Tuesday 23 November 2010

Tempat yang Terindah untuk Mati

Tempat yang Terindah untuk Mati



Kami, 10.000 pasukan berkuda, akhirnya keluar dari hutan itu. Di hadapan kami kini terbentang padang stepa yang begitu luas bagaikan tiada bertepi. Setelah hampir berminggu-minggu hanya merayapi jalan setapak di antara pohon-pohon dan semak belukar, padang yang terbuka itu bagaikan pelepasan yang lebih dari memadai untuk melampiaskan kerinduan kami akan kebebasan, lepas dari kungkungan jurang dan tebing yang serba menjulang dan mencekam.

“Pacu!”

Orang-orang yang berada paling depan sebenamya tidak usah menunggu diperintah untuk memacu kudanya, bahkan kuda-kuda itu sendiri bagaikan tidak lagi menunggu perintah untuk segera memacu diri mereka, melesat secepat-cepatnya bagaikan berpacu dengan angin dingin yang bertiup begitu kencang menggigilkan tulang.

“Pacu! Pacu! Pacu!”

Kami semua berpacu sepanjang padang stepa yang terbuka sambil berteriak-teriak menuntaskan kegembiraan kami. Kuda-kuda kami berpacu dengan riang, dengan tenaga baru yang seolah-olah begitu saja datang dari langit. Kuda-kuda kami menggebu, melesat dan menggebu, seperti mengerti betapa jiwa kami telah lama begitu tertekan dalam perjalanan berat menempuh hutan yang rapat, gelap, dan penuh dengan rintangan. Kami menggebu begitu laju, seolah-olah bahkan jiwa kami kalau bisa lepas dari belenggu badan, mendesing menuju kebebasan. Namun sekarang, cuma inilah yang bisa kami lakukan, berpacu melawan angin, dan berteriak-teriak meluapkan kegembiraan kami.

“Huuuu! Huuuuu! Huuuu!”

Satu per satu penunggang kuda yang keluar dari hutan segera melaju. Kami, 10.000 pasukan berkuda, berderap melaju menuju cakrawala. Padang stepa diselimuti salju yang tipis, dingin angin bagaikan mengiris wajah-wajah kami yang sebetulnya toh cuma tampak matanya saja. Seluruh tubuh kami terbungkus jubah bulu binatang yang tebal dan berat. Kami juga mengenakan topi dan sepatu dari kulit binatang berbulu tebal. Semuanya terbungkus, begitu juga tangan kami yang memegang kendali. Para pembawa panji, bendera, dan umbul-umbul kini membuka jalan ke depan. Bendera raksasa yang berkibar dan menyibak angin itu terlihat menggetarkan. Kuda-kuda kami saling berpacu dengan perkasa, bumi bergetar oleh derap pasukan yang melaju dan menggebu.

Kaki-kaki kuda kami bagaikan tak mengenal lelah, berpacu dan berpacu, surai kuda-kuda kami yang tebal melambai-lambai dengan megah dan seluruh gerak tubuh mereka bagaikan menari dengan indah. Langit hanya biru. Cahaya matahari menyiram padang. Setiap orang memacu kudanya ke cakrawala yang melingkar 360 derajat. Hutan di belakang kami kini bagaikan titik-titik hitam, dan segera lenyap di balik kaki langit. Kami bagaikan berpacu di atas permadani tanpa tepi. Selama berjam-jam kami akan berpacu dan kami akan tahu bahwa pemandangan ini tidak akan pernah berubah. Di telinga kami angin bersiut dan menderu. Kami terus-menerus berderap sepanjang padang. Kami bersedia membayar segalanya untuk perasaan merdeka yang kami dapatkan. Jangankan berpacu yang begitu menggembirakan, bahkan perjalanan berminggu-minggu di dalam hutan yang melelahkan pun kami lakukan asalkan kami bisa mencapai tempat tujuan. Kami tahu, perjalanan kami masih jauh lagi, kini kami mengambil peluang untuk meraih kegembiraan.

Kuda-kuda kami terus berpacu dengan laju. Kuda-kuda memang lebih dari sekadar bagian hidup kami. Tanpa kuda, apalah artinya kami? Kuda-kuda kami selalu mengerti apa yang kami inginkan, dan mereka selalu memenuhi segala kehendak kami dengan memuaskan. Kami tidak mengerti apa jadinya hidup kami tanpa kuda. Kami selalu bepergian, selalu berpindah, selalu bertualang. Kami selalu berpindah sesuai dengan pergantian musim, perjalanan angin, dan peredaran bintang. Semua ini tak bisa lancar tanpa kuda sepanjang pengembaraan. Kini kami semua sudah siap menempuh perjalanan yang terakhir, dan kuda-kuda kami tetap setia mengikuti sampai akhir tujuan. Kuda-kuda kami masih terus berderap, bagai berpacu dengan angin. Telinga kami semua penuh dengan desau, yang kadang-kadang terdengar seperti sebuah percakapan, namun yang maknanya seperti selalu menghindari kepastian.

