Wednesday 10 November 2010

MAKANAN PADA KOMUNITI ADAT JAE: Catatan Sepintas-Lalu Dalam Penelitian Gizi

MAKANAN PADA KOMUNITI ADAT JAE: Catatan Sepintas-Lalu Dalam Penelitian Gizi

Frans Apomfires

Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih


Abstract
Food have special need for human community, clasificated by the culture. As
a cultural fenoment, eat is not an organic product whit biochemistry quality
only for nutriment need by the eater it in order to take living, but it’s more
extensive, that is, presence culture decision about what in a rational manner
likely eaten because to endanger and agree with symbolical sense which given
by culture. Rational decision to scoop with: what eaten, when eaten, where,
why, who eat, and how. Jae people have classification food and to bring to
life cymbolic role of food, like performance gasping, social string, and
psycologic sense in language. Food related to habit, religious, social status of
human.
As a main source in human life, food has been classified in human culture.
Food is not just an organic product with all the biochemical ingredients but
it roles in human life is wider than that. There are some rules in human
culture regarding their food in their life such as what kind of food they can
eat, who can eat it, when they can eat it, where they can eat, how and why.
Jae people classified and give symbolic roles to their food as an expression
of social bond, loyalty, tranquillity and psychological meaning in their
language.


1. PENDAHULUAN
Makanan dalam pandangan sosial-budaya, memiliki makna yang lebih luas
dari sekedar sumber nutrisi. Terkait dengan kepercayaan, status, prestise,
kesetiakawanan dan ketentraman. Di dalam kehidupan komuniti manusia
1 Ini merupakan catatan lapangan penting dari penulis yang sifatnya umum dari penelitian
tentang Aspek Gizi dan Keluarga di Kecamatan Muting Kabupaten Merauke, oleh
Persatuan Keluarga Berencana Indonesia Jayapura, pada bulan Juli – Agustus 1999.
yang bersahaja, makna ini berlaku dan dienkulturasi. Makna tersebut
menyebabkan makanan memiliki banyak peranan dalam kehidupan seharihari
suatu komunitas manusia. Makna ini selaras dengan nilai hidup, nilai
karya, nilai ruang atau waktu, nilai relasi dengan alam sekitar; dan nilai
relasi dengan sesama. Yang disoroti disini adalah makanan alamiah, natural
food pada komunitas manusia bersahaja. Beberapa ilmuan dan konsumer
mengakui bahwa makanan alamiah adalah makanan yang pada dasarnya
tidak banyak proses dan tidak mengandung bahan atau ramuan tambahan.
Ahli nutrisi merujuk pada bahan dasar dan makanan tradisional. Perhatian
pada makanan alamiah timbul sebab konsumer makin menjadi sadar bahwa
memperhalus/membersihkan makanan yang dihasilkan dalam suatu produksi
nutrisi yang kurang. Penghalusan tepung terigu murni menjadi tepung putih
misalnya, memisahkan sebagian besar nilai nutrisi dan serat dietary.
Para antropolog menggambarkan bahwa, kelompok-kelompok kultur dalam
hubungannya dengan praktek-praktek dan kepercayaan-kepercayaan tentang
diet sangat berbeda-beda. Misalnya, terdapat variasi-variasi yang luas di
seluruh dunia tentang apa yang dianggap sebagai bahan makanan, dan apa
yang bukan makanan. Bahan makanan tertentu dimakan dalam satu
masyarakat atau satu kelompok, tetapi dilarang secara keras oleh masyarakat
atau kelompok lain. Marston Bates (dalam Parsudi Suparlan, 1993:27)
menyatakan bahwa paling aman kalau kita katakan bahwa tidak ada satupun
masyarakat manusia yang berhubungan dengan makanan yang ada di
lingkungannya, secara rasional, yaitu yang memakan makanan sesuai dengan
apa yang tersedia, yang bisa dimakan, dan nilai nutrisinya dapat dijangkau.
Masyarakat Aborigine Australia yang primitif dengan kebudayaan meramu,
food-gathering, dianggapnya contoh yang paling sesuai karena mereka harus
memakan hampir segala sesuatu yang tersedia dan bisa dimakan agar tetap
hidup, tetapi juga pada masyarakat yang demikian itu ditemukan juga
larangan-larangan tertentu seperti larangan berburu dan memakan hewanhewan
totem.
Audrey Richards (1975) dalam penelitiannya di Afrika, dimana seks bebas
dilakukan sedangkan makanan terbatas, mengemukakan bahwa dalam
masyarakat tersebut makanan mendominasi subsadar di samping kehidupan
sadar warga masyarakatnya. Dalam bukunya, Hunger and Work in Savage
Tirbe, ia mengemukakan bahwa food behavior pada manusia diatur jauh
lebih mendasar dan ekstensif oleh kebudayaan dan tradisi dibandingkan
dengan seks.
Pada komuniti adat tertentu di Papua, yang corak budayanya yang terbuka
dengan mudah dapat mengadopsi nilai baru, dan komuniti yang tertutup
adalah sebaliknya. Masyarakat dengan corak budaya terbuka merupakan
kelompok masyarakat yang memiliki variasi pada pola makan dan jenis
makanannya. Pemahaman tentang pola makan yang lebih maju pada
kelompok seperti ini relatif lebih cepat dibanding komuniti yang tertutup.
Kelompok yang proses kontak timbal-balik budaya lambat (corak budaya
tertutup) memiliki pola makan dan jenis makanan yang kurang bervariasi.
Atas dasar pandangan-pandangan diatas, tulisan ini dapat menguraikan
bagaimana klasifikasi makanan dalam kultur orang Jae dan perubahannya
sesuai perkembangan budayanya.

