Tuesday 16 November 2010

Rumah-rumah

Rumah-rumah

Cerpen Sapardi Djoko Damono




(Nomor 11)

Seandainya boleh memilih, saya tidak mau menjadi rumah. Orang boleh memilih rumah, tetapi rumah tak berhak memilih penghuninya. Saya berusaha sebaik-baiknya untuk selalu menyayangi keluarga yang menghuni saya, siapa pun orangnya dan apa pun wataknya. Saya tahu bahwa tetangga saya, Rumah Nomor 13, suka terganggu dengan ulah keluarga yang menghuni saya, tetapi ia hanya bisa menggerutu. Tidak kepada saya, untunglah, tetapi kepada Saudara.

Saya sudah telanjur menjadi rumah. Aneh, rumah tak boleh ikut penghuninya jika pergi meninggalkannya, tetapi penghuni berhak seenaknya saja pergi dan kalau sudah capek dan perlu istirahat, kembali pulang ke rumah.

Saudara tinggal di dalam rumah juga, bukan? Saudara pasti pernah merindukan rumah, tetapi pernahkah Saudara merasa dirindukan rumah? Bahwa ada juga orang yang tidak betah tinggal di rumah, dan lebih suka hidup menggelandang, misalnya, itu bukan urusan saya.

(NOMOR 13)

Saya sebuah rumah seluas 150 meter persegi, hampir semuanya ditanami bangunan kecuali tiga kali enam meter persegi di depan. Mungkin dimaksudkan sebagai semacam taman kecil nantinya. Entah bagaimana dulu-dulunya ada keluarga yang ingin membangun rumah, yang ingin melahirkan saya—begitu istilahnya kira-kira bagi Saudara. Proses penghamilan saya tampaknya biasa saja. Keluarga itu membeli tanah, lalu meminta tukang-tukang untuk membangun saya. Pondasi, kerangka, dinding, atap, dan sebagainya. Ribut. Suara paku besar kecil dipaksakan masuk kayu, batu bata ditumpuk, semen diaduk, dicampur pasir, dilekatkan di batu bata—sedikit ngilu dan bising. Meskipun di tengah keributan itu ada saja tukang batu yang suka nyanyi, atau bersenandung sepotong lagu klasik. Ditirunya dari tukang es krim.

Tetangga saya, kira-kira lima tahun lebih tua, adalah sebuah rumah yang bercat hijau muda di sebelah kanan saya. Rumah Nomor 11, perempuan. la dihuni oleh si empunya, keluarga yang selalu meributkan segenap perkara. Suami rapat dan pulang malam, anak ikut tawuran, gunting ketlisut, sandal ketukar, meja berantakan habis makan, masak kue sampai gosong; semua itu tentu berujung pada heboh.

Sejak saya masih dalam proses kelahiran, ribut-ribut semacam itu memang sering kali saya dengar. Dan saya, tentu saja, khawatir jangan-jangan keluarga yang memiliki saya juga sejenis. Sejak di dalam rahim, saya selalu berdoa agar keluarga Bapak (begitu semua orang memanggilnya) berbeda dengan yang punya tetangga saya itu. Tetapi sesudah dengan selamat dan lengkap dilahirkan, mulailah sakit hati saya.

Keluarga Bapak itu ternyata tidak akan tinggal di saya, tetapi memasang papan di pagar depan untuk mengontrakkan saya. Saya sudah telanjur jatuh hati kepada istrinya yang suka menengok proses kelahiran saya. Juga anak perempuannya yang rambutnya dikepang dua, yang suka bersenandung lagu Cinta Terisolasi. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Yang memiliki saya itu ternyata peternak rumah. Konon miliknya yang seperti saya ini jumlahnya tidak kurang dari lima. Apa pekerjaannya tidak jelas. la selalu mengenakan setelan safari, warnanya gonta-ganti. Itu yang saya tahu.

Saya sama sekali tidak suka dikontrakkan. Soalnya, tidak jelas keluarga macam apa yang akan tinggal. Kalau yang menghuni saya nanti amat sangat brengsek dan tidak suka membaca cerita pendek dan tidak berpengetahuan dan tidak intelek dan suka masak jengkol, apa saya bisa protes dan mengusirnya?

Tetangga saya, Rumah Nomor 15 di sebelah kiri saya, baru setengah jalan dibangun ditinggal begitu saja. Padahal luasnya minta ampun, mungkin tiga kali lebih luas dari saya. Dan di huk pula. Konon yang punya bangkrut dan berniat menjualnya saja. Karena belum jadi, bentuknya agak menakutkan. Bayangkan saja bayi yang masih di dalam kandungan dan belum lengkap ujudnya. Orang lewat menyebutnya rumah hantu. Beberapa kali saya lihat orang datang menaksirnya, tetapi sampai hari ini belum juga ada yang sungguh-sungguh berminat membelinya.

Saya tidak tahu Saudara siapa, tetapi saya sangat mengharapkan agar Saudaralah yang nanti mengontrak saya. Saya suka pada Saudara karena Saudara kadang-kadang membaca cerita pendek; oleh karena itu tentunya melek huruf dan sabar dan cerdas dan berpengetahuan luas dan intelek, hanya saja tidak mampu membeli rumah.


