Tuesday, 16 November 2010

Dongeng Kancil

Dongeng Kancil

Sapardi Djoko Damono




(1)
Aku suka menyaru. Masuk keluar kampung, menyusuri jalan raya, ikut duduk-duduk di taman kota bersama para pensiunan, menikmati pemandangan sekitar desa yang terpencil, menyeberang sungai, dan masuk hutan. Pada suatu sore yang sangat cerah ada seekor kancil mendekati-Ku dan berkata, "Bung, dari mana saja kau?" Aku selalu dianggap sebagai yang menyapa-Ku. Maksud-Ku, kalau ada gajah bertemu dengan-Ku, ia akan melihat-Ku sebagai seekor gajah, kalau ada manusia melihat-Ku, ia akan memperlakukan-Ku sebagai manusia, dirinya sendiri.

Kancil itu tampak kelelahan, mungkin sesudah berjalan jauh masuk keluar hutan seharian. la berada di dekat sebuah rumpun bambu yang lebat, yang kereat-kereotnya terdengar agak keras lantaran angin sore yang berembus dari selatan. Lidahnya terjulur, ujungnya tampak terluka dan mengeluarkan sedikit darah. Bicaranya tentu saja tidak selancar seperti umumnya kancil.

"Kurang ajar benar macan itu. la tahu aku mau menipunya. Lihat ini, lidahku hancur."

Kereat-kereot batang bambu terdengar di sela-sela kerisik daun-daunnya yang seperti ampelas. Tidak tampak awan di langit, yang cumulus maupun cirrus. Berslh. Jika kemarau tiba, malam-malam tentu bedhidhing dan mereka semua akan kedinginan sebab tidak ada selembar awan pun yang menghalangi panas bumi melesat ke langit. Kancil duduk, menatapKu tajam-tajam, suaranya agak tertahan-tahan.

"Coba pikir. Aku sedang melepaskan lelah di bawah rumpun bambu ini, mendadak lewat macan yang tentunya sakit hati karena dulu pernah kutipu. Segera saja ia tersirap melihatku terkantuk-kantuk, dan seperti siap menerkam dan menyantapku. Nah, akhirnya kau kutemukan juga, Cil. Kemana saja selama ini kau? Suara macan itu terasa seperti pisau yang sedang menyembelih kambing. Sedang apa kau di situ? tanyanya gemeletuk. Kukatakan aku sedang diberi tugas Kanjeng Nabi Sulaiman menjaga Seruling Agung yang di rumpun bambu itu."

Di telinga seekor macan, kereat-kereot itu memang mirip lantunan seruling bambu. Sebelum melanjutkan kisahnya, kancil itu beringsut sedikit demi sedikit mendekati-Ku. Angin sore semakin sejuk dan daunan bambu itu terjurai bagai entah rambut apa. Di langit tampak ada awan kecil melintas, agak kemerahan kena sinar matahari sore.

"Tapi apa jawab macan itu? Cil, aku sudah tahu semua itu bohong. Kau akan menipuku lagi agar lidahku kujepitkan di sela-sela batang bambu itu. Katamu aku akan mendapat hadiah dari Kanjeng Nabi kalau meniup bambu itu. Begitu, kan? Lha itu kan siasat si Juru Dongeng agar anak-anak suka mendengar dongeng kancil. Coba, bayangkan, macan itu bicara mengenai Juru Dongeng yang telah merancang semua apa yang mesti kulakukan, dan ternyata dia sudah tahu terlebih dahulu. Apa yang bisa kulakukan supaya tidak disantapnya agar rancangan Juru Dongeng terlaksana?"

Aku menyaksikan seekor kancil yang mulai kusut pikirannya. la mengutarakan hal yang sama sekali tidak dipahaminya, apalagi dihayatinya. Suara kereat-kereot rumpun bambu itu adalah seruling yang menjadi latar adegan ini. Tanpa menatap-Ku ia melanjutkan keluhannya.

"Bayangkan! Macan itu mendekatiku, mengangkat sebelah kakinya, menyaksikanku sama sekali terpojok dan tidak mungkin melepaskan diri lagi. Aku pikir inilah akhir dongeng yang masyhur tentang diriku. Tetapi tidak. Macan itu tiba-tiba tersenyum dan menurunkan lagi kakinya, katanya, Begini saja, Cil. Kau tak akan kuapa-apakan kali ini asal permintaanku kau turuti. Aku kaget, tentu saja semua permintaannya akan kuturuti asal aku selamat. Cil, Juru Dongeng kan menetapkan bahwa lidahku akan kau jepit di sela-sela batang bambu itu seolah-olah sedang meniup seruling, sementara kau melarikan diri. Sekarang bagaimana kalau lidahmu saja yang kujepit dan aku yang pergi agar tidak jadi memakanmu? Tidak ada yang bisa kukatakan selain setuju, demi nyawaku. Maka ia pun menjepitkan lidahku ke rumpun bambu itu, kemudian macan celaka itu dengan tenang melenggang pergi. Apa Juru Dongeng memang suka mengubah-ubah rancangannya? Apa Juru Dongeng telah membocorkan rencananya?"

Angin semakin terasa sore tetapi magrib masih beberapa waktu lagi sehingga Aku tidak usah tergesa-gesa. Lapangan rumput, tanah kering, lantai marmer—semua sama saja bagi-Ku. Dinding bambu, genting seng, tiang kayu—semua sama saja bagi-Ku. Bahasa kancil, awan, macan, sungai, rumpun bambu—semua sama saja bagi-Ku. Awan kecil sudah lewat. Langit bersih sempurna kembali.