2. KERANGKA PEMIKIRAN DAN CARA AMBIL DATA
Data mengenai makanan dan jenisnya merupakan informasi menarik yang
diambil melalui pengamatan dan wawancara mendalam mengenai gizi dan
keluarga terhadap beberapa informan dan responden. Karena penelitian
utamanya adalah gizi dan keluarga sehingga data lapangan yang padat adalah
mengenai kondisi gizi keluarga menyangkut jenis makanan, berat badan,
keadaan fisik tubuh, volume makanan individu per hari. Beberapa tokoh adat
dan masyarakat serta 16 orang atau 24% dari warga diambil sebagai sampel
dari seluruh penduduk.
Catatan lapangan mengenai makanan dari penelitian gizi dan keluarga
diambil dan dijelaskan berdasarkan pendekatan sistem pengetahuan tentang
pilihan rasional terhadap apa yang boleh dimakan sebagai makanan dan yang
tidak boleh. Penedakatan ini dipakai karena dimensi etnologis dari komuniti
adat sasaran kajian adalah lebih dominan. Fungsi pengetahuan tradisonal
merupakan penjabaran dari konsep fungsionalime yang dikembangkan oleh
Malinowsky, yang memiliki orientasi teoritik bahwa semua unsur
kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu ada. Menurut
Malinowsky, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk
memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul
dari kebutuhan dasar. Dengan orientasi teoritik ini, dapat dijelaskan
bagaimana fungsi pengetahuan dalam penentuan sesuatu sebagai makanan
dan bukan makanan. Makanan dalam konteks kultur meliputi, pilihan
rasional terhadap jenis makanan, cara memasak, kesukaan dan
ketidaksukaan, kearifan kolektif, kepercayaan, dan pantangan-pantangan
yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan. Ini
semua adalah sebagai kompleks kebiasaan makan.
Koentjaraningrat (1981:25) menyatakan sistem nilai budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam
hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi kelakukan manusia. Sebagai bagian dari adat-istiadat
dan wujud ideal dari kebudayaan. Sistem nilai-budaya seolah-olah berada
diluar dan di atas dari para individu yang menjadi warga masyarakat yang
bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai
budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu
sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabanya nilainilai
budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu
singkat. Clyde Kluckhohn (1961) mengatakan semua sistem nilai budaya
dalam semua kebudayaan di dunia, mengalami lima masalah pokok dalam
kehidupan manusia, yaitu: (a) hakekat hidup; (b) hakekat karya; (c) hakekat
kedudukan dalam ruang atau waktu; (d) hakekat hubungan dengan alam
sekitar; dan (e) hakekat hubungan dengan sesamanya.
Kedudukan nilai-nilai budaya ini pada tiap komuniti adat tentu tidak sama,
demikian pula orientasi dari nilai-nilai itu pada tiap komuniti. Dalam kaitan
dengan penentuan makanan dan bukan makanan pada orang Jae, maka
peranan nilai-nilai budaya menjadi unik. Apa yang mendasari penentuan itu
dapat dilihat pada model muatan unsur pengetahuan pada tiga wujud
kebudayaan. Model ini merupakan penyederhanaan pemikiran dari hubungan
terkait antara unsur-unsur universal kebudayaan dengan tiga wujud
kebudayaan. Bahwa, gagasan untuk mencoba lalu memilih dan menentukan
sesuatu sebagai makanan dan bukan makanan ada pada kolom I; tindakan
untuk merealisasi gagasan (kolom I) itu berada pada kolom II; sedangkan
kolom III adalah hasil pemilihan dan penentuan berdasarkan kolom I dan
kolom II.
Muatan unsur dan wujud kebudayaan
I II III Unsur Pengetahuan
(I) Sistem Budaya (II) Sistem Sosial (III) peralatan/material
Muatan budaya dari unsur pengetahuan yaitu berupa gagasan tentang
sesuatu, sedangkan muatan sosial dari unsur pengetahuan itu berupa tindakan
dan atau perilaku untuk mewujudkan gagasan tentang sesuatu tadi, serta
muatan material dari pengetahuan dapat berupa benda hasil karya yang
diwujudkan dari gagasan itu melalui suatu aktivitas.


