Tuesday, 23 November 2010

Sepotong Daster

Sepotong Daster

Cerpen Tusthi Eddy, Nyoman



Istriku sedang hamil tiga bulan. Ia hanya mempunyai sebuah daster sudah agak lusuh. Tetapi karena ia seorang wanita bersahaja, ia tidak menuntut dibelikan pakaian hamil. Justru karena itu aku merasa kasihan kepadanya. Aku ingin membelikannya sebuah daster.

AKU ikut berkerumun dengan pembeli lain memilih sepotong daster yang kira-kira cocok untuk istriku. Di hadapanku berjajar tiga orang pedagang yang menggelar dagangannya berdekatan. Aku bebas pindah dari dagang satu ke dagang lain.

Ketika pembeli tinggal dua orang aku mulai menawar sepotong daster.

''Pak, mau daster?''
''Ya, yang ini berapa?'' aku langsung menawar.

''Yang itu enam puluh ribu. Katunnya bagus, tidak luntur.''

Sebenarnya aku sudah ingin mengambil uang dan membayarnya tanpa menawar, karena aku ingin menggembirakan istriku. Tapi kiat belanja yang diajarkan istriku kucoba juga.

''Bagaimana kalau tiga puluh lima ribu? Kalau boleh saya beli dua potong.''

''Maaf Pak tidak bisa, saya rugi tidak kembali pokok.''

Ketika tawar-menawar aku sempat berpandang-pandangan dengan dagang itu. Maksudku aku ingin melihat mimiknya apakah ada kemungkinan ia melepaskan barang dagangannya dengan harga tawaranku.

Aku sedikit terkejut karena dagang itu mirip sekali dengan istriku yang pertama, yang telah bercerai tujuh tahun lalu. Mula-mula kupikir kemiripan itu cuma kebetulan saja. Banyak orang yang satu mirip yang lain, padahal mereka tidak ada hubungan keluarga.

Aku terus tawar-menawar. Selain daster, aku juga menawar baju anak-anak sambil mencuri pandang sekujur tubuh dagang itu. Seluruh ciri tubuhnya persis sama dengan ciri tubuh istriku. Cuma dagang ini lebih tua sedikit. Terakhir aku dengarkan suaranya dengan sungguh-sungguh. Suaranya pun mirip suara istriku.

Aku mulai berpikir, apakah ini mantan istriku yang sengaja berlagak tak kenal denganku? Pikiranku ini terus menguat karena perceraianku dengan istriku yang pertama prosesnya agak aneh. Rasanya tak ada hujan tak ada angin, istriku minta cerai. Setelah kutanyakan alasannya, ia hanya mengatakan aku tidak cocok beristrikan dia. Padahal aku tidak pernah bertengkar. Jangankan bertengkar yang sepele, bertengkar yang prinsip pun tak pernah.

''Tidak cocoknya di mana? Apakah karena aku serba kekurangan?''

''Sama sekali bukan. Selama aku masih menjadi istri kakak, hidup kakak akan begitu-begitu saja. Karier kakak tidak akan maju.''

''Karier apa? Aku tidak pernah merasa terganggu, baik sebagai pegawai kantoran maupun penulis. Malahan aku merasa diperhatikan. Saat aku sedang menulis, kau membuatkan aku secangkir kopi.''

''Kak, biarkan aku pergi, daripada rumah tangga kita tinggal sandiwara saja, atau terjadi hal-hal buruk di antara kita. Aku tak akan menuntut gono-gini. Aku hanya minta barang-barangku dan barang-barang yang pernah kakak belikan untukku. Setelah pisah aku tak akan kawin lagi. Aku berusaha hidup mandiri dan sendiri.''

Tekadnya telah bulat. Aku tak bisa berbuat apa, selain mengurut dada karena kecewa dan sakit hati. Setelah hampir tujuh tahun menduda, aku kawin lagi. Kudengar berita mantan istriku yang pertama tinggal bersama keluarga iparnya.

***

Aku tersentak dari lamunan masa lalu ketika dagang itu menegurku.

''Pak, di mana dasternya?''

Aku cepat-cepat menyembunyikan kegugupanku.

''Oh, ya saya masih memilih warna dan ukurannya. Bagaimana kalau empatpuluh ribu saja? Tapi saya hanya beli satu. Baju anak-anak ini saya beli tiga potong kalau diberikan lima belas ribu sepotong.''

''Ya ambil, Pak! Saya pakai pengelaris karena sejak pagi saya belum dapat jualan.''

''Terima kasih.''

''Bapak mau pilih mana? Kalau istri bapak kulitnya putih, yang ini bagus.''

Ia memperlihatkan daster warna ungu dan coklat muda kombinasi hitam.

''Apa ukuran badan istri bapak ada sebesar saya?''

''Ya, kira-kira, cuma barangkali lebih tinggi sedikit, dan kulitnya putih.''

''Jika begitu ini pasti pas, Pak.''

Ia menyodorkan daster ungu itu sambil tersenyum puas.

