Friday 12 November 2010

DARMAGANDHUL (1)

DARMAGANDHUL (1)



Kisah mengenai berdirinya Kerajaan Islam Demak dan runtuhnya
Kerajaan Majapahit yang sebenarnya. Awal mulanya Orang Jawa
Meninggalkan Agama Buddha dan Beralih pada Agama Islam

K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.
Cap-capan ingkang kaping sêkawan 1959
Toko Buku "Sadu-Budi" Sala.

BÊBUKA.
Sinarkara sarjunireng galih, myat carita dipangikêtira, kiyai
Kalamwadine, ing nguni anggêguru, puruhita mring Raden Budi,mangesthi
amiluta, duta rehing guru, sru sêtya nglampahi dhawah,panggusthine
tan mamang ing lair batin, pinindha lir Jawata.

Satuduhe Raden Budi êning, pan ingêmbun pinusthi ing cipta, sumungkêm
lair batine, tan etung lêbur luluh, pangesthine ing awal akhir,
tinarimeng Bathara, sasêdyanya kabul, agung nugraheng Hyang Suksma,
sinung ilham ing alam sahir myang kabir, dumadya auliya.
Angawruhi sasmiteng Hyang Widdhi, pan biyasa mituhu susêtya, mring
dhawuh wêling gurune, kêdah mêdharkên kawruh, karya suka pirêneng
jalmi, mring sagung ahli sastra, tuladhaning kawruh, kyai Kalamwadi
ngarang, sinung aran srat Darmagandhul jinilid, sinung têmbang

macapat.
Pan katêmben amaos kinteki, têmbang raras rum sêya prasaja, trêwaca
wijang raose, mring tyas gung kumacêlu, yun darbeya miwah nimpêni,
pinirit tinuladha, lêlêpiyanipun, sawusnya winaos tamat, linaksanan
tinêdhak tinurun sungging, kinarya nglipur manah.
Pan sinambi-sambi jagi panti, sasêlanira ngupaya têdha, kinarya cagak
lênggahe, nggennya dama cinubluk, mung kinarya ngarêm-arêmi,
tarimanireng badan, anganggur ngêthêkur, ngêbun-bun pasihaning Hyang,
suprandene tan kalirên wayah siwi, sagotra minulyarja.
Wus pinupus sumendhe ing takdir, pan sumarah kumambang karseng Hyang,
ing lokhilmakful tulise, panitranira nuju, ping trilikur ri Tumpak
manis, Ruwah Je warsanira, Sancaya kang windu, masa Nêm ringkêlnya
Aryang, wuku Wukir sangkalanira ing warsi: wuk guna ngesthi Nata
(taun Jawa 1830).

[Bagian Pembukaan tidak diterjemahkan karena penterjemah tidak paham
bahasa Jawa klasik]

DARMAGANDHUL.

Pada suatu hari bertanyalah Darmagandhul pada Kalamwadi sebagai
berikut, "Asal mulanya bagaimana, kok orang Jawa meninggalkan Agama
Buddha dan berubah menganut Agama Islam?"

Jawabannya Ki Kalamwadi, "Saya sendiri juga tidak begitu mengerti,
tapi saya sudah pernah diberi tahu oleh guru saya, selain itu guru
saya itu juga bisa dipercaya, [Beliau] menceritakan asal mulanya
orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan berganti menganut agama
Rasul (Islam)."

Darmagandhul bertanya, "Bagaimana kalau begitu ceritanya?"

Ki Kalamwadi lalu berkata lagi, "Hal ini sesungguhnya juga perlu
diungkapkan agar orang yang tidak tahu asal mulanya menjadi tahu."

Pada zaman kuno, Kerajaan Majapahit itu namanya Kerajaan Majalengka,
sedangkan nama Majapathit itu, hanya sebagai perumpamaan, tetapi bagi
yang belum tahu ceritanya, Majapahit itu telah merupakan namanya
semenjak awal. (1) Di Kerajaan Majapahit yang berkuasa sebagai Raja
adalah Prabu Brawijaya.

Pada saat itu, Sang Prabu sedang dimabuk asmara, ia menikah dengan
Putri Cempa, (2) karena Putri Cempa itu beragama Islam, maka saat
sedang berdua-duaan, Sang Putri [selalu] berbicara pada sang Raja,
mengenai agama Islam. Tiap kali berkata-kata, tidak ada hal lain yang
dibicarakan, selain mengagung-agungkan agama Islam, sehingga
menyebabkan tertariknya hati Sang Prabu akan agama Islam.

Tidak berama lama datanglah pengikut Putri Cempa yang bernama Sayid
Rakhmat ke Majalengka. Ia minta izin pada sang raja, untuk menggelar
penyebaran agama Rasul (Islam).

Sang Prabu juga mengabulkan apa yang diminta oleh Sayid Rakhmat itu.
Sayid Rakhmat lalu mendirikan sebuah desa kecil (dukuh) di
Ngampeldenta, Surabaya. Ia mengajar agama Islam di sana. Selanjutnya
makin banyak para ulama dari seberang yang datang. Para ulama dan
para maulana itu beramai-ramai menghadap sang raja di Majalengka,
serta sama-sama meminta desa kecil di daerah pesisir.

Permintaan tersebut juga dikabulkan oleh Sang Raja. Lama-lama
perkampungan kecil semacam itu makin menjamur, orang Jawa makin
banyak yang beragama Islam.

