Nabi-nabi baru -- nabi-nabi "palsu"?
Ulil Abshar Abdalla
Gejala munculnya orang-orang yg mengaku "nabi" akhir-akhir ini membuat saya bertanya-tanya: ada apa sebetulnya dengan masyarakat kita?
Apakah ini sekedar eksentrisitas dan "idiosinkrasi" yang lumrah saja? Ataukah simptom dari suatu perubahan sosial yang lebih luas?
Dilihat dari sudut pandang agama yg sudah mapan, tentu kleim-kleim para nabi baru itu sangat menggelikan, selain meresahkan. Nabi-nabi itu mereka pandang sebagai "nabi palsu", atau minimal orang yang mengaku-ngaku saja menjadi nabi ("mutanabbi"). Tetapi orang-orang yang sekarang menikmati agama-mapan itu lupa bahwa pada masa lampau, nabi-nabi yang dulu "mendirikan" agama yang sekarang menjadi mapan itu juga pernah mengalami apa yg ingin saya sebut "moment of tribulation" -- masa-masa diuji, diejek, dilecehkan, dicemooh, ditertawakan, dituduh sebagai orang gila, sinting, penyihir, "impostor", dsb.
Dilihat dari sudut pengalaman orang yang mengaku nabi itu, tentu kleim mereka adalah otentik, seotentik pengalaman yg pernah dirasakan oleh Nabi Muhammad dulu waktu menerima wahyu.
Akan tetapi dipandang dari segi kalkulasi untung-rugi, mengaku sebagai nabi itu sangat tidak menguntungkan. Setiap orang yang mengaku nabi umumnya diejek dan dimusuhi. Nabi yang sukses mendirikan agama yang mapan hanya sedikit. Jika sebuah hadis yang menegaskan bahwa jumlah nabi ada sekitar 124 ribu orang betul pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad, maka kita bisa menghitung sendiri berapa dari mereka yang sukses membangun ajaran yang mapan. Sebagaimana kita tahu, dari jumlah itu, yang berhasil mendirikan agama yang bisa lihat hingga saat ini sangat sedikit jumlahnya.
Dengan kata lain, sebagian besar nabi "gagal" melakukan institusionalisasi atas "inspirasi ilahiah" yang mereka perjuangkan. En toch demikian, tetap saja ada orang-orang yang muncul ke permukaan bumi yang fana ini dan mengaku sebagai nabi, padahal resiko yang mereka tanggung sangatlah berat?
Kenapakah gerangan? Adakah insentif buat mereka?
Jika "nabi" bisa kita sebut secara metaforis sebagai "pedagang grosir" yang menjual "dagangan" dalam partai besar, dan ulama yang mendakwahkan ajaran nabi itu secara metaforis pula boleh kita anggap sebagai "pedagang eceran", tentu lebih menguntungkan bekerja dalam lingkup agama yang sudah ada dan mapan sebagai "pedagang eceran", ketimbang mengaku sebagai nabi baru, mendirikan "supermarket baru", sebab akan menghadapi banyak tantangan dari "supermarket lama" yang sudah mapan.
En toch demikian, tetap saja ada orang-orang yang ingin membuka "toko grosir" besar, menjadi nabi baru, dan mendakwahkan ajaran baru? Kenapakah gerangan?
Saya suka sekali dg istilah teolog pos-modernis dari Perancis yang sekarang mengajar di Universitas Chicago, Jean Luc-Marion, "excess of meaning" -- makna yg membuncah hingga meluber ke mana-mana. Saya akan memakai istilah untuk menjelaskan sebagian gejala munculnya nabi-nabi "baru" ini. Orang-orang yang mengaku nabi itu tampaknya mengalami semacam "surplus pengalaman", atau "ekses makna" dalam istilah Marion, yang tentu di mata dia sangat otentik. Setiap pengalaman subyektif yang "eksesif" (sehingga menimbulkan "surplus pengalaman") biasanya tidak bisa disimpan sendiri. Orang yang bersangkutan merasakan suatu dorongan yang kuat dalam dirinya untuk "membagi" pengalaman itu dengan orang lain.
Secara empiris, hal ini sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Saat kita mendapatkan suatu kegembiraan, ada dorongan dari dalam yang susah ditolak untuk mengabarkan kegembiraan itu ke orang-orang lain. Ini terjadi karena suatu pengalaman yang menggemberikan mirip dengan sebuah air yang meluap. Pengalaman itu susah untuk kita pendam sendiri. Ia minta untuk disalurkan keluar. Setiap pengalaman eksesif selalu cenderung mengarah keluar.
Dengan kata lain, pengalaman yang eksesif biasanya tak bisa disimpan sebagai pengalaman soliter, tetapi mendesakkan diri untuk membuncah ke luar. Jika memakai skema teori pembentukan realitas sosial yang sudah klasik dari Alfred Schutz yang kemudian "dirapikan" dan dipopulerkan oleh Peter Berger, dalam setiap surplus-pengalaman terdapat kecenderungan untuk eksternalisasi dan obektifikasi atas pengalaman subyektif itu. Saetiap orang yang mengaku sebagai nabi itu tampaknya merasakan pula pengalaman eksesif semacam itu serta, dengan sendirinya, dorongan ke arah eksternalisasi dan objetivikasi yang sangat kuat.
Para nabi semitik cenderung menyebut "misi kenabian" mereka sebagai "berita gembira", "busyra" (بشرى) atau "evangelium". Berita gembira tentu, dalam pandangan saya, mula-mula berawal dari "pengalaman eksesif" yang subjektif dan susah dibendung, sehingga harus diwartakan ke luar.
