Tuesday, 16 November 2010

Dalam Lift

Dalam Lift

Cerpen Sapardi Djoko Damono



Sehabis menghadiri rapat rutin yang dihadiri oleh sejumlah guru besar pensiunan di lantai 27 sebuah gedung bertingkat, aku buru-buru menuju lift. Di depan pintu kelihatan seorang perempuan muda. Untuk pertama kalinya sejak entah berapa puluh tahun terakhir ini aku merasa ada sesuatu yang bergerak-gerak aneh dalam pikiranku. Alangkah elok anak perawan ini, dipandang dari jauh bagaikan anak dagang yang rawan, yang bercintakan sesuatu, yang tak mudah diperolehnya. Barangsiapa memandangnya, tak dapat tiada akan tertarik oleh suatu tali rahasia, yang mengikat hati. Begitu kata pengarang Sitti Nurbaya. la mungkin seorang sekretaris, mungkin seorang tamu di salah satu kantor di gedung itu, atau mungkin entah apa. Apa peduliku? Ya, tapi aku peduli. Sayang, kosa kataku ternyata tidak cukup untuk menggambarkannya, apalagi mengungkapkan ricik air, atau semilir angin, atau langkah kaki hujan yang bergerak dalam pikiranku. Semuanya terasa hambar dan klise belaka.

Padahal aku ingin sekali menggambarkan perempuan itu sebab dengan begitu setidaknya bisa merasa agak tenteram. Begini saja, biar kupinjam beberapa larik lagi dari Sitti Nurbaya, yang menggambarkan keelokan tubuh dan paras seorang gadis yang sampai hari ini tidak pernah tergoyahkan dalam angan-anganku. Pakaian anak gadis ini sebagai pakaian anak Belanda. Di tangan kanannya adalah sebuah payung sutera kuning muda, yang berbunga dan berpinggir hijau. Pandangan matanya tenang dan lembut, sebagai janda baru bangun tidur. jika ia minum, seakan-akan terbayanglah air yang diminumnya di dalam kerongkongannya

Aku sama sekali tidak berani mengajaknya bicara sebab khawatir, jika mendengar suaranya, terlalailah daripada suatu pekerjaan. Aku tidak mau lalai dalam pekerjaanku. Sampai pemberhentian di lantai satu, tidak ada orang lain yang masuk. Perempuan muda itu tetap berada dalam lift, berdua saja denganku. Pintu terbuka dan kami keluar. Seperti ketika masuk, ia kupersilakan keluar duluan. Seperti juga ketika masuk, ia tersenyum, lalu cepat-cepat keluar, berbelok ke kiri entah ke mana. Aku harus ke kanan, meninggalkan gedung. Kami pun berpisah, dan sampai sekarang ia tak pernah kujumpai lagi.***

No comments:

Post a Comment