Saturday, 27 November 2010

Tentang Orang Miskin, Beasiswa, Suku Terasing dan Bencana

Hari ini saya ngobrol dengan seorang teman lama. Kami ngobrol panjang lebar sampai pagi. Ditemani beberapa gelas kopi hitam manis dan beberapa gorengan yang sudah tidak hangat lagi. Topik yang menarik adalah apakah anak miskin harus berprestasi atau peroleh ranking 1 dulu baru dapat beasiswa?? Sepertinya tidak adil karena bagaimanapun anak miskin dengan gizi yang tidak cukup, waktu belajar yang kurang karena harus membantu orang tuanya, akses kepemilikan buku yang terbatas, serta banyak pikiran seperti minder karena seragamnya lusuh, sobek dan sepatu yang bolong-bolong, dan segudang masalah lainnya harus menjadi ranking 1 dan mengalahkan anak yang berduit baru dapat beasiswa?? Gila..!! Jika kebijakan seperti ini terus dibiarkan, negeri ini akan tetap menjadi negerinya orang bodoh..!! Memang tidak dipungkiri ada juga dari mereka yang punya talent alias genius luar biasa atau kalau tidak semangat besi yang tidak sanggup digoyahkan oleh angin topan dan badai hingga akhirnya dapat menjadi yang terbaik di kelas maupun di sekolahannya. Tapi berapa orang? Berapa prosentase dari total populasi anak miskin itu sendiri. Memang saya akui ini sinis. Bukankah negeri ini kalau tidak dikritik keras baru mau memperbaiki diri? Saya jadi ingat kata-kata seorang teman, apakah yang berhak mendapatkan layanan sosial anak hanyalah orang miskin? Ternyata tidak orang kaya pun ada, cuma spesifikasi masalahnya yang berbeda, seperti mereka butuh bersosialisasi, belajar dan bekerja sama dalam suatu kelompok, anak cacat, anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law) yang masuk dalam kategori children in need of special protectian, dan hal ini sama dengan mereka yang anak-anak dari keluarga miskin. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa pemerintah seyogyanya memberikan beasiswa tanpa menerapkan standard nilai atau prestasi yang tinggi. Jika model ini tetap diteruskan, pada hakekatnya kita memperpanjang cara kolonialisme untuk memperbodoh anak-anak bangsa di negeri ini. Kalau mau kasih, kasih saja atas dasar equality dan kebutuhan akan investasi sumber daya manusia untuk membangun negeri ini.


Kapan ratu adil muncul? Negeri ini telah lama dininabobokan oleh para kolonial yang menjajah terlalu lama supaya kita lupa diri. Jika diperhatikan secara cermat, negara-negara kaya saat ini dikuasai oleh negara dengan sumber daya alam uang sedikit tetapi sumber daya manusianya high qualified? Bagaimana dengan Indonesia? Terlalu beromantika dengan dongeng-dongeng dan nyanyian sebelum tidur. Gemah ripah loh jinawi. Menunggu datangnya sang ratu adil. Menurut saya ratu adil itu tidak akan datang kalau kita masih bodoh dan ga mau sekolah. Belajarlah yang rajin, tekun dan pergi ke sekolah maka kebijakan akan lahir di dirimu, dan keadilan itu akan datang. Kita semua anak-anak bangsa lah yang menjadi ratu-ratu adil paling tidak untuk diri kita sendiri. Jika tidak, kita akan menjadi bangsa-bangsa yang tertinggal oleh bangsa lain. Jangan heran dan marah kalau kita disebut bangsa kera atau ape nations. Tersenyumlah, belajar yang rajin dan kejarlah, lampauilah ilmu pengetahuan mereka. Jadi jangan mau dihegemoni oleh cerita romantisme masa lalu lagi.


