Tuesday 16 November 2010

VICKERS JEPANG

VICKERS JEPANG

Cerpen Nogroho Notosusanto



Pada suatu malam yang kuyup dengan hujan aku pulang dari sebuah pertemuan. Sepedaku merk "Philips" bikinan Surabaya, keadaannya sudah payah benar. Selain jalannya bergoyang-goyang karena rodanya tidak lurus, rantainya berbunyi pula, membikin lagu yang tidak nyaman. Air hujan merayap masuk via leher baju dan merembes ke dalam via jas hujan "Swan" kwalitet Rp 90,00 yang tidak waterproof 100%. Dengan sebal aku menyenandungkan lagu "Tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting ..." menirukan adikku dari SR kelas I.

Kota Jakarta di bilangan Bungur Besar kalau malam jam 10.00 dan hujan begirii, menimbulkan bayangan-bayangan yang mengecutkan hati seorang laki-laki normal. Karena aku masuk laki-laki normal, aku berusaha mengatasi bayangan-bayangan seram itu dengan khayalan-khayalan yang nikmat-nikmat. Memang situasi ibu kota pada tahun 1951 belum seaman tahun
1954, dan jam malam juga masih ada pada jam 1.00.

Di dekat empasemen Stasiun Senen, gelapnya seperti di dalam terowongan kereta api. Suara orang berlacur tidak ada di dalam gerbong-gerbong yang berserakan di atas ril. Penjual sate Madura dan kue putu juga semua lenyap. Jalanan sepi seperti kuburan.

Tiba-tiba aku kaget seperti di dalam mimpi. Karena gerak reflex, setang setir goyang, roda-roda yang kendor tambah oleng dan rem depan tanpa aku rem, mengerem sendiri. Dengan kutukan jahanam aku berdiri ke dalam comberan yang dingin. Segala keributan itu hanya karena ada kucing menyeberangi jalan. Seketika itu juga aku insaf, bahwa hujan agak reda. Lain daripada itu di kejauhan ada sebuah tiang lampu kelip-kelip melegakan hati yang gelap dingin seperti suasana. Karena hal-hal yang menyenangkan itu, hatiku jadi besar. Dengan gemas sepeda kukayuh cepat-cepat, meskipun ratapnya tambah tak karuan.

Tapi kegelapan seolah-olah enggan melepaskan aku. Karena lampu itu masih jauh juga. Setiap ada jalan simpang menganga, dingin dalam hatiku bertambah sejuk. Rumah-rumah di tepi jalan tertutup rapat-rapat dan hitam oleh ketiadaan cahaya. Aku mengayuh terus cepat-cepat, damba akan lampu jalan.

Aku tahu, masih ada satu jalan simpang lagi sebelum tikungan yang ada lampunya. Jalan itu sudah dekat. Kira-kira di tempat ada tonggak hitam di tepi jalan itu. Ya, ada tonggak hitam. Sesungguhnya terlalu besar untuk sebuah tonggak. Apa tonggak betul? Tonggak betul? Tonggak bergerak?! Orang. Tangan kanannya ditentangkan ke samping." Dengan sendirinya aku melambatkan laju sepeda, pedal tak kukayuh lagi. Aku sudah dekat kepadanya. Ia bertolak pinggang besar.

"Stop!" katanya kemudian. "Turun!" Aku menurut dengan patuh. Tiba-tiba tangan kanannya menodong ke muka, suatu gerakan yang tak berguna bagiku, karena tanpa senjata itu pun aku tak sanggup melawan dia, karena tokohnya tokoh seorang Samson. Ia memakai jas hujan militer hijau tetapi pakai pet seperti pet yang kupakai, model sport Inggris. Sosok tubuhnya yang ditekankan menutup mata, persis bandit picisan.

Karena aku orang normal, jantungku mempercepat degupnya dan tenggorokanku kering seperti onderdil sepeda yang tak pernah kena minyak. Bandit picisan itu tak banyak bicara. Ia mendekat perlahan-lahan, seperti kucing mendekati tikus. Tangan kirinya maju, membuka kancing jas hujanku. Tangan kanannya dengan senjata dekat ke perutku. la mulai meraba-raba saku celana. Aku bergerak sedikit kegelian, karena rabaannya sembarangan.

"Awas!" desisnya marah sambil menyodokkan laras senjatanya ke dalam perutku, yang menyebabkan aku mengeluarkan bunyi yang tak dapat ditirukan. Setelah aku diam kembali, ia meneruskan pekerjaannya yang melanggar undang-undang itu. Mau tak mau mataku tertarik kepada senjata yang dibenamkan ke dalam perutku. Bukan revolver, tidak ada silindernya; pistol jadi. Merk apa? Aku terus mempelajari pistol itu, tak peduli dompetku berisi Rp 12,25 pindah ke sakunya. Karena kami tidak jauh benar dari lampu jalan itu, aku dapat melihat, bahwa senjata itu sebuah "Vickers Jepang". Apa nama sesungguhnya, aku tak tahu, tetapi di Indonesia pistol itu terkenal dengan nama itu.