Sampai di manakah suatu perjalanan berakhir? Apakah mungkin suatu perjalanan berakhir? Apakah mesti suatu perjalanan berakhir? Sudah bertahun-tahun kami mengembara dan kami tidak pernah merasa yakin kapan suatu perjalanan bisa berakhir. Kami mengembara dan menjelajah segenap permukaan bumi untuk mencari suatu akhir, namun sampai sekarang tiada satu alasan pun bisa menghentikan kami. Kami menyeberangi sungai, kami mendaki celah-celah gunung, kami mengarungi gurun pasir, dan kini kami berpacu di tengah padang tanpa tepi, tapi kami tidak juga ingin berhenti. Kami bisa berhenti dan menetap di suatu tempat untuk satu, dua, bahkan bisa lima tahun, namun kami selalu berangkat kembali. Rumah kami sekarang adalah perjalanan itu sendiri.

Padang stepa yang terbuka masih tidak memperlihatkan apa-apa kecuali hamparan rumput kering yang kelabu dengan polesan salju. Begitu luasnya padang gurun ini sehingga kami merasa berjalan di tempat. Apakah yang terjadi di tempat-tempat lain ketika kami berpacu? Panah seorang pemburu sedang melesat ke jantung seekor rusa ketika kami berpacu. Burung-burung kondor beterbangan melingkar di langit mengincar pengembara yang sekarat kehausan ketika kami berpacu. Seekor ikan salmon menangkap umpan dan tersendal pancing ke udara ketika kami berpacu. Benarkah seekor gajah menegakkan belalainya dan melengkingkan bunyi terompetnya nun entah di mana ketika kami berpacu? Seseorang mendayung perahu menuju matahari terbenam ketika kami berpacu.

Kami berpacu, berpacu, dan berpacu.

“Huuuuu! Huuuuuu! Huuuuuuu!”

Kami berderap dan berpacu memburu matahari yang terbenam ke balik cakrawala. Langit yang tadi bagai tempurung raksasa membiru kini semburat merah terbakar. Matahari terasa betapa berat, menancap kemerahan bagai kuil yang menanti penziarah dari segenap penjuru bumi. Kami berderap dan berpacu menuju matahari itu. Langit masih membara. Kami, 10.000 pasukan berkuda, menjadi bayang-bayang kehitaman yang melesat ke suatu arah. Kalau matahari itu menghilang di balik cakrawala, kami harus memburunya ke balik cakrawala.

***
Tempat itu dinamakan Lembah Sepuluh Rembulan. Ada sepuluh danau di lembah yang luas membentang itu dan seharusnya ada sepuluh rembulan mengapung di atas sepuluh danau. Namun, ketika kami akhirnya sampai ke lembah itu, musim dingin belum berakhir sehingga sepuluh danau itu masih menjadi dataran salju. Bila bulan yang perak itu muncul di langit malam, cahayanya dipantulkan kembali oleh permukaan danau yang diselimuti salju. Di setiap danau itu setiap 1.000 orang dari kami berkemah. Di Lembah Sepuluh Rembulan inilah kami akan menunggu 100.000 saudara-saudara kami.

Seseorang dari kami tampak meniup seruling di kejauhan itu. Ia meniup seruling sambil duduk di sebuah batu di atas tebing, seolah-olah berhadapan dengan rembulan - bahkan rembulan seperti turun ke bumi hanya untuk mendengarkannya meniup seruling.

Tapi apakah rembulan mengerti arti lagu seruling itu? Seruling itu berkisah tentang riwayat kami yang panjang dengan bahasa kami sendiri. Apakah rembulan bisa memahami, betapa nun di sebuah benua yang jauh bertahun-tahun yang silam suku kami berkemas untuk sebuah perjalanan yang tak kami ketahui kapan akan berakhir? Apakah rembulan mengerti, betapa berat penderitaan suku kami sepanjang perjalanan mengarungi benua itu, menghadapi segenap rintangan alam maupun suku-suku musuh kami? Apakah rembulan mampu menangkap gelora semangat pengembaraan kami? Tak terhitung lagi berapa orang telah mati dan berapa bayi telah dilahirkan sepanjang perjalanan dari kampung ke kampung, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, semenjak begitu banyak tahun yang telah lama berlalu.