Aku merogok dompetku dan mengambil selembar ratusan ribu. Keringatku menetes deras karena gugup mendengar kata-kata dagang itu. Aku gelisah ketika dagang itu membandingkan ukuran tubuhnya dengan tubuh istriku sekarang. Soalnya ia sangat mirip dengan istriku yang pertama. Kata-kata itu seperti membongkar, mengacak-acak pengalaman pahit perceraianku dengan istriku yang pertama. Aku merasa tersentil dan tersindir oleh kata-katanya.

''Pak, ini saya berikan ekstra sebuah handuk kecil. Keringat Bapak kok begitu. Muka bapak juga pucat.''

''Udara sangat panas. Tadi malam aku sangat lelah dan tidak bisa tidur.'' Aku berkata bohong, sambil berusaha menutupi kegugupanku. Kupikir, jangan-jangan orang ini mantan istriku yang sengaja membuka identitas dirinya pelan-pelan. Mungkin ia memakai kelemahanku yang cepat lupa kepada rupa seseorang. Aku ingin mengusutnya. Tapi dengan cara apa agar aku tidak malu jika orang ini bukan mantan istriku. Jika aku salah terka mengusut pribadi orang, aku merasa malu.

''Bapak ikut rombongan?''

''Tidak, sendiri.''

''Dari mana, Pak?''

''Dari Bali.''

''Saya juga dari Bali, sekarang tinggal di sini. Jika ke sini, jangan lupa mampir belanja ya, Pak!''

''Oh ya, saya sangat suka mengunjungi taman ini, dan suka duduk berlama-lama di tepi kolam. Terima kasih.''

''Terima kasih kembali, Pak.''

Aku meninggalkan Taman Narmada dengan perasaan gulana. Entah mengapa aku merasa dipecundang oleh mantan istriku. Tapi benarkah dia mantan istriku? Aku berdosa punya pikiran yang bukan-bukan jika dia bukan mantan istriku. Jika bukan, adakah dua orang yang mirip seratus persen? Aku belum pernah menemui persamaan yang demikian. Namun begitu bukan berarti tidak ada. Siapa tahu ini pengalaman unikku yang pertama.

Pergulatan perasaanku menyebabkan aku tegang dan stres. Di hotel semalaman aku tak bisa tidur. Kejadian itu terus saja mencubitku dan menguntitku hingga aku pulang ke Bali.

***

Ketika anakku dari istri kedua lahir, aku telah lupa dengan peristiwa itu. Tapi anakku lahir muda. Ia hanya berumur seminggu. Kematian anakku menyebabkan istriku sedih berkepanjangan. Aku berhasil meredakan kesedihannya setelah hampir sebulan.

Dalam libur semesteran aku mengajak istriku ke Mataram. Maksudku agar dia bisa melupakan kesedihannya. Di samping itu aku bermaksud mengajaknya ke Taman Narmada, tempat aku membelikan dia daster. Kupikir jika dagang itu mantan istriku, pasti ia tak ragu-ragu menegur dan berakrab-akrab dengan istriku yang kedua karena sebelumnya ia sudah saling mengenal. Tapi gagasan ini aku rahasiakan kepada istriku.

Betapa terkejutnya aku ketika masuk Taman Narmada. Dagang itu sudah tak ada lagi. Di tempat yang dulu aku membeli daster hanya ada seorang dagang.

''Mari Pak! Mau baju, Pak? Ini ada daster untuk ibu.''

''Ya, saya lihat-lihat dulu. Kok sendiri jualan?''

''Dagang yang di sini keduanya sudah pindah ke Cakra.''

''Oh, ya?''

Rencanaku gagal. Tapi aku berhasil menyembunyikan kekecewaanku kepada istriku.

***

Setelah kematian anakku dari istriku yang kedua, ia belum memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Sebuah peristiwa pahit yang lebih menyayat terjadi lagi padaku. Istriku yang kedua tiba-tiba minggat tak tentu sebabnya. Aku jadi bingung dan stres. Berbagai jalan sudah kutempuh untuk menemukannya, tetapi tak berhasil.

Ketika kubuka lemari pakaiannya, semua barang miliknya dan barang yang pernah kubelikan dibawanya. Hanya sepotong daster yang kubelikan terakhir tak dibawanya. Di sana disematkan secarik surat, ''Corak daster ini bagus, sayang tak enak dipakai.''

Aku kehilangan jalan dan kehabisan akal. Kawan-kawan yang merasa kasihan kepadaku, mengajakku mencari penyelesaian ke seorang paranormal. Semula aku ragu-ragu, karena kupikir penyelesaian cara mistik akan memperkeruh keadaan. Tetapi karena terus didesak, dan aku tak lagi punya pilihan, aku jadi pasrah.

Hasilnya membuat aku lebih terkejut. Sang paranormal memberikan penjelasan dengan hati-hati. ''Daster itu telah menggusur istri bapak yang kedua. Sebab istri bapak yang pertama digusur dengan cara serupa.'' ''Jadi, dagang itu mantan istriku?''

Sang paranormal hanya tersenyum dan mengangguk lembut.

''Semua ini buah karma Bapak. Jangan disesali. Banyaklah berdoa!''

Aku hanya bisa terbengong-bengong menerima kenyataan ini.

***


Diambil dari Bali Post,12/12/2004

No comments:

Post a Comment