Perempuan ke Seratus
Cerpen Evi Idawati
Suara Karya, Minggu, 11 Desember 2005
Nabila adalah perempuan yang aku incar untuk menggenapi sembilan puluh sembilan perempuan yang pernah aku tiduri menjadi hitungan bulat ke seratus. Tapi perempuan ini sangat susah didekati. Temperamennya yang meledak-ledak semakin memancing syahwatku untuk menaklukannya. Meski sekarang usiaku menginjak limapuluh tahun, aku masih belum sadar juga untuk memulai pertaubatanku. Bayangkan, berapa bulan sekali aku tidur dengan perempuan berbeda. Padahal aku sudah punya istri simpanan empat. Mereka muda dan cantik-cantik. Punya satu istri resmi yang tercatat di negara dan agama. Tapi aku masih belum puas juga. Barangkali insting dasar yang aku miliki sebagai lelaki sangat menunjang keahlianku. Aku bisa memperkirakan calon korbanku hanya dari melihatnya pertama kali. Aku bukan seorang maniak sex. Tetapi ketika menyangkut perempuan, aku selalu merasa lemah dan tidak berdaya. Aku gampang sekali jatuh cinta.
Itulah sebabnya, berhari-hari ini aku sengaja merayu Nabila agar mau aku tiduri. Entahlah, setiap kali melihat perempuan cantik yang tercatat di otakku hanya tidur dengan mereka. Dulu aku menganggap apa yang terjadi padaku sangat wajar, bukankah setiap lelaki juga punya perasaan seperti itu. Cuma mereka bisa mengendalikan diri. Sementara aku tidak. Sebelum benar-benar bisa tidur dengan perempuan yang aku inginkan, aku gelisah setengah mati. Aku bisa berbuat yang aneh-aneh. Menghabiskan pulsa hanya untuk bertanya hal-hal yang mungkin tidak mutu bagi sebagian perempuan. Melimpahi mereka dengan hadiah bermacam-macam, menjadi teman dan sahabat yang baik, siap mendengarkan keluh kesah dan menjadi hero untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Sehingga mereka menjadi tergantung padaku dan menjadikan aku sebagai satu-satunya tumpuan bagi mereka. Akhirnya mereka akan menuruti semua kata-kataku. Dan takluk padaku dengan berbagai hadiah yang telah aku limpahkan. Aku tidak percaya cinta. Aku sadar sebagian besar perempuan yang pernah aku tiduri tidak mencintaiku. Mereka hanya sungkan karena berhutang budi padaku. Aku tidak perduli. Aku benar-benar menikmati saat-saat seperti itu. Saat dimana dengan sukarela mereka menanggalkan baju untukku. Bagiku sebab dan musabab tidak penting. Yang terpenting aku berhasil tidur dengan mereka.
Hari-hari kemudian menjadi saat perburuanku pada Nabila. Aku mengenalnya dalam sebuah jamuan makan malam. Usianya separuh umurku. Tapi aku sangat menyukainya. Dia membuatku terpesona. Ketika memandang wajahnya, aku kembali menjadi lelaki seusianya. Aku mengerahkan seluruh pengalamanku. Segala cara dan trik-trik menaklukan perempuan yang aku kuasai untuk menjeratnya. Nabila seperti matahari yang bersinar terang benderang. Seperti pelangi dengan warna-warnanya yang memikat mataku agar tetap tidak beranjak dari dirinya. Nabila, aku berjanji untuk menjadikan dia wanita keseratus yang aku tiduri. Atas dasar apapun aku tidak perduli. Bahkan berapapun lamanya waktu, aku akan bersabar. Aku harus mendapatkan dia meski hanya sekali saja.
Aku bisa menghabiskan berjam-jam waktu untuk ngobrol dengannya lewat telepon. Menanyakan kabarnya, apa saja yang dia makan hari ini. Bagaimana cuaca di tempatnya. Dari tema seperti itu, percakapanku dengannya berjalan lancar dan mengasyikkan. Aku tidak mau Nabila tahu maksudku. Toh aku dikenal sebagai lelaki yang baik, punya jabatan dan terpandang. Istriku galaknya setengah mati. Jadi aku menyimpan rahasia perempuan-perempuanku dengan sangat rapi. Satu hari, aku bisa tidur dengan dua istri simpananku yang berbeda. Kadang aku tidak mengerti apa yang membuat mereka bertahan menjadi istri simpananku. Bukan karena mereka mencintaiku. Waktuku dengan merekapun terbatas. Kecuali mereka menginginkan terus menerus fasilitas dan uang yang aku berikan pada mereka. Aku juga tahu kalau mereka pura-pura orgasme untuk menyenangkan aku ketika berhubungan. Asal mereka tetap baik, melayani dan memuja aku, semua yang mereka lakukan tidak masalah.