Ia meniup seruling di atas tebing. Berkisah tentang kafilah panjang yang menyeberangi gurun, orang-orang yang mengendarai kuda dengan tertunduk, dan anak-anak yang tidur dengan gelisah di dalam gerobak-gerobak penuh barang dan bahan makanan, sementara seorang nenek tua bersenandung dengan suara buruk tentang tanah air yang sudah mereka tinggalkan.

Lembah Sepuluh Rembulan adalah suatu lembah gersang dengan dataran yang sangat luas. Kami membiarkan kuda kami menjilati lelehan salju dan merumput di sana-sini. Kami siapkan kantung-kantung tidur dan selimut kami. Bukit-bukit batu yang menjulang dan membentuk lembah ini melindungi kami dari angin sehingga kami bisa menyalakan api unggun. Di setiap api unggun masih tampak orang-orang membakar sisa-sisa daging perbekalan mereka dan mengunyahnya dengan lahap. Beberapa orang masih minum susu hangat yang beraroma teh, dan mendengarkan seseorang bercerita.

"Maka sang raja pun jatuh cinta kepada wanita dari negeri seberang itu...."

Kami selalu membutuhkan cerita, seruling, dan kuda. Kami memuja rembulan dan matahari. Kami menyembah langit, kami menyembah bumi. Kami mencintai keindahan seperti mencintai kehidupan itu sendiri.

Apakah yang akan kami lakukan selama hari-hari penantian kami? Tidur tanpa tenda adalah suatu siksaan yang berat bagi kami, karena musim dingin yang selalu berangin akan terus-menerus menguji ketabahan hati kami. Barangkali kami akan memanfaatkan waktu untuk berburu, bukan hanya karena daging binatang buruan kami perlukan untuk menimbun perbekalan yang mulai menipis, tapi juga karena kulit berbulunya yang tebal kami butuhkan untuk membuat tenda. Apabila 100.000 saudara-saudara kami tiba, mereka yang sebagian terdiri dari wanita, anak-anak, dan orang tua, akan membutuhkan tenda-tenda itu. Tenda-tenda kami adalah tenda yang besar dan hangat, sudah berabad-abad bentuk tenda kami tidak pernah berubah. Di dalam tenda itu kami bisa memasak sekaligus menghangatkan diri kami.

Ketika kami semua bersiap tidur dan memandang bintang gemintang di langit, peniup seruling itu masih di sana, melanjutkan kerinduannya yang panjang akan kampung halaman kami yang terletak di sebuah dataran tinggi di tepi sungai, dengan latar belakang pegunungan yang menjulang megah. Seruling itu mengingatkan kami kembali kepada kampung halaman leluhur kami yang sungainya tidak pernah membeku, di mana bila senja tiba di tepi sungai akan terdengar derai tawa ceria gadis-gadis yang mandi, sementara di kejauhan terdengar gemerincing anting-anting dari daun telinga yang panjang itu dicuci. Suara-suara itu dibawa angin ke bukit-bukit di mana anak-anak gembala memainkan serulingnya sambil tiduran di atas kerbau -- inikah sebabnya suara seruling itu membuat kami diam? Kami sedih. Kami pasrah. Kadang kami tidak tahu apa yang harus kami perbuat.

Kemudian, ketika suara seruling itu lenyap ke balik malam barangkali kami masih mendengarnya di dalam mimpi-mimpi kami, menjelma gambar-gambar yang berkelebat dari masa lalu kami. Betapa selalu masa lalu berada dalam diri kami, dan kami menyukainya karena memang tidak pernah ingin kehilangan masa lalu kami yang semakin hari serasa semakin indah.
Kami sudah menempuh perjalanan yang panjang dan kini kami ingin tidur. Angin masih terus bertiup dan tak akan pemah berhenti. Kami mengerti betapa angin akan mengembara ke segenap penjuru bumi, bahkan ia menyeberangi samudera mahaluas, menghubungkan kami dengan segenap unsur kehidupan. Betapa segala hal di muka bumi ini saling berkaitan.

Kemudian, tinggal kesunyian di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami, 10.000 pasukan berkuda, tertidur dengan pulas, tiada yang mendengkur sama sekali. Di Lembah Sepuluh Rembulan hanya terdengar desau angin. Gemeretak api unggun segera berakhir. Tinggal bara api menyala diam-diam, makin lama makin menghilang. Maka terlihatlah gerak cahaya rembulan yang memantul di dinding-dinding batu. Rupa-rupanya bulan yang turun mendengarkan suara seruling mengangkasa kembali. Bertengger di atas sana. Sesekali tertutup awan.