Sayid Kramat menjadi gurunya orang-orang yang sudah menganut agama
Islam. Tempat menetapnya berada di Benang (juga disebut Bonang -
penterjemah), Tuban. Sayid Kramat itu adalah pemuka agama yang
berasal dari Arab, atau tempat kelahirannya Nabi Muhammad, sehingga
dapat menjadi gurunya para penganut agama Islam. Banyak orang Jawa
yang berguru pada Sayid Kramat. Orang Jawa di pesisir utara, baik
bagian barat maupun timur, sama-sama meninggalkan agama Buddha dan
berpindah masuk Islam. Dari Blambangan ke arah barat hingga Banten,
banyak orang yang telah mematuhi perkataan Sayid Kramat.

Pada saat itu agama Buddha telah dianut di tanah Jawa selama seribu
tahun, para penganutnya menyembah pada Budi Hawa. Budi adalah Zat
dari Hyang Widdhi, sedangkan Hawa itu adalah kehendak hati. Manusia
itu tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha menjalankan, tetapi
budi yang mengubah segalanya.

Raja Brawijaya memiliki putra dari seorang putri berkebangsaan Cina.
Putranya itu lahir di Palembang, dan diberi nama Raden Patah.

Tatkala Raden Patah sudah dewasa, ia mengunjungi ayahnya. Ia
memiliki saudara lain ibu yang bernama Raden Kusen. Setibanya di
Majalengka Sang Prabu bingung hatinya untuk memberi nama pada
puteranya. Sebab menurut tradisi leluhur Jawa yang beragama Buddha,
putra raja yang lahir di gunung, disebut Bambang.

Kalau menurut ibunya, namanya adalah Kaotiang, yaitu kalau dalam
bahasa Arab disebut Sayid atau Sarib. Sang Prabu lalu memanggip para
patih dan pegawai kerajaan. Mereka diminta pendapatnya di dalam
memberikan nama bagi putranya itu. Patih berkata bahwa kalau menurut
leluhur zaman dahulu, anak raja itu seharusnya diberi nama Bambang,
tetapi karena ibunya berkembangsaan Cina, maka seharusnya disebut
Babah, yang artinya lahirnya ada di negara lain.

Pendapat sang patih tersebut juga disepakati oleh para pegawai
kerajaan. Oleh karenanya sang raja mengumumkan bahwa putranya itu
yang lahir di Palembang, diberi nama Babah Patah. Hingga sampai
sekarang, orang yang berdarah campuran Cina dan Jawa diberi nama
Babah.

Babah Patah, takut kalau tidak mematuhi sabda bapaknya, karena itu
bersikap seolah-olah senang. Padahal ia tidak benar-benar senang-
senang diberi nama Babah.

Kemudian Babah Patah diangkat menjadi bupati di Demak, untuk
mengepalai para bupati di pesisir Demak ke arah barat. Babah Patah
lalu diperintahkan untuk berguru di Ngampelgadhing, yang kebetulan
dikepalai oleh Kyai Ageng Ngampel.

Ketika waktunya telah tiba, ia pindah ke Demak, yakni ke desa
Bintara. Sebetulnya Babah Patah telah beragama Islam saat di
Palembang. Oleh sebab itu, tatkala telah berada di Demak, ia
diperintahkan untuk melestarikan agamanya. Sedangkan Raden Kusen
diangkat menjadi adipati di Terung, dan diberi gelar Raden Arya
Pecattandha.

Makin lama agama Rasul makin menyebar luas, para ulama menjadi ingin
memiliki gelar, dimana kemudian mereka digelari Sunan. Sunan itu
artinya budi, pohon pengetahuan kesadaran pada yang baik dan buruk.
Jika buah budi itu menyadari akan kebaikan, maka ia wajib menuntut
ilmu lahir dan bathin. Pada saat itu para ulama masih memiliki hati
yang baik, belum memiliki keinginan buruk, masih menahan diri dari
makan dan tidur.

Sang Prabu Brawijaya jadi jatuh hati, para ulama itu dikiranya
Buddha, tetapi kok disebut Sunan. Tingkah laku mereka masih menahan
diri dari makan dan tidur. Apabila mengikuti rasul, maka mereka
[seharusnya] bukan menahan diri dari makan dan tidur, melainkan hanya
menuruti hawa nafsu keinginan. Tatkala kebiasaan menahan diri dari
makan dan tidur telah rusak, tetapi Prabu Brawijaya telah terlanjur
memberikan angin. Makin lama agama rasul makin menyebar.

Pada saat itu ada peristiwa-peristiwa yang aneh yang tidak masuk
akal. Peristiwa-peristiwa tersebut diketahui dari ingatan semata.
Apabila membaca atau mendengar, maka perlu dipertimbangkan benar dan
tidaknya. Tetapi karena sampai sekarang masih ada peninggalannya,
maka menurut pendapatku hal tersebut benar-benar terjadi.

Pada saat itu Sunan Benang bersiap-siap untuk mengunjungi Kediri,
yang mengantarnya hanya dua orang sahabat. Ketika tiba di utara
Kediri, yaitu di tanah Kertasana, mereka terhalang oleh air. Sungai
Brantas saat itu kebetulan sedang banjir. Sunan Benang dan dua orang
sahabatnya sama-sama menyeberang, dan ketika telah tiba di seberang
ia mencari tahu apakah orang di sana telah beragama Islam, ataukah
masih menganut agama Budi.

Menurut Ki Bandar, orang di sana agamanya Kalang, bukan Buddha namun
mirip, sedangkan agama Rasul masih sedikit sekali tersebarnya. Orang
di sana yang sebagian besar beragama Kalang memuliakan Bandung
Bandawasa. Bandung dianggap nabi mereka. Pada saat hari perayaan
keagamaan mereka bersama-sama makan enak dan bersenang-senang di
rumah. Sunan Benang berkata, "Jika begitu maka orang di sini sama-
sama beragama Gedhah, Gedhah itu tidak hitam ataupun putih. Tempat
ini pantas disebut Kutha Gedhah."