3. GAMBARAN UMUM KOMUNITI JAE
Orang Jae membedakan diri dari kelompok orang Marind lainnya. Deskripsi
etnografis mengenai sukubangsa Marind dimana orang Jae termasuk di
dalamnya diprotes oleh orang Jae. Mereka memiliki asal usul, bahasa dan
organisasi sosial yang tersendiri dari orang Marind. Tetapi mereka
memaklumi penggolongan diri mereka ke dalam suku besar Marind, yang
tersebar menduduki beberapa kawasan mulai dari pantai sampai pedalaman
di kabupaten Merauke. Orang Jae bertempat di daerah Bupul distrik Muting,
tanah leluhur mereka. Secara fisik dan sosial-budaya memang tidak berbeda
dengan orang Marind, tetapi mereka mengaku diri bukan orang Marind.
Mereka tidak membantah jika disebut dengan istilah Marind-Jae. Bagi
mereka, sebutan Marind-Jae boleh dipopulerkan untuk menyebut diri mereka
dengan maksud untuk mengekspos diri kepada orang luar yang selama ini
hanya tehu tentang suku Marind saja. Dalam sistem pemerintahan Indonesia,
suku ini dimukimkan pada sejumlah desa menurut sub-suku pada lahan dan
dusun sagunya. Sejumlah klen dapat bersatu sebagai satu kesatuan hidup
karena memiliki mitos yang sama. Stratifikasi sosial masyarakat Marind-Jae
terdiri dari tiga lapisan, yaitu (1) pemimpin, (2) kepala klen, dan (3)
masyarakat biasa.

3.1. MATA PENCAHARIAN HIDUP.
Mata pencaharian hidup terdiri dari meramu, berburu dan bercocok tanam.
Dalam aktivitas tradisional tersebut terjadi perbedaan yang menyolok pada
keahlian yang dimiliki masing-masing individu. Misalnya kegiatan berburu,
hanya orang tertentu saja yang bisa melakukannya, demikian pula meramu,
bercocok tanam, kesenian dan lain-lain. Pemburu binatang di hutan tahu
tentang musim dan saat dimana binatang misalnya babi, lao-lao, kasuari,
dapat diburu dan ditangkap. Keseragaman aktivitas ekonomi orang Jae
dengan suku Marind lainnya tercermin dalam hal-hal tertentu saja, misalnya
pola konsumsi makanan pokok, yakni cara mempersiapkan dan menyajikan
sagu dan lauk bagi sagu. Peranan utama dari sagu pada masyarakat ini
sangat penting, walaupun sekarang sudah banyak diselingi dengan makanan
lain. Bagaimana memperoleh sari tepung sagu untuk bahan makanan dilihat
pada bagian bie sebagai makanan pokok dan sakral.
Dalam pekerjaan mengolah sagu ini laki-laki dapat membantu apabila dusun
sagu jauh dari kampung. Kadang untuk jangkauan yang jauh laki-laki saja
yang bekerja, perempuan melakukan pekerjaan lain, seperti menangkap ikan
di sungai.

3.2. RELIGI.
Orang Jae berhubungan sangat erat dengan alam sekitarnya. Mereka percaya
bahwa, hutan, bukit, sungai itu dihuni oleh roh-roh dan makluk-makluk halus
yang dibedakannya dari roh yang ada di dalam diri manusia. Roh di dalam
diri manusia boleh selalu mau hidup berkreasi karena terkait dengan roh di
luar manusia. Roh diluar diri manusia ada yang bersifat baik dan ada yang
bersifat tidak baik. Mereka percaya, roh penghuni alam sekitar yang bersifat
baik selalu akan melindungi manusia. Sedangkan roh yang bersifat tidak baik
selalu akan mengganggu hidup manusia. Kepercayaan tradisional mereka ini
juga ada yang terkait dengan mitos, totem dan tabu, yang juga mendasari
klasifikasi tentang makanan dan bukan makanan, tentang makanan yang bisa
dimakan dan yang tidak bisa dimakan.
Orang Jae percaya kepada kekuatan magis yang dipraktikan oleh orang-orang
tertentu dalam melakukan kegiatan tertentu. Adanya kekuatan magis ini
mempengaruhi perilaku mereka dalam bertindak pada hal-hal tertentu.
Mereka juga mengenal pantangan-pantangan. Banyak pantangan yang
dipatuhi di dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, misalnya, dalam
mengumpulkan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, pemburuan
binatang. Misalnya, pantangan dalam memangkur sagu adalah tidak boleh
masuk sembarangan ke hutan sagu. Kekuatan magis juga digunakan untuk
menguasai alam dan dapat mendatangkan angin badai, halilintar, kabut,
hujan dan taufan. Kekuatan magis juga dapat digunakan untuk menemukan
barang yang hilang, barang yang dicuri, atau untuk menunjukkan si pencuri.
Ilmu sihir hitam juga banyak digunakan terutama oleh kaum perempuan.
Dengan ilmu sihir, penyihir dapat menyakiti, dan bahkan dapat membunuh
manusia. Ilmu ini biasanya diberikan oleh seorang ibu kepada anak
perempuannya sebagai pelindung dirinya. Misi keagamaan dan kehidupan
baru telah banyak mengurangi kepercayaan tersebut.

