Sunday, 28 November 2010

PASAR BUDAK MANGGARAI JAKARTA

Mevrouw van Mook boleh jadi menyimpan kenangan buruk tentang Manggarai hingga akhir hayatnya. Istri bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook (1931 - 1948) itu pernah dikurung di Kamp Adek?bekas pesanggrahan para kuli Jawa sebelum dikirim rodi ke Sumatra?di Manggarai pada 1944, semasa Jepang menduduki Indonesia. "Hidup kita sudah tak ubahnya penduduk asli. Kurang makan, panas, digigit nyamuk malaria, cacingan," keluhnya ketika itu. Meester dan Mevrouw van Mook kini tinggal kenangan sejarah. Tapi realitas hidup di Manggarai yang dikeluhkan sang nyonya besar sebetulnya belum banyak bergeser sejak masa 1944: nyamuk masih tetap banyak, penyakit cacingan belum hilang, hawa justru makin panas oleh polusi dan padatnya penduduk. Perkara kurang makan? Itu hal rutin bagi sebagian penduduk. Belum lagi keresahan hidup karena pertikaian pagi dan petang sesama tetangga kampung. Apa yang membuat Manggarai sarat oleh beban sosial? Apakah karena sejak dua abad lalu daerah ini telah dihuni oleh kaum susah yang notabene para budak? Sejarah wilayah ini, mau tak mau, harus ditarik dari Jakarta Selatan ke Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur. Tersebutlah, pada awal abad ke-17, daerah Manggarai menjadi pusat perdagangan budak yang didatangkan dari Manggarai, Flores Barat. Bursa budak di kawasan ini erat hubungannya dengan Menteng Buurt (lingkungan Menteng), tempat banyak orang Belanda mencari jongos dan bedinde. Ketika perbudakan mulai sepi, pasar di sana tetap ramai. Tapi yang diperjualbelikan rumput makanan ternak, sehingga mewariskan nama Pasar Rumput sampai sekarang?tempat Anda mencari barang kelontong, barang bekas, nonton bioskop murah, dan berjoget disco dangdut. Tahun 1870, Belanda membangun jalan kereta api di daerah itu. Pada 1960, tanah-tanah PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) di daerah ini disulap menjadi wilayah pemukiman. Akibatnya, populasi meningkat pesat. Namun persoalan belum banyak. Outlet-outlet ekonomi di wilayah itu masih memungkinkan orang berbagi rezeki. Migrasi penduduk dari wilayah lain kemudian membentuk semacam melting pot: Cina, Jawa, Ambon, Betawi, Sumatra, Sunda, Bugis, Manado. Kini, para migran yang telah menginjak generasi kedua ini sudah bicara dalam logat "Jakarte" yang kental, dan dipersatukan oleh kesulitan hidup sehari-hari. Waktu berjalan. Pembangunan meningkat, begitu pula jumlah populasi. Peluang memperoleh rezeki, selain makin sulit, kian mudah menimbulkan pertikaian antarkampung. Ridwan Saidi, pengamat kebudayaan Betawi, mengatakan, konflik antarkampung bukanlah hal baru di Jakarta. Namun di Manggarai perseteruan ini menjadi khas karena topografi wilayah membuat intensitas pertemuan mereka makin tinggi dengan akses jalan yang itu-itu saja. Padahal, dari ideologi politik, sebagian dari mereka sama-sama pendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Penduduk di sini kental masalah keagamaannya. Banyak orang Menteng Atas belajar mengaji di daerah Kawikawi. Dari segi etnis, menurut Ridwan, praktis tak ada persoalan. Mereka tumbuh seiring pembangunan jalan kereta api. Pertikaian di Manggarai makin serius tatkala nyawa menjadi mudah melayang. Orang lalu bicara tentang adanya persoalan sosial yang laten. Lalu, apa istimewanya pertikaian di wilayah ini dibandingkan dengan, misalnya, kerusuhan sosial serupa di wilayah DKI lainnya? Di sini, bahkan cuma di sinilah, "Unsur konflik masyarakat urban terpenuhi," kata Ridwan Saidi. Dari soal kepadatan penduduk, tingginya persaingan hidup, hingga topografi wilayah. Uniknya, warga kampung cenderung punya tendensi politik yang sama. Mereka kompak dalam kerusuhan 27 Juli maupun ketika menghajar anggota Pam Swakarsa. Melihat Manggarai masa kini, sulit membayangkan wajah daerah ini di masa 1950-an: hijau oleh petak-petak kebun sayur dan hutan belukar tempat penduduk Betawi setempat menggantungkan hidup. Kawasan ini kemudian terkena program perbaikan kampung Ali Sadikin pada 1960-an dan renovasi pasar pada 1970. Manggarai mulai "terpeta" oleh gang-gang sejak 1960-an dan kian tajam pada 1980. Era 1990-an, kehidupan pergengan kian "jaya". Bahkan, sepanjang 1998, tiada bulan yang lewat tanpa ada darah mengalir. Rupanya, setelah setengah abad, kehidupan di Manggarai menjadi jauh lebih kompleks daripada sekadar kurang makan, digigit nyamuk, atau cacingan, seperti yang diderita Mevrouw van Mook.




http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/12/08/INT/mbm.19981208.INT98126.id.html

No comments:

Post a Comment