Malam nanti, aku ingin berkencan dengan Nabila. Rasanya hasrat dan minatku padanya demikian memuncak sampai tak bisa kubendung lagi untuk menunggu lain hari. Sementara Nabila masih enggan-enggan mendekat padaku, meski sudah kuberi ratusan hadiah untuknya. Setiap kali dia menerima hadiah, dia akan meneleponku mengucapkan terimakasih. Hanya itu. Dia selalu menjaga, jangan sampai terlalu sering bertemu denganku. Kecuali bicara panjang lebar lewat telepon. Suaranya yang merdu selalu membuatku ingin daningin bercakap-cakap dengan dia. Nabila berumur duapuluh lima tahun. Bersamanya aku kembali seperti bocah yang kasmaran. Seharusnya dengan pengalamanmu pada perempuan, aku bisa menaklukkan dia dalam hitungan hari. Ternyata perlu waktu yang lebih lama. Aku sempat heran pada diriku sendiri. Mengira kemampuanku mulai merosot dengan drastis dalam hal perempuan. Tapi karena dia berkelit dan berusaha menghindariku. Aku semakin ingin benar-benar menaklukkannya. Aku menjadi penasaran. Bahkan istri-istriku yang lain aku lupakan untuk sementara khusus untuk mengejar dan menjerat Nabila, agar mau berkencan denganku.
Akhirnya malam ini, dia mau memberikan waktunya untuk makan malam dengaku. Aku berharap, inilah malam yang telah aku rindukan sekian waktu untuk menikmati apa yang aku impikan. Memang ada banyak anugerah dan kenikmatan bagi orang-orang bersabar. Dan aku merasa saat itu akan tiba, malam ini. Aku sudah berdandan rapi, siap bertemu dengannya.
Kami sedang duduk berhadapan. Nabila menuangkan gula ke cangkir kopinya. Makan malam mulai dibersihkan oleh pelayan. Aku memandangnya. Sorot mataku seperti pemangsa siap mencakar dan merobek-robek sosok yang ada di depanku. Tapi aku berusaha menyembunyikannya. Aku ingin menjadi bapak yang arif baginya. Menanyakan banyak hal. Seperti aku berbicara pada anakku. Nabila mulai membuka hatinya.
"Sebenarnya Nabila senang, bapak memberi banyak hadiah. Tetapi...," dia terdiam sebentar kemudian menghembuskan nafas. Dia memandangku agak ragu. Aku masih menunggunya.
"Tetapi Nabila takut ada maksud di balik itu semua," katanya dengan pelan.
"Menurutmu apa maksudku?" aku berusaha membaca, seberapa sebenarnya yang dia tahu. Tetapi mukanya menjadi merah. Dan dia menunduk malu. Aku heran melihatnya. Begitu poloskah Nabila. Atau jangan-jangan yang dia tampakkan padaku adalah kepura-puraan seorang perempuan yang sadar dan tahu sedang bermain dalam sebuah sandiwara tentang laki-laki dan perempuan. Nabila seperti berakting dalam salah satu episode hidupnya pada seorang laki-laki. Meski aku berharap dia sedang berpura-pura tetapi hati kecilku mengatakan, Nabila tidak sedang berpura-pura. Dia memang begitu adanya. Sehingga hatiku mendesir dan semakin menginginkannya. Kepolosan Nabila seperti menghapus deretan perempuan yang pernah terlibat denganku. Nabila menjadi istimewa.
"Tidak ada maksud lain kecuali membuatku senang dan berbahagia," aku menjawabnya dengan tegas.
"Benarkah?" matanya masih memandang malu-malu padaku.
"Iya. Aku tahu ayahmu meninggal sejak kamu masih kecil. Nabila punya pacar?" aku menanyakan langsung padanya. Dia menggeleng.
"Ah, masak. Perempuan secantik ini, belum punya pacar?" aku bertanya padanya sambil tertawa. Dia kembali menggeleng. "Mau aku carikan?" aku menggodanya tapi dia malah menunduk malu.
