Kisah Seorang Penyadap Telepon
(Cerpen Seno Gumira Ajidarma)
Hari ini aku menyadap lagi. Aku memang berasal dari keluarga penyadap. Kakekku seorang penyadap karet. Ayahku seorang penyadap nira. Aku sendiri seorang penyadap telepon. Setiap hari aku berangkat dari rumah naik bis lewat jalan tol dan begitu tiba di kantor aku langsung melakukan penyadapan. Di mejaku sudah ada daftar orang-orang yang pembicaraannya lewat telepon harus disadap.
Waktu baru diterima dikantor ini aku pernah bertanya.
“Lho, Boss, menyadap pembicaraan orang ini kan melanggar privacy?”
“Taik kucing dengan privacy, ini semua demi keamanan Negara!”
“Jadi, kantor ini memang kantor keamanan Negara Boss?”
“Bego lu!”
Barangkali aku memang bego. Di Koran kulihat iklan menawarkan pekerjaan.
DICARI: PENYADAP BERPENGALAMAN.
Aku memang berpengalaman menyadap, tapi menyadap karet dan nira. Ternyata maksudnya menyadap telepon. Intinya, kantor ini memang sengaja mencari orang-orang bego, yang bisa disuruh menyadap pembicaraan telepon orang lain tanpa perasaan bersalah. Barangkali aku termasuk orang yang seperti itu. Buktinya aku diterima.
“Kenapa mereka harus disadap boss?”
“Kamu bego atau bego sih? Nggak usah tanya-tanya!”
Busyet. Begitu diterima aku langsung menyadap. Sampai hari ini sudah tak terhitung hasil sadapanku yang dianalisis atasanku. Mereka memisah-misahkan, mana yang harus diculik dan mana yang tidak, mana yang dibiarkan saja untuk menyelusuri komplotannya, dan mana yang bisa mengkhianati teman-temannya.
***
Dikau pernah bertanya padaku.
“Enakkah menyadap telepon?”
Pekerjaan menyadap telepon ini mula-mula mengasyikkan, karena seperti masuk kedalam rahasia orang lain. Namun setelah 32 tahun, aku mulai bosan, karena pembicraan mereka seringkali tidak penting sama sekali. Dalam arti tidak selalu berisi rencana demonstrasi dan semacamnya—yang begitu-begitu malah jarang sekali. Mungkin karena mereka tahu kalau telepon mereka disadap. Jadinya aku harus mendengar masalah sehari-sehari seperti ini:
“Muhi!”
“Apa?”
“Muhi!”
“Apa!”
“Muhi!”
“Apa! Emangnya gua budeg”
“Muhi!”
“O, dasar elu yang budeg”
“Muhi!”
“Muhi! Muhi! Ape?”
“Muhi!”
Klak!
Atau yang seperti ini:
“Dalam metafisika anda, itulah pengalaman yang menentukan, yang mengizinkan untuk keluar dari ontology Heidegger sebagai ontology tentang yang Netral, ontology tanpa moral. Apakah berdasar pengalaman etis ini Anda menyusun suatu ‘etika’? Karena, etika itu terdiri dari aturan-aturan; aturan-aturan ini harus ditentukan?”
“Tugas saya bukan menyusun suatu etika; saya hanya berusaha mencari maknany. Saya tidak berpendapat bahwa setiap filsafat harus mempunyai suatu program. Adalah terutama husserl yang telah mengemukakan gagasan mengenai program filsafat. Memang benar, dapat saja disusun suatu etika dalam konteks yang saya sebutkan tadi, tapi bukan itulah tema saya yang sebenarnya.”
“Dapatkah anda menjelaskan sejauh mana penemuan etika dalam wajah itu bertolak belakang dengan filsafat-filsafat yang mementingkan totalitas?”
“Pengetahuan absolut yang telah diselidiki, dijanjikan, dan dianjurkan oleh filsafat adalah pemikiran tentang yang Sama. Dalam kebenaran, Ada itu dirangkum. Bahkan jika kebenaran dianggap tidak pernah definitive, sekurang-kurangnya ada janji tentang kebenaran yang lebih lengkap dan tepat. Tentu saja, kita sebagai makhluk berhingga pada akhirnya tidak sanggup menyelesaikan tugas pengetahuan; tetapi sejauh dapat dilaksanakan, tugas itu adalah: membuat yang Lain menjadi yang Sama. Sebaliknya, dalam ide ‘tak berhingga’ terkandunglah pikiran tentang yang tidak Sama. Saya bertolak dari ide kartesian mengenai yang tak berhingga, dimana ideatum ide ini – artinya apa yang dimaksud ole hide ini – adalah tak berhingga lebih besar daripada aktus pemikiran. Terdapat disproporsi antara …”[1]
Wah, kalau yang begini aku tidak sanggup. Sebagai penyadap telepon aku tidak biasa berpikir, aku hanya menyadap. Jangankan aku, atasankupun belum tentu paham. Makanya dia punya analisis bila ngawur, tinggal menculik saja bias keliru-keliru orang. Sama-sama bego lah!
Lagipula kalau aku berpikir, itu hanya akan membawa resiko kepada pekerjaanku.
Sedangkan mencari pekerjaan itu susah. Mau membuat kafe-tenda tidak punya modal. Aku tidak punya kepandaian lain selain menyadap telepon. Aku pernah bisa menyadap karet, aku pernah bisa menyadap nira, tapi kini sudah dimanjakan dengan menyadap telepon. Alat penyadap bernama LUHIL-X [2] itu memang praktis sekali. Tidak kebanyakan kabel aku sudah akrab dengan LUHIL-X bikinan dagadu Corporation. Sekali temple di kuping langsung beres. Aku tinggal memencet nomor-nomor yang kuinginkan.
