Tuesday, 16 November 2010

Sarang Angin

Sarang Angin

Cerpen Sapardi Djoko Damono



Balam yang hinggap di sela-sela juntaian daun kelapa itu berpikir, Masuk akal juga keheranan tekukur itu. Ada-ada saja, angin kok mencari sarangnya. la kemudian terbang ke rumputan di kuburan tua dekat kebun kelapa itu, mencari makan. la suka membayangkan saudara-saudaranya yang berada dalam sangkar, mendapat jatah makan secara teratur, dimandikan hampir setiap hari, dan kadang-kadang diadu keindahan suaranya. Dan diperjual-belikan. Ia tidak pernah iri hati, dan juga tidak pernah merasa kecewa harus susah-payah mencari makan setiap hari. Tidak seperti saudara-saudaranya itu, ia bergaul bebas dengan balam-balam lain ada di antara mereka yang lebih suka menyebut dirinya tekukur, ada juga yang lebih suka disebut puter, entah karena apa.

Dan ia merasa berbahagia setiap kali bertemu angin, yang meskipun tidak pernah bisa dilihatnya tetapi jelas dirasakannya untuk tidak mengatakan dihayatinya. Dan jika kebetulan angin terbang lewat sarang sepasang balam, terasa sekali bahwa ada semacam rasa iri dalam diri angin terhadap pasangan itu. Lebih dari balam mana pun, angin pernah terbang ke semua penjuru dunia. la tidak boleh hinggap di mana pun. Kalau balam saja punya sarang, kenapa aku tidak? demikian selalu tanyanya, tidak kepada siapa pun. Tak pernah putus asa ia mencari sarangnya. Dan karenanya balam-balam itu, terutama yang sedang berada di sarang mengerami telur-telurnya, suka menyebarkan kabar burung bahwa angin semakin tidak bisa dipahami tingkah-lakunya.

Ia telah diciptakan tanpa sayap. Tanpa cakar. Bahkan tak pernah kelihatan ujudnya. Sudah lumayan dia tanpa sayap bisa terbang ke mana-mana. Harusnya berterima kasih untuk itu. Tetapi tetap saja ia menanyakan di mana sarangnya. Begitu balam-balam itu sering saling membicarakannya. Balam juga suka bertanya kepada pohon kelapa tentang hal itu, dan pohon yang daun-daunnya selalu berkibar karena digosok-gosok angin itu selalu menggeleng-gelengkan kepalanya karena tak paham juga. la pun menggelengkan kepala setiap kali ditanya angin di mana sarangnya. Pikiran angin sebenarnya biasa saja, semuanya tertuang dalam bentuk kalimat tanya: Apa yang tidak punya sayap tidak berhak punya sarang? Apa yang tak punya cakar tidak boleh punya sarang? Apa yang tak tampak tidak boleh punya sarang?

Benar juga. Dan angin pun terus mencari sarangnya. Ia bertanya kepada debu di gurun pasir, kepada asap di hutan terbakar, kepada daun-daun kuning kecokelatan yang gugur, kepada dahan yang patah, kepada layar perahu di laut semuanya menggelengkan kepala dan malah ikut bertanya dalam hati, Ya, untuk apa angin mencari sarang? Mereka semua mengenal angin dengan baik, mereka ada karena angin, mereka ingin berterima kasih kepada angin, tetapi sayang tidak sampai hati menyampaikan kenyataan bahwa sia-sia saja baginya mencari sarang.

Dan angin pun akhirnya menyadari bahwa hanya laut yang belum pernah ditanyainya. Kalau di darat tidak ada, tentunya sarangnya berada di laut. Nun di dalam sana. Tapi laut lebih suka diam, kecuali kalau ditanya terus-menerus oleh angin mengenai hal itu. Sarangku pasti disembunyikan di dasar laut sana, pikir angin. la sama sekali tidak suka jawaban laut yang baginya terdengar tidak jujur. la pun menghajarnya, mengaduknya, meniupnya kencang-kencang—pergulatan itu luar biasa dahsyatnya. Laut bergolak, perahu terlempar, dan angin terus berputar sepanjang pantai. Di mana sarangku? Ayo, katakan!

Di pedalaman, di sebuah pohon, balam yang sedang menyaksikan anak-anaknya keluar dari telur-telurnya itu tidak pernah mendengar mengenai hal tersebut. Kalaupun ada yang nanti memberi tahu, ia tidak akan percaya. Angin akan dengan lembut dan penuh kasih sayang mengelus bulu-bulu anak-anakku ini kalau sudah besar nanti. Seandainya angin punya sayap, bulu-bulunya pasti tak terkatakan indahnya, tak ada burung yang bisa menandinginya. ***

No comments:

Post a Comment