***
Setahun kemudian seorang pengawal di atas te¬bing berteriak.

“Hooooiiiii! Mereka sudah datang!”

Kami semua segera melompat ke atas kuda, dan memacunya ke tempat-tempat yang tinggi. Sebagian yang lain malah langsung keluar dari celah lembah, dan terbentanglah di hadapan kami pemandangan yang menggembirakan itu, pemandangan yang kami nantikan. Tak kurang dari 100.000 saudara-saudara kami muncul dengan meyakinkan dari balik kaki langit.

Hari sudah menjelang senja, langit bagai tenda raksasa berwarna ungu. Saudara-saudara kami masih merupakan sosok-sosok hitam yang seolah-olah berjalan di tempat. Dengan perasaan yang sangat tidak sabar dan menggebu-gebu, kami berlari-lari turun dari bukit, langsung melompat ke atas kuda kami. Dengan segera, kami menggebu menyambut 100.000 saudara-saudara kami yang masih merupakan sosok-sosok hitam di kaki langit itu. Ketika saudara-saudara kami melihat kami datang menyambut mereka, sebagian dari mereka yang mengendarai unta dan berkuda segera melesat ke depan ingin segera bertemu dengan kami.

Senja itu langit yang ungu serasa begitu cerah. Tiada yang lebih menggairahkan selain kehendak yang menggebu menjumpai orang-orang tercinta. Mereka semua telah menempuh perjalanan yang panjang di jalan yang telah kami rintis. Tentulah jumlah mereka sudah tidak genap 100.000 orang lagi. Tentu ada yang mati dan lahir sepanjang perjalanan, seperti yang sudah-sudah, kami baru akan mengetahuinya nanti.

Kemudian kami melihat panji, bendera, dan umbul-umbul yang sama. Berkibar dengan megah, bergetar-getar dalam tiupan angin. Semua ini menggetarkan jiwa kami dan kami merasa betapa setiap detik dalam hidup kami sangat mempunyai arti. Kami menggebu dengan perasaan rindu dan penuh dengan cinta. Seperti apakah mereka kini?

“Huuu! Huuuu! Huuuu!”

Kaki-kaki kuda, berderap dan berpacu. Sosok-sosok hitam itu makin lama makin membesar. Mereka yang terdepan akhirnya bertemu muka dengan kami. Masing-masing dari kami kemudian berhenti dan berhadapan. Rombongan yang terdepan itu masih menanti mereka yang terseok di belakang, dengan gerobak, kereta, gajah dan unta. Lebih banyak lagi yang berjalan kaki.


Kami semua turun dari kuda.

“Akbar!"

“Abdul!”

Kami semua berpelukan dengan penuh rindu dan penuh dendam. Kami tahu hari-hari akan menjadi lebih berat, namun kami juga tahu hari-hari kami akan lebih menggembirakan. Suku kami telah bersatu kembali di bawah langit dan bumi yang sama. Wajah-wajah mereka tampak lelah dan kuyu, seluruh pakaian mereka usang dan kelabu, penuh dengan debu, namun betapa dari sinar mata mereka terpancar jiwa pasrah dan ikhlas, siap menempuh perjalanan untuk mati. Kami menyatu kembali dalam gairah kehidupan yang panas. Angin begitu dingin, namun tiada akan ada satu pun halangan kini bagi kami untuk mengungkapkan sukacita kami.

Begitulah kami akan membaca puisi di tepi danau, menari di atas perahu, memetik kecapi di puncak bukit, dan melakukan meditasi bersama dari malam sampai pagi di bawah rembulan dan matahari. Kami menatap saudara-saudara kami yang baru tiba dan merasa sedih meskipun gembira. Betapa mereka begitu tabah, dan kini begitu kurus. Wanita dan anak-anak kami berambut kasar dan merah. Semua orang tampak tak terurus, tapi siapakah yang akan bisa tampak terurus dalam perjalanan panjang, menyeberang dari benua ke benua hanya untuk selalu pergi dan tak akan pernah kembali?

Kami terus-menerus saling berpelukan dengan jerit dan tangis yang makin menjadi-jadi.

“Sarita!”

“Maneka!”

Mengapa kita bisa terus-menerus memikirkan seseorang meskipun kita berjarak begitu jauh dari seseorang itu dan telah berpisah begitu lama sehingga kadang-kadang sebenamya susah mempertahankan ingatan atas seseorang itu dari hari ke hari dalam suatu perjalanan yang terus-menerus berubah warna? Namun, betapa tiada jarak lagi kini bagi kami. Kami semua menemukan masing-masing keluarga, kami berjalan kembali ke Lembah Sepuluh Rembulan sambil menyenandungkan lagu syukur dari hati. Langit memberkati kami. Paduan suara lagu kami dipantulkan kembali oleh dinding-dinding tebing dan semua ini hanya mengingatkan betapa kami sebagai manusia sungguh memiliki nilai yang hakiki.

