LELAKI KE-1000 DI RANJANGKU
Cerpen karya Emha Ainun Najib
Lelaki pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiiri dan lelaki yang mencampakkan ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri dan untuk perempuan yang begini busuk dan hampir tak mampu lagi melihat hal-hal yang baik dalam hidup ini maka lelaki kedua hanyalah saluran menuju lelaki ketiga, keempat, kesepuluh, keempat puluh, keseratus, ketujuh ratus….
Kututup pintu kamarku keras-keras, kukunci dan, “Pergi kau lelaki! Cuci mulut dan tubuhmu baik-baik sebab istrimu di rumah cukup dungu untuk kau kelabui.”
Bayangkan lelaki itu masih bisa berkata, “Kau jangan murung dan menderita, Yesus dulu disalib untuk sesuatu yang lebih bernilai bagi ummat manusia….”
“Aku tak punya Yesus! Aku pintar ngaji!” aku memotong.
Ia tersenyum , dan memandangku mirip dengan mripat burung hantu. “Kau putus asa Nia….”
“Aku memang putus asa. Bukan kau. Jadi pergilah!”
“Kau bukan perempuan yang tepat untuk berputus asa. Percayalah bahwa kehidupan ini sangat kaya. Dan aku ini laki-laki . Laki-laki sejati hanya mengucapkan kata-kata yang memang pantas dan ia yakini untuk diucapkan. Keinginku untuk mengambilmu dari neraka ini dan mengawinimu….”
“Cukup Ron! Jangan ucapkan apa-apa dan pergi!”
“Nia!.....”
Kudorong ia keluar. Pintu kututup.
Jangan ganggu. Kini aku mau tidur. Sama sekali tidur. Jangan ada mimpi dan jangan ada apapun juga. Semua buruk dan durhaka.
Kuhempaskan tubuhku yang gembur, tenagaku yang terbengkelai dan jiwaku yang arang keranjang.
Tengah malam sudah lewat. Kulemparkan handuk kecil basah ke kamar mandi mini di pojok. Di luar, musik sudah surut. Tinggal geremang suara lelaki, sesekali teriakan mabuk. Tapi Simon lulusan Nusakambangan itu pasti bisa membereskan segala kemungkinan.
Kupasrahkan segala kesendirianku di kasur. Tubuhku tergolek dan semuanya lemas. Kuhembuskan nafas panjang. Tak cukup panjang. Dadaku selalu sesak. Sahabatku dinding, atap, almari, kalender porno, handuk-handuk—sebenarnya ini semua kehidupan macam apa? Seorang perempuan, dari hari ke hari, harus mengangkang…..
Kumatikan lampu, “Sudahlah! Aku mau tidur. Sebenar-benarnya tidur. “Tuhan, kenapa jarang ada tidur yang tanpa bangun kembali? Alangkah gampangnya ini bagiku. Namun baiklah. Asal sekarang ini jangan ada yang menggangguku. Kalau ada yang mengetuk pintu, akan kuteriaki. Kalau ia mengetuk lagi, teriakanku akan lebih keras. Kalau ia ulang lagi, akan kubuka pintu sedikit dan kuludahi mukanya. Dan kalau ia masih mencoba merayu juga, akan kubunuh.
Datanglah besok, pada jam kerja, semaumu. Nikmati tubuh dan senyumanku, kapan saja kau bernafsu. Tapi jangan ganggu saat sendiriku. Sebab tak bisa lagi aku tersenyum. Aku tak boleh tersenyum untuk diriku sendiri. Aku bisa kehabisan, sebab ratusan bahkan ribuan lelaki sudah menunggu untuk membeli dan karena itu mereka merasa berhak sepenuhnya untuk memiliki keramahanku
Padahal aku sesungguhnya tak punya keramahan lagi. Coba, siapa yang lebih bijak dari pelacur? Tersenyum terus menerus kepada setiap lelaki, meladeninya seperti seorang permaisuri yang terbaik atau setidaknya seorang istri teladan, melakukan segala kemauannya tanpa boleh menolaknya kecuali aku kehilangan kemungkinan di hari-hari berikutnnya. Aku harus ramah, supel, senyum, dalam keadaan apapun. Jadi hitunglah berapa kekuatan jiwa yang kubutuhkan untuk melakukan itu tanpa ada hentinya. Sedang Pak Kyai di desaku sudah sukar tersenyum. Meladeni sekian ratus atau sekian ribu orang tiap hari, dan ia menjadi patung yang mengulurkan tangannya. Tetapi ia dipercaya seperti Tuhan, dan aku, hanya tergantung pada dagingku.
Ah, kenapa mengeluh! Pelacur yang baik tak pernah mengeluh. Sekarang, “Tidur, tidur…”
Apa lagi? Aku sudah hampir menyelesaikan salah satu kesempurnaan hidupku di muka bumi ini.