3.2. TOTEM.
Setiap klen pada masyarakat ini memiliki totem, yang terdiri dari binatang
dan tumbuh-tumbuhan. Ada klen yang mensakralkan dan tidak bisa
menyentuh totemnya. Tetapi ada klen yang totemnya walaupun disakralkan
namun bisa disentuh. Umumnya totem-totem pada orang Jae disakralkan tapi
bisa disentuh. Misalnya totem dari klen Keijai adalah kasuari, walaupun
kasuari disucikan tetapi binatang tersebut bisa disentuh atau dimakan oleh
klen Keijai. Begitu pula klen Kewamijai yang bertotem sagu, dimana sagu
tetap dimakan oleh warga klen tersebut. Yang sangat ditabuhkan adalah
ceritera asal usul atau bagaimana terjadinya klen, tidak boleh diceriterakan
kepada siapapun diluar klen yang bersangkutan.

3.3. ORGANISASI SOSIAL DAN KEKERABATAN.
Organisasi sosial yang paling kecil dalam kehidupan orang Jae adalah
keluarga inti, - ayah, ibu dan anaknya yang belum menikah. Tetapi organisasi
yang paling menonjol dalam kehidupan sosial ekonomi sehari-hari adalah
keluarga luas, - kelurga inti ayah ditambah keluarga inti anak-anak. Aktivitas
sosial dan ekonomi dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa keluarga
tersebut, yang tinggal di dalam satu rumah atau satu kampung.
Dalam kaitan dengan usaha mencari makan, maka orang yang bekerjasama
adalah yang berhubungan kerabat atas dasar pertalian darah dan kawin.
Hubungan atas dasar pertalian darah yaitu ayah-ibu dan anak atau kakak
beradik dari satu leluhur atau nenek, atau tete, atau satu klen. Sedangkan
hubungan atas dasar pertalian kawin yaitu anak-anak dari saudara ibu, atau
klen yang berbeda.


4. MAKANAN DAN POLA MAKAN PADA ORANG JAE
4.1 Pengantar
Kajian mengenai klasifikasi makanan dari sisi sosial-budaya pernah
dilakukan oleh Cecil Helman (1984:23-24) ke dalam lima kategori pokok,
yaitu: (1) makanan dan bukan makanan; (2) makanan sakral dan profan;
(3) makanan yang digunakan sebagai obat dan obat sebagai makanan; (4)
makanan sebagai simbol status sosial; (5) makanan paralel. Klasifikasi
Helman ini dipakai sebagai acuan untuk menggali dan menjelaskan pola
makanan pada kultur komuniti Jae, dengan penambahan tertentu yang
disesuaikan dengan kultur komuniti tersebut.
Sebagai masyarakat dengan kebudayaan meramu, orang Jae memakan
hampir segala sesuatu yang tersedia untuk bisa dimakan agar tetap hidup.
Rasionalisasi dari sistem pengetahuan orang Jae tentang apa yang bisa
dan tidak bisa dimakan merupakan sebuah proses panjang sampai pada
pengakuan sesuatu sebagai makanan. Sesuatu ditetapkan sebagai
makanan karena tidak mematikan orang, sebaliknya sesuatu yang
mematikan tidak dimakan. Pati sagu dari pohon sagu diambil sebagai
makanan sehari-hari karena tidak mematikan. Orang Jae berhubungan
dengan makanan yang ada di lingkungannya secara rasional, yaitu
memakan makanan sesuai dengan apa yang tersedia yang bisa dimakan
dan dipilih atau ditetapkan karena tidak berbahaya dan mematikan. Di
dalam kebudayaannya, orang Jae mengenal pula sejumlah peranan yang
implisit yang mempengaruhi siapa yang harus menyiapkan makanan,
menyimpan makanan, untuk siapa, individu atau kelompok yang makan
bersama serta saat yang bagaimana, dan di mana tempat mengkonsumsi
makanan. Berikut uraian mengenai makanan pada orang Jae.

