Monsoon
Cerpen Clara Ng
Suara menggedor kencang berasal dari arah atap. Dengungan angin menderu-deru seperti suara truk yang kehabisan tenaga bersama hantaman air jatuh bergelung-gelung di halaman rumah. Bumantara mengucurkan warna yang paling kelabu selama satu jam belakangan ini. Aku menekan jendela nako ke bawah, menutup sirip-sirip kacanya. Barusan suara klik menandakan jendela telah terkunci, petir berpacu turun dalam gelegarnya menyalangkan pintu langit.
Hujan monsoon baru memulai episodenya. Sudah tiga hari gerimis turun tak bersudahan menandakan pra-monsoon yang diperkiraan oleh ramalan cuaca India akan berakhir pada sore hari ini. Penilaian yang tepat sebab sejak siang tadi drama monsoon telah mulai menunjukkan gejala-gejala awal. Butir-butir hujan membengkak dan merapat, tikam menikam satu sama lain, menghantam tanah bersama puluhan kilat yang saling silang menyilang di langit.
Aku tidak ingin menyalakan televisi. Informasi menyebar dari telinga ke telinga untuk mematikan perlengkapan elektronik jika dewa monsoon sedang keram perut. Di Mumbai, sang dewa sering berada dalam cuaca perasaan yang tidak baik. Tidak heran dia sering ngambek tak alang kepalang kepada masyarakat India Mumbai yang hidup berdesak-desakan tanpa sela dan serba kelelahan.
Namun bagiku, Mumbai adalah kota apologia. Kota tempat aku menikmati hentakan joget Bollywood, memuaskan diri dengan kegilaan klakson mobil yang menjerit-jerit diperkosa keringat jalanan, menghilang di deretan rumah susun yang berfasadkan jemuran warna warni dan bedeng-bedeng tumpuk, menemukan tingkat adrenalin tinggi di pedestrian setengah matang yang masih juga diselipi oleh pengendara motor ugal-ugalan. Pulau Salsette yang terletak di mulut sungai Ulhas di pesisir barat India adalah tempat Mumbai duduk anggun di singgasana joroknya. Sementara aku bernapas, sakit gigi, telanjang, terengah-engah, mabuk setan, mengorok, sampai bermasturbasi di lelehan liur yang tercetak di singgasana itu.
Kudengar istriku, Hemangini, berteriak kepadaku dari arah yang tidak bisa kutebak asalnya. Aku balas berteriak kepadanya tentang telingaku yang ditulikan oleh badai monsoon. Prahara di kebun depan membuatku enggan mengangkat pantat dan mencari Hemangini. Padahal kutebak dia pasti tidak berada jauh dari bayangan kulkas dan kompor.
Sayup-sayup kudengar patahan kata-kata istriku. Dia bilang dia ingin menghidangkan tamatar ka sorbha untukku sekarang, apakah aku berkenan. Kepalaku langsung berkelabat bayangan sup tomat hangat yang kusesap sambil memandangi pisau-pisau air menghujam di luar. Luar biasa. Sebuah sore yang dramatis sebab aku akan menjadi saksi perkawinan monsoon dan tamatar ka sorbha. Tanpa berpikir ulang, kukatakan aku sangat berkenan kepadanya. Tidak lama, istriku tiba sambil menenteng cangkir mungil keramik berwarna biru langit dengan asap yang masih mengepul-ngepul.
Hemangini mengenakan saree tanpa motif garis di sepanjang jelujurnya, cocok untuk bentuk tubuhnya yang mungil. Aku memandangnya tanpa berkedip, menciptakan jalur bolak-balik antara saree dan cawan keramik itu. Sesore ini Hemangini baru balik dari rumah ibunya, di daerah bernama Colaba yang sebenarnya merupakan pusat seni di Mumbai. Dulu ketika masih berpacaran dengan Hemangini, sering kubawa dia ke musium, galeri seni, dan toko-toko trendi di sekitar itu. Hari-hari yang dipenuhi kebahagiaan, hari-hari aku bersamanya.
Aku meraih pinggangnya yang terbuka secelah di antara lipatan kain saree, menampilkan siluet kulitnya yang berwarna kuning terang. Hemangini mengelak dari pelukanku. Lenganku terpaku di udara. Dia menghindar sentuhanku dengan gemulai, mundur selangkah dari tempatku duduk di pinggir jendela nako. Aku ingin dia menyenderkan tubuhnya di bahuku seperti bertahun-tahun lalu ketika kami berdua baru saja menjadi mempelai yang berbahagia, tapi apa yang bisa kukatakan padanya sekarang? Tanganku memegang cawan perselain ringkih tamatar ka sorbha sementara Hemangini berada di luar jangkauan lenganku.
