Tuesday 16 November 2010

Laila

Laila

Cerpen Putu Wijaya




Menangis tidak selamanya tanda kelemahan. Tapi istri saya tidak bisa menafsirkan lain, ketika melihat kucur air mata Laila.

”Ada apa lagi Laila,” tanya istri saya. ”Kok nangis seperti sinetron, kapan habisnya?”

Tangis Laila bukannya berhenti, malah tambah menjadi-jadi. Saya cepat memberi kode rahasia supaya interogasi itu jangan dilanjutkan. Besar kemungkinan, itu taktik minta gaji naik.

”Laila itu bukan jenis pembantu murahan yang mata duitan. Dia orang Jawa yang tahu diri, memangnya kamu!” bentak istri saya, sambil menarik Laila bicara empat mata.

”Dia punya konflik,” kata istri saya kemudian. ”Suaminya kurang ajar. Masak memaksa Laila banting tulang, tapi dianya ngurus anak ogah! Primitif banget! Laki-laki apa itu? Giliran anaknya kena DB dibiarin saja. Coba kalau sampai mati bagaimana? Pasti si Laila lagi yang disalahin! Memangnya perempuan WC untuk nampung kotoran?!”

”Terlalu!”

”Sekarang si Romeo nyuruh Laila berhenti lagi!”

”Berhenti?”

”Ya! Apa nggak gila?! Kalau Laila tidak kerja mau ngasih makan apa si Arjuna?”

”Kali Laila dapat kerjaan baru.”

”Mana ada orang mau menerima pembantu yang tiap sebentar pulang, karena anaknya nangis!”

”Jadi Laila akan berhenti?”

”Tidak! Biar Laila bawa Arjuna kemari, jadi kerjanya tenang.”

”Boleh sama si Romeo?”

”Memang itu yang dia mau!”

Saya menarik nafas. Sejak itu, Arjuna yang baru lima tahun itu jadi bagian dari rumah kami. Kalau dia nangis, sementara ibunya memasak, sedangkan istri saya sibuk, itu tanggung jawab saya.

Mula-mula berat. Tapi kemudian terjalin persahabatan indah antara saya dan Arjuna. Saya bahkan merasa tersanjung ketika Arjuna memanggil saya Pakde.

Sudah 11 tahun saya dan istri merindukan anak. Kami sudah capek menjalani nasehat dokter. Akhirnya kami ambil kesimpulan, tugas manusia memang beda-beda. Kami mungkin bukan mesin reproduksi manusia.

Kehadiran Arjuna membuat rumah berubah. Kelucuan bahkan kebandelan Arjuna menyulap tiap hari jadi beda. Sampai-sampai istri saya memanggilnya si Buah Hati.

Tapi pulang dari mudik, saya terkejut. Di dapur terdengar suara ketawa beberapa orang anak. Ternyata di situ ada lima bocah hampir seusia Arjuna sedang main petak umpet. Mereka sama sekali tidak takut oleh kehadiran saya.

”Itu anak-anak pembantu-pembantu sebelah.”

”O ya?”

”Ya, orangtuanya juga sibuk kerja, jadi anaknya tidak ada yang ngurus. Daripada mereka jadi gelandangan atau korban narkoba, aku suruh saja main di sini nemani si Buah Hati,” kata istri saya.

Mula-mula saya keberatan. Satu anak tertawa dalam rumah, memang lucu. Tapi enam orang, saya akan kehilangan privasi.

Ketika saya sedang bekerja di meja, semuanya seliwar-seliwer di depan pintu. Kalau saya menoleh mereka mencelup. Punggung saya terasa gatal ditancapi tatapan. Saya kira mereka mulai kurang-ajar.

”Kamu frustrasi!” komentar istri saya sambil tertawa,

”Persis!”

”Karena kamu kurang peka!”

Saya berpikir. Istri saya terus ketawa.

”Kamu tidak peka. Anak-anak itu tahu kamu baru kembali dari mudik. Mereka menunggu.”

”Menunggu apa?”

”Biasanya kalau pulang mudik orang bawa oleh-oleh.”

”Aku bawa untuk Arjuna, bukan untuk mereka!”

”Mereka semua anak-anak. Kamu harus berikan sesuatu kepada semuanya.”

Istri saya mengulurkan sebuah kantung plastik yang penuh coklat.

