Gatotkaca Lena
Panglima panglima sepuh Hastina telah menjadi korban ganasnya Bharatayuda. Resi Bhisma tergolek lemah setelah ribuan panah Srikandi menghujam raganya. Meski sukma dan raga Resi Bhisma masih bersatu, namun cukuplah ribuan panah itu menyingkirkan sang resi dari gelanggang pertempuran. Pandita Dorna tewas dengan mengenaskan di tangan Drestajumna. Kepala dan badannya terpisah setelah menduga anaknya tewas.
Mendung menggelayut di kedua belah kubu.
Pihak Pandawa masih berduka mengenang eyang dan guru mereka yang telah menjadi korban ganasnya Bharatayuda. Korban atas perang yang terjadi diantara cucu cucu Bhisma. Korban atas perang diantara anak-anak didik Pandita Dorna. Kegamangan perang kembali meyeruak.
Sementara pihak Kurawa resah mencari pengganti panglima perang mereka. Hanya yang memiliki kehebatan setara Resi Bisma dan Pandita Durna yang pantas menggantikan mereka.
Malam semakin gelap. Pandawa dan Kurawa masih menyiapkan strategi untuk Bharatayuda esok pagi. Pandawa masih mencoba menerka siapa yang akan mereka hadapi di Kurusetra. Setelah tumbangnya Resi Bisma dan Pandita Dorna, tinggal Prabu Salya yang pantas dan sanggup menjadi panglima sepuh pihak Kurawa. Apakah setelah menghadapi Eyang kemudian Guru, apakah sekarang saatnya menghadapi Paman mereka? Atau ada panglima muda yang akan mereka hadapi esok pagi?
Prabu Kresna tiba-tiba resah luar biasa ketika tersiar berita Adipati Karna yang maju menjadi panglima, dan didampingi Prabu Salya sebagai saisnya. Keresahan itu menyeruak demikian hebat. Keeresahan akan keselamatan Arjuna. Keresahan akan akhir perang ini. Dia tahu, Bharatayuda tidak mungkin dimenangkan oleh Pandawa tanpa penengahnya, tanpa Arjuna. Dan dia tahu hanya Arjunalah yang akan dicari dan diajak bertarung oleh Karna. Yah, itulah pemenuhan ikrar Karna kepada Kunti ibunya.
”Dalam perang Bharatayuda nanti, saya hanya akan bertarung dengan Arjuna, agar putera Ibu ”tetap” lima”
Dan Kresna juga tahu, Adipati Karna, putra tertua Dewi Kunti, tidak mungkin dikalahkan oleh Arjuna selama Karna masih memengang senjata sakti para dewa. Senjata Konta. Konta Wijayadanu.
Dalam keresahannya, Prabu Kresna melesat ke angkasa.
Sementara itu, jauh diatas mega Gatotkaca terbang dengan eloknya. Sesekali melakukan manuver-manuver di udara. Melesat cepat, menukik, langsung melesat ke atas setelah berjumpalitan diudara tiga kali. Dikejarnya angin dan ditangkapnya sang angin. Namun kadang pula angin yang menggulung gulung Gatotkaca. Mereka tertawa lepas, seolah tanpa beban. Namun terkadang pula Gatotkaca melayang, mengambang saja. Membiarkan dirinya dihanyutkan oleh angin. Dibelai oleh angin, dimanjakan oleh angin. Asyik sekali Gatotkaca bermain dengan angin, bagai anak kecil bermain dengan kakeknya. Yach.. benar!! Gatotkaca sedang bermain main!! Bermain dengan kakeknya, Bathara Bayu.
Dalam tegap tubuhnya, dan dalam garang kumis yang melintang tersembunyi jiwa kekanakan Gatotkaca. Suara berat raganya, menindas celoteh riang batinnya. Raga dan suara itu menjebak Gatotkaca yang sebenarnya masih sangat muda. Masih remaja. Gatotkaca yang malang. Gatotkaca yang instant. Gatotkaca yang dipaksa berperang ketika bayi, demi ketentraman kahyangan. Jabang Tetuko, bayi Gatotkaca, dipaksa berperang melawan raja Raksasa. Kawah Candradimuka memaksa tubuhnya menjadi perkasa. Jabang bayi yang baru lahir dipaksa menjadi satria.
Namun seperti sarung Senjata Konta yang bersemayam dalam pusarnya, ada kekosongan di dalamnya. Jiwa kanak-kanak itu tetap ada. Yah.. sarung Senjata Konta, keras diluar namun tetap saja kosong di dalamnya. Sarung Senjata Konta, itulah Gatotkaca. Jiwanya masih kanak, berbeda dengan Bima ayahnya. Keteguhan jiwa Bima, pencerahan budi Bima, hanya untuk Bima. Hanya untuk dia yang mengarungi samudra, menapaki dasarnya, bergelut dengan naga, dan berguru pada Dewaruci. Kemuliaan budi dan jiwa Bima tidak bisa diwariskan ke siapa pun. Tidak juga kepada Gatotkaca, anaknya. Perjalanan pencarian keteguhan jiwa itu yang tidak dialami Gatotkaca. Dia dipaksa dewasa oleh para dewa.