Ki Bandar menjawab, "Baik, yang mulia, saya yang menjadi saksi."
Tempat di bagian utara Kediri namanya mulai sekarang adalah Kutha
Gedhah." Hingga saat ini masih disebut dengan Kutha Gedhah, tetapi
orang jarang mengetahui asal mula nama tersebut.

Sunan Benang berkata pada sahabatnya, "Carilah air minum di desa,
sungai masih banjir dan airnya keruh. Jika diminum maka akan
menyebabkan sakit perut. Selain itu sudah waktunya salat Lohor. Saya
mau wudhu untuk salat"

Salah seorang sahabatnya lalu pergi ke desa mencari air minum. Ia
sampai di desa Pathuk dan menjumpai rumah yang nampaknya tidak ada
prianya. Yang ada hanya seorang gadis perawan menjelang dewasa,
dimana saat itu ia sedang menenun. Sahabat Sunan Benang mendekat
serta berkata perlahan, "Mbok Nganten (panggilan terhadap wanita
dalam bahasa Jawa), saya minta air minum yang bening dan bersih."
Gadis perawan itu terkejut mendengar suara pria, ketika menoleh ia
melihat seorang pria yang nampaknya mirip santri. Gadis perawan
tersebut salah sangka, ia mengira orang tersebut ingin menggodanya,
maka dijawabnya dengan perkataan kotor, "Anda menyeberang sungai
datang kemari untuk minta air minum. Di sini tidak ada air minum,
selain air kencing saya yang bening, jika Anda ingin meminumnya."

Sang santri yang mendengar ucapan kotor itu pergi tanpa pamit dan
jalannya dicepat-cepatkan. Ia menggerutu dalam hati dan menceritakan
pengalamannya di hadapan Sunan Bonang. Ketika mendengar hal itu Sunan
Bonang marah sekali, ia kemudian mengucapkan sumpah serapah pada
warga desa tersebut. Tempat itu dikutuk agar susah mendapatkan air,
para gadisnya akan terlambat menikah dan demikian pula kaum
perjakanya. Sesudah kutukan tersebut diucapkan aliran Sungai Brantas
menjadi kecil. Aliran sungai yang pada mulanya besar itu menyimpang
dan membanjiri desa, sawah, dan ladang. Banyak desa yang rusak karena
diterjang aliran sungai yang berpindah alirannya. Sungai yang pada
mulanya deras alirannya itu menjadi surut. Hingga saat ini tempat
tersebut menjadi susah air serta gadis dan perjakannya terlambat
menikah. Sunan Benang melanjutkan perjalanannya ke Kediri.

Pada waktu itu ada seorang makhluk halus bernama Nyai Plencing,
yakni makhluk halus yang berdiam di sumur Tanjungtani. Anak cucunya
para berkeluh kesah padanya, mereka melaporkan tindakan orang bernama
Sunan Benang yang kegemarannya menyiksa para makhluk halus serta
memamerkan kesaktiannya. Sungai yang mengalir di Kediri dijadikan
surut airnya serta berpindah alirannya ke arah lain yang tidak
seharusnya. Sehingga banyak desa, hutan, sawah, dan ladang yang
rusak. Semua itu akibat ulah Sunan Bonang.

Sunan Bonang juga mengutuk orang di sana, gadis dan perjaka akan
terlambat kimpoi. Sunan Benang itu kegemarannya bertindak salah. Anak
cucu Nyai Plencing bersama-sama memohon Nyai Plencing agar bersedia
menyantet Sunan Benang sampai mati dan tidak menganggu mereka lagi.
Nyai Plencing yang mendengar keluh kesan anak cucunya itu, segera
pergi menjumpai Sunan Benang. Tetapi makhluk-makhluk halus tersebut
tidak dapat mendekati Sunan Benang, karena tubuh mereka serasa panas
terbakar.

Makhluk-makhluk halus itu lalu lari ke Kediri. Ketika tiba di sana
mereka melaporkan pada rajanya segala hal yang mereka alami. Raja
makhluk halus itu berdiam di Selabale, namanya adalah Buta Locaya.
Selabale itu letaknya ada di kaki gunung Wilis. Buta Locaya itu
adalah patih Sri Jayabaya, dulu namanya adalah kyai Daha dan memiliki
adik bernama Kyai Daka. Kyai Daha itu asal usulnya ada di Kediri.
Pada saat Sri Jayabaya tiba di sana, nama Kyai Daha itu dijadikan
nama negara dan ia kemudian diberi nama Buta Locaya dan dijadikan
patih oleh Sang Prabu Jayabaya.

Buta itu artinya buteng atau bodoh, Lo itu artinya kamu, caya
artinya bisa dipercaya. Sehingga Kyai Buta Locaya itu artinya bodoh,
tetapi kawan yang setia dan patuh pada pimpinannya. Oleh karena itu
ia dijadikan patih. Yang pertama kali bergelar kyai adalah Kyai Daha
dan Kyai Daka. Kyai itu artinya mengayomi anak cucu dan orang-orang
yang berada di kanan-kirinya.

Sang raja lalu menuju ke rumah Kyai Daka. Di sana Sang Prabu
Jayabaya beserta seluruh pengikut dan pengawalnya disambut dengan
meriah, sehingga sang raja sangat mengasihi Kyai Daka. Nama Kyai Daka
dijadikan nama desa dan selain itu ia diberi gelar Kyai Tunggulwulung
serta diangkat menjadi panglima perang.

