Friday 12 November 2010

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia (1)

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia (1)



Buat teman-teman yang suka diskusi dan memperdalam pengetahuan tentang Islam, berikut ada tulisan yang menarik sebagai anti-thesis dari Islam liberal. Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai pembanding dalam kerangka diskusi. Tulisan ini saya ambil dari situs Dunia PII: http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/2009/04/06


Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia

1. Pendahuluan

Liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis di mulai pada awa tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Sejak itu, peristiwa-peristiwa tragis susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi, hingga kini.

Dengan mengadopsi gagasan Harvey Cox –melalui bukunya The Secular City – Nurcholish Madjid membuka pintu masuk arus sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam, menyusul kasus serupa dalam tradisi Yahudi dan Kristen.

Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah. Menurut Cox, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas kepada sekularisasi, yaitu: ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir, dan ‘deconsecration of values’ dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant).1

Jadi, kata Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one). Karena sudah menjadi satu keharusan, kata Cox, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi. (Far from being something Christians should be against, secularization represents an authentic consequence of biblical faith. Rather than oppose it, the task of Christians should be to support and nourish it).2

Buku “The Secular City” termasuk buku yang luar biasa. Edisi pertama buku ini dicetak tahun 1965. Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama diluar jangkaan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan ‘best-seller’ di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty, beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. 3

Pengaruh buku ini ternyata juga melintasi batas negara dan agama. Di Yogyakarta, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh “The Secular City” nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi itu adalah Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib.4 Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib hanya menulis catatan harian yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat pengaruhnya.

Pengaruh Cox baru tampak jelas di Indonesia pada pemikiran Nurcholish Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Markas PB Pelajar Islam Indonesia (PII) di Jakarta. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”.

Seperti kita ketahui, arus sekularisasi dan liberalisasi terus berlangsung begitu deras dalam berbagai sisi kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan bahkan pemikiran keagamaan. Kini, setelah 30 tahun berlangsung, arus besar itu semakin sulit dikendalikan, dan berjalan semakin liar. Penyebaran paham "pluralisme agama”, “dekonstruksi agama”, “dekonstruksi Kitab Suci” dan sebagainya, kini justru berpusat di kampus-kampus dan organisasi Islam – sebuah fenomena yang ‘khas Indonesia’. Paham-paham ini menusuk jantung Islam dan merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.

Kaum Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional.5

2. Dari tradisi Yahudi dan Kristen
Proses liberalisasi sebenarnya terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, sosial, informasi, moral, dan sebagainya, termasuk bidang agama. Agama Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini, “Liberal Judaism” (Yahudi Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama Yahudi. Perkembangan liberalisasi dalam agama Kristen juga sudah sangat jauh. Bahkan, agama Kristen bisa dikatakan sebagai salah satu “korban” liberalisasi dari peradaban Barat. Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313, Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (Edik) yang isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk memeluk agama Kristen. Bahkan, pada tahun 380, Kristen dijadikan sbagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut Edik Theodosius, semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang.

Dengan berbagai keistimewaan yang dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, hingga kini jumlah pemeluknya mencapai sekitar 1,9 milyar jiwa, meskipun terbagi ke dalam sejumlah agama (Katolik, Protestan, Orthodoks). Tapi, jika dicermati lebih jauh, perkembangan gereja-gereja di Eropa – asal persebaran Kristen – cukup menyedihkan. Sebuah buku yang ditulis Herlianto – seorang aktivis Kristen asal Bandung – berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan “klenikisme”.

Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.

Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur — terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku.

Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Di Indonesia, bahkan, di Fakultas Syariah IAIN Semarang, sejumlah mahasiswanya juga melakukan tindakan yang sama, dengan apa yang telah dilakukan kaum Yahudi dan Kristen. Ini bisa dibaca pada bagian selanjutnya. Jadi, apa yang sudah terjadi pada kaum Yahudi dan Kristen telah diikuti oleh sebagian kalangan kaum Muslim.

3. Program Liberalisasi Islam
Secara sistematis, Liberalisasi Islam di Indonesia yang sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an, dilakukan melalui tiga bidang penting dalam ajaran Islam, yaitu (1) liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran.

Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Dr. Greg Barton, memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.6

Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran paham Pluralisme Agama – yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern –dilakukan dengan cara yang sangat masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari program tersebut, ada tiga aspek liberalisasi Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.