”Selamat Malam, Kangmas Batara Bayu. Maaf mengganggu, mohon ijin ketemu Gatotkaca,” sapa Prabu Kresna mengusik keasyikan Gatotkaca yang sedang ditimang oleh angin semilir.
Suasana tiba-tiba hening. Angin mati.
”Ada apa uwa Prabu. Kok malam-malam menyusul kemari” tanya Gatotkaca keheranan.
”Gatotkaca, uwa minta kamu besok maju ke medan perang. Hadapi Adipati Karna!”
Gatotkaca diam saja.
”Bagaimana Gatotkaca, kamu besok tanding dengan Karna”
Gatotkaca menggeleng pelan
”Tidak uwa! Aku tetap pada tugasku saja. Menghadapi ribuan pasukan dan raksasa raksasa yang lain. Biarlah panglima Kurawa dihadapi oleh satria-satria Pandawa yang lain”
Memang selama ini Gatotkaca bertugas untuk menghancurkan pasukan yang lain, sementara senapati-senapati dihadapi oleh satria-satria Pandawa yang lain. Ada Seta, Uttara, Setyaki, Drestajumna, Srikandi, Abimanyu atau oleh Pandawa sendiri. Kalau pun ada tugas lain, adalah menjadi ”satelit” ketika Arjuna mencari Jayadrata untuk membalas kematian Abimanyu.
”Asyik, bertempur dengan pasukan rendahan dan para raksasa. Bisa bertarung seperti halnya bermain-main saja”
Memang bertempur dengan ribuan pasukan bagi Gatotkaca seperti mainan saja. Melesat ke sana, tendang sini, pukul situ, terjang kanan, sambar kiri.
”Masa kamu hanya berhadapan dengan kroco-kroco saja. Kini saatnya menunjukkan kesaktianmu yang sesungguhnya” bujuk Kresna
Gatotkaca tetap menggelengkan kepalanya.
“Tidak uwa. Selama ini saya selalu menuruti permintaan uwa. Permintaan para dewa. Sekarang saya mau bertempur sesuai kesenangan saya sendiri. Saya menikmati perang ini. Menyenangkan sekali bisa menghajar ratusan prajurit itu.”
Kresna terkejut mendengar jawaban Gatotkaca. Tidak pernah dia seperti ini. Akalnya perputar keras. Gatotkaca harus maju perang, atau rancangan para dewa berantakan.
”Apa kamu tidak mau membalas kematian saudaramu Abimanyu. Kamu tahu, Abimanyu gugur dikeroyok para satria Kurawa. Memang serangan terakhir oleh Jayadrata, tapi Karna juga ikut mengeroyok waktu itu. Bahkan dialah yang menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Jika Abimanyu tidak kehilangan busurnya, tentu dia akan selamat. Karnalah yang membuka jalan kematian Abimanyu. Jayadrata telah dibunuh pamanmu Arjuna. Sekaranglah saatnya bagi kamu untuk bertarung dengan Karna sebagai pembalasan atas kematian Abimanyu”.
Kenangan akan Abimanyu selalu menggugah emosi Gatotkaca. Abimanyu dan Gatotkaca, generasi kedua penerus Pandawa ini, memang sering berpetualang bersama. Mencari tantangan bersama, melatih diri bersama. Kenangan akan Abimanyu sempat menguak juga luka lama Gatotkaca. Kenangan kelam akan tewasnya Kalabendo. Kenangan akan kecerobohan yang mengakibatkan kematian paman dan pengasuh yang sangat disayanginya itu.
Dalam emosi yang terguncang, dan provokasi Kresna, melesatlah Gatotkaca menuju medan perang. Gatotkaca mengamuk luar biasa. Korban berjatuhan. Berpuluh pasukan menghadang, berpuluh pula terlentang. Beratus pasukan menangkal, beratus pula terjungkal. Dicarinya Karna yang telah membuka jalan kematian Abimanyu.
Di lain pihak, Adipati Karna terus merangsek mencari Arjuna. Kehabatan memanahnya luar biasa. Banyak korban tumbang hanya dalam sekali tarikan busur. Dari kejauhan Gatotkaca melihat sepak terjang Karna. Melesatlah dia kesana! Menerjang secepat kilat. Dari sudut mata, Karna melihat datangnya bahaya. Segera dia mengarahkan busur dan melontarkan panah-panahnya.
”Dhuuarrr…!!!”
Ledakan dahsyat terjadi ketika panah panah sakti Karna dihantam dengan pukulan Gatotkaca. Sejenak serangan Gatotkaca berhenti. Namun kemudian dia menyerang lagi. Di balas dengan panah lagi oleh Karna. Gatotkaca menghindar dan menyerang dari segala penjuru. Demikian juga Karna, menahan gempuran Gatotkaca dengan panah-panahnya.