Kini aku telah sampai pada lelaki ke-993. Bukan rekor yang cukup hebat, tapi ini ambang pintu kesempurnaan tersendiri bagiku. Tiga belas bulan sudah aku menekuni karierku ini, dengan berusaha sebaik-baiknya memenuhi segala aturan dan sopan santunnya. Terhadap hampir semua lelaki, moral dan solidaritasku tinggi. Karena itu, sebagai primadona salah satu wisma “Pasar Daging” ini, rata-rata aku menerima 8 lelaki. Dalam sebulan, kira-kira libur seminggu. Dan selama ini aku ambil cuti hampir dua bulan. Cobalah hitung sendiri. Rekorku pasti lebih tinggi kalau saja tidak cukup banyak lelaki yang mengulangi hasratnya atasku beberapa kali…..
Dan besok, kukira aku akan berpesta diam-diam dalam diriku, buat lelakiku yang keseribu. Tak tahu bagaimana, ini semua tidak ada yang baik bagiku, tetapi ada hal yang menarik. Apa yang bisa menghiburku di dunia ini? Delapan lelaki setiap hari adalah hiburan yang berlebihan sehingga kehilangan daya hiburnya dan berubah menjadi kebosanan, kejenuhan dan rasa perih lahir batin. Minum? Sudah tak terhitung lagi, jiwaku sudah kebal. Nonton? Tamasya? Mian kartu? Semua sudah hampa. Jangan pula sebut tentang kata-kata manis dari mulut lelaki!
Aku sudah mengecap segala yang manis dari laki-laki. Tetapi manis hanyalah manis dan kenyataan hidup adalah bau yang lain lagi. Suamiku dulu kurang apa? Anak muda yang manis, pengusahaswasta yang berhasil, caranya berjalan seperti pendekar dan mulutnya seperti pujangga. Segala mimpi dan bayangan tentang hari depan ada dalam genggamannya. Namun alasan terkuat sehingga aku menjadi istrinya adalah karena aku mencintainya, tanpa aku pernah mencintai lelaki manapun sebelumnya. Apa yang kurang? Orang tuaku melarang kehendakku karena mempertimbangkan latar belakang lelakiku: perbedaan agama, lingkungan pergaulannya, serta kata Ibu, ‘Cahaya matanya.”
Akan tetapi kata orang, “Ini zaman perubahan, anak dan orang tua tak akan bisa dipertemukan. Maka akhirnya kutempuh riwayat paling buruk dengan orang tuaku. Kami lari. Aku berbahagia sebentar, smpai akhirnya perlahan-lahan tiba saat kehidupan ini menujukkan kuku-kukunya yang asli. Suamiku nafasnya pendek. Keramahannya terhadapku singkat umurnya dan makin surut. Dan, sederhana saja, belakangan kuyakini bahwa ia mulai bermain perempuan lagi, dan ia nampak bergembira karena itu.
Teranglah sudah. Tak bisa kukuasai lukaku, tak bisa kurumuskan semua itudengan pikiranku, dan untuk kembali ke orang tua aku amat sangat merasa dosa dan malu. Dan, untuk terperosok ke karierku yang baru ini, adalah kejadian yang sepele orang beli rokok, meskipun untuk itu aku kemudian hijrah ke kota yang jauh dari daerah kelahiranku. Soal surat-menyurat resmi? Sangat gampang dibereskan. Dan orang tuakubukan keluarga yang cukup. Dengan kukirimi uang rutin, mulut mereka terkatup, meskipun ingatan tentang mereka merupakan siksaan sendiri bagiku. Janganlah persoalkan hal-hal sepele seperti itu. Bahkan di sini banyak kawan-kawankuyang memang sengaja dijual oleh suaminya , serta banyak contoh lain di antara puluhan ribu sahabat-sahabatku di kota ini.
“Kenapa kau bisa sampai di sini ,Nia ?” banyak sekali lelaki menanyakan seperti itu. Dan jawabanku sudah “kufotocopy” ratusan lembar. Sebab aku tahu tak ada pertanyaan lelaki yang mendalam. Mereka hanya “mesin” dari nafsunya, dan untuk hal-hal yang berbau cinta, kulayani mereka cukup dengan “kertas-kertas loakan”. Cinta itu tidak ada. Karena itu terlalu banyak dibicarakan.
“Kau pantas jadi bintang film!”ratusan lelaki memujiku. Dan mendengar itu selalu aku ingin berak.
“Mau jadi istriku?” rayunya.
“Kau yang jadi istriku, aku suamimu!” jawabku.
“Aku tidak mengerti…”
“Lelaki tak pernah mengerti!”
“Tidak semua ,Nia”
‘Ya, Tidak semua. Jika lelaki ialah perempuan, maka bisa mengerti.”
“Aduh. Perempuan selalu membingungkan….”
“Lelaki selalu membunuh perlahan-lahan!”
Kalau sudah begitu mereka biasanya lantas putus asa-asa dan cepat-cepat saja menggulatiku seperti monyet makan mangga. Tak ada bedanya. Semua yang mendatangiku adalah monyet-monyet. Baik ia sopir, pelaut, guru, pengusaha, mahasiswa, seniman, gali, penjudi, dosen, makelar, peternak, tuan tanah, pelayan, lurah, camat, jagal, pegawai, bandar, germo, botoh maupun bupati. Beberapa di antara mereka yang putus asa hidupnya, agak sedikit lebih baik. Yang lainnya menumpahkan segala dosa dan kehinaan di wajahku.
