Pohon Rambutan
Cerpen Danarto
Musim panas yang menyengat. Kalajengking terperanjat. Melengkung ekor tajam ke depan merambat. Siap menusuk siapa saja dengan kesumat. Jalanan berdebu. Anak-anak madrasah dengan kerudung menahan panas.
Mengayuh sepeda pelan sambil bercanda tentang pak guru yang terkantuk-kantuk waktu mengajar. Sebuah truk lewat, aduh, mak, debunya menjadi bedak para santriwati yang lantas menutup hidungnya dengan setangan maupun lima jari tangan kirinya. Sesampai di pohon rambutan, anak-anak berhenti. Mereka, anak-anak perempuan dan laki-laki, mengambil istirahat. Memarkir sepedanya berderet-deret sepanjang kali. Mereka berdesak berteduh di bawah pohon rambutan.
Ini pohon, pohon rambutan. Pohon tak bertuan. Hidup sendirian. Tiada teman, tiada sejawat. Tumbuh di tepi jalan, di tepi sawah. Pohon yang menawan. Menawan karena lebat buahnya kelewat-lewat. Menyebarkan ribuan buah "ciplat" yang menerbitkan air liur, harta karun yang siapa saja boleh memperebutkan. Siapa saja yang sempat lewat, menggaet buahnya biar sebiji cuma, ia tahu pasti, rasanya kepati-pati. Siapa saja yang pernah merasakannya, bakal ketagihan. Selalu kaki-kakinya mengajak melangkah ke sana, walau jauhnya puluhan kilometer. Delima Mekah buah sorga. Korma nabi korma sejati, anggur Bordeaux, duren Bangkok, klengkeng Malang, ya ya ya, katanya, katanya.
Penuh keheranan, anak-anak menatap pohon rambutan. Satu dua anak meraba batangnya. Sedap hari mereka melewatinya, setiap kali mereka keheranan. Kenapa sekarang pohon ini tak berbuah padahal musin rambutan sudah datang. Ada yang salah? Begitu pikir mereka.
"He, rambutan," kata anak perempuan. "Apa kamu sedang ngambek? Kenapa kali ini kamu tidak berbuah?"
"He, rambutan," kata anak lelaki, temannya. "Kamu ngambek karena anak-anak perempuan paling banyak makan buahmu, ya!"
"Wow!" seru anak-anak perempuan itu sambil mengeroyok anak lelaki itu yang lari melompat parit.
Anak-anak sekolah itu biasa berebut buah rambutan itu dengan para petani yang sedang menggarap sawah. Penuh canda dan semangat, melompat dari cabang yang satu ke cabang lainnya yang penuh bergayutan buah rambutan yang memancing lidah hingga basah oleh selera. Selera yang bermacam itu akhirnya menyatu pada rambutan ini. Anak-anak madrasah itu juga berebut dengan para pedagang, perempuan maupun laki-laki, yang mengambil istirahat di bawah pohon itu. Anak-anak perempuan tidak perlu naik pohon. Mereka cukup menggaetnya karena buahnya banyak yang hamper menyentuh tanah. Mereka juga punya peraturan, rambutan tidak boleh dijual. Hanya direbut untuk dimakan, tidak boleh dibawa pulang.
Para pedagang itu mengayuh sepedanya yang penuh barang dagangannya, hasil kulakan dari kota ke desa masing-masing. Buah rambutan itu satu-satunya hiburan mereka yang didapat tanpa mengeluarkan biaya.