Kami membagi diri kami berdasarkan pemukiman di sepuluh danau sehingga setiap 10.000 orang dari saudara-saudara kami yang baru tiba akan bergabung dengan setiap 1.000 orang dari pasukan berkuda kami. Kami tahu kami akan menyanyi dan menari malam ini. Kami akan membakar daging rusa dan kami akan memakannya sepuas hati. Kami akan membagi arak dan anggur dan kami akan menuangkannya ke atas daging bakar yang merah berasap membangkitkan lapar.

Kami begitu siap untuk bahagia, tapi kami menahan kegembiraan meluap kami sebagai bekal menahan penderitaan pada masa-masa yang akan datang. Kami tidak bermabuk-mabukan dan lupa daratan, kami menyalurkan kebahagiaan kami dengan suatu cara yang hanya kami bisa melakukannya. Maka begitulah kami segera bekerja begitu tiba di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami mendirikan tenda bagi orang-orang yang sakit, kami mengatur pengelompokan sesuai dengan asal-usul setiap keluarga di kampung kami. Saudara-saudara kami yang baru datang itu begitu lelah dan begitu kurus sehingga agaknya kami masih akan bertahan beberapa lama lagi di sini sebelum kelak berkemas dan berangkat kembali.

Kini semuanya sudah berada di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami yang telah tinggal di sini selama setahun, bisa melihat bagaimana sepuluh rembulan itu mengapung di atas sepuluh danau selama musim panas yang tetap saja dingin. Saudara-saudara kami yang 100.000 orang itu datang pada musim dingin, jadi mereka hanya melihat sepuluh danau yang membeku. Bahkan ketebalan es di atas danau itu mampu menahan beban gajah yang berjalan di atasnya. Gajah-gajah yang kami bawa berbulu tebal, begitu juga unta dan kuda-kuda kami. Mereka begitu jinak, begitu mengerti, dan begitu penurut sehingga kami sungguh berterima kasih dengan segala pengorbanan mereka dalam perjalanan kami.

Dalam perjalanan itu 53 orang dari kami meninggal, dan kami menguburkannya di tengah jalan, sementara itu 53 bayi dilahirkan sehingga jumlah saudara-saudara kami yang baru datang itu tetap genap berjumlah 100.000 orang. Adapun pasukan berkuda yang merintis jalan masih tetap berjumlah 10.000 orang.

Begitulah selama beberapa bulan yang tenang kami tinggal di Lembah Sepuluh Rembulan. Pada musim semi danau masih membeku, namun rerumputan menjadi lebih hijau. Ketika tiba musim panas, kami semua, 110.000 orang, berkemas dan bersiap melanjutkan perjalanan.

Kami berangkat pada pagi subuh. Bulan masih menggantung di langit. Dari atas tebing kami menoleh untuk terakhir kalinya ke Lembah Sepuluh Rembulan. Kami melihat sepuluh rembulan mengapung di atas sepuluh danau, dan setiap orang yang melihatnya tersenyum dalam hati.

***

Sudah berbulan-bulan kami terus berjalan. Ketika matahari terbenam kami semua beristirahat dan tidur. Sebelum matahari terbit kami sudah berangkat lagi. Kami semua, 110.000 orang, melangkah perlahan-lahan menapaki jalan yang telah dikodratkan bagi kami. Begitulah kami berjalan, berjalan, dan berjalan mengarungi gurun, menempuh ngarai, menembus badai, dan menyeberangi sungai. Kami tidak pernah memacu kuda kami kecuali jika kami putuskan berhenti sebentar untuk berburu. Kami terus-menerus berjalan dengan hati yang terpaut kepada cahaya. Ada semacam cahaya dari langit dalam hati yang terus-menerus bergerak setiap kali kami melangkah mendekatinya. Kami, 110.000 anak manusia terus-menerus melangkah, kuda dan unta melangkah pelan tapi pasti seperti doa yang diucapkan perlahan, khusyuk dan meyakinkan.