Pertempuran berlangsung sengit. Debu beterbangan dihempas angin yang tercipta oleh lesatan Gatotkaca maupun desingan panah Karna. Sama-sama tangguh. Para prajurit sejenak menghentikan pertempuran mereka, menyempatkan diri untuk menyaksikan pertarungan seru ini.
Gatotkaca dan Karna saling serang dan saling ejek untuk memancing emosi lawannya.
”Ayo raksasa kunthing tunjukkan pukulan saktimu!!” teriak Karna
”Buktikan kamu pantas bertarung di Bharatayuda!! Anak kusir tak pantas melawan Pandawa, cukup aku lawanmu!!” balas Gatotkaca.
Pecahnya konsentrasi Karna sebagai panglima membuat gerak pasukan Kurawa tidak terarah. Tanpa komado yang jelas mereka dilibas oleh pasukan Pandawa dibawah komando Arjuna. Hal ini menyebabkan Duryudana resah, dan mendesak Karna utuk segera mengakhiri pertarungannya.
”Karna, segera habisi Gatotkaca!! Bukan cecunguk itu lawanmu! Arjunalah seharusnya yang kamu hadapi”
Pertarungan telah berlangsung berjam-jam. Karena jumlah anak panah yang semakin menipis dan desakan Duryudana, Karna menggosok-gosokkan tangannya. Dari kedua belah tangannya munculah cahanya menyilaukan. Senjata Konta, senjata para dewa, siap dilepaskan. Gatotkaca terkesima dengan apa yang dihadapinya. Segera dia melesat menjauh. Konta dilepaskan Karna. Meluncur, mendesing, mengejar Gatotkaca.
Gatotkaca terbang setinggi-tingginya, berusaha menghindari Konta. Sementara itu angin berhembus kencang melawan arah Konta. Bhatara Bayu berusaha menahan senjata itu. Dia tahu, senjata itulah jalan kematian bagi cucunya. Namun tetap saja angin tidak mampu menahan laju senjata Konta.
Kerinduan senjata Konta untuk kembali bersatu sarungnya mampu mengatasi kekhawatiran sang bayu. Kerinduan setelah sekian tahun berpisah. Kerinduan yang membara itulah yang sanggup mendorong senjata Konta untuk melaju, meskipun ketempat yang sangat tinggi, mengejar sarungnya.
Sementara itu lesatan Gatotkaca tiba tiba terhenti. Ada suara-suara yang memanggilnya. Suara yang dia kenal sejak masa kecil. Suara yang telah sekian lama hilang itu muncul lagi.
”Tetuko….Tetuko…. hendak kemana engkau terbang sedemikian cepat! Tunggu pamanmu ini. Tunggu aku Tetuko.”
Gatotkaca terkesima mendengar suara Kalabendo yang memanggil manggil nama kecilnya. Sesaat Gatotkaca termangu, menghentikan terbangnya, dan membalikkan badannya, mencoba menunggu Kalabendo pamannya. Di kejauhan tampak bayangan Kalabendo berlari mendekat. Rambut gimbalnya melambai lambai tertiup angin. Gatotkaca tertegun. Direntangkannya kedua tangannya, ingin menyambut Kalabendo sang paman. Seperti anak kecil dia bergerak maju ingin memeluk pamannya. Paman yang sangat dikasihinya. Paman yang telah dia tampar tingga tewas.
Bayangan Kalabendo semakin mendekat, berusaha memeluk Gatotkaca. Sementara itu angin semakin keras bertiup seakan hendak mengingatkan Gatotkaca akan bahaya yang mengancam! Gatotkaca maju menyambut pelukan sang paman. Kalabendo pun memeluk erat Gatotkaca bersamaan dengan bersatunya senjata Konta dengan sarungnya. Pelukan kematian.
Senjata Konta bersatu dengan sarungnya. Gatotkaca diantar Kalabendo ke kematiannya. Pemenuhan kerinduan yang memakan korban.
Senjata Konta telah utuh sempurna. Senjata dan sarung kembali bersatu, lalu kembali ke kayangan, ke tanah para dewa.
Kalabendo dan Gatotkaca kembali bersatu, berpelukan, bermain dan bercanda, seperti dulu.
Gatotkaca gugur!!!
Gegap gempita pasukan Kurawa membahana di Kurusetra menyambut kemengan Karna.
Di langit badai mengamuk, mengabarkan kedukaan Bathara Bayu yang kembali kehilangan cucunya.
Adipati Karna tersenyum kecut. Bayangan kematian datang menghampirinya setelah kehilangan senjata andalannya.
Kresna tersenyum puas, taktiknya berhasil, dan Bharatayudha berjalan sesuai dengan rancangan para dewa.
Hatiku selembar daun...
No comments:
Post a Comment