"Apa yang kualami dengan macan itu tak jauh bedanya dengan peristiwa di bengawan ketika aku mencoba menipu sekawanan buaya agar mereka berjajar di sungai supaya bisa kujadikan jembatan untuk pergi ke seberang. Mereka tertawa ngakak ketika kusampaikan akal-akalanku itu. Kau percaya rancangan Juru Dongeng itu musti terlaksana, ya? Kau keliru, Cil. Siapa pun sudah lama tahu mengenai dongeng itu. Kami tidak lagi mau dijadikan korban demi kemasyhuranmu. Maka aku pun mereka main-mainkan di bengawan sampai gelagapan, meskipun akhirnya mereka lepaskan setelah aku setengah mati. Mereka malah menyarankan aku agar mencari Juru Dongeng, menanyakan perihal itu."

Dari jauh terdengar sayup-sayup suara adzan. Magrib sudah tiba.

"Kenapa diam saja sejak tadi?"

Dan kancil itu pun pergi.
(2)
Dan aku pun pergi. Melanjutkan perjalanan mencari Juru Dongeng yang disebut-sebut macan dan buaya itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun keluar masuk hutan, menyusuri bengawan, melintasi padang, dan akhirnya sampai di sebuah kebun mentimun milik seorang petani. Seperti biasa, setiap kali melihat mentimun aku jadi lapar sekali, tapi mau mencuri takut karena tampaknya ada orang yang menunggu meskipun hari sudah malam. Orang itu diam saja di tengah kebun seperti patung, bahkan ketika kudekati. Ternyata hanya orang-orangan yang biasa dipasang di kebun untuk menakut-nakuti binatang. Tapi aku kancil, tidak bisa kena tipu malah biasa menipu. Timbul keberanianku. Harus kutumpahkan dulu segala kejengkelanku terhadap orang-orangan tolol yang ditanam di kebun itu. Maka kusepaklah ia dengan kaki kiriku. Eh, lengket. Kaki kananku, lengket pula. Aku berusaha melepaskan diri dari orang-orangan itu tapi semua kaki dan seluruh tubuhku malah lengket ke tubuhnya yang dilumuri getah. Aku capek dan merasa bodoh dan putus asa dan menggantung di orang-orangan itu.

Paginya kulihat Pak Tani datang, "Ini dia, ada kancil kena tangkap!" Kemudian kusadari bahwa aku benar-benar berada dalam bahaya. Tidak ditangkap macan atau buaya atau manusia, tetapi oleh benda tak bernyawa yang dipasang di kebun. Aku pun dibawa Pak Tani ke rumahnya, yang ternyata sedang siap-siap menyelenggarakan perhelatan besar. Anak gadis Pak Tani mau dikawinkan besok pagi.

Pak Tani dengan bangga memamerkanku kepada keluarganya dan bilang bahwa besok aku akan dikuliti, dipotong-potong dijadikan sate sebagai santapan para tamu.

"Masukkan dulu ke kurungan bambu itu, Pak. Biar ditunggui si Anjing. Nanti lepas kalau dibiarkan sendiri," begitu kata istrinya. Memang itulah garis kisah yang harus kujalani.

Maka aku pun dimasukkan ke sebuah kurungan. Ada seekor anjing kampung yang besar meski korepan menjulur-julurkan lidahnya duduk dekat kurungan, menungguiku. Byar! Aku ingat sebuah rancangan untuk menipu anjing itu dengan mengatakan bahwa besok Pak Tani akan menjadikanku menantu. Kukatakan kepada si Korep itu bahwa ia akan mendapatkan kedudukanku sebagai menantu Pak Tani kalau mau menggantikanku menunggu dalam kurungan bambu sepanjang malam itu. Tapi apa katanya? Sudahlah, Cil, tak usah cerita macam-macam, aku sudah tahu rancangan Juru Dongeng itu. Kau mau dijadikan sate dan bukan menantu. Iya, kan? Dan karenanya tentu saja aku tidak mau menggantikanmu. Anjing itu sudah juga mengetahui rancangan Juru Dongeng! Dan aku mendapat firasat bahwa tak akan mungkin lepas kali ini sebab anjing kudisan itu tampaknya tak peduli pada nyawa binatang lain. Mungkin ia pikir besok akan mendapat bagian tulang kancil setelah dagingku dibikin sate. Aku harus tinggal di dalam kurungan itu semalaman, membayangkan macan, buaya, ular yang ternyata juga sudah tahu taktik tipuanku. Aku juga harus membayangkan diriku dijadikan sate besok pagi sebagai santapan para tamu. Dan aku belum juga berhasil menemui Juru Dongeng itu sehingga tidak tahu kelanjutan nasibku. Aku pun tertidur, letih setelah terus-menerus diajak oleh Sang Malam membicarakan kekhu&ukan subuh dan keindahan fajar yang tak ada taranya: matahari akan muncul dari sela-sela perbukitan sana dan cahayanya bersijingkat mendekati desa itu.

(3)
Aku suka menyaru. Masuk keluar kampung, menyusuri jalan raya, ikut duduk-duduk di taman kota bersama para pensiunan, menikmati pemandangan sekitar desa yang terpencil, menyeberang sungai, dan masuk hutan. Dalam penyaruan itu Aku akan selalu diperlakukan sebagai apa pun yang kebetulan bertemu dengan-Ku, mengeluh tentang Juru Dongeng itu.***





Kalam, No. 19, 2003

No comments:

Post a Comment