Kami jarang bercakap-cakap di antara kami karena hati kami sekarang hanya berisi penyerahan diri kepada kehidupan. Bayi-bayi seperti tahu diri untuk tidak menangis, bahkan mata mereka pun bagai menatap sesuatu yang penuh dengan pesona. Barangkali mereka juga melihat cahaya itu yang hanya bisa ditatap dengan mata hati di langit jiwa masing-masing yang mengerti dari mana hidup ini datang dan ke mana hidup ini pergi. Kami berjalan menapaki jalur di antara lembah, mendaki gunung-gunung batu, dan menapaki gigir-gigirnya yang mengerikan. Kami, 110.000 orang, dengan bayi di gendongan, orang sakit dalam tanduan, dan hewan-hewan peliharaan yang tak boleh ditinggalkan, merayap di jurang yang curam, jalanan setapak berlumut yang begitu licin dan terlalu sering memelesetkan.

Kadangkala tiba saatnya seorang wanita harus melahirkan di tengah jalan, maka sebagian dari kami pun berhenti mengurusnya, sementara yang lain meneruskan perjalanan. Rombongan kami membentuk barisan yang panjang bila melewati celah yang curam, menyebar seperti semut bila tiba di padang terbentang. Mereka yang telah menjadi tua, lemah, dan lumpuh kami naikkan ke atas gajah-gajah kami yang masih setia. Gajah-gajah ini berbadan besar, namun seperti tidak mendapat halangan jika berjalan di dalam hutan, kaki mereka yang besar menapak dengan lincah di jalan setapak dan keseimbangan gajah-gajah ini sangat baik dalam pendakian dinding-dinding yang curam. Tentu mereka tahu jalan yang terbaik buat gajah sehingga kadang-kadang mereka harus memisahkan diri untuk bertemu lagi di suatu tempat lain. Kadang-kadang perpisahan ini bisa sampai berhari-hari lamanya, tapi kami rombongan 110.000 orang dengan segala hewan peliharaan tidak pernah benar-benar saling terpisah.

Begitulah di antara kami kemudian ada yang meninggal dan kami pun segera menguburnya tanpa meninggalkan upacara yang diharuskan. Semua orang yang pergi mendahului mati dalam pelukan cahaya. Mata mereka mengatakannya. Mereka yang mati dalam perjalanan ini sebenarnyalah mati dalam kebahagiaan. Arwah mereka membubung menyusuri cahaya, menuju sebuah dunia di alam sana yang hanya bisa dihayati setelah kematian. Itulah dunia yang kami rindukan, dunia yang kami impikan dari abad ke abad, dari dongeng ke dongeng, dari segala keinginan dan kehendak yang sejak lama terlukis di gua-gua leluhur kami yang begitu gelap di mana mereka merindukan cahaya keabadian.

Kami melangkah, menapak pelan, terus-menerus berjalan, dengan kepastian bahwa jalan cahaya itu akan kami temukan. Setelah bertahun-tahun menempuh perjalanan yang serasa alangkah panjang dari benua ke benua, kami kemudian merasa terbimbing oleh tanda-tanda cahaya dalam jiwa kami yang penuh dengan keyakinan. Dari gurun ke gurun rombongan kami berjalan, sudah lama juga kami tidak menjumpai tempat pemukiman maupun binatang. Dalam kenangan kami masih tergambar dengan jelas betapa di tempat-tempat yang kami lewati pemandangan terpampang begitu indah sehingga kami kadangkala merasa terkecoh karena mengira inilah tempat yang kami rindukan. Namun kami tahu, meskipun matahari terbenam yang jingga itu begitu memukau di latar langit yang ungu, ini bukanlah tempat yang dimaksudkan dalam mimpi-mimpi kami tentang tempat yang terindah untuk menuju kematian karena tempat itu memang tidak terletak di muka bumi ini.

Tentu saja kami masih selalu teringat betapa pada awal keberangkatan segalanya terasa menggemparkan. Kami berangkat meninggalkan sebuah negeri di sebuah pulau yang segera menjadi kosong. Kami melewati desa dan kota yang penduduknya melihat kami lewat bagai pawai panjang dari sebuah tontonan yang mengherankan. Sebegitu buruknyakah kehidupan sehingga kematian bisa menjadi impian terindah bagi 110.000 orang yang tadinya hidup tenteram di tepi sebuah sungai dengan latar belakang pegunungan biru yang menjulang bagai tempat persemayaman dewa-dewa dari suatu dunia entah di mana bagai negeri yang hanya ada dalam dongengan? Kami pergi meninggalkan kampung halaman kami dengan meninggalkan segala kebahagiaan yang telah kami dapatkan demi panggilan dari cahaya dalam mimpi-mimpi kami.

