Friday 12 November 2010

Kerinduan

Kerinduan


Dan semoga kerinduan ini
Bukan jadi mimpi di atas mimpi (Ebiet G. Ade)
Fariduddin Attar, guru Jalalluddin Rumi, penyair dan sufi terbesar dari Persia, menuturkan kerinduan sekelompok burung terhadap raja mereka. Maka, mereka pun sepakat menunjuk Hud-hud, burung yang bijak, sebagai pemimpin.

Hud-hud memberi tahu, yang mereka cari itu burung Simurgh, dalam bahasa Persi, artinya tiga puluh burung, yang hidup tersembunyi di gunung Kaf, tempat yang jauh, dan berbahaya. Untuk mencapai tempat itu mereka harus menempuh lima lembah dan dua gurun sahara.

Mendengar cerita itu, mereka yang berjiwa lemah, yaitu Nuri, Merak, Angsa, Bangau, Bul-bul, dan burung Hantu, mengemukakan berbagai alasan untuk tidak ikut.

Si Nuri yang egois, memilih mencari ”cawan suci”, Merak, si burung surga, lebih baik menanti panggilan kembali ke surga, Bul-bul, yang merasa memahami rahasia cinta, menumpahkan cintanya pada bunga mawar, dan Bangau, pencinta air, membual:

”Cintaku pada air membuatku selalu termenung di tepi pantai, namun aku toh tak setitik pun meminum airnya, karena khawatir begitu aku minum, samodra raya itu langsung kering kerontang.”

Hud-hud memberi rangsangan dengan cerita mengenai petualangan menarik dalam perjalanan ke Gunung Kaf, di istana raja mereka.

Karena itu, perjalanan pun dimulai. Tapi baru saja menempuh dua lembah, mereka mengeluh, dan merasa gentar membayangkan perjalanan selanjutnya.

Satu-satunya jalan agar mereka mengerti dan sadar, Hud-hud, harus terus terang bahwa mereka harus menempuh tujuh lembah dan gurun, yang semuanya memikat, simbolik, dan bermakna secara rohaniah. Burung-burung itu pun merasa gembira dan bersemangat lagi.

Kali ini korban berjatuhan. Ada yang mati karena udara sangat panas, ada yang tenggelam di laut, ada yang kelelahan, ada yang kehausan tak berdaya. Dan ada pula yang tersesat.

Sisanya tetap meneruskan perjalanan hingga tiba di Gunung Kaf yang mereka impikan. Di pintu gerbang mereka diperlakukan kasar oleh para penjaga. Tapi mereka sudah terbiasa dengan kesukaran. Maka, pelayan pun menjemput, dan menunjukkan mereka jalan ke ruang Baginda.

Di dalam, burung-burung itu keheranan karena mereka memasuki ruang hampa, luas tak terbatas. Dalam termangu mereka saling memandang. Di mana Baginda raja yang mereka rindukan? Di sana mereka temukan Simurgh, tiga puluh burung, yang ternyata diri mereka sendiri.

Dalam kerinduan mencari sang raja, ternyata mereka hanya menemukan diri mereka sendiri.

”Sang raja tersingkap di dalam cermin kalbu-kalbu mereka sendiri,” kata Attar.

Fariduddin Attar memesona kita. Dengan fabel itu, ia sebenarnya bicara perkara yang sangat dalam dan rumit, mengenai gejolak kalbu, yang diharu-biru rasa rindu. Ini potret kerinduan khas kaum sufi untuk bisa berkhidmat, dan memperoleh momen puitik, dan istimewa: berduaan dengan sang pencipta, untuk mempersembahkan ketulusannya sebagai seorang hamba sahaya.

”Di pintumu aku mengetuk / aku tak bisa berpaling” kata Chairil Anwar.

”Di mana kau / rupa tiada, hanya kata merangkai hati” kata Amir Hamzah.

”Betapa gurun merindukan cinta sejumput rerumputan / Rumput menggeleng, tertawa, dan berlalu” kata Tagore.

”Keberadaan lahir / Ketika kita jatuh cinta pada ketiadaan” kata Rumi.

Ketiadaan di sini bukan kehampaan, bukan ”emptiness”, bukan ”nothingness”. Ketiadaan ini justru wujud eksistensi. Dalam logika dan kosmologi Jawa ini makna ungkapan ”suwung ning isi”, kosong tapi isi yang terkenal itu.

Mencari galih kangkung, dan tapak Kuntul (burung Blekok) melayang, dalam kosmologi Jawa dianggap simbolisasi pencarian akan makna paling hakiki dalam hidup manusia: momen puitik untuk menyatu, manunggal rasa, manunggal karsa dengan ”Baginda”. Mencari tapak Kuntul melayang bukan sebuah kemustahilan.

Para empu dalam bidang ”seni kehidupan”, yaitu para wali, para nabi, dan orang-orang suci, masing-masing pernah disergap kerinduan yang sangat pekat, dan menemukan diri menjadi hati Tuhan, tangan Tuhan, dan sarana Tuhan untuk menciptakan keadilan di bumi. Mereka ibarat hanya bayangan yang tak ada tapi nyata gunanya.

”Lilin dibuat untuk menjadi nyala / Dalam suatu saat penghancuran / Yang tak menyisakan bayangan” kata Rumi.

Kerinduan, bagi yang pernah, dan masih rindu, tak akan sekadar menjadi mimpi di atas mimpi, yang dikhawatirkan Ebiet. Kerinduan terobati, bukan hanya saat kita bisa bertemu, melainkan juga saat kita merasa pasrah untuk ”menjadi”, termasuk sekadar menjadi sebatang lilin kecil, yang nyala kecilnya, menembus gelap di lorong-lorong jiwa kita.


(Mohammad Sobary)




Hatiku selembar daun...

No comments:

Post a Comment