”Bagikan ini pada mereka!”

Saya takjub, tapi tak bisa menolak.

Sejak peristiwa itu, rumah saya seperti penitipan anak. Kerap ibu-ibu tetangga karena keperluan yang mendesak menitipkan anak di rumah kami. Anaknya pun senang bahkan mereka menganjurkan agar dirinya dititipkan.

Untung saya cepat membiasakan diri. Apalagi keadaan itu membuat gengsi kami naik. Istri saya menjadi popular. Saya sering dipuji sebagai lelaki sejati.

Tetapi kemudian Laila kembali menangis.

”Si Romeo bertingkah lagi!” umpat istri saya setelah mengusut Laila, ”bayangkan, masak dia minta dibelikan motor!”

”Motor? Emang mau ngojek.”

”Boro-boro ngojek, naik motor juga nabrak melulu!”

”Terus untuk apa?”

”Menurut Laila itu mau disewakan Romeo pada tukang ojek. Laila minta gajinya setengah tahun di bayar di muka.”

”Kamu tolak kan?!”

”Gimana ditolak? Laila diancam akan digebukin kalau tidak berhasil.”

Saya jadi penasaran. Lalu saya mencecer Laila.

”Laila, cinta itu tidak buta. Kalau suami kamu terus dituruti, kepala kamu bisa diinjaknya. Suami pengangguran yang mengancam dibelikan motor oleh istri itu bukan saja menginjak, tapi itu sudah explotation de l’home par l’home tahu?!”

”Ya Pak.”

”Kamu mengerti?”

”Mengerti, Pak.”

”Suami yang baik boleh dihormati, tapi yang jahat tendang!”

Laila tunduk dan mulai menangis.

”Kamu kok cinta mati sama si Romeo, kenapa? Jangan-jangan kamu sudah kena pelet!”

”Saya hanya mau berbakti kepada suami, Pak!”

”Itu bukan berbakti, tapi sudah bunuh diri!”

”Orangtua saya selalu berpesan, suami itu guru, Pak. Kata Ibu saya, tidak boleh membantah kata suami, nanti tidak bisa masuk surga!”

”Tapi kelakuan si Romeo kamu itu sudah melanggar HAM!”

Laila menunduk dan meneruskan menangis. Hanya motor yang bisa menyetop air matanya. Terpaksa saya mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari info motor bekas. Beruntunglah salah satu satpam bangkrut karena kalah berjudi. Dia jual murah motornya. Langsung saya bayar, daripada kehilangan Laila.

”Ah?! Ngapain mesti peduli semua permintaan Laila,” kata istri saya marah-marah, ”Kalau kamu manjakan dia begitu, sebentar lagi dia akan menginjak kepala kita! Pembantu itu jangan dikasih hati. Kalau dia mau berhenti, biarin. Kita cari yang lain!”

Tapi kemudian istri saya sendiri yang menyerahkan kunci motor bekas itu kepada Laila.

”Ini motornya, Laila. Cicil berapa saja tiap bulan, asal kamu jangan keluar!”

Laila mencium tangan istri saya dengan terharu. Saya juga mendapat perlakuan manis. Laila kelihatan sangat bahagia. Sambil nyuci ia menyenandungkan lagu Nike Ardila.

Tapi itu hanya berlangsung sebulan.

”Si Romeo itu memang kurang ajar!” teriak istri saya kemudian, ”Motor sudah digadaikan lagi, katanya nggak ada yang doyan nyewa motor bekas!”

Saya bengong. Dengan mata berkaca-kaca Laila minta maaf. Katanya, suaminya diancam akan dibunuh kalau tidak melunasi hutangnya setelah kalah taruhan bola.

Istri saya mencak-mencak. Tapi kemudian ia mendesak saya menebus motor itu dengan janji, Romeo dilarang menyentuhnya.

”Kamu saja yang boleh naik motor itu Laila! Yang lain-lain, haram!”

Sejak itu Laila masuk kerja menunggang motor. Mobilitasnya lebih rapih. Dia selalu datang tepat waktu. Anaknya bangga sekali duduk di boncengan. Meski para pembantu lain keki, menganggap nasib Laila terlalu bagus, tidak kami pedulikan. Yang penting, Laila tetap setia di posnya.