HEMANGINI berdiri tegak, kupikir matanya memandangku, ternyata tidak, dia hanya menatapi monsoon yang mengobrak-abrik kehidupan di luar. Berliter-liter air bertakung di sumur galian yang kami buat di pekarangan untuk menghindari banjir dan tanah yang berbecek. Gerumbulan semak pecah berhamburan disilet-silet hujan, pohon-pohon membungkuk sopan, dedaunan melayang bergasing-gasing dalam keterkejutannya dipatahkan begitu saja dari ranting. Aku tidak memandangnya langsung, ada bisikan yang kudengar di telingaku tentang tatapan mata Hemangini yang tidak berada di tengah monsoon, tapi jauh menembusinya berkilo-kilometer. Kami berdua terpaku membisu.
Aku tidak mencecap sup selama itu; kubiarkan asapnya menguap di daguku. Hemangini berbalik ke dapur; gerakannya halus seperti biasa. Aku merasakan bayangannya masih berada di sebelahku. Hidungku menangkap harum tomat dan wangi bawang bercampur naan panggang dari arah dapur, sementara semerbak aroma pahit rumput diaduk dengan bebauan monsoon berkacau menjadi satu. Aku menyelupkan sendok di tengah warna merah terang sup, mengangkatnya sesendok penuh, mendekatkan di bibirku, lalu mencucup.
Lidahku langsung menggigil. Apa ini? Tamatar ka sorbha yang berbeda! Kucucup lagi kedua kalinya. Tidak, lidahku tidak akan terkecoh oleh wangi dan warnanya yang mirip. Ini bukan tamatar ka sorbha milik Hemangini! Tamatar ka sorbha adalah makanan pembuka kebesarannya, diikuti oleh kheema naan, ayam tandoori, gobi aloo, rajma masala, kambing biryani, kesari chawal, murgh vindaloo, dan gulab jamun. Waktu mendengung di sekelilingku seperti lebah-lebah. Aku menarik napas dalam-dalam. Kucucup untuk ketiga kalinya.
Sup ini! Aku menjilat bibirku, tamatar ka sorbha yang anggun menjadi kenangan tidak terlupakan sewaktu aku menjadi mahasiswa bokek di University of Mumbai jurusan arsitektur. Kutemukan Hemangini di sebuah acara pameran fotografi; seketika jatuh cinta pada matanya yang hitam dan mengilat. Di lorong itu, di antara deretan foto-foto hitam putih berbingkai yang membeberkan kesedihan gedung-gedung dan manusia-manusia Mumbai, aku menemukan secuil keindahan yang tidak dapat diilhami oleh seni mana pun. Kuhampiri gadis India itu; mahasiswi seni rupa, seorang gadis yang mencintai seni dan bergumul di jantung seni. Kami seketika dekat dan tak terpisahkan. Seni menjadi perekat kami berdua, bagai lem super, bagai las besi. Otakku tak henti-hentinya merancang adegan untuk meyakinkan orangtuaku yang hidup di Jember, ribuan kilometer jauhnya dari Mumbai, tentang gadis India yang mencuri hatiku.
Hemangini memasak tamatar ka sorbha pada malam aku diperkenalkan kepada orangtuanya. Tamatar ka sorbha yang sama yang kucecap di Prithvi Teatre pada kafetaria kecilnya ketika kami menjalani kencan pertama, terkapar kemabukan oleh pertunjukan seni drama dan bara jatuh cinta. Tamatar ka sorbha-nya selalu luar biasa, tak pernah bercacat cela. Lidahku beruntung, selalu merasakan kesempurnaan cita rasa dan estetika makanan India dan gadisnya.
Aku menyelesaikan pendidikan arsitekku; menjadi seorang arsitek di Mumbai berkubang dengan gedung-gedung dan rumah-rumah bergaya Inggris. Kutinggalkan semua yang pernah kupunya. Mumbai menjadi perut yang menelanku bulat-bulat. Pekerjaanku sempurna. Rumahku sempurna. Lambung kekenyanganku sempurna. Sendawaku sempurna. Gatal-gatal di punggungku sempurna. Gadisku sempurna. Upacara pernikahanku sempurna. Dua budaya besar bermuara menjadi satu, bayangkan seperti apa samudra yang menampung kotoran sungai-sungai ini. Tapi tetap saja kuanggap semuanya sempurna.
JADI pada detik ini, ketika kucucup tamatar ka sorbha yang terasa tak sempurna, kecurigaanku mengintip. Kuhabiskan sup tomat dengan pelan-pelan sambil mengendapkan rasa yang semakin lama dapat kutebak ke mana filsafat kenikmatannya berkiblat. Lidahku dapat mengabaikan panas sup, memisahkan antara rasa capai dan bosan, meminggirkan jenuh, menghindari mual, dan akhirnya menampung ampas yang kukunyah baik-baik. Ampas ini, aku tahu rasanya. Ampas ini adalah ampas bercinta, gairah, pengkhianatan, dan kegelisahan.