Pengalaman ini tampaknya mirip dengan momen-momen "puitis" yang dialami oleh setiap penyair atau seniman. Penjelasan psikologis fenomena kenabian dalam profetologi Sinian (maksudnya teori kenabian dalam pandangan Ibn Sina, seorang filosof besar Muslim yang hidup pada penghujung abad 10 dan awal abad 11 Masehi), misalnya, tepat sekali jika diterapkan untuk menjelaskan proses kreatif dalam dunia artisitik atau kesenian.
Menurut Ibn Sina, informasi, wahyu atau gagasan yang diterima oleh para nabi sebetulnya sama dengan proposisi (qadiyyah) dalam sistem logika Aristotelian. Bedanya, jika dalam logika Aristotelian, seseorang meraih informasi melalui proses bertahap yang gradual, melalui hukum logika Aristotelian yang kita kenal selama ini, dalam konteks pengalaman kenabian, informasi itu muncul di benak seorang nabi seperti sebuah kilatan cahaya ("ka lamh al-bashar", istilah Ibn Sina). Informasi itu seperti muncul mendadak tanpa melalui proses logis yang gradual. Informasi atau wahyu diperoleh secara mendadak oleh seorang nabi dalam bentuk "gumpalan" (Ibn Sina memakai istilah "terma tengah" atau "al-hadd al-wasath") yang pada gilirannya bisa diurai dalam bentuk proposisi logis dalam sistem logika Aristotelian.
Bukankah ini semacam pengalaman puitik yg dialami oleh seorang artis, i.e. seniman?
Dorongan dari dalam yang tak terbendung itulah yg tampaknya mendorong para nabi "baru" itu untuk tetap mengabarkan secara publik pengalaman eksesifnya, padahal dia tahu resiko sosial yang ia tanggung sangatlah besar, dan resiko gagal sebagai nabi juga sangat besar. Sebab dia tak bisa membendung "kabar gembira" yang bergejolak hebat dalam dirinya.
Ignaz Goldziher, seorang orientalis besar dan ahli Islam dari Hungaria itu, pernah mengemukakan sebuah observasi yang sangat baik (termuat dalam bukunya "Introduction to Islamic Theology and Law") -- bahwa sorang nabi, di manapun, biasanya bukanlah seseorang teolog. Nabi mengalami sebuah surplus pengalaman, terdorong oleh impuls yang tak terbendung untuk mengabarkan pengalaman itu, dan merasakan sebuah "sense of mission" untuk menyusun kembali dunia. Dengan kata lain, profil nabi di manapun lebih dekat ke citra seorang "ideolog revolusioner" yang tidak ingin sekedar (meminjam ucapan Karl Marx yang masyhur) "menjelaskan dunia, tetapi juga mengubahnya", ketimbang seorang sarjana yang berpikir sistematis. Teolog biasanya datang belakangan untuk melakukan sistematisasi atas "kabar gembira" dan "pengalaman eksesif" yang dialami oleh seorang nabi itu.
Menurut saya, penjelasan psikologis dan politis fenomena kenabian yang pernah ditulis Ibn Sina masih tetap menarik dan relevan hingga sekarang, meskipun penjelasan psikologis dan politis bukanlah satu-satunya model.
Yang masih misteri bagi saya hingga sekarang adalah kenapa ada nabi yang sukses, dan kenapa ada yang gagal atau "miskram". Dailihat dari segi isi "kabar gembira" yang diterima semua nabi, sebetulnya semua sama. Isinya sangat baik. Tentu, karena eksesifnya pengalaman yang mereka punyai itu, masing-masing nabi mengaku bahwa pengalamannya adalah "the last experience", pengalaman besar terakhir yang muncul dalam sejarah manusia, dan karena itu paling benar. Saya kira kleim semacam ini sangat bisa dimaklumi. Setiap penyair yang merasa sukses dengan artikulasi artistiknya tentu merasa bahwa karyanya sangat otentik, mungkin paling otentik. Pengalaman ini juga terjadi pada seorang nabi.
Jadi, kebenaran isi kabar gembira yang didakwahkan seorang nabi tidaklah bisa menjelaskan sepenuhnya kesuksesannya melembagakan sebuah pranata baru bernama agama. Di mata seorang "true believer" yang mengimani dakwah nabi itu, sudah tentu mereka cenderung menjelaskan kesuksesan itu dari kerangka "sejarah suci" dan intervensi Tuhan. Penjelasan subyektif ini tentu relevan dalam konteks pengalaman umat beragama tertentu, meskipun kurang membantu dari sudut analisis oleh seseorang yang berada di luar lingkaran pengalaman mereka.
Jika agama Kristen, misalnya, lahir lebih cepat atau lebih lambat dari masa ketika ia lahir, atau ia lahir di tempat yang berbeda dengan konteks yang berbeda, apakah ia akan sesukses saat ini? Pertanyaan serupa juga berlaku pada agama-agama lain, termasuk islam.
Jika kita telaah sejarah nabi-nabi atau orang-orang bijak di dunia ini, ada suatu "motif" yang tampaknya muncul dalam setiap gejala kenabian. Para nabi atau orang bijak itu tampaknya muncul dengan membawa misi untuk "menyelamatkan" dunia yang sudah mendekati masa keruntuhan. Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa dirinya muncul sebagai nabi pada saat dunia telah mendekati kiamat. Motif ini tampaknya muncul pada setiap gejala kenabian. Sebagian besar para nabi dan orang bijak seperti membawa misi penyelamatan atas dunia yang mengalami zaman kegelapan.
Apakah dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa secara sosiologis, zaman yang sedang kisruh dan keadaan yang serba tak menentu akan menjadi bumi subur untuk munculnya para "nabi-nabi baru"?
No comments:
Post a Comment