”PRT seperti Laila memang perlu punya motor, supaya tenaganya tidak terkuras di jalanan. Motor itu bukan untuk dia, tetapi untuk kepentingan kami juga,” kata istri saya kepada ibu-ibu tetangga.

Tak terduga argumen itu patah, ketika pada suatu hari Laila muncul tanpa motor. Hari pertama saya diam saja. Pada hari ketiga saya tidak kuat melihat dia pulang menggendong Arjuna sambil menenteng tas besar.

”Motor kamu mana, Laila?”

”Dipakai saudara misan saya, si Neli, Pak.”

”Kenapa?”

”Kerjanya lebih jauh, Pak.”

”Kenapa dia tidak naik angkot saja?”

”Nggak boleh sama suami saya, Pak.”

Saya bingung. Kemudian saya baru tahu, Neli saudara misan Laila sekarang tinggal bersama Laila satu rumah.

”Itu motor kamu Laila, tidak boleh dipakai orang lain!”

”Tapi suami saya bilang begitu, Pak. Saya harus mengalah sebab di pabrik tempat Neli kerja aturannya keras. Kalau datang telat bisa dipecat.”

”Kamu juga harus tepat waktu sampai di sini, Laila!”

”Betul, Pak.”

”Ambil motor itu kembali!!!!!!”

Besoknya Laila masuk kerja tepat waktu. Tapi dia naik ojek. Saya marah.

”Maksudku kamu tidak hanya datang tepat waktu, tapi harus pakai motor kamu! Kalau kamu datang ke mari naik ojek, lebih baik jangan kerja!”

Laila bingung. Dia tidak mengerti apa maksud saya. Istri saya mencoba menjelaskan. Tapi bukan menjelaskan kepada Laila, dia justru menerangkan kepada saya.

”Laila tidak berani minta motor itu karena takut digampar si Romeo.”

Saya bingung.

”Kenapa bangsat itu malah ngurus misannya, bukan istrinya?”

”Sebab misan Laila itu perempuan !”

”Gila! Istrinya juga perempuan!”

”Tapi perempuan itu lebih muda! Dan Romeo sudah mau menikahi si Neli!”

Saya megap-megap.

”Ya Tuhan! Kenapa Laila nerima saja dikadalin begitu?

Istri saya hanya mengangguk.

”Sekarang memang banyak orang gila!”

Langsung saya interogasi Laila di dapur.

”Kenapa kamu terus mengalah Laila? Suami kamu sudah kurang ajar. Jangankan mau menikahi misanmu, mengancam kamu membelikan pacarnya motor saja, sudah zolim! Kenapa?”

Laila tak menjawab.

”Kamu takut? Kalau perlu aku bantu kamu mengadu kepada LBH. Orang macam Romeo itu, maaf, bajingan. Dia harus dihajar supaya menghormati perempuan!”

Laila diam saja.

”Itu namanya kamu sudah kena pelet! Kamu yang cantik begini pantasnya sudah lama menendang Romeo. Apa kamu tidak sadar?!”

”Ya, Pak.”

”Kalau sadar kenapa tidak bertindak?”

”Saya ingin berbakti pada suami, Pak!”

”Itu bukan berbakti, tapi menghamba! Diperbudak! Dijadikan kambing congek si Romeo asu itu, tahu!?”

”Ya, Pak!”

”Ya apa?”

”Kata orangtua saya, sebagai istri saya mesti menghormati suami, saya tidak boleh membantah kata suami. Hanya orang yang baik dan sabar yang akan bisa masuk surga.”

”Kalau orangtua kamu masih hidup, dia tidak akan rela kamu disiksa begini?! Kamu ini cantik Laila!”

Mendengar dua kali menyebut kata cantik, istri saya muncul. Saya diberi isyarat supaya minggir. Lalu dia bicara dari hati ke hati dengan Laila. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi kemudian saya lihat dari jauh, Laila menghapus air matanya.

”Kita tidak bisa kehilangan Laila,” kata istri saya kemudian.

”Lho, memangnya dia minta berhenti?”

”Dia tidak bisa merebut motor itu dari si Neli.”

”Tapi itu kan haknya!”

”Kita tidak bisa memaksakan jalan pikiran kita ke otaknya. Tidak. Pokoknya tidak bisa.”

”Harus! Kita berkewajibkan mengajarkan dia berpikir logis!”

