Friday 12 November 2010

Masjid dan Peradaban yang Merosot

Masjid dan Peradaban yang Merosot

Ulil Abshar-Abdalla


Kalau mendengar khutbah di gereja-gereja Amerika yang disiarkan melalui TV (dikenal dengan istilah “televangelisme"), saya merasa, mutu khutbah orang-orang “kafir” itu secara umum jauh lebih baik ketimbang mutu khutbah di masjid-masjid kita di Indonesia. Retorika mereka sungguh sangat memukau.

Saya curiga, tampaknya masjid-masjid kita kini bukan lagi tempat umat bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru menjadi tempat untuk merawat “kesemenjanaan” atau mediokrisi. Dari hari ke hari, umat dijejali dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci.

Sedih melihat masjid kita seperti itu. Rupanya penyakit itu bukan hanya menjangkiti Indonesia. Di Boston pun, ceramah dan khutbah Jumat sangat tidak bermutu. Sama saja.

Saya jadi ingat Prof. Fathi Osman yang suatu ketika berujar, peradaban adalah suatu keseluruhan. Ketika suatu peradaban merosot, maka yang merosot bukan hanya salah satu aspek di dalamnya, tetapi juga merembet ke seluruh aspeknya. Kemerosotan peradaban Islam, jika dibaca melalui cara pandang Prof. Fathi itu, juga tampak hingga ke perkara sepele seperti khutbah Jumat.

Saya tidak bisa seluruhnya sepakat dengan kalangan yang menyebut dirinya “tradisionalis” seperti Prof. Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa peradaban Barat sudah mengalami kebangkrutan secara spiritual, meski secara material tampak gemerlap dan cemerlang. Pandangan ini, saya kira, diikuti pula oleh banyak kalangan umat Islam.

Saya tidak bisa sepakat dengan pandangan seperti ini dengan alasan sangat sederhana: bukankah kecemerlangan lahiriah menandakan suatu vitalitas rohaniah. Jika seseorang mengalami kebangkrutan secara rohani, dengan sendirinya kebangkrutan itu akan tampak pula pada aspek-aspek jasmani.

Peradaban yang memproduksi ratusan pemenang Nobel dalam segala bidang setiap tahunnya, jelas menandakan bahwa peradaban itu sehat jasmaniah dan rohaniah. Peradaban yang menghasilkan ratusan film bermutu dan produk-produk hiburan bermutu lainnya setiap tahun (ada juga yang tidak bermutu), jelas manandakan bahwa peradaban itu subur dan maju, lahir dan batin.

Peradaban yang menghasilkan ribuan judul buku bermutu setiap tahun (sebagaimana bisa dilihat melalui jurnal review buku seperti The New York Review of Books atau Times Literary Supplement), jelas menandakan bahwa ia segar bugar, luar-dalam.

Sebaliknya, peradaban yang di dalamnya terdapat khutbah-khutbah Jumat yang sarat demagogi dan caci-maki; apa yang bisa kita katakan selain ia sedang merosot?

Lihatlah ironi berikut ini. Siapa penulis muslim yang dapat mengarang biografi tentang nabi mereka sendiri sememikat biografi yang ditulis Karen Armstrong, seorang mantan biarawati, tentang Nabi Muhammad? Siapakah sarjana Muslim yang dapat melahirkan karya tentang sejarah sosial umat Islam (sejak masa klasik hingga modern) secemerlang yang ditulis Prof. Ira M. Lapidus, “The History of Islamic Societies”?

Dalam bidang-bidang yang menyangkut agama Islam pun, ”orang lain” bahkan dapat melahirkan karya yang lebih baik daripada umat Islam sendiri. Apakah peradaban Barat yang sakit secara rohaniah, seperti dikatakan kalangan tradisionalis itu, akan dapat menghasilkan karya-karya besar yang terus mengucur setiap tahun dalam setiap bidang ilmu pengetahuan?

Bagaimana peradaban yang sakit secara “spiritual” dan rohani bisa melahirkan karya-karya besar seperti “The City in History” karya Lewis Mumford, misalnya?

Dengan Qur’an dan hadis, umat Islam merasa telah “unggul” di atas umat-umat lain. Kitab Suci kita anggap kanon atau Kanon dengan “K” besar. Padahal setiap bangsa mempunyai kanon-nya sendiri-sendiri. Bangsa yang sehat dan maju adalah mereka yang terus-menerus melahirkan kanon, tanpa henti, tidak melulu mengandalkan kanon yang mereka anggap “suci” dan menutup segala kanon.

No comments:

Post a Comment