Ketika Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu
Pagedhongan telah moksha, maka Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung
juga ikut moksha. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus
seluruh Jawa. Pusat kerajannya ada di laut selatan dan digelari Ni
Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan dan
daratan serta juga kanan kiri Tanah Jawa bersama-sama takluk pada Ni
Mas Ratu Anginangin. Buta Locaya kediamannya ada di Selabale,
sedangkan Kyai Tunggulwulung ada di Gunung Kelut. Ia mengawasi dan
dan lahar agar supaya saat lahar keluar tidak merusak desa dan lain
sebagainya.

Waktu itu Kyai Buta Locaya sedang duduk di singgasananya yang
dialasi kasur permadani. Datang mengahadap patihnya bernama
Megamendhung dan dua putra tertuanya juga hadir. Yang lebih tua
bernama Panji Sektiguna dan adiknya bernama Sarilaut.

Buta Locaya sangat terkejut dengan laporan Nyai Plencing mengenai
tingkah polah Sunan Benang yang merusak tanah di utara Kediri. Ia
mengatakan bahwa Sunan Benang yang merusak itu orang dari Tuban yang
berkelana ke Kediri. Nyai Plencing mengisahkan penderitaan para
makhluk halus dan manusia.

Buta Locaya mendengar laporan Nyai Plencing itu menjadi sangat
marah. Wajahnya menjadi merah padam bagaikan api. Ia segera memanggil
anak-anaknya dan juga para makhluk halus jin serta peri. Ia mengajak
mereka melawan Sunan Benang. Para makhluk halus itu bersiap-siap
untuk perang. Mereka berjalan secepat angin, tidak berapa lama mereka
tiba di utara desa Kukum, di sana Buta Locaya beralih wujud menjadi
manusia yang bernama Kyai Sumbre. Ia kemudian berdiri di tengah
jalan, di bawah pohon sambi, menghadang perjalanan Sunan Benang dari
utara.

Tidak lama kemudian, Sunang Bonang datang dari arah utara. Ia sudah
mengetahui bahwa yang berdiri di bawah pohon itu rajanya makhluk
halus yang terlah bersiap-siap untuk menganggu dirinya. Dimana hal
itu diketahui dari hawa panas yang keluar dari makhluk halus
tersebut. Para makhluk halus yang berjumlah banyak tersebut bersama-
sama menyingkir jauh-jauh karena tidak tahan dengan hawa kekuatan
Sunan Bonang. Namun Sunan Bonang juga tidak tahan berada di dekat
Kyai Sumbre, karena kemanapun Sunan Bonang menyingkir, maka Kyai
Sumbre ada di tempat itu pula.

Dua orang sahabat Sunan Bonang pingsan, karena kedinginan. Mereka
tidak tahan terkena hawa kekuatan Kyai Sumbre.

Sunan Bonang menegur Kyai Sumbre, "Buta Locaya! Kamu menghadang
jalanku, serta menyamar sebagai Sumbre. Apa kamu cari mati?"

Buta Locaya terkejut bukan main, karena Sunan Bonang mengetahui
namanya, sehingga ia merasa ketahuan rahasianya. Lalu bertanyalah ia
pada Sunan Bonang, "Darimana Anda dapat mengetahui bahwa saya adalah
Buta Locaya?"

Sunan Bonang berkata, "Aku tidak tertipu, aku tahu bahwa engkau
adalah rajanya para makhluk halus di Kediri, namamu adalah Buta
Locaya."

Kyai Sumbre menjawab pada Sunan Bonang, "Anda itu orang mana, kok
tingkah lakunya tidak sopan, beda dengan adat istiadat Jawa. Seperti
belalang saja [loncat sini loncat sana."

Sunan Bonang berkata lagi, "Aku orang Arab, namaku adalah Sayid
Kramat, sedangkan rumah saya ada di Bonang, Tuban. Aku ke Kediri
karena ingin melihat peninggalan istana Sang Prabu Jayabaya. Istana
tersebut dulunya berada di mana?"

Buta Locaya menjawab, "Di sebelah timur itu, yakni di desa Menang,
semua peninggalan telah musnah, istana serta tempat pesanggrahan juga
telah tiada lagi. Istana dan taman istana Bagendhawati milik Ni Mas
Ratu Pagedhongan juga telah musnah, pesanggrahan Wanacatur juga telah
sirna, yang tertinggal adalah nama desa itu. Semua itu musnah
tertimbun tanah pasir dan lahar dari gunung Kelut.

Sekarang saya hendak bertanya, Anda menyiksa anak cucu Adam,
mengucapkan sesuatu yang tidak patut diucapkan. [Mengutuk] orang
menjadi perawan dan perjaka tua, dan juga mengubah nama menjadi Kutha
Gedhah, memindah aliran sungai, dan selanjutnya mengutuk bahwa di
daerah ini akan susah air. Itu namanya tindakan yang tidak berguna,
menyiksa orang lain yang tak bersalah, menyebabkan susahnya kehidupan
orang lain. Lelaki susah menemukan jodohnya. Tindakan itu
bertentangan dengan titah dari Latawalhujwa. Semua itu berasal dari
kutukan Anda, begitu besarnya kesusahan orang yang kebanjiran. sungai
Kediri berubah alirannya dan menerjang desa, hutan, sawah, berapa
banyak yang rusak. Sedangkan di sini, Anda kutuk selamanya susah air,
sungainya surut. Anda itu hanya menyiksa orang lain yang tidak
bersalah."

Sunan Bonang berkata, "Tempat ini aku ganti namanya menjadi Kutha
Gedhah, karena orang di sini agamanya tidak hitam tidak putih,
tepatnya agama biru, yakni agama Kalang. Aku kutuk susah air, karena
saya minta air minum tidak boleh. Oleh karenanya, air sungainya saya
rubah alirannya. Semua yang berada di sini saya kutuk susah air. Saya
mengutuk agar orang di sini menjadi perawan dan perjaka tua, karena
tidak bersedia memberikan saya air minum, yaitu gadis perawan kurang
ajar itu."