Siapa pun yang berebut harta karun itu- termasuk anak-anak madrasah itu –sama sekali tidak tahu, ada satu rahasia: dahulu, puluhan tahun sebelumnya, datanglah seorang laki-laki tua yang berteduh di bawah pohon rambutan itu. Laki-laki tua itu, seorang pengembara yang menjelajah dari kota ke desa, dari gunung ke lembah, dari daratan ke lautan, dari pasar ke mat dan laza pusat perbelanjaan kota. Mengunjungi para pegawal negeri, pemulung, pengemis, dan para pengamen, tentara, polisi, serta para petani dan perambah hutan. Laki-laki tua itu tidak dikenal, kecuali oleh pohon rambutan itu. Persahabatan yang dalam antara kedua makhluk yang berbeda jasadnya itu menyebabkan pohon rambutan subur berbuah. Rasanya, tak habis-habisnya buahnya diperebulkan begitu banyak orang.
Dahulunya, pohon rambutan itu meranggas. Hampir mati. Lalu berdoalah pohon itu dengan kencang. Dalam doanya, jika sudah tidak berguna, pohon rarnbutan itu ingin dimatikan secepatnya. Sedang jika Tuhan masih memberinya hidup, karuniai kesuburan batangnya dan rimbun buahnya. Lalu Tuhan rnenghadirkan adegan ini: meletuslah pertempuran antara para prajurit yang dipimpin Jenderal Sudirman melawan militer Bclanda yang terus menindas. Tembak-menembak terjadi di sekitar pohon rambutan itu. Para prajurit. Republik berlindung di balik pohon rambutan itu, di pematang sawah, selokan, dan di semak-semak bantaran sungai.
Sementara para prajurit Republik menembak satu dua letusan, pasukan militer Belanda dengan mobil bajanya terus mernuntahkan pelurunya tak habis-habisnya di samping gelegar kanon dari daerah pertahanan di kota.
Jenderal Sudirman yang memimpin pertempuran di atas tandu, alhamdulillah, selamat. Bagai dewa langit yang melayang, enggan menginjak bumi, Jenderal yang sangat dihormati oleh para pemimpin Republik itu, selalu muncul dengan diam, persis angin atau kabut. Dalam pertempuran itu, sekitar sembilan orang prajurit gugur, sedang di pihak militer Belanda tiga orang. Apa yang terjadi dengan pohon rambutan itu? Pohon rambutan itu terpangkas seluruh daunnya oleh peluru yang berdesingan, mirip pohon yang mati. Pagi harinya, kuncup-kuncup baru bertumbuhan di setiap ranting dan cabang pohon itu. Dalam sebulan, pohon itu telah rimbun daunnya, bagai perempuan yang bersolek. Namun beberapa tahun, pohon rambutan itu tidak juga berbuah.
Lalu berdoalah kembali pohon itu, memohon buah rambutan yang "ciplat" yang “nglotok" ribuan buah merimbun menggayuti batangnya. Dan Allah mcngabulkan doanya. Didatangkannya seorang lelaki muda yang singgah dan berleduh di bawah pohon rambutan itu. Serta-merta, entah oleh ilham dari mana, boleh jadi dibisiki malaikat lelaki muda itu mengeluarkan kitab suci Al-Quran dari dalam tasnya. Lalu pohon itu diusap-usapnya dengan kitab suci Al-Quran itu, seketika pohon itu berbuah, boleh dikata ribuan jumlahnya. Saking rimbunnya, buah rambutan itu berayun-ayun ditiup angin hampir mencium tanah. Terdengar dendang entah lagu atau tembang apa, menyelimuti kawasan itu, menyambut datangnya buah ciptaan penulis kitab suci itu.
"Wahai, anak muda," kata pohon rambutan itu."Terimakasih atas bantuanmu memunculkan ribuan buah dari tubuhku."
"Begitulah kehendak dari langit," jawab anak muda itu.
"Siapakah engkau, wahai, anak muda?" tanya rambutan.
"Saya adalah prajurit Jenderal Sudirman yang pernah bertempur dan
berlindung di balik batangmu."
"Alhamdulillah," tukas rambutan.
"Amien, ya, rabbal alamien," sahut anak muda itu.
"Apa kabar Jenderal Sudirman?"
"Alhamdulillah. Beliau sehat-walafiat dan bertugas di kota."