”Kalau terlalu didesak, bisa-bisa dia minta berhenti.”

”O ya, Laila bilang begitu?”

”Dia tidak bilang begitu, tapi pasti akan begitu.”

”Kenapa dia begitu ketakutan?”

”Sebab Neli sudah dikawini Romeo!”

Saya terpesona. Lama saya mencoba menghayati bagaimana perempuan yang secantik Laila bisa dikuasai Romeo tak beradab itu. Saya tak akan pernah bisa mengerti.

Sementara terus-terang, kami sangat bergantung pada Laila. Kalau dia tidak ada, rumah akan berantakan.

”Kita tidak mungkin kehilangan Laila,” kata istri saya.

”Tapi dia tidak boleh dibiarkan masuk kerja terlambat terus.”

”Karena itu dia harus punya motor!”

Saya tak menjawab. Istri saya yang harus menjawab. Jawabannya agak tidak masuk akal. Laila dibelikan motor baru. Laila tersenyum sambil meneteskan air mata haru mendengar keputusan itu. Arjuna juga tertawa.

Motor kedua Laila langsung dari dealer. Bodinya mulus, suaranya halus dan tarikannya kuat. Laila dan Arjuna selalu datang tepat waktu. Saya dan istri puas, merasa keputusan kami tepat.

Tapi tak sampai satu bulan, tiba-tiba Laila muncul kembali dengan motor bututnya yang lama. Waktu kedatangannya memang tepat. Wajahnya juga tidak berubah. Ia tetap cantik dan ceria. Hanya Arjuna yang kelihatan rewel. Dan istri saya ngamuk.

Tidak pakai pendahuluan lagi, Laila langsung digebrak.

”Laila, Ibu sudah bosan bicara! Kalau kamu masih saja datang pakai motor busuk ini, tidak usah kembali! Pulang! Ibu beli motor baru untuk kamu dan Arjuna bukan untuk lelaki hidung belang itu! Kalau motor itu dipakai oleh orang lain, kamu berhenti saja kerja sekarang! Kembalikan motor kamu!”

Laila gemetar. Saya pun tersirap. Belum pernah istri saya marah seperti itu. Tanpa berani membantah lagi. Laila menaikkan lagi Arjuna yang sudah turun dari motor, lalu segera pergi. Saya lihat mukanya pucat pasi.

Saya kira perempuan itu tidak akan pernah kembali lagi. Tapi saya keliru. Besoknya, terdengar suara motor yang halus masuk ke halaman. Saya cepat keluar dan kaget melihat Laila dengan motor barunya. Arjuna tertawa senang. Laila mengangguk dan menyapa saya dengan sopan.

”Laila kembali, tapi mungkin untuk pamit pergi,” bisik saya.

Istri saya menjawab acuh tak acuh.

”Sudah waktunya dia menghargai dirinya sendiri!”

Hari berikutnya, seminggu, sebulan dan seterusnya, Laila tetap bekerja. Ia selalu datang tepat waktu. Lewat dengan anak dan motor baru, memasuki halaman rumah kami ia kelihatan tegar. Tidak pernah menangis lagi. Rupanya terapi kejut dari istri saya sudah membuatnya menjadi orang lain.

Tapi kalau diperhatikan ada sesuatu yang hilang. Laila tidak pernah lagi menggumamkan lagu Nike Ardila. Kadang-kadang dia termenung dan kelihatan hampa.

Ketika gajinya dinaikkan, Laila tersenyum, mencium tangan istri saya, tapi tidak lagi meneteskan air mata. Saya jadi penasaran.

”Laila, kenapa kamu kelihatan tidak terlalu gembira?”

”Saya gembira gaji saya dinaikkan Ibu, terima kasih, Pak.”

”Kamu naik motor mulus yang membuat iri orang-orang lain. Anak kamu senang dan sehat. Saya dengar saudara misan kamu sudah tidak di rumah kamu lagi. Suami kamu juga sudah tidak berani lagi memukul dan berbuat semena-mena. Betul?”

”Betuk, Pak.”

”Tapi kenapa kamu kelihatan susah?”

Laila menunduk.

”Kenapa kamu sedih?”

”Ya, Pak, karena sekarang saya tidak akan bisa masuk surga.”

***




Kompas, 11 Agustus 2009

No comments:

Post a Comment