Buta Locaya berkata lagi, "Itu namanya orang yang tanpa
pertimbangan. Kesalahan tidak seberapa, dan selain itu hanya satu
orang yang bersalah, tetapi Anda telah membuat susah orang banyak
sekali. Tidak sesuai dengan hukumannya. Anda itu namanya membuat
susah orang banyak. Seandainya diketahui yang memiliki negara, maka
Anda akan dihukum melarat sekali, karenanya merusak tanah. Sudah
begini saja, Anda tarik kembali kutukan Anda. Di sini menjadi
melimpah air kembali, sehingga bisa untuk bercocok tanah. Pria dan
wanita dapat kembali menikah pada usia mudah, sesuai dengan titah
dari Hyang Manon. Anda itu bukan Narendra (gelar Wisnu, mungkin yang
dimaksud Tuhan - penterjemah), tetapi kok datang-datang mengharubiru
agama. Itu namanya orang berengsek."

Sunan Bonang berkata, "Meskipun kamu laporkan Raja Majalengka saya
tidak takut."

Buta Locaya setelah mendengar bahwa Sunan Bonang tidak takut pada
Raja Majalengka menjadi makin marah, kata-katanya menjadi
keras, "Anda itu jelas sekali tidak mencerminkan seseorang yang
bijaksana dan berbudi luhur, melainkan lebih tepat lagi disebut
dengan gelandangan (bahasa asli apabila diterjemahkan secara harafiah
adalah orang yang tinggal dalam rumah bambu- penterjemah). Beraninya
hanya mengandalkan kesaktiannya. Bersikaplah rendah hati sehingga
dikasihi oleh Hyang Widdhi, dikasihi oleh sahabat, dan bukannya
bertindak semau-maunya sendiri dengan tidak melihat kesalahannya. Itu
namanya orang jahat yang tidak menimbang dulu permasalahannya. Di
tanah Jawa ini, khan banyak orang yang kesaktiannya melebihi Anda,
namun semuanya itu berbudi luhur dan tidak berusaha mengungguli para
dewa. Mereka sama sekali tidak menyiksa orang lain tanpa melihat
kesalahannya terlebih dahulu. Mengapa Anda meniru Aji Saka, muridnya
Ijajil?

Aji Saka menjadi raja tanah Jawa, tetapi tiga tahun kemudian pergi
meninggalkannya, sumber air yang ada di Medhang juga dibawanya pergi.
Aji Saka orang dari India, sedangkan Anda adalah orang Arab, karena
itu sama-sama tidak menghargai sesama manusia. Sama-sama membuat
sulit air. Anda itu mengaku-ngaku sebagai Sunan, khan seharusnya
berbudi luhur, menciptakan kebajikan bagi orang banyak, tetapi kok
malah tingkah lakunya seperti itu. Anda itu seperti iblis tingkah
lakunya. Tidak tahan digoda oleh anak kecil, lalu bangkit nafsu
angkara murkanya. Sunan macam apa itu?

Kalau memang Anda sudah Sunan secara lahir bathin, maka seharusnya
berbudi luhur. Anda menyiksa orang tanpa dosa, yaitu karena Anda
dihina. Sehingga dengan demikian setelah ini Anda pantas masuk neraka
jahanam. Kalau sudah mati, Anda akan tinggal di sana. Dimasukkan
kawah air panas yang asapnya melimpah-limpah. Saya ini termasuk
golongan makhluk halus, dan berbeda dengan kalian yang manusia.
Karenanya saya ini masih ingat dengan kesejahteraan umat manusia. Ya
sudah, apa yang sudah rusak saya minta untuk diperbaikik kembali.
Sungai yang surut dan tempat yang rusak diterjang banjir, saya minta
dikembalikan seperti asal mulanya. Jika Anda tidak bersedia
mengembalikannya, semua orang Jawa yang sudah masuk Islam akan saya
santet agar mati semua. Saya tentu juga akan minta bala bantuan dari
Ratu Ayu Anginangin di laut selatan."

Sunan Bonang setelah mendengar nasehat Buta Locaya jadi menyadari
kesalahannya karena telah menyebabkan kesengsaraan banyak orang, maka
berkatalah ia, "Buta Locaya, saya ini Sunan, tidak dapat menarik
kembali ucapanku yang sudah keluar, besok jika telah genap lima ratus
tahun, maka sungai ini kembali seperti semula."

Buta Locaya setelah mendengar penolakan Sunan Bonang menjadi marah
kembali, ia mengancam Sunan Bonang, "Harus dikembalikan sekarang
juga, jika tidak bisa, maka Anda saya tahan di sini."

Sunan Bonang berkata pada Buta Locaya, "Sudah, kamu tidak perlu
mengajari aku, aku pamit mau ke Magetan, buah sambi ini aku sebut
cacil, karena kok seperti anak kecil berkelahi. Makhluk halus dan
manusia berkelahi mengadu pengetahuan masalah rusaknya tanah, serta
kesengsaraan manusia dan makhluk halus. Saya akan minta pada Tuhan,
buah sambi akan menjadi dua warna, dagingnya menjadi masam, bijinya
agar keluar minyaknya. Asam itu menjadi lambang ulat masam, karena
makhluk halus bertengkar dengan manusia. Minyak artinya makhluk halus
menghalangi perginya manusia. Pada masa mendatang jadilah saksi kalau
saya bertengkar dengan kamu. Dan mulai saat ini, tempat ini yang
utara namanya desa Singkah, sedangkan yang di sini namanya Sumbre.
Sedangkan tempat berkumpulnya pasukanmu di bagian selatan namanya
dewa Kawanguran."