Apakah kita bisa melampaui mereka? Saya ingat teori parabola. Mungkin kita ini di bawah dan orang-orang di negara maju sudah berada jauh di atas kita. Tapi bukankah pada satu titik mereka akan ada di posisi maksimum sehingga tidak bisa naik lagi dan mengalami kejenuhan? Di titik itulah kita mengejar kawan. Di titik itulah kita mengejar dan menyalip mereka sobat, sebagaimana Valentino Rossi menyalip para kompetitornya di tikungan. Seseorang teman asla Batak, namanya Andor Siregar sekarang jadi pejabat di Pemda DKI menyebut ini dengan menang di tikungan. Selanjutnya, yang perlu kita cermati adalah pengetahuan dan kesadaran akan jati diri kita. Negara kita ini adalah negara bahari, begitu banyak hasil alam di laut yang belum kita eksplor. Kita malah mengaca ke Barat habis-habisan sehingga melupakan potensi kita sendiri. Kita terlalu ingin meniru mereka! Menjadi negara industri! Itu bodoh kawan. Ini buktinya. Kita banyak ikan di laut, tapi mengambil ikan untuk kita makan saja kita kesulitan! Akibatnya banyak ikan kita dicuri orang asing dan negara-negara tetangga kita sendiri! Perkuat negeri bahari kita dengan perikanan di dalamnya. Atau tentang pertanian kita yang sudah dikenal sejak jaman nenek moyang. Kenapa tidak kita kuati saja? Kenapa kita harus pakai varietas unggul yang sejenis beserta paket pupuknya yang harus bayar mahal? Kenapa tidak kita memakai varietas lokal yang beragam. Jika terjadi hama pada varietas yang satu, varietas yang lain akan survive. Kenapa kita tidak berpikir ke arah sana? Saya masih ingat dulu kita punya lumbung padi di gudang atau paling tidak di dapur. Sekarang? Semua nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal dalam bertani telah hilang. Ironisnya justru itu dilakukan oleh pemerintah. Beginilah kiranya kalau negeri ini dipimpin oleh mereka-mereka yang tidak punya visi dan sebegitu takutnya pada negara-negara maju macam Amerika. Harusnya kita sadar bahwa sejarah membuktikan bahwa kemerdekaan kita dicapai oleh keberanian yang luar biasa dari para pejuang kemerdekaan kita. Kalau kita ini bersatu, pintar, dan tidak menjajah dan menindas satu sama lain, maka negeri ini tidak hanya disebut negeri yang gagal menjadi macan asia, malah bisa saja menjadi negeri yang sukses menjadi naga asia bahkan dunia. Jadi kita tidak perlu takut dan khawatir tidak bisa menyalip negara-negara maju.


Study saya tentang masyarakat Samin di Blora menunjukkan bahwa Belanda sejak tahun pertengahan tahun 1800-an tidak bisa menaklukkan suku Samin di Jawa.Orang samin menentang penjajahan dengan caranya yang unik yaitu anti kekerasan yaitu tidak mau bayar pajak dan boikot menggunakan produk uang belanda. Akibatnya, belanda mengakui kesulitan dalam hal ekonomi karena uangnya tidak terpakai dan kesulitan menarik uang dari Samin karena mereka menentang bayar pajak. Apa yang dilakukan Samin melalui Samin Surontiko jauh lebih dulu dari yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi dengan konsep Swadhesi dan Setyagrahanya. Bedanya Gandhi menggunakan produk sendiri dan memboikot menggunakan garam Inggris serta konsep tersebut didapatnya pada waktu dia study di England dan setelah dia pergi ke Afrika dan mengamati model pergerakan di kawasan Afrika Selatan. Jadi konsep tersebut sebetulnya sudah ada di Indonesia, cuma bedanya adalah Samin tidak bisa baca tulis dan bukan seorang scholar layaknya Gandhi. Dia menemukan swadhesi dan setyagraha ala Saminnya melalui kontemplasi atau perenungan. Tapi anehnya sekali lagi bukannya dia diganjar jadi pahlawan, malah anak cucunya diganjar dengan hukuman. Hukuman yang pertama, mereka dipukuli dan dihajar pada jaman orde baru untuk meninggalkan ajaran dan kearifan lokalnya karena persatuannya yang kuat dan dianggap mirip PKI, padahal tidak. Mereka diintimidasi dan dirusak secara psikis oleh intel-intel yang kerap datang ke rumah-rumah mereka. Hal ini karena Rezim orde baru anti demonstrasi dan pembangkangan. Maka dari itu dipindahkannya Universitas Indonesia dari Salemba ke Depok, Universitas Padjadjaran dari Bandung ke Jatinangor, dan seterusnya. Mereka juga dianggap contoh kegagalan dalam pembangunan modernisasi di Indonesia, padahal kenyataannya mereka walaupun masih tradisional dan dianggap primitif namun setiap orang rata-rata memiliki sapi 25 ekor di jamannya! Kedua, mereka dihukum secara sosial dengan berbagai ungkapan seperti masyarakat primitif, masyarakat tidak kenal norma dan sopan santun, dan masyarakat tidak punya agama. Inilah gobloknya pemerintah orde baru! Semoga pemerintah pasca orde baru mengerti kesalahan mereka dan menganugerahi Samin Surontiko sebagai pahlawan nasional. I really wish for it!


Ini adalah masalah-masalah pada kondisi normal. Tapi bagaimana dengan kondisi darurat semisal bencana? Koordinasi bak ujian matematika yang paling susah dikerjakan. Banyak institusi menonjolkan bendera masing-masing, termasuk di dalamnya partai-partai politik! Buat apa? Kalau mau tolong-tolong saja. Mereka wakil rakyat atau wakil parpol? Bukankah agama mengajarkan memberi dengan ikhlas tangan kanan memberi tangan kiri tidak tahu, tapi kenapa sekarang seluruh dunia harus tahu?? Masalah bencana memang identik dengan penderitaan. Kesedihan. Makanya kalau ada wakil rakyat tanpa empathy dan mengatakan salah sendiri tinggal di pulau luar ya kena tsunami, itu adalah perkataan seorang yang tidak terpelajar dan sangat jauh dari hati nurani rakyatnya. Atau ada pimpinan di penanggulangan bencana yang mengatakan wajarlah kalau ada yang belum dapat logistik namanya juga bencana, apalagi yang jauh ya harus nunggu dulu, itu namanya hukum alam. Huhhh...!! Sebal, gemas, kesal banget pingin nonjok tuh orang.


Berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan di beberapa pengungsian di Yogyakarta pasca letusan Merapi, pengungsi merasa cukup dengan makanan, pakaian, air, sanitasi, dan tempat pengungsian. Tapi kenapa raut muka mereka terlihat sedih sekali? Mereka mengatakan bahwa mereka sedih manakala nanti harus balik ke rumah masing-masing. Mereka mau makan apa? Pohon salak rusak dan paling tidak harus menunggu 3 bulan untuk kembali berbuah lagi. Bagaimana dengan biaya anak mereka sekolah? Uang jajan mereka? Akte kelahiran anak-anak mereka yang hilang? Atau ijasah mereka yang sudah hilang entah kemana? Mereka butuh penjelasan. Mereka butuh informasi untuk menenangkan mereka. Mereka butuh kejelasan. Bukan janji-janji muluk. Kenapa kita tidak mengatakan pada mereka misalnya bahwa surat-surat, akte dan ijasah kita pegang pada dasarnya adalah copyan, yang aslinya ada di kantor pemerintah seperti catatan sipil atau diknas? Kenapa kita tidak mengatakan pada mereka bahwa mereka akan dapat jadup dari pemerintah? Toh itu ada anggarannya? Kenapa hal yang mendasar seperti malah tidak terinformasikan? Kenapa? Kenapa pada situasi bencana kita tidak melakukan hal-hal yang sederhana terkait dengan perlindungan anak, semisal pemberitahuan pada para orang tua untuk tidak melibatkan anak-anak dalam membersihkan rumah mereka karena sistem pernafasan anak masih rawan terganggu dengan debu-debu di rumah yang mereka bersihkan? Atau kehati-hatian orang tua dalam kembali beraktivitas sehingga tetap memperhatikan anak-anak mereka yang beberapa diantaranya justru tidak mendapatkan perhatian dan akhirnya malah kabel-kabel listrik di dusunnya ditarik-tarik, ditumpangi dan dipakai untuk main-main? Satu lagi, setiap ada bencana selalu banyak lembaga yng mengajak anak-anak bermain dan ironisnya dari pagi sampai malam sehingga anak merasa capek, atas dasar psychosocial activities dan trauma healing, tapi isinya cuma satu yaitu main. Baik. Main itu bagus. Tapi sebelum melakukannya kita harus ada ilmunya. Kalau tidak itu cuma entertaining. Sekedar huburan dan bukan trauma healing. Dalam suatu bencana tingkat trauma secara umum terbagi menjadi 3 yaitu ringan, sedang, berat. Untuk trauma ringan biasanya sembuhnya cepat bisa dalam beberap hari. Untuk trauma sedang biasanya dibutuhkan waktu berbulan-bulan semisal 1 atau 3 bulan tergantung coping capacities (kemampuan menghadapi masalah di setiap anak yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya). Entertaining atau hiburan dengan anak-anak hanya bisa mereduce stress dan trauma ringan dan sedang. Tapi yang untuk berat itu susah! Mereka biasanya sakit, tidak mau makan, rewel, menangis, tidur sering mimpi buruk, dan pendiam, pemurung serta menarik diri dari lingkungan bermainnya. Ini dibutuhkan therapy khusus. Artinya di sini saya ingin menegaskan bahwa entertaining saja tidak cukup. Psychosocial activities untuk trauma healing itu lebih specific. Sebagai contohnya belajar dari tsunami Aceh, anak-anak diajak bermain tapi bertujuan. Seperti main air untuk mengenalkan kembali pada air, bahwa air itu ya air. Tidak semua air jahat seperti tsunami. Setelah itu mereka diajak ke parit melihat air. Bermain di sana. Terus diajak ke sungai kecil, dan seterusnya. Kalau tentang musibah letusan gunung Merapi, harusnya mereka diperkenalkan tentang permainan letusan gunung, api dan sinar, debu, pasir, keramaian panik, menggambar gunung, keindahan gunung, dan lain sebagainya.


Sementara kopi telah habis. Saya hanya bisa tertawa hambar. Begitu banyak masalah sosial di negeri ini yang tak pernah kunjung selesai. Dan saya yakin omongan yang sinis ini pun akan menjadi polemik dan mengundang cibiran dan sinisan juga. Tapi bukankah diskusi akan membawa kita pada situasi agung : tercerahkan atau mencerahkan. Tapi saya yakin pribadi yang assertive adalah mereka yang bersedia merubah, berubah dan diubah. Masalah pendidikan diselesaikan oleh guru, masalah hukum oleh lawyer, masalah kesehatan oleh dokter dan paramedis, masalah sosial oleh pekerja sosial. sayangnya profesi social work di negeri ini belum menjadi prioritas dan kebutuhan. Aihhh... Berat3x... Hatiku selembar daun....



Depok, 27 Nopember 2010.

No comments:

Post a Comment