeated Bhima, but left him alive due to his promise to Kunti. Bhima let Karna eventually leave as he was destined to die at the hands of Arjuna. During the battle, he killed the elephant Ashvatthama, which enabled the Pandavas to spread the falsehood that Ashvatthama, son of Drona, had been killed. At the end of the battle, he also wounded Duryodhana in a duel, after striking him a foul blow below the waist. At this time, Balarama (who was partial to Duryodhana, his disciple) criticised Bhima for the foul blow, but was calmed down by Krishna. Bhima refrained from killing any respectable elders in the Kaurava's side out of respect for their virtue. The only elderly person he killed was the king of Bahlika (Bhishma's paternal uncle) - and he does this because the king of Bahlika asks Bhima to kill him to release him from the sin of fighting for the kauravas (Bahlika had to fight with the kauravas on account of Bhishma, his nephew).

He finished his days with his brothers and Draupadi, on their great and final journey toward Heaven. He was the last to die on the journey, leaving Yudhisthira alone to complete the journey by himself.

Two characters in Hindu mythology are great cooks. One is Bhima and the other is Nala. Bhima is credited with the invention of the famous dish "Aviyal".

While he did possess superhuman strength, he has been portrayed as a man with no lenience for duplicity or tact in many cases - he is portrayed as the only pandava who constantly pointed out the faults of others, even if they were older or much respected. Being highly sensitive, he swayed between extreme emotions of love and hatred. Draupadi is often seen to turn to him to salvage her honor (be it in the case of Duryodhana's defeat or in the case of Kichaka's slaying).

Also, his name is synonymous with anyone who has short-temper or a large appetite. It is said that Bhima's appetite was so huge, that he always had to eat below his means, because there wasn't enough grain in the world at one time. He hence had a very thin waist and hence was called "Vrikodara" or wolf-bellied, because wolves seem to lack a belly even if they are well-fed.

Bhima is also infamous for having sown the seeds of hatred between the two collateral branches of the Kuru family by mercilessly beating up his cousins, almost unto the point of death, during his childhood & adolescence, when they tried to harass the pandavas. Bhima is also condemned for his brutal killing of Dushasana, where he tore open his cousin's chest and drank his blood in deference to his promise to Draupadi who had been insulted by Dushasana. Balarama's curse, that Bhima will be remembered as a crooked warrior, seems to have tarnished his image till this day. However later he reveals to Gandhari that he spat out Dushasan's blood without swallowing it.



Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Bhima



Hatiku selembar daun...

No comments:

Post a Comment