Setelah berkata demikian, Sunan Bonang lalu melompat ke timur
sungai. Hingga saat ini di Kutha Gedhah ada desa bernama Kawanguran,
Sumbre, dan Singkal. Kawanguran artinya pengetathuan. Singkah artinya
menemukan akal budi.

Buta Locaya mengikuti perginya Sunan Bonang. Sunan Bonang tiba di
desa Bogem, di sana ia melihat ada patung kuda yang berbadan satu
tetapi berkepala dua. Letaknya ada di bawah pohon trenggulun. Buah
trenggulun itu banyak sekali hingga menggunung tinggi. Sunan Bonang
lalu menghancurkan kepala patung kuda itu.

Setelah melihat Sunan Bonang menghancurkan kepala patung kuda, maka
bangkit kembali kemarahan Buta Locaya. Ia berkata, "Itu adalah
peninggalan sang Prabu Jayabaya, sebagai lambang tekadnya wanita
Jawa. Besok di jaman Nusa Srenggi, siapa saja yang melihat patung itu
akan sama-sama memahami tekad para wanita Jawa."

Sunan Bonang menjawab, "Kamu itu bangsa makhluk halus, kok berani
bertengkar dengan manusia. Itu namanya makhluk halus sombong."

Buta Locaya berkata, "Lalu kenapa memangnya? Anda Sunan, saya raja."

Sunan Bonang berkata, "Buah trenggulun ini aku namakan kenthos,
sehingga menjadi peringatan di masa mendatang kalau aku bertengkar
dengan makhluk halus sombong masalah rusaknya patung."

Ki Kalamwadi menjelaskan, "Hingga sekarang, buah trenggulun namanya
kenthos, karena berasal dari sabda Sunan Bonang. Itu adalah
pemberitahuan dari guruku Raden Budi Sukardi."

Sunan Bonang lalu pergi ke arah utara. Pada saat itu telah waktunya
salat asar dan ia hendak menunaikan ibadah salat. Di luar desa itu
ada sumur, tetapi tidak ada ember untuk menimba air, karena itu Sunan
Bonang menggulingkan sumur itu sehingga ia bisa menggambil air dari
dalamnya.

Ki Kalamwadi menjelaskan, "Hingga saat ini sumur itu disebut sumur
Gumuling. Sunan Bonang yang menggulingkannya. Itu katanya Raden Budi
guruku, entah benar entah tidak."

Setelah salat maka Sunan Bonang meneruskan perjalanannya, dan tiba
di desa Nyahen. Di sana ada patung raksasa wanita yang terletak di
bawah pohon dadap. Pada saat itu kebetulan pohon dadapnya sedang
banya bunganya dan banyak yang berjatuhan di kanan dan kirinya patung
raksasa itu sehingga nampak merah merona. Sunan Bonang melihat arca
yang tingginya 16 kaki dan lingkarnya 10 kaki. Apabila diangkat orang
800 juga masih belum terangkat. Bahu kanan patung tersebut
dihancurkan oleh Sunan Bonang dan selain itu dahinya juga dirusak.

Buta Locaya mengetahui tindakan Sunan Bonang merusak patung itu,
timbul amarahnya kembali, "Anda itu benar-benar orang brengsek.
Patung bagus-bagus kok dirusak tanpa sebab. Patung itu adalah
peninggalan Sang Prabu Jayabaya, lalu mengapa Anda rusak?"

Jawaban Sunan Bonang, "Arca ini saya rusak supaya jangan disembah-
sembah oleh orang banyak, supaya jangan dimantrai. Yang menyembah
patung itu namanya kafir. Lahir dan bathinnya tersesat."

Buta Locaya mengomel lagi, "Orang Jawa itu khan sudah tahu, bahwa
itu hanya sebuah arca batu, tidak punya daya apa-apa, tidak punya
kekuasaan apa, bukan Hyang Labawalhujwa, karena itu dimantrai dan
diberi sesajian, supaya para makhluk halus yang dulunya tinggal di
tanah atau kayu - karena tanah dan kayu itu dimanfaatkan bagi
manusia - maka para makhluk halus itu diberi tempat tinggal di dalam
arca. Anda itu tahu nggak sih?

Sudah wajar kalau para makhluk halus tinggal di gua dan patung.
Selain itu mereka makan bau harum. Makhluk halus itu apabila makan
bau harum, badannya terasa segar. Mereka betah tinggal di patung-
patung batu yang berada di tempat sepi atau yang berada di depan
pohon besar. Apakah Anda sudah pernah merasakan hidup di alam makhluk
halus yang berbeda dengan alam manusia? Mereka yang hidup di dalam
patung baru, Anda siksa, jadi karena itu Anda patut disebut orang
jahil. Orang yang gemar berbuat seenaknya sendirinya terhadap sesama
makhluk Tuhan. Lebih baik orang Jawa yang menghormati patung demi
menguntungkan para makhluk halus, dibandingkan dengan orang Arab yang
menyembah Ka'bah. Wujudnya juga tugu batu, sehingga seharusnya mereka
juga sesat."

Sunan Bonang menjawab, "Ka'bah itu ada karena jasanya Nabi Ibrahim,
di situ terletak pusatnya bumi. Dibangun tugu dan disembah orang
banyak. Siapa saja yang bersujud pada Ka'bah, Allah akan mengampuni
dosanya selama hidup di dunia."

Buta Locaya menjawab dengan marah, "Buktinya apa kalau mereka
beroleh pengampunan dosa dari Tuhan, memperoleh pengampunan dari
semua kesalahan. Apakah sudah memperoleh tanda tangan dan cap dari
Tuhan?"

