Tuesday 16 November 2010

Empat Buku 40 Hari

Empat Buku 40 Hari

Cerpen Hamsad Rangkuti



Pelayat melingkari rosbang kosong itu. Si suami masih belum juga pulang dari menjemput jenazah istrinya. Tadi sore kecelakaan lalu lintas merenggut nyawa si istri.

Lima hari yang lalu aku duduk di bawah tenda di depan rumah yang sama. Aku ditugaskan membalas pantun bila dari pihak wanita ada yang melempar pantun. Begitu upacara penyambutan selesai aku duduk di bawah tenda. ''Pantun-pantun Anda hebat. Anda cekatan membalas pantun pihak pengantin wanita.''

''Terimakasih.''

''Kulihat, pengantin pria itu tua. Apakah dia kaya jemaah?''

Kupandang wajah lelaki itu. Wajahnya bersih. Dia muda. Mungkin dia dari jenis orang yang suka bermain kata.

''Aku tak mengerti maksudmu, kaya jemaah?''

''Sekarang semua telah berubah. Waktu aku di kampung, di masa aku mengaji, tak pernah ustad kami mengarahkan kami berzikir dalam sedu-sedan air mata. Maksudku, sekarang ini, bagi para penganjur akhlak untuk terbuka pintu surga, makin kaya jemaah, makin kaya materinya, makin terbuka kesempatan baginya menambah istri muda.''

Aku semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan orang ini. Apakah sebelum ke sini dia menenggak miras? Aku pun jadi terpancing ikut ngomong seperti baru menenggak minuman keras.

''Memang, semua sudah berubah. Surga tidak lagi di bawah telapak kaki Ibu, tapi sudah di bawah telapak kaki Mama.''

''Mama dipakai anak orang-orang kaya. Golongan menengah ke atas. Jadi, supaya negeri kita ini makmur, kaya seperti pemakai kata Mama, Ibu Pertiwi sebaiknya dirobah menjadi Mama Pertiwi.''

''Kembali kepertanyaan saya tadi, apakah pengantin pria ini dari jenis semacam itu? Kaya jemaah?''

''Oh tidak. Dia tidak dari jenis semacam itu, penganjur akhlak untuk terbuka pintu surga. Dia orang biasa. Dia miskin jemaah.''

''Kulihat dia sudah berumur.''

''Tua maksudmu? Apa ada yang salah bila dia tua? Ini adalah pernikahan setelah istrinya meninggal tiga bulan yang lalu. Cukup lama dia menduda. Apa ada yang salah dengan umur seorang pengantin pria?''

''Oh tidak. Tidak ada yang salah. Cuma saya bertanya-tanya, apakah dia masih bisa? Oh maaf, maksudku, umpama petani, apakah dia masih bisa membenam bajak? Pengantin perempuan itu perawan.''

Pertanyaan yang tak berakhlak. Kupandang lagi wajahnya. Dia memang muda. Tidak ada salahnya kalau dia meragukan kemampuan orang tua. Dia senyum menanggapi reaksiku yang tak suka. Dia seperti hendak menarik pertanyaannya. Dia mungkin sadar, sebaiknya dia tidak mengajukan pertanyaan seperti itu.

''Mengapa? Anda ragu akan kemampuan orang tua? Aku tau, dia akan masuk ke dalam malam pertama seorang perawan.''

''Aku tetangga pengantin wanita. Apakah si tua itu kaya?''

''Tidak sekaya yang mungkin Anda duga. Aku tetangganya. Aku tahu betul siapa dia. Seorang pensiunan pegawai negeri. Uang pensiunnya cukup untuk mereka berdua. Semua anaknya sudah menikah. Tinggal di rumah mereka sendiri-sendiri. Impiannya akan istri selalu datang dalam tidurnya. Sepuluh tahun dia rawat istrinya di tempat tidur dan kursi roda. Tiga bulan yang lalu istri itu meninggal. Coba Anda bayangkan. Sepuluh tahun tiga bulan dia menduda! Tentu Anda paham apa yang saya maksud. Dan dia adalah lelaki yang taat pada agamanya. Dia punya pensiun. Dia tidak ingin kalau dia sakit, atau renta, bukan muhrim yang merawatnya.''

''O begitu. Sepuluh tahun istrinya sakit. Selama itu pula dia menduda? Lalu ditambah tiga bulan. Aku faham, aku bisa menangkap maksud Anda.''

''Apa yang engkau ketahui mengenai pengantin wanita? Engkau katakan, engkau tetangganya.''

''Dia gadis tua di kampung ini. Dia tidak laku-laku. Ayahnya sangat memilih. Dia tidak ingin nasib kakak-kakaknya terulang pada anak bungsunya itu. Dia ingin menantu terakhirnya seorang pegawai, sukur-sukur kalau yang melamar itu pegawai negeri. Tetapi harapan itu tak pernah datang. Gadis itu pun menjadi tua. Tadi Anda bilang lelaki itu pensiunan pegawai negeri. Mungkin itu pula yang menjadi pertimbangan si Ayah. Menantunya pensiunan pegawai negeri.''