(NOMOR 15)
Percayakah Saudara bahwa hantu itu ada? Percayakah Saudara bahwa saya, rumah yang belum jadi ini, ada hantunya? Tetangga saya, rumah yang tidak juga ada pengontraknya itu memang suka bicara. Tapi khusus yang menyangkut diri saya, yang menyakitkan adalah bahwa saya dibandingkannya dengan bayi dalam kandungan yang bentuknya bisa Saudara bayangkan. Dan tentunya ia bayangkan juga bahwa saya belum bisa—belum boleh dan belum berhak—bicara. la keliru.

Mungkin saja ujud saya buruk, dan sedikit menakutkan. Di pekarangan banyak ilalang, tidak jarang pula ada yang berbunga. Kadang-kadang ada juga, maaf, ular yang suka menunggu kelengahan katak atau tikus yang tersesat. Ada juga, tentu ini sudah Saudara bayangkan, lumut yang semakin lama semakin tebal. Tetapi itulah saya. Itu semualah penghuni saya, dan tidak boleh ada sebuah rumah pun di alam raya ini yang merasa berhak menilainya sebagai hal buruk atau apa. Segala jenis tanaman dan binatang yang saya sebut itu bukan ciptaan manusia, tetapi ciptaan-Nya, bukan? Setidaknya, begitulah kata Kitab yang tentu pernah Saudara baca. Mereka memang diciptakan dengan sempurna, sedangkan saya—dan tetangga sebelah saya itu—bisa saja tidak selesai dibangun, seperti halnya benda budaya lain, yang diciptakan manusia.

Tetapi sudahlah, saya sebenarnya lebih suka diam. Hanya saja nurani saya terganggu ketika dikatakannya bahwa rumah seperti saya ini dihuni hantu. Itu kelewatan. Anak-anak takut? Bohong. Mereka malah suka masuk pekarangan saya mencari cengkerik; bahkan ada juga yang main petak umpet. Dan jika salah seorang dari mereka itu berteriak "hantu, hantu!",mereka berhamburan ke sana ke mari—saya yakin bukan karena takut hantu yang mungkin menurut bayangan Saudara menakutkan ujudnya. Anak-anak itu bermain begitu sebab hantu merupakan bagian dari permainan mereka. Dan mereka tidak berpura-pura pernah melihat hantu.

Kembali kepada tetangga saya yang tidak kunjung laku dikontrakkan itu; saya malah merasa kasihan padanya. Kalau saya belum laku dijual, itu wajar. Harga yang dipasang tuan saya mungkin terlalu mahal untuk sebuah rumah yang belum selesai dibangun, atau lantaran uang susah didapat sekarang (itu menurut alasan orang yang pernah saya dengar). Tetapi kalau tidak laku dikontrakkan, itu memalukan. Apalagi malah membujuk Saudara agar mengontraknya. Sebagai pembaca cerpen tentu Saudara menyadari bahwa ada maksud tertentu di balik semua itu. Itu karena ia tidak kunjung laku dan putus asa sehingga sudah sampai pada taraf membujuk, dan bahkan mengejek Saudara. Saudara dianggap tidak mampu membeli rumah.

Bahwa Saudara juga tidak suka makan jengkol, itu boleh saja, tetapi apa pula salahnya orang yang doyan jengkol? Istri Saudara sendiri sering makan jengkol, meskipun itu dilakukannya diam-diam, padahal bau mulutnya Saudara kenal benar. Jadi, tetangga saya itu menghina jengkol. Jengkol itu bukan ciptaan manusia, bukan benda budaya, kecuali jika sudah dimasak. Jengkol itu ciptaan-Nya, begitu kata Kitab yang Saudara baca hampir setiap malam. Keterlaluan tetangga saya itu. Tetapi setiap kali saya mengajaknya bicara baik-baik, ia menganggap saya masih belum lengkap, seperti bayi dalam kandungan—oleh karenanya tidak pantas diladeni bicara.

Jadi, bagaimana? Percayakah Saudara bahwa hantu itu ada? Jengkol itu ciptaan-Nya, demikian juga Saudara. Sedangkan rumah adalah ciptaan manusia. Hantu ciptaan siapa, coba? Siapa pula yang mau susah-susah—maaf—menciptakan hantu kalau manfaatnya hanya untuk menakut-nakuti manusia? Cengkerik, ilalang, lumut, dan segala sesuatu yang ada di sekeliling saya itu jelas tidak pernah memikirkan hantu, apalagi merasa ditakut-takutinya. Mereka juga tidak suka saling menjelekkan, berbeda dengan rumah di sebelah kanan saya itu. la suka begitu mungkin sebab ia ciptaan manusia.

Jadi, kalau Saudara terbujuk juga untuk mengontraknya, silakan sajalah. Seandainya nanti Saudara, atau keluarga Saudara, ada yang berteriak-teriak karena katanya ditakut-takuti hantu yang menghuni saya, jangan panik. Itu akibat ulah rumah kontrakan Saudara sendiri. Itu ciptaan keluarga Saudara sendiri. Apakah Saudara juga malah ikut-ikut menciptakan hantu?***




Koran Tempo, 2003

No comments:

Post a Comment