4.2 Bie Sebagai Makanan Pokok dan Sakral
Makanan pokok orang Jae adalah bie atau sagu. Bagi orang Jae, sagu bakar
yang dimakan dapat menguatkan badan dan atau mengatasi rasa lapar.
Sedangkan pati sagu yang tidak dibakar tidak bisa dimakan karena tidak
menguatkan tubuh, malahan bisa mematikan orang. Jadi dalam proses itu,
apa saja yang dimakan dan ternyata mematikan, maka dianggap bukan
makanan. Untuk memperoleh sagu untuk makanan sehari-hari, mereka
menempu dua strategi ke dusun sagu. Pertama, strategi jarak pendek yakni,
pergi-pulang dari kampung ke dusun sagu karena jangkauannya dekat.
Keluar pagi dan pulang sore hari dengan membawa hasil. Kedua, strategi
jarak panjang yakni, pergi beberapa lama tinggal di dusun sagu, dengan
membangun sebuah rumah untuk dihuni. Segala perlengkapan seperti, tikar
untuk alas tidur, kapak dan perlengkapan lainnya dibawahnya dari kampung.
Hidup di hutan-hutan sagu dengan menetap di suatu tempat untuk beberapa
waktu, lalu pindah mencari tempat baru adalah apabila makanan di tempat
itu sudah mulai berkurang. Hidup di tengah hutan bagi mereka itu adalah
hidup yang bebas, tidak ada peraturan yang mengikat mereka. Inilah yang
menyebabkan mereka sering meninggalkan kampungnya. Anak-anak
biasanya diikutsertakan dalam kegiatan pencarian makan ini. Walau pun
sekarang ini (saat penelitian ini dilakukan), ada orang tua yang memandang
bahwa anak-anaknya yang bersekolah tinggal di kampung, akan tetapi
pandangan ini sulit dipraktekan.
Sari pati sagu diambil dengan cara batang sagu ditebang, dibersihkan
pelepahnya, dipotong secukupnya kurang lebih 2 meter lalu dibelah untuk
ditokok dan dipukul menggunakan kayu buah sehingga empulur sagu itu
halus. Empulur sagu yang sudah halus diangkat ke dalam tempat meramas
yang dibuat dari pelepah sagu kurang lebih 3 kg, dicampur air lalu diramas.
Ini dilakukan selama dua kali. Perempuanlah yang umumnya melakukan
pekerjaan ini. Tepung sagu yang dihasilkan diambil untuk bahan makanan,
biasannya dibakar dalam bentuk gumpalan, istilah yang populer adalah sagu
bola. Selain sagu bola, dibungkus dengan daun lalu dibakar. Sekarang
mereka cenderung membakar sagu dengan kaleng dan piring ceper.
Selain sebagai makanan pokok, bie juga merupakan makanan yang
disakralkan, terutama oleh klen Keijai yang memandang sagu sebagai
totemnya. Warga dari klen ini percaya bahwa sagu adalah leluhur dan asal
mula dari kehidupan mereka. Atas dasar pandangan inilah, maka mitos dari
sagu dan keberadaan sagu disekitarnya tidak mudah diceriterakan kepada
orang lain. Mitos sagu telah menjadi kerangka moral yang dipatuhi.
Berlandaskan ini, maka sagu diambil secara baik dalam suatu proses tata
krama tersendiri dan dikonsumsi secara baik pula agar kehidupan dan
penghidupan mereka selalu berlangsung dengan baik. Hal ini menunjukkan
bahwa mengkonsumsi sagu itu sebenarnya bukan karena sekedar memberikan
kekuatan pada tubuh mereka yang lemah agar bisa mampu bekerja, tetapi
lebih daripada itu, adalah mengekspresi ketaatan kepada leluhur sebagai akar
dari kehidupan. Karena itu selain klen tadi, orang Jae umumnya, menaati
keyakinan bahwa perlakuan yang baik terhadap sagu itu akan berakibat baik
bagi mereka, yakin suasana damai sejahtera. Ketaatan itu dapat juga dilihat
dari cara mereka mulai menebang pohon sagu sampai memangkurnya.
Penebangan dilakukan orang tua tertentu yang tahu tentang ungkapanungkapan
adat yang berkaitan dengan sagu atau leluhur itu, dimana sambil
menebang penebang berkata-kata seraya memohon maaf dan izin. Demikian
juga tidak boleh adanya empulur sagu yang terjatuh sembarangan ke tanah.
Bahkan ketaatan itu menyebabkan empulur yang siap diramas dipukul-pukul
menggunakan kayu buah sampai menjadi lebih halus agar semua sari tepung
tersaring ke dalam babat, tempat penampung untuk diambil.
Penerapan dikotomi makanan religius lebih dari sekedar klasifikasi bagi
makanan, dan hal ini biasanya merupakan bagian dari “kerangka moral”
dalam kebudayaan mereka. Persoalan mengenai apa yang ditolak dan apa
yang diterima tentu saja berada dibawah kontrol kebudayaan mereka,
khususnya yang berkenaan dengan makanan.
Bahan-bahan makanan tertentu juga disakralkan karena adalah merupakan
totem dari klen-klen tertentu. Umumnya komuniti bersahaja tidak memakan
sesuatu yang disakralkan sebagai totemnya. Hal ini berbeda pada orang Jae.
Klen Keijai misalnya, mensakralkan kasuari, tetapi tidak dipantangkan. Klen
Dambojai mensakralkan sagu, tetapi tetap memakan sagu sebagai makanan
pokoknya. Bahan-bahan makanan tertentu juga dianggap “profan” sehingga
dalam kehidupan mareka, bahan makanan tersebut bukan saja menjadi
subyek tabu yang ketat, tetapi juga tidak bisa disentuh dan tidak akan
disentuh. Misalnya, ikan kakap dan ikan sembilan yang besar dianggap aneh
dan berbahaya, maka tidak boleh dimakan, karena jika dimakan akan
menimbulkan kelainan pada tubuh dan menyebabkan yang memakannya akan
mati.

4.3 Makanan Selingan
Bie biasanya diselingi makanan lain seperti pisang dan talas. Pisang dan
talas ditanam di kebun pada pekarangan rumah, selain itu nasi yang sudah
dikenal dan biasa dimakan. Walaupun ada makanan selingan itu, tetapi sagu
tetap diutamakan. Beberapa orang menyatakan, makan sagu itu kenyang
lebih lama daripada makan pisang, nasi dan talas.