Dunia kami memang berubah semenjak menerima tanda-tanda yang begitu memikat untuk diberi tanggapan. Kami semua bisa mengalami mimpi-mimpi yang sama dari malam ke malam yang penuh keanehan di mana bunyi genderang terdengar dari langit dan dari seberang sungai bagaikan terdengar paduan suara yang mengalun merdu dan menyejukkan. Kami semua terpana dan terpesona dan merasa segala-galanya tiada berarti lagi selain keinginan untuk menuju sumber suara dan mimpi-mimpi itu. Dari hari ke hari, semakin banyak tanda-tanda dalam mimpi-mimpi malam kami dan betapa kami semua semakin merasa bahwa hanya dengan menuju tempat yang kami inginkan itulah terletak arti kehidupan kami. Maka begitulah hidup kami berubah ketika mendadak kami semua harus berkemas mempersiapkan sebuah perjalanan yang belum bisa diketahui berapa lama dan kapan akan berakhir. Orang-orang tua di kampung mengatakan bahwa suku kami selalu mengalami hal-hal yang demikian semenjak abad-abad yang telah lama silam. Kami tak lagi mengerti apakah mimpi-mimpi kami merupakan warisan darah yang diturunkan ataukah memang datang dari langit malam yang penuh dengan khayalan.

Langit merah di kaki langit. Kami, 110.000 anak manusia, masih terus-menerus berjalan di atas bumi yang fana.

***

Kemudian, tibalah kami pada suatu pagi di mana kami setelah bangun dari tidur yang panjang merasa tidak usah berjalan ke mana-mana lagi. Kami tahu betapa ketika kami menutup mata dan kemudian membukanya lagi, kami telah melakukan perjalanan bersama cahaya ke suatu tempat yang tiada tertera dalam peta mana pun di muka bumi. Memang masih seperti gunung-gemunung tapi bukan gunung-gemunung, memang masih seperti hamparan salju yang terpoles di sana-sini dengan hewan-hewan ternak berbulu tebal tapi bukan hamparan salju yang terpoles-poles di sana-sini dengan hewan-hewan ternak berbulu tebal, memang, memang, memang langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi tapi bukan langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi.

Garis cahaya yang meluncur sepanjang kaki langit melingkari kami. Tanpa diperintah setiap orang lantas melakukan semua persiapan untuk menanti saat itu. Kami membasuh wajah dan telapak tangan kami dengan segantang air dari masing-masing perbekalan kami. Kami menanak sarapan pagi kami dengan percakapan sesedikit mungkin dan kami makan perlahan-lahan tapi pasti untuk meyakinkan betapa kami akan menyambut saat-saat terbaik dalam hidup kami dengan perut terisi. Semua orang mempersiapkan dirinya tanpa kata tanpa angan-angan tanpa pertanyaan karena semua ini telah mengisi jiwa dan pikiran kami selama melakukan perjalanan bertahun-tahun mengikuti cahaya di dalam langit jiwa kami.

Inilah pagi yang berembun dan berkabut yang perlahan-lahan berpendar menampakkan siapa berada di selatan dan siapa berada di utara. Dari balik kabut itu, tampak kuda-kuda kami yang perkasa menatap kami dengan pandangan seolah-olah mengerti tentang segala hal yang akan terjadi. Pastilah dunia ini begitu luas dan begitu penuh kemungkinan sehingga jalan cahaya dalam impian ternyata mampu menampung 110.000 orang seketika lengkap dengan hewan-hewan peliharaan dan itu pun ternyata belum apa-apa. Kemudian kabut menjadi semakin tipis, mengambang, dan pergi. Kami tahu semuanya akan pergi dan berlalu seperti juga berakhimya perjalanan kami yang terlalu sulit untuk bisa diceritakan dengan kata-kata.

Langit ungu muda. Tiada mega di langit -- kami merasa saat-saat itu memang segera akan sampai. Sembari berjalan kian kemari setelah mengenakan busana terbaik yang kami miliki, kami menikmati setiap detik dari saat-saat kebahagiaan kami yang fana. Kami belum lagi mengerti kebahagiaan macam apakah yang masih bisa kami dapatkan lagi dalam kehidupan yang abadi. Hewan-hewan peliharaan kami pun seperti tampak mempersiapkan diri. Gajah-gajah, unta-unta, dan kuda-kuda, mereka pun banyak yang mati sepanjang perjalanan, namun kami selalu mendapatkan gantinya. Kami merasa sangat berterima kasih kepada hewan-hewan peliharaan kami dan kami merasa lebih dari layak bisa membawanya membubung ke Negeri Cahaya.