Cawan biru langit di tangan telah kosong. Tamatar ka sorbha telah tandas di perut yang langsung terasa panas oleh kilatan-kilatan rasa. Lidahku menghardik pikiranku, meyakinkan bahwa pendapatnya harus dicermati baik-baik. Jangan pernah meragukan pendapat lidah! Dia ini pernah menjelajahi rupa-rupa nikmat dan perisa, berikut kelegitan dan kegurihannya. Dia pernah menapaki sudut-sudut terpencil di seribu gua rasa. Lidahku menghardik kejam, hei, Bugis, istrimu, Hemangini berselingkuh!
Sekujur tubuhku mendingin.
Napasku berhenti.
Udara memadat.
Aku menggenggam cawan erat-erat di tangan, sedetik sebelum cawan itu jatuh, pecah berderai di lantai. Darah segar muncrat mengalir dari kakiku, tersilet hantaman tajam porselain.
Hemangini membanting panci di dapur, lalu kulihat sosoknya tergopoh-gopoh ke depan. Dia terpaku tiga meter dari tempatku berdiri. Dekat kaca nako, aku tak bergerak, menunduk memandangi pecahan porselain. Darah menganak sungai di ujung jempol, merembes ke lantai. Sunyi tiba dengan lembut menjadi jeda yang tak dapat dijembatani oleh kata, oleh bahasa. Hemangini melempar tatap kepadaku yang tidak kubalas dengan tatap. Kubiarkan tatap itu hilang di udara, menari-nari bersama birai hujan, berjingkat dan berlompatan tinggi di antara angin monsoon.
Aku mengenal pasir yang menempel di saree tanpa motif yang dikenakan istriku. Pasir yang berasal pantai Juhu, pantai yang berada di pesisir Mumbai, pantai yang terkenal dengan matahari terbenamnya. Dulu kami senang menghabiskan senja di sana sambil menggigiti pani puri. Aku mencium wangi pani puri dari napasnya. Bagaimana mungkin dia berkata dia baru saja dari Colaba? Bibirku kelu mengucapkan mengapa dan apa.
Badai monsoon merepet dan merengek terus sampai malam tiba, ketika aku berbaring di samping istriku yang sudah pulas kelelahan. Dia menghadap dinding, sehingga hanya punggungnya saja yang bisa kulihat. Aku ingin membelai punggung itu, memeluknya dari belakang seperti dulu-dulu yang kami lakukan, tapi tanganku mendingin. Aku membatalkannya, meletakkan tubuhku yang memar oleh letih di sebelahnya. Lima tahun kami telah menikah. Seharusnya cinta semakin mematang dan legit seperti rasa dulu yang kami cicipi pada pandangan pertama di lorong itu.
Mataku menjadi sembab. Kurasakan jantung pecah berhamburan seperti porselain cawan tadi. Aku berbalik arah, memunggunginya, membiarkan pundak kami saling bertatap-tatapan. Udara mendingin. Aku mengerutkan tubuh, pelan-pelan takut dengan suara petir dan guntur yang sibuk melakukan tarian birahi satu sama lain. Kapan monsoon akan berakhir? Lima jam dari sekarang? Tujuh jam? Dua jam?
Monsoon biasanya terus bergerak seperti udara, tiba pada saat yang seharusnya, dan pergi pada saat yang juga seharusnya. Dia sanggup mendegam-degam sampai pagi bangkit dari kuburnya lalu berhenti bersama matahari. Aku berbaring miring sambil memilin-milin ratusan pertanyaan yang meninggalkan gema. Gaung yang menukik, menyambar, menghabisi diriku. Bisakah pengkhianatan istriku berlaku seperti topan monsoon? Seperti cuaca yang tiba begitu saja dan lenyap pergi tanpa terasa? Badai akan berlalu pada akhirnya?
Kamar tidurku menjadi basah. Petir mangguncang ranjang, membelah sisi kami berdua sampai terlepas. Angin melolong pada sepanjang tembok. Kulihat lantai penuh dengan air monsoon, semakin meninggi dan meninggi menjadi banjir yang tidak dapat dihentikan.
Aku menutup mata, membiarkan kegelapan menyelusuri kelopakku. Mendadak aku merasa lucu, aku mulai tertawa tak tertahankan; pelan-pelan mulanya; lama-lama semakin keras; terguncang-guncang sampai dadaku terasa nyeri. Aku terbahak-bahak sendirian; tidak menyangka tawaku seperti hujan monsoon yang berderai-derai membasahi sepraiku.***
Dari Koran Tempo 06/07/2009
No comments:
Post a Comment