"Engkau tampak berbeda dari anak-anak muda yang lewat di sini."
"Memang. Saya telah mengambil jalan pintas supaya lebih cepat sampai. Sedang seluruh teman-teman prajurit lainnya, ada yang menjadi pengusaha, guru, dokter, insinyur, dan melanjutkan sebagai tentara di kota."
"Engkau kelihatan lelah. Apakah engkau habis melakukan perjalanan jauh?"
"Ya, saya terus-menerus melakukan perjalanan jauh."
"Apa pekerjaanmu?"
"Melakukan perjalanan jauh."
"Ha ha ha. Melakukan perjalanan jauh? Apa yang engkau dapat?"
"Apa saja."
"Apa saja, apa itu?"
"Ini, itu, ia, dia, kami, kita, mereka."
"Ha ha ha. Menyenangkan, ya?"
"Sangat menyenangkan."
"Apakah ini, itu, ia, kami, kita, mereka, ada yang engkau bawa?"
"Ada."
"Boleh lihat?"
"Boleh."
Lalu pemuda itu memperlihatkan "ini" di telapak tangannya kepada pohon rambutan itu.
"Ini 'ini'."
"Saya tidak melihat apa-apa."
"Tidak soal."
"Tidak soal bagaimana?"
"Tidak apa-apa engkau tidak melihatnya."
"Ya, itu jadi persoalan bagi saya."
"Engkau akan menderita jika memaksa untuk bias melihatnya."
"Mengapa hanya untuk bisa melihatnya, harus menderita?"
"Karena engkau harus berlatih bertahun-tahun untuk bisa melihatnya."
Begitulah persabatan antara manusia dengan pohon rambutan itu bertahun-tahun sampai anak muda itu menginjak usia tua.
Kekuatan yang merosot, rambut yang memutih, stamina yang terkuras, ketrampilan yang rapuh, daya ingat yang mengering. Namun, kekayaan yang tersembunyi di dalam dadanya bertambah banyak, dalam, dan bening. Selalu ada waktu bertemu bagi keduanya. Paling tidak setahun sekali, orang tua itu menjenguk sahabatnya yang tetap berdiri sendirian di tepi jalan, di tepi sawah.
Ketika anak-anak madrasah meninggalkan pohon rambutan itu, tibalah orang tua itu dan memeluk pohon itu. Keduanya berangkulan lama, seperti menuntaskan rindu. Lalu orang tua itu mengeluarkan kitab suci Al-Quran dan mengusap-usapkannya ke batang pohon itu. Seketika pohon rambutan itu berbuah lebat, ratusan, ribuan, sampai buahnya mengendus-endus rumput. Dan pohon itu bersuka-cita yang tak berhingga. Anak-anak sekolah yang sebenarnya sudah cukup jauh meninggalkan pohon itu, seorang di antaranya menengok kembali dan melihat rimbunan buah itu lalu berbalik dan menggenjot sepedanya kencang-kencang ke arah pohon itu. Yang lain tentu tak mau ketinggalan, buru-buru mengikutinya sambil bersorak-sorai.
Ketika tahun baru Imiek 2007, pada Ahad, 18 Februari 2558, setiap orang Tionghoa dan pribumi mengucapkan gong xi fa Cai, orang tua itu berumur 81 tahun dan terus mengembara. Waktu bertemu pohon rambutan kembali, pohon itu bercerita bahwa pemilik PT Djarum berniat membelinya. Salah satu pemilik dan pembangun Hotel Indonesia menjadi Mega HI di bundaran HI Jakarta Pusat itu berniat membeli pohon rambutan itu sebesar US$ 1 juta, senilai 10 miliar rupiah lebih. Pohon rambutan itu menolaknya.
Tangerang, 18 Februari 2007
Diambil dari Majalah Horison Edisi IV, 2007, hal. 28-31
No comments:
Post a Comment