Ternyata saat itu belum tiba, aku benar-benar harus bersabar. Dia masih seperti remaja. Aku tidak tahu kenapa ibunya mengijinkan dia bekerja di kota sebesar ini, sendiri. Jika melihat kepolosannya seharusnya dia masih berada di rumah bersama ibu dan bapaknya. Yang mengherankan, dia sudah bekerja. Penampilannya pun elegan seperti perempuan dewasa lainnya. Tapi kenapa ketika menghadapiku dia seperti bocah saja. Jangan-jangan dia berpura-pura. Dia sengaja memberi image padaku tentang sifat dan karakter yang berlawanan dengan sifat aslinya agar aku semakin penasaran dan menginginkannya. Kalau itu benar. Dia aktris yang sangat berbakat. Aku akan menghadiahi piala untuknya.
Begitulah, hari-hari selanjutnya menjadi hari yang berbeda. Nabila sudah mulai sering bertemu denganku. Menceritakan persoalan keluarga. Juga masa lalunya. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Jika ada masalah dia mulai minta tolong padaku untuk menyelesaikannya. Aku semakin kegirangan. Berarti saat yang aku inginkan akan tiba. Di mana Nabila dengan sukarela, menyerahkan diri dan mengatakan padaku. Akulah lelaki yang diinginkannya.
Satu bulan kemudian. Kami sudah duduk berdia di kamar. Dengan tempat tidur besar di tengahnya. Pandangan dari jendela yang terbuka lurus ke lapangan golf. Anggur dan apel berada di atas meja. Aku melihat Nabila sekali lagi. Dia juga memandangku. Kali ini dia tidak tersenyum. Ada rasa khawatir yang tidak bisa dia sembunyikan. Tampak sekali di mukanya.
"Duduklah di dekatku," kataku padanya. Dengan ragu-ragu dia beranjak dari duduknya, berjalan pelan menuju ke sampingku.
"Kenapa?" tanyaku padanya. Dia kembali menggeleng.
"Katakan padaku. Ada apa?" tiba-tiba dia menangis. Isaknya pelan. Tapi airmata memenuhi pipinya. Aku jadi serba salah. Dari sembilan puluh sembilan perempuan yang pernah tidur denganku, termasuk satu istri resmi dan empat simpananku, belum pernah ada yang berlaku seperti bocah. Menangis pada saat kami berada di kamar. Tapi aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Gairah yang dari tadi terbangun dengan cepat dan berjalan menuju puncaknya. Menjadi turun dengan drastis. Aku memeluknya dengan rasa sayang. Barangkali saja, dia memang ketakutan, batinku. Dan benar. Dia mengatakan bahwa dia tidak berani melakukannya. Dia takut berdosa. Kecuali kami menjadi suami istri. Kata-katanya seperti ranting kayu yang tiba-tiba patah dan jatuh mengenai kepalaku ketika aku sedang duduk-duduk di bawahnya. Aku tertawa di dalam hati. Kenapa aku bisa terlibat hubungan dengan bocah usia duapuluh lima tahun. Umurnya belum membuat dia berani menghadapi pilihan atas kesadarannya sendiri. Atau barang-barang dan uang yang aku berikan padanya masih kurang. Mungkin juga. Dia sengaja menaikkan harga agar aku memberi lebih banyak padanya.
Lalu sepanjang malam kami hanya berciuman dan tidur berpelukan. Jika aku sedikit memaksa dia, Nabila dengan cepat menjauhkan diri dan duduk di kursi memandangku dalam diam. Aku memang pemaksa tetapi bukan pemerkosa, kayaknya Nabila tahu sekali hal itu. Sehingga dia bisa memainkan dirinya lebih bagus dalam sandiwara yang dia inginkan. Akhirnya aku mengalah. Meski hatiku mengumpat-ngumpat. Tapi aku mengalah padanya. Agar dia mau kembali berbaring di sampingku. Aku merasa menjadi anak SMU yang hanya berani berpegang tangan dan berpelukan.
