Sunday, 14 November 2010

Lauk dari Langit

Lauk dari Langit

Cerpen Danarto


Hari masih pagi ketika gadis kecil itu berjingkrak-jingkrak ke sana ke mari sambil berteriak-teriak, "Hujan ikan! Hujan Ikan!" Kepalanya menengadah menatap angkasa mencari tahu apakah ada lubang menganga nun di atas sana dari mana ikan-ikan melayang beramai-ramai terjun ke bumi. Gadis kecil itu juga berlari mengitari gubuk tempat tinggalnya dengan teriakan tak berkeputusan, "Hujan ikan! Hujan ikan!"

Ayah dan ibunya, juga dua kakaknya muncul dari dalam gubuk sambil menatap ke udara. Sesaat ratusan ekor ikan menghujani keluarga itu. Dengan mulut menganga, beruntun ucapan "masya Allah", tak disadari keajaiban sedang berlangsung di kediaman mereka.

"Hujan ikan! Hujan ikan!" teriakan gadis kecil itu terus-menerus penuh kegembiraan.

Keluarga itu lalu memunguti dengan cekatan ratusan ekor ikan yang berserakan di rerumputan pelataran, kebun, dan atap gubuk mereka. "Subhanallah," berulang-ulang terlantun dari mulut mereka. Apa yang sedang terjadi dengan langit? Mengapa hujan ikan seolah-olah disajikan kepada mereka? Hujan ikan sesaat yang meluncurkan ratusan ekor ikan dari langit, apakah ini berkah? Apakah ini bencana? Mereka mencoba memahami kehendak Tuhan yang tak terduga,
seperti halnya memahami hidup mereka sendiri yang serba jauh dari pengandaian.


Kelihatan keluarga ini tak biasa berandai-andai. Hidup sehari-hari keluarga yang berkebun sayuran ini penuh kepastian. Kerja keras dan bersyukur kepada Tuhan. Sebuah keluarga dengan tiga anak, dua lelaki, satu perempuan, tahu apa yang harus dilakukan. Hidup terpencil di sebuah bukit, mereka tampak bebas menggarap lahan yang ada hampir-tak berbatas. Bayam, kangkung, kul, singkong, kacang panjang, cabai, sudah bertahun-tahun menghidupi keluarga ini sejak pengantin baru.

Merasa tak bisa hidup di kota, suami istri itu memilih menetap di sebuah bukit. Dengan tetangga yang berjauhan, keduanya merasakan kebebasan. Bukit yang tanpa tuan, keduanya serta-merta -- sebagaimana para tetangganya -- menjadi pemilik sepenggal lahan kebun yang dipilihnya secara bebas. Tangan-tangan Pemda boleh jadi tidak memadai jumlahnya untuk bisa mengurusi lahan perkebunan atau pertanian di daerah perbukitan itu, mengingat luasnya tanah dan sedikitnya minat penduduk untuk tinggal di situ sehingga terkesan siapa pun boleh mengolah tanah itu seberapa pun maunya. Mau menanam apa saja, tak ada yang melarang, tak ada juga yang mengizinkan. Sampai akhirnya keduanya beranak-pinak. Mereka berbahagia.

Sebagaimana para tetangganya, setiap saat keluarga itu dapat memperluas lahannya dengan leluasa. Disamping sayur-mayur, keluarga itu mencoba menanam kembang. Di antaranya anggrek. Namun sejauh ini belum dapat diukur keberhasilan usaha kebun anggrek itu. Sedang sayur-mayur yang menjadi kebutuhan sehari-hari, keluarga itu menjualnya kepada pedagang yang mengambilnya dan memasarkannya di kota. Dari sini keluarga itu hidup cukup memadai.

