Suara-Suara
(Seno Gumira Ajidarma)
Aku bangun terlalu pagi. Biasanya aku bangun di atas jam dua belas. Entah kenapa aku bangun secepat ini. Dibawah pintu kulihat koran. Aku segera menyambar koran itu. Langsung membuka di tempat iklan-iklan yang menawarkan pekerjaan.
Memang aku merasa cocok jadi bartender. Namun, aku tak terlalu tolol untuk terus menerus mengabdi pada pekerjaan itu. Aku datang jauh-jauh ke ibukota bukan untuk menjadi bartender, tukang campur minuman. Sebetulnya aku pernah punya keinginan jadi wartawan, tapi sayangnya aku tidak bisa menulis. Seakarang aku tidak tahu persis ingin jadi apa.
Kepalaku agak pusing. Mataku terasa pedas. Aku menelusuri huruf-huruf surat kabar yang meriwayatkan macam-macam kejadian, tapi aku tak membacanya. Aku mencari lowongan pekerjaan.
Lowongan-lowongan itu tertulis dalam bahasa inggris. Aku mengejanya dengan terbata-bata. Meskipun aku sarjana, bahasa inggrisku pas-pasan saja. Kalimat terhormat untuk kenyataan yang sama: tidak becus. Aku tahu, aku tak akan pernah menulis surat lamaran dengan bahasa inggris. Tapi, aku tahu juga apa yang kucari.
Mereka mencari manajer pemasaran. Meraka mencari insinyur pertambangan. Mereka mencari nahkoda kapal tanker. Mereka mencari akuntan. Mereka mencari sekretaris berkepribadiaan menarik. Tak ada satupun dari lowongan-lowongan itu yang membuat aku tertarik. Tapi aku sendiri tak tahu pasti apa yang kucari. Aku hanya merasa harus mencari sesuatu. Meyakinkan diriku sendiri bahwa suatu ketika nasib akan membaik.
Kuletakkan koran tanpa membaca berita-beritanya. Kubuka jendela, tapi segera kututup lagi. Aku tak tahan cahaya matahari yang menerobos secepat kilat. Mataku perih. Aku segera membaringkan diri ketempat tidur kembali. Mencoba menyambung tidur. Aku memejamkan mata lama sekali, tapi tak kunjung tertidur. Di luar terdengar suara-suara pagi. Suara-suara yang jarang kudengar.
Aku mendengar suara tukang daging. Aku mendengar suara tukang sayur. Aku mendengar suara anak-anak sekolah. Aku mendengar suara bel becak. Aku mendengar suara bajaj. Aku mendengar siaran berita. Aku mendengar suara wanita memanggil-manggil. Lantas, kadang-kadang mendadak sepi. Kadang-kadang suara itu campur aduk jadi satu. Kututup telingaku dengan bantal. Aku merasa harus tidur lagi.
Sayup-sayup suara air dari keran terdengar mengucur. Lantas, terdengar desis kompor gas. Suara-suara itu menembus mimpiku.
Ketika aku bangun lagi, hari sudah siang. Dari cahaya yang menembus kolong pintu, kuperkirakan sudah lewat tengah hari. Udara dalam kamar terasa panas. Segera kubuka jendela dan kubuka pintu. Dengan kuyu aku melangkah ke kamar mandi. Langsung berendam.
Sambil berendam aku melanjutkan tidurku. Dari balik dinding terdengar musik yang lembut. Aku memejamkan mata dan mecoba melupakan segala peristiwa.
Tubuhku tersa ringan. Air yang hangat memijat-mijat persendian. Dari balik dinding masih terdengar orang bercakap-cakap.
“Rasanya sedih sekali.”
“Kenapa?”
“Tidak tahu, tapi rasanya sedih.”
“Mesti ada sebabnya, dong.”
“Aku sudah bilang aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya sedih sekali. Coba pegang dadaku ini. Ngilu.”
“kamu, kenapa sih, bilang dong, cerita ….”
Aku menyanyi-nyanyi agar orang itu menjauh. Apakah mereka mendengar suaraku? Tapi aku terus saja menyanyi-nyanyi. Menyanyikan lagu yang sering terdengar di apocalypse.
Look at me, I’m as helpless as a kitten up tree. [1]
———————–
[1] Misty adalah lagu wajib di kafe. Dibuat oleh erol graner(1923-1977), seorang pianis jazz yang kemudian menjadi composer, pada tahun 1950. inspirasi lagu ini muncul saat garner dalam penerbangan San fransisco – Denver, melihat pelangi dari jendala pesawat yang buram oleh embun. Lagi itu menjadi sangat popular, dan merupakan lagu yang paling banyak direkam selama dua dekade setelah lagu tercipta.
No comments:
Post a Comment