Sunan Bonang berkata lagi, "Itu semua disebut dalam kitabku. Besok
kalau meninggal akan beroleh kemuliaan."

Buta Locaya menjawab dengan tidak senang hati, "Ketahuilah,
kemuliaan yang ada di dunia ini sudah ternoda, orang tersesat
menyembah tugu batu, ketika mereka sudah melakukan kejahatan. Di
Gunung Kelut banyak batu besar-besar hasil ciptaan Tuhan, kesemuanya
itu terwujud berdasarkan Sabda Allah, itulah yang sesungguhnya lebih
pantas disembah. Berdasarkan izin Yang Maha Kuasa, seluruh umat
manusia harus mengetahui mengenai Ka'bah sejati, tubuh manusia itulah
Ka'bah sejati. Sejati karena ciptaannya Yang Maha Kuasa. Inilah yang
harus diperhatikan. Siapa yang sadar akan asal usulnya, mengetahui
akal budinya, yaitu yang sanggup dijadikan suri tauladan.

Meskipun siang dan malam menjalankan salat, tetapi apabila
pikirannya gelap, pengetahuannya amburadul, menyembah tugu batu yang
dibuat nabi. Nabi itu khan juga manusia kekasih Allah, diberi wahyu
sehingga menjadi pandai dan sanggup mengetahui apa yang akan terjadi.
Sedangkan yang membangun arca batu itu adalah Prabu Jayabaya, yang
juga merupakan kekasih Allah. Ia juga menerima wahyu mulia, juga
banyak pengetahuannya dan sanggup mengetahui apa yang akan terjadi.
Anda berpedoman pada kitab, sedangkan orang Jawa berpedoman pada
sastra kuno, petuah dari leluhur sendiri. Lebih baik mempercayai
sastra kuno dari leluhur sendiri yang peningggalannya masih dapat
disaksikan. Orang mempercayai kitab Arab, padahal belum tahu keadaan
di sana, entah benar entah salahnya, hanya percaya perkataannya para
penipu.

Anda menjual kemuliaannya negeri Mekah. Padahal saya tahu seperti
apa sebenarnya Mekah. Tanahnya panas, susah air, tanaman tidak bisa
tubuh, serta jarang hujan. Orang yang sanggup bernalar akan menyebut
Mekah itu negeri celaka. Malah banyak orang yang diperjual-belikan
sebagai budak. Anda itu orang durhaka. Saya minta untuk pergi dari
sini, negeri Jawa yang suci dan mulia, cukup hujan dan air, apa yang
ditanam dapat tumbuh, yang pria tampan, yang wanita cantik. Bicaranya
juga luwes. Kalau Anda bicara masalah pusatnya jagad, maka tempat
yang saya duduki inilah yang merupakan pusat jagad. Silakan Anda
ukur, bila salah pukullah saya.

Anda itu seperti orang tidak waras, pertanda kurang nalar, kurang
memakan pengetahuan akal budi, senang menyiksa orang lain. Yang
membuat arca itu Maha Prabu Jayabaya, yang kesaktiannya melebihi
Anda. Anda apa sanggup mengetahui apa yang akan terjadi? Sudahlah,
saya minta Anda pergi saja dar sini. Jika tidak mau pergi dari sini,
maka akan saya panggilkan adik saya dari Gunung Kelut. Anda saya
keroyok apa bisa menang? Lalu akan saya bawa ke dalam kawah Gunung
Kelut. Apakah Anda tidak sengsara? Apakah Anda ingin berdiam dalam
batu seperti saya? Kalau mau silakan datang ke Selabale, jadi murid
saya!"

Sunan Bonang berkata, "Saya tidak mau mengikuti perkataanmu, wahai
setan iblis."

Buta Locaya menjawab, "Meskipun saya makhluk halus, tetapi raja
makhluk halus. Mulia dan abadi selamatnya. Anda belum tentu mulia
seperti saya. Niat Anda buruk, gemar menyiksa orang lain. Oleh karena
itu Anda datang ke tanah Jawa. Di Arab Anda tergolong orang hina.
Jika Anda orang mulia maka tidak akan pergi meninggalkan Arab, karena
salah maka melarikan diri dari sana. Buktinya di sni membuat onar,
menghina adat istiadat orang lain, menghina agama, merusak barang
yang bagus, mengharubiru agama leluhur kuno. Raja wajib menyiksa dan
membuang Anda."

Sunan Bonang berkata, "Pohon dadap ini bunganya aku beri nama
celung, buahnya kledhung, karena aku kalah nalar dan kalah
pembicaraan. Jadilah saksi bila aku bertengkar dengan raja makhluk
halus dan kalah pengetahuan serta nalar."

Oleh karena itu hingga sekarang, buah dadap, namanya kledhung,
bunganya dinamakan celung.

Sunan Bonang lalu berpamitan, "Sudah saya akan pulang ke Bonang."

Buta Locaya menjawab dengan marah, "Ya sudah, pergilah cepat-cepat.
Di sini membuat susah saja. Makin lama makin membuat susah saja.
Membuat susah air, menyebabkan kekeringan." Sunan Bonang meninggalkan
tempat itu dan Buta Locaya beserta pasukannya juga pulang
meninggalkan tempat itu.

Tak Setuju Serbu Majapahit, Syech Siti Jenar Dibunuh

Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang Patih tentang adanya
surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi
kerusakan di wilaya itu akibat ulah Sunan Bonang.
Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya.

Setelah tiba, Sang Patih melaporkan semua yang telah terjadi.
Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu
kemana.

Berikut babak lanjutan dari Serat Darmogandhul.

Saking murkanya, Prabu Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di
Pulau Jawa pergi.
Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan
meyebarkan agama Islam.
Apabila menolak akan dibunuh.

Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh Patihnya, karena ulama Giripura
telah tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan
kerajaan sendiri.
Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu.
Maka, diseranglah Giri hingga kocar-kacir.

Menyadari kekeliruannya karena tidak menghadap Majalengka, Sunan Bonang
mengajak Sunan Giri ke Demak.
Di sana, mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak dan mengajak menyerbu
ke Majalengka.

Kata Sunan Bonang,
" Ketahuilah, kini saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur
103 tahun.
Menurut pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja.
Rusaklah Kraton Majalengka dengan cara halus.

Jangan sampai ketahuan.
Menghadaplah ke Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan senjata perang.
Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya."

Provokasi

Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti
saran Sunan Bonang.

" Saya takut merusak negeri Majalengka.
Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan kebahagian
dan kebaikan di dunia.
Kata Kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh melawan ayahanda meski
beragama Budha atau pun kafir."

Mendengan jawaban demikian, Sunan Bonang berkata,
" Meskipun melawan ayah dan raja, tidak ada jeleknya kerena dia kafir.
Merusak kafir tua kamu akan masuk surga.

Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh tak bernalar.
Seberapakah pengetahuan santri Ngampelgading.
Anak kelahiran Campa tak mungkin menyamaiku Sayid Kramat, Sunan Bonang yang
dipujikan manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam.

Meski kamu dosa, toh hanya kepada satu orang.
Tetapi, semua manusia se Jawa masuk Islam.
Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau terima.

Tuhan masih cinta kepadamu.
Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan dirimu.
Buktinya, kamu diberi nama Babah.

Babah itu artinya tidak baik.
Hidup hanya untuk mati.
Benih Jawa yang dibawa Putri Cina.

Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, orang keturunan
raksasa.
Itu memutus cinta namanya.
Ayahmu tetap berhati tidak baik.

Karena itu, balaslah dengan halus.
Pokoknya jangan kelihatan.
Dalam hati, isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya."

Kemudian, Sunan Giri menyambung,
" Aku tidak berdosa, dicari ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku
tidak menghadap ke Majalengka.
Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan
anjing.

Banyak orang Cina yang datang ke Jawa.
Di Giri banyak yang ku-Islamkan.
Sebab, menurut Qur-an, bila meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan
surga.

Kedatanganku ke sini untuk minta perlindunganmu.
Aku takut kepada patih dan ayahmu yang sangat benci kepada santri yang suka
berzikir.
Katanya, sakit ayan pagi dan sore.
Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam ini."

Jawab sang Adipati Demak,
" Ayahanda memburu tuan itu betul.
Karena tuan Sunan mendirikan kraton.
Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk perintah raja yang lebih
berkuasa.
Maka, sudah sewajarnya bila diburu, dihukum mati, karena Sunan tidak
meyadari makan minum di Pulau Jawa."

Namun, Sunan Bonang berkata lagi,
"Jika tidak kau rebut sekarang, kau akan rugi.
Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan diserahkan
kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua.
Atau kepada menantunya, Ki Andayanigrat di Pengging.

Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja.
Mati melawan kafir mati sabilillah, mati menerima surga.
Sudah biasa bagi orang Islam dalam melawan orang kafir.
Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi raka, merestui kedudukanmu
sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa, memulai agama suci, dan
menghilangkan agama Budha."

Panjang lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan
mau merusak Majalengka.
Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau melawan orang tuanya karena
kafir.

Syech Siti Jenar Dibunuh

Singkat cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara
datang semua ke Demak.
Berkumpul untuk mendirikan masjid.
Kemudian sembahyang bersama di masjid yang beru didirikan.
Usai sembahyang pintu masjid ditutup.

Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati Demak
akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit.
Bila semua setuju akan segera dimulai.
Semua sunsn dan bupati setuju.

Hanya Syech Siti Jenar yang tidak.
Maka, Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar.
Yang disuruh membunuh adalah Sunan Giri.
Setelah sepakat, Adipati Demak diangkat menjadi raja menguasai tanah Jawa
bergelar Senapai Jimbuningrat dengan patih dari atas angin bernama Patih
Mangkurat.

Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata perang
berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan bupati.
Berjalan berarakan seprti Grebeg Maulud.
Semua pasukan tak ada yang mengetahui tujuan itu selain para tumenggung,
para sunan dan para ulama.

Sunan Bonang dan Sunan Giri tidak ikut dengan alasan telah lanjut usia.
Keduanya hanya akan salat di dalam masjid dan merestui perjalanan.
Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan panjang lebar.

Terjadi Peperangan

Alkisah, sepulang dari Giri sang Patih melaporkan hasil penaklukan terhadap
Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama Setyasena.
Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang.
Pasukannya berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang
berkepala gundul, berpakaian serba seperti haji.

Dalam berperang mereka lincah seperti belalang.
Sementara pasukan Majapahit menembaki.
Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu menerima
peluru.

Senapati Setyasena menemui ajal.

Pasukan Giri melarikan diri ke hutan dan gunung.
Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan terus diburu oleh pasukan
Majapahit.
Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri
ke Arab dan tidak kembali ke Majapahit.

Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu
Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah
Kertosono.
Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak mau menghadap raja, bertekat
melawan dengan perang.

Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan
dikirim ke Demak.
Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat
terkenal dengan Menak Tanjangpura ) mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah
Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak.

Sedangkan yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri.
Para Bupati di Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam
mendukung.
Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar
Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi
Surya Alam di Bintoro.

Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang, terserah
kepada Patih cara menghadap kepada raja.
Surat dari Pati itu bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan
wuku Prabangkat.
Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya.

(bersambung)

DARMAGANDHUL (2)


No comments:

Post a Comment