Jarak yang cukup jauh dari kota menyebabkan para penghuni perbukitan itu cukup sulit menyekolahkan anak-anaknya. Si bungsu, gadis kecil itu, sekitar enam tahun usianya, yang suka berjingkrak-jingkrak, hidup menyatu dengan kangkung, bayam, kacang panjang, burung, tikus, dan kijang. Gadis kecil itu sering ngobrol dengan burung maupun tikus yang berseliweran di sekitar kebun itu. Pada suatu hari, dia melihat kijang di kejauhan dan memanggilnya. Kijang itu nampak bengong, heran, ada seorang gadis kecil yang barangkali terlalu berani memanggil binatang yang punya tanduk itu. Kenapa tidak?

Satu saat, keluarga itu kedatangan tamu. Dari kota, tamu itu mencatat jumlah orang di keluarga itu. Hanya begitu saja. Petugas itu tak menanyakan soal lain, misalnya soal surat izin tinggal dan
menggarap lahan. Barangkali saja, petugas itu tidak mau repot untuk menanyai ini dan itu, sementara pekerjaan di kantor sudah cukup melelahkan. Kemurnian hati para petugas kota dan keluarga itu agaknya terjalin baik sehingga urusan kartu keluarga dan tetek-bengek lainnya tidak perlu harus menguras keringat dan lain sebagainya.

Dari atas bukit itu, pemandangan kota tampak tergelar dengan jelas. Kesibukan kota dengan lalu-lalang lalu-lintasnya merupakan pemandangan yang menarik untuk mendorong siapa pun bekerja keras. Di malam hari, pemandangan kota lain lagi daya pikatnya. Lampu-lampu rumah, toko, jalan raya, dan lampu-lampu kendaraan yang susul-menyusul di malam gelap memberi suasana kehidupan yang lain dari kehidupan senyatanya. Di malam hari, kota tak perlu nama. Di malam hari, kota mencipta dunia yang tak dikenal manusia. Mengaduk rasa ramai di hati dan rasa tentaram di perasaan.

Sarapan kali ini mencatat hujan ikan disajikan di meja makan. Setelah sujud syukur berjamaah, keluarga itu mengitari meja makan. Meja makan dari anyaman bambu yang dibuat sendiri, merekam suara reyot, kri-et... kri-et... setiap meja makan itu disentuh atau pun ditindih. Makan pagi keluarga itu menikmati lauk-pauk ikan yang berlimpah. Belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, lauk hanya terdiri dari ikan asin dan sambal terasi di antara sayuran yang direbus dengan garam.

Sebelum makan, mereka berdoa. Mereka makan ikan yang dibakar sebanyak yang mereka suka. Anak-anak sangat menikmati. Mereka bertiga terus menambah ikannya. Di antara bunyi kecap bibirnya dan pergulatan lidahnya dengan ikannya, ketiga anak itu juga asyik ngobrol, hal yang sebelumnya tidak dibolehkan ayah dan ibunya. Ngobrol waktu makan hanya akan menjauhkan berkah Allah, kata ayah dan ibunya. Doanya tidak dikabulkan Allah. Makan sebagai berkah dari Allah harus dinikmati dengan benar. Pagi itu mereka lupa semuanya tentang hal itu. Si bungsu gadis kecil itu terus bercerita bagaimana dia tertimpa ikan-ikan yang terjun dari angkasa. Seekor di antaranya berhasil dia tangkap dengan jari-jemarinya yang kecil. Ikan itu menggelepar ingin lepas. Puluhan ekor menggelepar di rerumputan. Sejumlah lainnya meloncat dari atap gubuk.

Namun, tidak demikian dengan ayah dan ibunya. Kedua orangtua itu menikmati makannya dengan tercenung. Diam. Berkelindan dengan tanda tanya. Peristiwa pagi itu seperti memburu keduanya. Mau lari kemana pun akan terus diuber. Berondongan tanda tanya menyergap ke benaknya. Kedua orangtua itu terbenam di antara bunyi kunyahan ikannya.

"Apa yang dimaksud Allah dengan hujan ikan ini?" kata sang suami di dalam hati.

"Apa yang dimaksud Allah dengan hujan ikan ini, tidak perlu kita ketahui," kata istrinya di dalam hati juga.