3.1. Liberalisasi aqidah Islam
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.7

Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Berikut ini pernyataan-pernyataan mereka:

a. Ulil Abshar Abdalla mengatakan:
“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”,)

Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkawinan antar-agama, yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam artikelnya di Kompas (18/11/2002) tersebut, Ulil juga menyatakan: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.”

b. Budhy Munawar Rahman, penulis buku Islam Pluralis, di buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (terbitan JIL), menulis, satu artikel berjudul “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama” (hal. 51-53). Di sini, ia mempromosikan teologi pluralis. Ia menulis bahwa “Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada “kebenaran semua agama”, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai “orang yang beriman”, dengan makna “orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan”. Karena itu, sesuai QS 49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman.”

Budhy menyimpulkan, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.” 8

c. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta, menulis:
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.” 9

d. Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”.

Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.” 10

Nurcholish Madjid juga menulis:
“Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, “Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.” 11

e. Dr. Alwi Shihab menulis: “Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keAgamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain, eksklusivisme keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.” 12

f. Sukidi, alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): “Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama - entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan.”

g. Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas: “Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005)

h. Nuryamin Aini, Dosen Fak. Syariah UIN Jakarta: “Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki.” 13

Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, adalah bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, adalah mereka-mereka yang bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme Agama. Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel-artikel yang diterbitkan oleh Jurnal Tashwirul Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia Foundation), dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka bukan saja menyebarkan paham ini secara asongan, tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.

Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Di tulis dalam Jurnal ini:

“Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.” 14

Di Jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah menulis: “Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah “lawan” secara aqidah. 15

3.2. Relativisme kebenaran
Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation:

“Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” 16

Di dalam buku yang sama, seorang bernama M. Khairul Muqtafa juga menulis:

“Penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari.” 17

Si penulis juga mempromosikan apa yang disebutnya sebagai “Relativisme epistemologis’’, yang dimaksudkannya sebagai :

‘’Pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak. 18

Juga ada gagasan tentang ‘’Relativisme teleologis’’, yakni:

‘’Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain… artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya situalistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.’’19

Paham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas semisal virus HIV yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang, sebab dengan virus ini, maka seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari virus ini lahirlah sikap skeptis dan agnostik yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang dicapainya. Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, maka hidupnya akan terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian. Akar dari nilai-nilai ini adalah paham sofisme di zaman Yunani kuno, yang kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan di Barat. Itu bisa dimengerti, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, sehingga berbagai peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.

Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak ‘kemaruk’ (serakah) dan memalukan. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama. Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi.

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:

“Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 45:23).

Sayangnya, paham relativisme kebenaran ini sudah merupakan paham global, dan menjadi musuh semua agama. Sebab, paham ini menghancurkan keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Puluhan tahun lalu, penyair Pakistan, Dr. Moh. Iqbal sudah mengingatkan, jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan. “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery.” 20

Bukan hanya Iqbal yang melihat bencana kehilangan keyakinan, sebagai bahaya besar bagi satu peradaban. Dengan nada yang hampir sama dalam melihat peradaban Barat, Paus Benediktus XVI juga mengingatkan bahaya relativisme bagi iman Katolik. Ia menyatakan, bahwa Eropa kini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. 21

Dalam bukunya, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L. Allen, J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A “Dictatorship of Relativism”. Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang dari peradaban Barat. Benediktus XVI adalah orang yang datang dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat. (Today the most difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who understands the history and the culture of the West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” in the West”. 22 Dalam pengantar bukunya, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo menulis: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan: “relativism has become a dominant element in twentieth century theology”. 23

Jadi, paham Pluralisme Agama memang merupakan paham yang disebarkan untuk menghancurkan agama-agama yang ada. Salah satu aliran dalam paham ini, yaitu aliran Transendentalisme (Transendental Unity of Religion), berakar pada paham sinkretisme yang disebarkan oleh Freemasonry. Maka, pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan, paham Pluralisme Agama bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk menganut paham tersebut. Tahun 2000, Vatikan mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Jesus’ yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. 24

Dari kalangan Protestan, Pendeta Dr. Stevri Lumintang menulis buku yang sangat serius dalam menjelaskan bahaya paham Pluralisme Agama bagi agama-agama yang ada. Menurut Stevri, Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini…. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Bahkan, tulis Stevri Lumintang:

‘’…Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru….’’ 25

Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT telah menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT (QS 3:19); dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di Hari Akhir nanti termasuk orang-orang yang merugi. (QS 3: 85). Dosa syirik merupakan dosa besar, kezaliman besar, dan Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Allah, misalnya, sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91).

Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat.

No comments:

Post a Comment