Maka langit pun terkuak dan kami terkesiap. Kami hanya bisa menunduk dan merendahkan diri, hanya tegak di atas lutut kami. Tubuh kami bergetar dengan hebat dan kami merasa kecut. Tiada suara yang menggelegar, namun dada kami berdebar bagaikan terdengar suara yang menggelegar. Cahaya yang terang menyilaukan segera memutihkan dunia kami. Kami tetap menunduk dengan perasaan tercekat, namun kami melihat segala-galanya memutih diserap cahaya. Padang rumput memutih, panji, bendera dan umbul-umbul kami yang berwarna merah pun memutih, segala-galanya memutih. Kami mencoba mengingat segala sesuatu yang berwarna dari kenangan dan mimpi-mimpi kami, namun cahaya itu menembus dunia angan-angan kami sehingga segala sesuatu yang kami pandang dengan mata terbuka maupun tertutup berwarna putih. Kulit hewan peliharaan kami pun memutih, seperti juga seluruh busana terbaik yang kami kenakan, sepatu, kulit dan rambut kami, segalanya memutih lantas mengertap berkilauan seperti cahaya itu sendiri.

Begitulah kami semua, kemudian tidak bisa saling melihat karena di sekitar kami hanya cahaya yang berdenyar-denyar menyilaukan membuat kami masing-masing untuk pertama kalinya merasa sangat sendiri setelah dari hari ke hari hampir selalu bersama-sama semenjak dilahirkan di kampung kami. Tiada lagi angin bertiup, tiada lagi debu mengepul, kuda-kuda berpacu, bayi menangis, dan suara seruling dari atas tebing pada malam bulan purnama. Sungguh semua ini terlalu menarik untuk ditinggalkan, namun seperti juga air sungai dari sebuah sumber mata air di puncak gunung yang mengalir menuju lautan, begitu pula kami jalani kodrat kehidupan kami dengan tulus dan penuh keyakinan dengan perasaan bahwa semua ini memang suatu anugerah yang terlalu menyenangkan. Begitulah kami menyerahkan diri dengan segala dosa dalam tubuh dan jiwa untuk disucikan oleh cahaya itu sebelum kami berangkat ke akhir tujuan kami.

Lantas kami alami bagaimana jiwa kami diluncurkan. Dari kelam ke kelam, dari cahaya ke cahaya, kelak-kelok labirin yang memusingkan, gua pelangi yang menyilaukan.

Kami berangkat melewati tujuh rembulan, tujuh matahari, dan berdoa di dalam tujuh kuil di atas awan. Langit yang berlapis-lapis memeluk jiwa kami dan kami kemudian merasa mampu berada di segala arah, dari barat sampai ke timur, dari selatan sampai ke utaa, secara serentak tanpa harus merasa berada di tempat yang berlain-lainan. Begitulah rombongan kami, 110.000 anak manusia, bangkit kembali dari tumpuan lutut kami dan kembali menaiki kuda-kuda kami menyusuri jalan cahaya di langit yang telah terhampar di hadapan kami.

Kini kami semua telah menjadi anak cahaya yang memutih dan tidak saling mengenal perbedaan-perbedaan kami karena kami semua hanyalah anak-anak cahaya yang saling menyilaukan dan saling melupakan. Hanya zat yang hanya bisa merasa bahagia di jalan yang terindah menuju kematian. Tiada lagi yang bisa kami lakukan selain meneruskan perjalanan, dengan atau tanpa badan, sendiri-sendiri maupun bersama rombongan. Tiada yang lebih penting lagi kini selain perjalanan menuju ketiadaan. Tiada yang lebih berharga lagi selain keindahan dalam kematian.

***

Kulihat di sepanjang langit, kemah-kemah awan. Apakah aku harus berhenti, atau meneruskan perjalanan? Setelah bertahun-tahun menjadi bagian dari suatu perjalanan panjang ke satu tujuan kurindukan diriku sendiri yang selalu berbisik perlahan-lahan. Semakin jauh aku berjalan, semakin aku terikat kepada kenangan, semakin aku merasa diriku bukan bagian dari rombongan. Sudah begitu jauh aku berjalan, dengan segala derita dan pengabdian, dalam penyucian cahaya berkilatan, betapa bisa cahaya kesaksian tiada melihat kebohongan?

Kulihat satu per satu dari kami, 109.999 anak cahaya, ditelan gua-gua kebahagiaan di atas awan. Barangkali ini memang tempat yang terindah untuk mati. Aku melihat seribu cahaya berenang dan berkelebatan. Kulihat 109.999 anak cahaya melebur ke dalam cahaya gemerlapan. Tinggal aku sendirian, menaiki kuda putih di atas awan, melihat-lihat pemandangan.***



Ulaanbaatar - Jakarta, Maret-Juni 1996


Cerpen Seno Gumira Ajidarma
(Dimuat dalam Horison, Juli 1996)

No comments:

Post a Comment