Jadi, buat apa kupikirkan monyet-monyet?
Sekarang, “Tidur, tidur….”
Tidur lebih baik dari segala sesuatu. Kalau saja ada tidur yang terbebas dari kenyang dan lapar. Kalau saja ada kamar, sekecil apapun, yang memberiku tidur yang sekekal-kekalnya….
Aku tersentak tiba-tiba oleh suara adzan yang keras. Mesjid hanya seratus meter dari tempatku ini. Jadi ini sudah pagi? Dan aku belum tidur sekejap pun? Kuraih pil tidur di meja dan kutelan. Suara adzan terus mengalun dan mengejekku. Dalam warna-warni yang malang melintang di mataku, akkhirnya aku lenyap ke dalam mimpi buruk. Mimpi seburuk-buruknya, yang bahkan tak pernah dialami oleh setan maupun malaikat.
Tapi tak lama. Setidaknya begitu kurasakan. Dalam remang sakit batinku terdengar ketukan di pintu, “Nia! Nia! Bangun! Ada tamu!” Aku tergeragap dan meloncat dari ranjang. Itu suara Om Jiman, germo bossku, lelaki yang beruntung di dunia, tuan tanah yang kaya raya dan berkuasa penuh atas sawah-sawahnya, yang menyediakan sawah-sawah itu untuk disingkal, disingkal, disingkal, kapan saja ia mau.
Kubuka pintu dan tersenyum. Lihat, aku tersenyum—inilah kemampuan dahsyat yang membuatku laris. Kulirik jam: 8.35 WIB. Gusti Allah, siapa gerangan lelaki yang di pagi buta begini sudah hendak beli sarapan? Kupandang tamuku itu: lelaki setengah tua gendut rapih dan berwajah pemabuk. Tak ada yang menarik. Tapi kuladeni juga seperti Ken Dedes meladeni Ken Arok. Masih sangat ngantuk dan tidur masih kuat menjadi bagian dari diriku. Tapi kuladeni. Juga lelaki berikutnya dan berikutnya lagi. Mas mas yang budiman, kenapa tak berbagi hasrat kepada sahabat-sahabatku di kamar lain, sesekali, meskipun sebagai sawah mereka kurang indah, kurang liat dan kenyal? Aku sesungguhnya bukanlah perampas ekonomi mereka.
Namun hari ini, memang “Hari Besar“ bagiku. Di sore hari, dalam tubuh dan jiwa lungkrahku, sampailah aku di pelukan lelaki ke-1000 di ranjangku. Anak muda yang menarik, pakai jeans dan bawa tustel. Kelihatannya ini pegawai surat kabar.
“Mau memfoto aku bugil, kan?” kucoba melangkahi maksudnya.
Ia menggeleng dan tersenyum, “Kau tak menghendaki itu ,kan?”
Aku hampir menunduk. Tapi kutahankan. Tapi segala sikap dan perkataannya kepadaku sungguh lain. Aku agak gugup. Dan ini yang penting: ia tak menyetubuhiku! Aku makin gugup….
Demikianlah, kami hanya bersetubuh batin. Begitu singkat, tapi segala yang kupertahankan di batinku ambrol. Tak tahu apa yang terjadi, tapi malam itu aku nangis….ini mimpi yang lain sama sekali. Tak tahu apa.
Ternyata karierku menanjak. Dan inilah yang sebenarnya ingin kukemukakan kepadamu. Dua hari kemudian Oom Jiman pagi-pagi menyodorkan padaku sebuah Koran. Di halaman pertama pojok bawah, terpancang fotoku serta segala cerita tentang diriku: korban lelaki banal, kini meladeni 8 orang tiap hari……
Dan sebelum sempat kuselesaikan membacanya, datang dua lelaki membawa koran yang sama. Memandangku dengan aneh, satunya tersenyum. Kemudian datang lagi dan lagi, lelaki dengan koran di tangannya. Tingkah lakunya macam-macam, pendekatannya kepadaku beraneka ragam . Mereka antri di depan pintu. Kawan-kawanku sibuk menggunjingkanku. Ada yang senang, nelangsa, marah. Bagaimanapun aku yang memang cantik ini memang saingan mereka. Si Minah merampas koran dari salah seorang lelaki dan merobek-robeknya kemudian menangis sekeras-kerasnya. Aku bingung, “Ayo, berapa lelaki merangkak di ranjangku dalam sehari? Sepuluh? Dua belas? lima belas? Atau lima orang sekaligus mau jadi babi mabuk di seputar tubuhku?” semoga aku mati sebelum hancur sama sekali. Semoga ada yang menulari herpes ke tubuhku supaya kusebarkan ke seluruh lelaki yang datang dan meluas ke seantero kota dan seluruh negeri. Aku toh bisa menikamkan pisau ke perutku sewaktu-waktu…..*
No comments:
Post a Comment