Tuesday, 23 November 2010

SEORANG PEMBANTU PADA HARI RAYA

SEORANG PEMBANTU PADA HARI RAYA

Cerpen Gendut Riyanto

(Horison/XXIV/590)




1.
Hari raya sudah tiba. Seluruh persiapan menyambutnya, hampir tak ada sedikit pun yang tercecer. Sup hangat mengepul dari setiap mulut panci. Bau gurih daging cincang, bertabur di setiap penjuru rumah. Ikan gurameh bakar. Sambal tomat, ikan lele. Belimbing wuluh, dedaunan kenikir. Sledri dan kacang panjang, serta jeruk nipis. Gaduh suara terompet. Anak-anak mengenakan pakaian baru, menyanyi bersama. Klakson kendaraan menjerit-jerit di jalan raya. Balon gas warna-warni berayun di tangan anak-anak. Bahkan suara komposisi musik terburuk sekalipun, mereka putar berulangkali. Dengan rasa cinta—atau sedikit kegembiraan habis-habisan—yang sukar dilukiskan. Kecuali, tentunya, Anda sendiri masuk di dalamnya.

Tiada lukisan terindah, selain kehidupan yang tengah berlangsung. Akan tetapi: tidak.

Pada puncak sambutan hari raya, tiba-tiba seorang pembantu, menarik dirinya, menuju dapur. Ada sesuatu yang ganjil pada dirinya. Sesudah ia menyelesaikan hampir seluruh masakan di hari raya itu.

Matanya berkeliaran di setiap pori-pori dapur. Akan tetapi, sesaat kemudian, murung pandang matanya. Ia tak menemukan sesuatu yang diharapkannya. Bahkan selembar daun sledri pun tak tercecer di lantai dapur.

Ada yang lenyap dari badannya!

2.
Astaga!

Ia meraba jemari tangannya. Ia lihat pula betis dan jemari kakinya: “Di mana lenyapnya jari tangan dan kakiku. Di mana pula betisku…” ia bergumam, dengan rasa tak percaya yang habis-habisan. Kedua lengannya kini tak ditumbuhi jari-jari lagi. Demikian pula kedua belah kakinya yang tinggal separohnya saja: “Aku kini buntung…”

Barangkali yang kucincang, bukan daging sapi, namun betis ini. Barangkali bukan makroni, usus kambing, sosis atau kacang panjang. Namun, jari jemariku. Urat-urat badanku. Tulang-tulangku…

Jadi? Pada akhirnya, sampailah pembantu itu pada kesimpulan, bahwa: “Tuan-tuan, dan Nyonya-nyonya beserta keluarganya sebetulnya tengah menikmati sup dan perkedel bagian diriku. Untuk pesta hari raya. Untuk pesta bersama, bergembira bersama, bahagia bersama…”
Sampai hari raya usai, mereka saling meminta dan memberi maaf. Sekurang-kurangnya hutang khilaf—sengaja dan tidak—sudah dilunasi pula.

Tak satu pun luput dari salam-salaman. Bahkan majikan-majikan menuju dapur. Termasuk majikan pembantu buntung.

“Maafkan saya, Tuan dan Nyonya,” kata pembantu itu tersipu-sipu. “Tak ada lagi yang bisa saya gunakan bersilaturahmi. Juga, saya tak mungkin beranjak dari lantai dapur ini, karena…”
“Di mana kamu simpan jemari tangan dan kakimu?”

“Ah, maafkan saya, Tuan. Beribu saya minta maaf, Nyonya. Dalam panci sup dan di semua tempat masakan, sebagian diri saya tersimpan. Dan tentunya, sekarang semua itu tak ada lagi. Hilang bersama selesainya pesta hari raya. Hilang bersama-sama Tuan. Hilang bersama-sama, Nyonya. Hilang…” ***

otista, juni’86

No comments:

Post a Comment