Target waktu yang aku pasang untuk menaklukkan Nabila, tidak tercukupi. Dia masih bermain-main dengan cara bocahnya. Dan aku semakin gemas padanya. Selama hampir delapan bulan Nabila hanya mau menemani makan dan ngobrol lewat telepon. Peristiwa di hotel sudah bisa bisa diungkit-ungkit lagi. Jika aku mulai memancingnya, dengan segera dia mengalihkan pembicaraan. Aku hampir frustasi. Apa yang dia mau sebenarnya? Dia terlalu pintar untuk bermain-main dengan keluguannya. Tapi aku tidak perduli. Aku harus mendapatkan dia. Sudah banyak uang yang aku keluarkan untuknya. Jadi waktu harus aku potong habis. Aku mentoleransi sampai akhir minggu ini. Jika dia tetap bersikukuh, aku akan menggunakan cara lain. Tidak fair memang. Tapi aku sudah sampai pada puncak perasaanku padanya. Aku tidak ingin dia mempermainkan aku lebih lama lagi.
Akhirnya saat itu tiba. Malam yang tidak direncanakan. Aku sedang berada di rumah yang aku belikan untuknya. Tangannya memegangku dengan erat. Dia menciumku sambil mengucapkan terimakasih karena memberi sesuatu yang tidak dia sangka. Entah bagaimana ciuman kami menjadi semakin panas, sampai aku dan dia tidak bisa mengendalikan diri lagi. Aku menggandeng tangannya menuju kamar terdekat. Dia mengikuti. Dia kembali menciumku dengan bergairah. Tidak tampak lagi ketakutan dan rasa khawatir di mukanya. Sehingga aku yakin, malam inilah saat aku akan memilikinya. Aku melepaskan bajunya perlahan. Dia diam tidak memprotes. Aku semakin tak sabar. Ketika melihat dia telanjang di depanku, aku seperti kehabisan nafas. Dengan cepat aku menghampirinya.
Nabila. Nabila. Nabila. Beberapa kali aku memanggil namanya. Menciumnya dengan hasrat yang demikian besar. Hingga tak mampu kukendalikan diri. Dia seperti arak yang harus aku minum sekarang, agar bisa dituntaskan kemabukan. Namun malam menjadi semakin gelap, ada rasa nyeri di dadaku. Tapi suara desah Nabila seperti api yang membakar tubuhku. Aku menjadi kaku. Rasa nyeri demikian hebat, terasa di dada kiriku. Aku masih memanggilnya ketika dunia berputar dan aku lupa semuanya. Kecuali jeritan Nabila yang mengguncang malam.
Esoknya, aku berada di rumah sakit dengan beragam selang dan infus yang menempel di dadaku dan tanganku. Tak bisa kujadikan Nabila perempuan keseratus yang pernah aku tiduri. Karena sekarang, ke mana pun pergi, aku berada di kursi roda. Dalam pengawalan suster-suster galak yang selalu memaksaku minum obat. Komplikasi darah tinggi dan jantung membuatku duduk terus menerus. Mengenang petualangan dan kisah yang hendak aku catatkan.
Nabila. Nabila. Jika tahu akan begini. Tak akan kuinginkan dirimu menemani hari-hariku yang lalu.
Nabila. Nabila. Perempuan keseratus yang aku inginkan, tapi belum tersentuh olehku.
Nabila. Nabila. Hanya ada dalam kenangan.
* Jogja 2005.
Catatan Redaksi
Evi Idawati lahir di Demak 9 Desember 1973, mampir kuliah di Institute Seni Indonesia Yogyakarta, Jurusan Teater dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan. Dikenal sebagai artis sinetron dan teater. Balada Dangdut, Dongeng Dangdut, Ketulusan Kartika, Wanita Kedua, Satu Kakak Tujuh Keponakan, Keluarga Sakinah, Cermin 13 Tentang Indonesia, serta beberapa FTV, adalah sinetron yang pernah melibatkan dirinya. Beberapa naskah drama yang pernah diperankannya di antaranya Trilogi Oidipus sebagai Antigone dalam pementasan 9,5 jam. Cabik dan Sumur Tanpa Dasar.
Sebagai penulis, cerpen dan puisi, karya Evi antara lain dipublikasikan di Kompas, Republika, Nova, Suara Pembaruan, Horison, Suara Merdeka, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Solo Pos, Suara Karya, Jurnal Puisi dll. Cerpen dan puisinya juga termuat dalam sejumlah Antologi seperti, Kopiyah dan Kunfayakun (Navila, 2003), Dokumen Jibril (Republika 2005) Bacalah Cinta (buku Laela, 2005) dan Cerita Pengantin (Galang Press, 2004).
No comments:
Post a Comment