“Muhi! Muhi!”
Aduh! Muhi lagi! Nomor-nomor yang disodorkan para informan memang tidak selalu dipakai orang yang dicurigai. Dirumah mereka kan banyak orang? seringkali yang selalu menggunakan telepon itu adalah pembantu rumah tangganya.
Bermilyar-milyar kata, kalimat, dan pengertian telah kudengar, namun semua itu tidak menjadi apa-apa. Aku sellau mendengar, tapi sebenarnya aku tidak mendengar apa-apa. Orang-orang yang dicurigai berbicara tentang penderitaan rakyat, tentang penindasan, tentang orang-orang yang diculik, diperkosa, dibunuh, dan dibakar. Semua itu telah kudengar, karena aku adalah seorang penyadap telepon. Orang-orang bicara tentang hokum, keadilan, dan kebenaran. Ah, apa itu? Sebagai penyadap telepon, aku tahu betul sisi-sisi gelap para pahlawan. Tetapi tidak ada sesuatu pun yang ingin kulakukan.
***
Sampai tiba saatnya aku harus pergi ke dokter THT.
“
Tolonglah saya dok, semua kalimat yang masuk telinga saya tidak mau keluar lagi. Mereka berdengung terus menerus, kalimatnya terulang-ulang terus seperti rekaman rusak. Biasanya suara-suara lewat dan tidak terdengar lagi setelah kalimatnya habis, kali ini tidak, mereka masuk dan tak mau diam, terus menerus dan bertumpuk-tumpuk. Sudah sebulan saya tidak bisa tidur.”
Dokter itu menganggu-angguk. Lantas mengambil senter.
“Sini kupingnya.”
Kusodorkan salah satu. Ia melihat dengan senternya. Kemudian menempelkan stetoskopnya ke telingaku.
“Busyet,” katanya.
“kenapa Dok?”
“Aku mendengar suara-suara,” ujarnya seperti main drama.
Ia nampak mendengarkan dengan asyik.
“Aku mendengar semuanya.”
“Apa Dok”
“Semuanya, semua kalimat yang telah kau dengar.”
“Jadi sekarang tahu kan Dok?”
“yeah”
Ia cabut stetoskopnya, kembali duduk ke kursinya.
“Apa sih pekerjaanya?”
“Penyadap telepon Dok.”
Dokter manggut-manggut.
“Pantes.”
“Apanya yang pantes?”
“Penyakit begini memang menimpa para penyadap telepon. Suara-suara tak mau keluar dari kupingnya. Banyak yang kemudian jadi gila.”
“Aduh! Jangan dong Dok!”
“Aku hanya bisa memberi kamu pil Budheg. ”
“Lho apa itu?”
“Pil yang membuat kamu tuli.”
“Waduh pekerjaan saya menyadap pembicaraan telepon, kok malah dibikin tuli?”
“Ya begitu kan? Kalau kebanyakan mendengar percakapan yang bukan haknya, selama 32 tahun lagi ya kamu kena hokum Karma. Kalimat-kalimat yang terampas itu menghukummu.”
“Tapi saya cuma menurut perintah atasan Dok.”
“Nah, atasanmu akan menerima hukum karma juga.” [3]
“Kupingnya berdengung juga?”
“Entahlah. Barangkali turum berok.”
“Ah, jangan main-main Dok.”
“Aku serius. Ini resep untuk Pil Budheg. Pakai Kuitansi?”
Kalau aku jadi tuli nanti, Dokter menganjurkan aku pura-pura tetap bias mendengar, dengan begitu aku tidak akan kehilangan pekerjaan. Katanya semua penyadap telepon yang berobat menuruti anjuran yang sama.
Memang itulah yang kemudian kulakukan. Setelah menelan Pil Budheg aku ajdi tuli. Tenggelam dalam keheningan abadi. Semua orang cuma kulihat mangap-mangap mulutnya, tapi aku tidak bias mendengar kata-kata mereka. Aku ettap bergaya bias mendengar. Kutempelkan LUHIL-X ke telinga dengan gaya meyakinkan. Kalau ada orang berbicara padaku, barangkali bias repot, tapi hal ini tidak pernah ku alami. Sebagai penyadap telepon, aku termasuk manusia kecoak. Tidak pernah ditegur, tidak pernah disapa, hidup dalam kesepian. Sedang aku saja tidak pernah menyapa diriku sendiri.
Aku akan masih lama bekerja seperti ini. Sebenarnya tuli, tapi tetap menulis transkrip hasil penyadapan. Atasanku percaya saja dengan semua laporanku. Aku sudah 32 tahun menjadi penyadap telepon, dan aku masih terus dibutuhkan, dengan mudah aku membuat semuanya menjadi wajar – padahal semuanya kukarang-karang saja. Aku sering tertawa dalam hati, laporan penyadapan telepon dibuat orang tuli! Hahahaha!
Jakarta, Sabtu 19 September 1998.
-————————————-
Dialog dipinjam dari wawancara Emmanuel Levinas (1906-1995) oleh Philippe Nemo pda 1981 dalam K.Bertens(ed.) Fenomemologi Eksistensial(PT Gramedia: Jakarta, 1987, 94 halaman), hal 87.
LUHIL adalah kata sandi, yang hanya bisa dipecahkan dengan Bahasa Dagadu. Baca petunjuknya dalam dokumen saya “Jakarta Jakarta dan Insiden Dili” dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (Bentang Budaya; Yogyakarta, 1997, 120 halaman).
Hukum Karma. Pengertian dari agama Hindu, bahwa masusia tidak bias menghindar dari hukuman atas dosa-dosa yang dibuatnya.
No comments:
Post a Comment