4.4 Makanan Sebagai Obat dan Obat Sebagai Makanan.
Klasifikasi semacam ini sering terkait erat dengan klasifikasi makanan
paralel. Pucuk muda dari sagu yang sering diambil sebagai makanan,
kadang-kadang dijadikan obat. Tumbuhan sammai (bahasa Jae) atau wati
(bahasa Marind) adalah tumbuhan yang memiliki fungsi sosial dan budaya
dalam kehidupan mereka. Tumbuhan sammai di tanam dan jaga secara adat
untuk acara-acara adat. Sedikit bagian dari tumbuhan ini akan dikunya oleh
pimpinan acara atau orang tertentu lalu diberikan kepada peserta acara untuk
memberi semangat berbicara atau berkomunikasi diantara mereka. Bagi
generasi sekarang sammai dimakan agar tidak stres. Selain sammai, pohon
taak (bahasa Jae) yang getahnya dimakan baik oleh wanita yang telah
melahirkan maupun yang masih gadis yang bakal kawin untuk melancarkan
air susu bagi kebutuhan bayi.

4.5 Makanan bayi.
Makanan untuk bayi adalah gumpalan sagu bakar lunak. Proses
pembuatannya sama seperti yang dibuat untuk orang dewasa, tetapi sagu
bakar untuk bayi sambil dibakar diberi air secukupnya sehingga lunak.
Maksudnya, agar mudah dimakan. Makanan ini hanya bersifat sementara,
karena setelah berumur diatas 7 tahum, ia pun memakan makanan yang
dimakan orang dewasa.

4.6 Biekalmu: Makanan Status Sosial.
Makanan ini memperlihatkan ciri dan bentuk yang berbeda dengan yang
lainnya. Biekalmu adalah makanan yang menentukan status sosial dari orang
Jae, dimana orang lain di luar kelompok dan kampung diundang untuk
menikmatinya. Pada saat dan setelah makanan ini disajikan maka orang luar
kampung secara spontan menyatakan rasa kagum atas kenikmatan makanan
ini. Ini pertanda adanya kemakmuran dan sejahtera bagi kampung penyaji
makanan. Tujuan dari penyajian ini memang adalah untuk mendapat
penilaian terhadap kondisi kemakmuran dan kesejahteraan warga kampung
atas.
Selain itu dengan melakukan ini maka dusun, hutan dan segala yanga di
dalamnya tetap baik dan mudah diperoleh untuk kehidupan manusia. Ciri dan
bentuk makanan ini bisa dibilang sebagai simbol kesejahteraan dan
kedamaian kampung. Selain itu, nilai simbolis yang dimaksud disini terutama
berkaitan dengan ungkapan rasa persaudaraan, identitas kelompok, serta
sebagai ungkapan prestise dari kelompok. Biekalmu, disajikan secara
insidentil, yang disebut pesta biekalmu, yakni pesta untuk menjamu tamu
kehormatan dan suku-suku tetangga. Bagi orang Jae, Biekalmu adalah
makanan yang sangat istimewa, karena dibuat dari bahan-bahan makanan
yang segar seperti pati sagu, daging binatang buruan seperti kanguru, babi,
dan burung kasuari, serta sayur-sayuran. Setelah bahan-bahan itu disiapkan
maka dicampur aduk lalu dibungkus dengan daun atau kulit kayu tertentu
lalu dibakar. Besar dan berat bungkusan bielakmu bisa bervariasi, tetapi
umumnya sebesar kurang lebih 65 cm2 dengan berat 6 kg lebih. Biekalmu
dibakar diatas bara api yang panas. Setelah matang diangkat lalu dibiarkan
hingga agak dingin barulah kemudian dibuka. Semua orang yang hendak
mencicipi biekalmu harus berada disamping pada saat bungkusan hendak
dibuka. Hal ini agar masing-masing bisa menghirup aroma biekalmu yang
menggiurkan. Pesta biekalmu adalah pesta yang sangat meriah karena
dihadiri banyak orang berbagai kampung, disitu pula merupakan moment
pengakuan prestise, pertukaran sosial, budaya dan peminangan.
Selain makanan yang menunjuk status sosial itu, makanan yang sifatnya
hampir sama adalah pesta ulat sagu. Pesta ulat sagu merupakan pesta yang
sangat meriah, semua orang terutama laki-laki bergiat secara sungguhAntropologi
sungguh memberi yang terbaik untuk pesta ini. Manfaatnya adalah hubungan
sosial menjadi lebih akrab. Mereka menyadari pesta ini memberi kenikmatan
yang tinggi karena sajiannya sangat enak, ini adalah kesempatan untuk
mengkonsumsi makanan yang enak.
Pesta pendewasaan (inisiasi) pada suku ini disuguhi makanan tersebut
diselingi dengan yang lainnya. Karena pendewasaan amat sangat penting
untuk masyarakat yang bersangkutan, maka makanan selalu disajikan
sebagai tanda suka cita. Di dalam pesta ini daging binatang buruan, piaran,
ikan dan sayuran disajikan.