"Mengapa tidak boleh kita ketahui?" kata suami di dalam hati.
"Berkahnya akan berkurang," kata si istri di dalam ahti.
"Mengapa berkahnya berkurang?"
"Karena kita ingin mengetahui suatu rahasia, padahal bersyukur lebih baik."
"Saya tidak mengerti."
"Makanya lebih baik diam."

Percakapan di dalam hati itu kebetulan bisa bersambung. Suami itu tetap diam sambil mengunyah. Istrinya tetap diam juga sambil mengunyah. Terdengar bunyi kunyahan. Gigi-gigi yang menggerus makanan. Leher turun naik seperti mengirim barang dari atas ke bawah. Berapa ekor ikan yang habis dilahap, keduanya tentu tidak menghitungnya. Suami istri itu mencoba untuk berbicara tetapi ragu-ragu. Barangkali apa yang mau dikatakannya penting tapi desakan untuk tidak melakukannya juga keras. Sampai selesai makan keduanya diam untuk sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.

Banyak tanda-tanda Allah yang tidak perlu diketahui maknanya. Banyak pertimbangan untuk diam dari banyak gejala bagaimana pun musykilnya. Barangkali Tuhan lebih suka begitu. Atau kita sedang mengatasnamakan Tuhan? Bagaimana mungkin kita berani? Kita hanya pura-pura berani, Tuhan tahu itu. Atau kita menyikapi setiap gejala sebagai pahala dan bencana? Sebagai pahala karena kita suka. Sebagai bencana karena kesukaan kita menimbulkan kesedihan bagi yang lain.

Ikan-ikan yang dikumpulkan pagi itu menggunung di dalam gubuk mereka. Berkah itu memusingkan mereka karena ikan-ikan itu tidak boleh busuk. Harus secepatnya digarami. Dari mana bisa didapat garam secepatnya? Keluarga itu tidak punya uang untuk memborong garam. Yang ada hanya sekadar garam persediaan untuk memasak. Ketika kelelahan mengumpulkan ratusan ekor ikan itu memporot tenaga mereka, keluarga itu hanya terduduk diam. Ayah, ibu, dan ketiga anaknya bagai patung yang dipajang di depan buat menyambut tamu yang datang. Tetapi ternyata tidak ada tamu yang datang. Yang bertamu hanya rasa bingung.

Tiba-tiba muncul suatu pikiran di benak sang suami. Ia menyat dari kursi bambunya seperti tersentak oleh berkah yang lain. Dengan cekatan ia merangkai ikan-ikan itu satu-persatu ditusuk dengan tali bambu. Dengan tongkat bambu yang dipanggul cukup banyak ikan yang bisa dibawa. Ia dapat menjual ikan-ikan itu di pasar atau menukarnya dengan garam. Ia berangkat dengan bocah sulungnya. Dengan penuh kegembiraan ayah dan anak itu meninggalkan gubuknya kali ini sebagai penjual ikan. Istri dan kedua anaknya yang tinggal, berdebar melihat kecekatan kerja sang suami dan ayah mereka. Si gadis kecil mau ikut tapi dilarang ibunya. Si kecil tentu tidak bisa berjalan cepat yang hanya akan memperlambat langkah.

Kaki yang kokoh, dada yang bidang, badan yang tegap, tangan yang cekatan, semuanya ini modal yang menjadikan sang suami sebagai kepala rumahtangga yang sigap bekerja. Kini ia dan anak sulungnya menuruni bukit pada jalan setapak yang diapit pohon dan rimbunan tanaman. Jalan setapak itu sehari-harinya licin. Namun kali ini lebih licin lagi, bahkan berlumpur.

Begitu sampai di bibir bukit dan menatap kota di depannya, sang ayah dan anaknya jatuh terduduk, kekuatannya dilolosi. Ikan yang dipanggulnya terserak di tanah. Keduanya meraung sejadi-jadinya: kota telah musnah, ribuan mayat bergelimpangan di mana-mana.***

Tangerang, 14 Februari 2006

Republika Minggu 5 Maret 2006

No comments:

Post a Comment