Pada malam ke-40 aku datang menghadiri malam tahlilan di rumah duda tua itu. Kepada kami diberikan buku Yasin, yang diterbitkan untuk mengenang 40 hari wafat sang istri. Malam tahlilan itu terasa seperti malam peluncuran buku duka. Kubuka buku Yasin itu. ''Ya Allah ampunilah dosanya, limpahkanlah rakhmat kepadanya, hapuskanlah segala kesalahannya, muliakanlah tempatnya dan lapangkan pintu baginya, maafkan segala kekeliruannya.''

Di halaman berikut, ''Mengenang 40 hari wafatnya Istri, Ibu, Nenek Kami yang tercinta. Siti Rohimah Binti HM Djailani. Lahir di Condet Balekambang, Jakarta Selatan, 20 Agustus 1975. Wafat di Poltangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 29 November 2006.''

Di halaman berikutnya tercetak foto almarhumah dalam warna sempurna dan dalam bulatan yang dilingkari ornamen kaligrafi Arab.

Di halaman yang lain ada kata pengantar dari keluarga mengenai almarhumah yang disampaikan oleh sang suami, RM Sarman Bin Toyib. Di halaman lain ada Hadits riwayat Imam Bukhari & Muslim. Rasulullah SAW bersabda: Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala amal, kecuali dari tiga hal yang tetap kekal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya.

Di halaman-halaman lain memuat Surat Al-fatihah, Surat Al-Ikhlaash, Surat Al-Falaq, Surat An-naas, Ayat Kursi, Surat Yaasiin, Tahlil, Doa Tahlil, dan berbagai tuntunan shalat. Juga berbagai macam doa yang bisa dipilih pemakainya sesuai kebutuhan.

Aku tak tahu awal mulanya buku duka semacam itu diterbitkan kelurga untuk mengenang kematian seseorang setelah 40 hari kematiannya. Aku juga tak tahu apakah buku semacam itu dianjurkan agama untuk diterbitkan?

Waktu pamit kujabat tangan duda tua itu. Aku mengulang apa yang pernah kuucapkan 40 hari yang lalu sebagai ungkapan belasungkawa.

''Tabahlah. Bukan main berat cobaan yang Allah beri kepada Bapak. Hanya lima hari Allah beri waktu bulan madu untuk Bapak.''

''Tunggu. Jangan pulang lebih awal. Ada yang ingin kutunjukkan.''

Aku tertahan di ruang tamu. Setelah tinggal sendiri, dia menarik tanganku ke ruang dalam.

''Saya telah menerbitkan empat buku untuk empat istri. Untuk meyakinkan, mari ikut aku.''

Aku jadi terpaku. Dia masuk ke ruang dalam. Terdengar bunyi engsel berkarat. Dia muncul membawa tiga buku kecil yang tipis. Dia buka buku-buku itu menurut urutan tanggal dan menunjukkannya kepadaku. Buku pertama memuat foto seorang perempuan dalam lingkaran bulat telur dan namanya sebagai suami yang berduka.

Buku kedua demikian pula. Dia perlihatkan foto istri keduanya dan namanya di halaman yang lain. Kemudian dia buka halaman buku ketiga, foto istri ketiga yang wajahnya cukup kukenal, meninggal tiga bulan yang lalu. Dengan buku yang ada di tanganku, duda tua itu telah menerbitkan empat buku 40 hari mengenang istri-istri tercintanya.

''Cukuplah empat buku. Jangan terbitkan buku kelima.''

''Pikiran ke arah itu selalu menggoda. Aku pensiunan pegawai negeri. Semasa dinasku aku tak pernah menyelewengkan uang negara. Kesempatan untuk itu cukup terbuka. Tetapi tidak aku gunakan. Aku sekarang ingin mendapat lebih dari pengabdian yang bersih itu. Aku tidak ingin tinggal di rumah jompo. Aku tidak ingin yang bukan muhrim mengurus hari-hari tuaku. Mengurus hari-hari pikunku. Aku tak ingin merepotkan anak dan cucu-cucuku. Kalau aku meninggal, aku ingin ada janda yang meneruskan uang pensiunku.''

''Kalau begitu, tidak menutup kemungkinan akan terbit buku duka yang kelima.''

''Kalau dia yang lebih dahulu. Kalau aku? Mungkin itu merupakan buku duka pertama baginya, kalau dia belum pernah ditinggal mati suami. Adik perempuanku memutuskan tidak ingin ada buku kedua, walau dia masih muda. Dia manfaatkan setatus jandanya. Janda seorang Jendral. Dia tidak menikah lagi. Tiap bulan dia hidup dengan uang pensiun almarhum suaminya. Pensiun seorang jendral.''




Sumber: Republika 01 Juli 2007

No comments:

Post a Comment