4.7 Pola Makan
Pola makan mencakup apa yang dimakan, kapan dimakan, siapa yang
makan, dimana, mengapa, dan bagaimana memakan makanan. Kapan,
dimana dan bagaimana orang Jae memakan makanan pokok dan selingan di
dalam tradisi mereka, ketepatannya sangat relatif. Umumnya mereka tidak
biasa duduk sama-sama memakan makanan, kecuali pada saat pesta
biekalmu. Orang secara individu memakan makanan yang disiapkannya
tanpa harus bersama-sama dengan warga lainnya. Penentuan waktu untuk
makan pun tidak tegas. Setiap orang dapat makan kapan saja, kalau memang
ia merasa lapar atau ingin makan. Walaupun demikian, setiap pagi saat
orang belum pergi melakukan aktivitasnya, ada asap api di rumah masingmasing
yang ternyata adalah karena sedang membakar sagu untuk dimakan
atau dibawa ke tempat bekerja. Rumah yang tidak berasap api pertanda, sagu
sudah dibakar dari malam, atau tidak punya sagu untuk dibakar. Orang atau
keluarga yang tidak punya sagu di rumah maka makanannya akan dibuat di
dusun dan atau di tempat kerja. Simon dan Wilianus (tokoh masyarakat)
menuturkan:
...kalau ada sagu atau makanan, maka kami dapat makan pada pagi hari
sebelum keluar rumah melakukan aktivitas.Tetapi kalau tidak ada, maka
kami akan bakar sagu untuk dimakan di tempat kerja, misalnya di dusun, di
hutan dan di tepi sungai….
Pemahaman baru tentang pola makan dan waktu makan (pagi, siang, dan
malam) seperti yang umumnya pada masyarakat di kota dan masyarakat
yang sudah maju, telah dikenal melalui kehidupan para misionaris dan
petugas-petugas pemerintah, namun belum banyak ditiru karena masih
kuatnya pegangan mereka pada irama kehidupan berlandaskan ekonomi
subsisten.
Dalam kasus tertentu, apa yang dipertimbangkan untuk dapat dimakan dan
tidak dapat dimakan cenderung bersifat fleksibel. Misalnya pada wanita yang
sedang hamil, menyusui, dan menstruasi, untuk sementera tidak memakan
makanan tertentu, dan sesudah masa itu ia boleh makan makanan yang
dilarang tadi. Misalnya, wanita Jei-Marind yang sedang hamil atau menyusui
tidak boleh memakan daging kasuari, anak babi dan ikan kakap besar karena
kalau dimakan akan mengakibatkan kelumpuhan pada bayi yang dilahirkan.
Bagaimana pandangan logika kesehatan modern mengenai kebiasaan ini?.
Waktu makan. Sagu adalah makanan utama pada pagi, siang dan sore hari.
Belum ada makanan pengganti makanan pokok ini walaupun mereka sudah
mengenal nasi dan ubi-ubian (lihat bagian 2.4 tentang makanan pokok dan
tambahan). Daging hewan buruan dan ikan yang segar bisa diperoleh setiap
hari melalui berburu dan menjaring. Namun hal ini tidak selalu dilakukan
karena tergantung kepada orang yang bisa melakukan, bukan suatu
keharusan untuk makanan tersebut diadakan menjadi lauk bagi sagu.
Pemburu hewan hutan adalah profesi bagi orang-orang tertentu, dan karena
itu keputusan untuk berburu bergantung pada si pemburu itu. Daging hewan
bisa dapat dimakan bersama sagu, tetapi juga daging bisa dimakan tanpa
sagu. Seorang pemburu biasanya akan membagi hasil buruannya kepada
kerabatnya atau warga lain sehingga bagian untuk dirinya atau keluarganya
hanya cukup dimakan sehari. Implikasi sosial dari tindakan ini lebih penting
daripada ekonomi. Artinya dengan tindakan ini kehidupan dianggap lebih
damai dan tentram. Sekarang ini setelah mengenal nilai uang dari luar, maka
sebagian atau semua hasil buruan dapat dijual untuk memperoleh uang.
Ikan cukup tersedia di lingkungan perairannya tetapi tingkat mengkonsumsi
ikan masih rendah dibanding orang yang sudah hidup modern di kota. Hal ini
Antropologi Papua Volume 1. No. 2, Desember 2002
selain karena signifikansi budaya ekonominya yang masih rendah terhadap
alam lingkungannya sehingga tidak mampu menangkap banyak ikan, tetapi
juga karena pola konsumsi ikan yang dipengaruhi oleh sistem pengetahuan.
Pandangan masyarakat ini sama dengan banyak masyarakat kampung
lainnya bahwa banyak mengkonsumsi ikan itu suatu penyimpangan budaya
dan juga perut akan ada cacing.
Sebagian orang Jae di kampung Bupul senang memelihara ayam di
pekarangan rumah. Ada beberapa asalan mereka beternak ayam, pertama,
sebagai alasan prestise atau sebuah wujud dari pemikiran yang maju; kedua,
dimotivasi pemimpin pastor dan pendeta; dan ketiga, dipelihara untuk
kepentingan tamu dari luar, yakni dipotong untuk dijadkan lauk bagi tamu.
Beberapa petugas pemerintah di desa memelihara ayam untuk dimakan dan
dijual. Babi dipelihara oleh orang Jae untuk maskawin dan pesta biekalmu.
Sekarang babi dipelihara untuk ulang tahun dan hari raya paskah, natal serta
dijual.
Tanaman kacang-kacangan sudah dikenal dan ditanam orang Jae, tetapi
bukan untuk dikonsumsi dengan sagu melainkan sebagai tindakan nyata dari
pengetahuan baru mereka tentang kegiatan produksi pertanian. Sayuran hijau
seperti daun melinjo, dan jenis paku-pakuan banyak terdapat di hutan dan
dusun sekitar kampung. Sayuran ini biasanya diambil untuk dikonsumsi
dengan sagu, ubi, dan nasi.
Tanaman buah seperti mangga, nangka, rambutan, nenas, jeruk dan lainnya
ditanam di pekarangan rumah untuk dimakan buahnya. Tanaman ini tidak
ditanam pada lahan tersendiri yang luas. Buah yang disukai adalah buah pala
hutan, yang diambil di hutan secara berramai-ramai, biasanya ada musim
dimana buah ini sarat berbuah di hutan. Selain itu buah matoa juga dapat
diperoleh pada musim tersendiri.


5. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, dirumuskan beberapa catatan kesimpulan bahwa:
1. penyediaan makanan pada komuniti adat Jae, bukan dikelola secara
sengaja untuk memenuhi nutrisi bagi tubuh mereka, melainkan sebagai
suatu kebiasaan rutin supaya mereka dapat makan dan mendapat
kekuatan tubuh agar melakukan pekerjaan dengan baik.
2. jenis dan variasi makanan disediakan sesuai dengan kepentingan yang
berlainan bagi ibu hamil, bayi, dan orang dewasa.
3. disamping sebagai bagian dari sistem budaya, dalam konteks sehat dan
sakit makanan merupakan sub-sistem dari sistem perawatan kesehatan
tradisional, folk medicine systems pada orang Jae.
4. sistem sosial budaya makan dan makanan pada komuniti ini
mengimplikasikan adanya sejumlah aturan yang menyangkut mengenai
apa yang boleh dan yang tidak boleh dimakan, baik secara ketat maupun
secara temporer dalam kaitannya dengan kondisi-kondisi tertentu.




Daftar Kepustakaan :

Audrey, Richards, 1975 “Hunger and Work in a Savage Tribe”, dalam
Parsudi Suparlan (ed.), Manusia, Kebudayaan dan
Lingkungannya. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Audy, J.R. and F.L.Dunn, 1974, “Health and Desease” (bab 15) dan
Community Health” (bab 16), dalam Human Ecology, F.Sargen
(ed.). Amsterdam Publishing Co.
Bates, Marston 1958 Manusia, Makanan, dan Seks, dalam Manusia,
Kebudayaan dan Lingkungannya. Parsudi Suparlan (ed.). Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada.
Boelaars,J., 1986 Manusia Irian, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan.
Jakarta: PT.Gramedia.
Foster, G., 1973 Traditional Scienties and Technological Change.
Foster G.M. & Anderson B.G, 1974, Medical Anthropology. Diterjemahkan
oleh Priyanti Pakan Suryaharma dan Meutia F. Swasono. Jakarta:
UI press.
Helman, Cecil, 1986, “Diet and Nutrition, dalam Culture, Health and
illness. England: John Wright & Sons Publising, Pp.23 – 41.
Jellife, B.D, 1967 “Paralel Food Clasification in Developing and
Industrialized Countris”, dalam The American of Cultural
Nutritions, vol. 20, No.3 March, Pp. 279 –281.
Kumbara,A.A. Ngr.Anom, 1989, Kepercayaan “Panas dan Dingin”:
Dihubungkan dengan Program Perbaikan Gizi Ibu Hamil dan Ibu
Menyusui di pedesaan Kabupaten Lebak Jawa Barat ( Suatu
Kajian Antropologi Gizi). Tesis Strata 2 Bidang Multidisipliner,
Program Pengkhususan Antropologi Kesehatan, Fakultas
Pascasarjana UI, Jakarta.
Mansoben,J.R., 1995 Politik Tradisional Irian Jaya. Disertasi. Jakarta: LIPI.
Meutia, F.Swasono, dkk, 1994, Masyarakat Dani di Kecamatan Kurulu,
Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya: Adat Istiadat dan
Pengaruhnya terhadap Kesehatan. Makalah Seminar Perilaku dan
Penyakit dalam Konteks Perubahan Sosial, kerjasama Program
Antropologi Kesehatan Jurusan Antropologi FISIP UI dengan The
Ford Foundation.
Parsudi, Suparlan, 1993, manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya.
Bacaan untuk mata kuliah dasar umum, khususnya Ilmu Sosial
Dasar. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Pelto,J.P, dan Pelto,H.G., 1983, “Culture, Nutrition and Health”, dalam The
Anthropology of Medicine: from culture to method. Rommanucci-
Ross (ed.) Massachusets Berin and Gorvey Publisher Inc. Pp. 173
–200.

No comments:

Post a Comment