Setelah selesai menggeledah pakaian, ia menumpahkan perhatiannya kepada arloji tanganku. Karena melihat badanku yang tak seberapa itu, ia tak peduli tanganku kuangkat atau tidak. Ia menggenggam tangan kiriku untuk mencopot arlojinya; saying bannya agak sukar membukanya kalau dengan tangan "satu. Karena itu tangan kanannya ikut maju. Pistolnya sekali waktu membalik, dan terlihat olehku popornya tidak ada wadah pelurunya. Kosong melompong seperti teng bensin bocor.

Sertamerta mulutku sudah mengoceh lantang dengan cemooh yang tak tersembunyi, "Wah, nodong kok pakai Vickers Jepang kosong!"

Ia terkejut, sampai arlojiku yang sudah lepas, jatuh ke tanah. Sebentar ia memandangku dengan tak bergerak dan berkata. Kemudian ia undur selangkah.

"Apa? Kosong? Mau rasa, apa?" aksennya Jawa Tengah.

"Mau diisi satu-satu dari atas, apa? Angel dong ngokangnya!" jawabku, juga pakai aksen Jawa Tengah. Dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri karena sikapnya yang ragu-ragu, aku membungkuk dan memungut arlojiku. Ia membiarkan saja.

"Kok tahu ini Vickers Jepang?" tanyanya. Dan aku seperti sudah pernah kenal suara itu.

"Saya pernah pakai kok!"

"Di mana"

"Front MKS."

"Hlo! Front MKS!"

"Tahun 1947."

"Tahun 1947!"

“Agustus."

"Agustus?!"

"Pernah ke.Puring apa?" tanyaku.

"Puring?! Gombong Karanganyar?!" pistolnya sudah turun sama sekali. Dan tiba-tiba aku tahu, siapa dia.

"Seksi Bima regu 2! Siapa yang pernah menangis di belakang pohon kelapa takut ambil steling di muka waktu ada serbuan?"

"Mas Mug!!"

"Ya, saya ini."

Ia terpaku di aspal tak bergerak-gerak. Kaget campur malu rupa-rupanya.

"Hia, kamu kok jadi bandit ini gimana, Dik?" tanyaku.

"Ini Mas!" dompetku dikembalikannya kepadaku. Aku masukkan kembali ke tempatnya dan kemudian arloji aku pakai. Ia diam saja tak menjawab apa-apa. Memandang gelisah kepadaku, memperhatikan aku meniitup jas hujan kembali. Kemudian sepeda aku dekatkan kepadanya.

"Tidak bawa sepeda, Dik?" Ia menggelengkan kepala.

"Goncengkan saya kalau begitu," kataku dengan lagak komandan.

Kami duduk berhadap-hadapan dalam salah satu warung di Medan Senen. Palguno waktu clash I kurus dan masih hijau. Ia anggota reguku. Waktu clash II kami berpisah. Baru sekali ini kami bertemu kembali. Apa yang baru terjadi sangat mengejutkan, karena Palguno adalah Raden Ngabehi Palguno, putra kedua seorang pensiunan bupati.

Lama ia kupandang. Ia menunduk saja. Kami makan sate kambing, enak panas pada malam yang dingin. Ia tergesa-gesa mau pulang saja. Duduknya resah seperti kursinya penuh kutu busuk.

"Nggak usah malu kepada saya, Dik. Man kita bercakap-cakap panjang lebar seperti di front MKS. Pantasnya kalau kawan seperjuangan bertemu bualnya keluar!"

"Tapi ...," ia memandang tak tetap kepadaku.

"Jangan main tetapi-tetapian, Dik Gun!"

Ia minum seteguk besar dari gelas birnya. Lalu memandang lagi dengan liar kepadaku.

"Saya ...," ia memandang penuh permintaan kepadaku. "Saya ditunggu. istri saya, Mas."

Aku tegak di kursi. Gelas yang sedang kupegang aku letakkan. Heranku tak kusembunyikan.

"Istri?!" Di cermin yang tergantung di dinding sana aku lihat wajahku penuh dengan tanda tanya dan mataku melotot seolah-olah melihat Palguno menelan kodok hidup-hidup.

"Saya sudah kawin Mas."

"Hlo-hlo-hlo-hio!"

"Sudah hampir dua tahun."

"Dua tahun?"

Ia mengangguk tersenyum sedikit malu.

"Siapa? Dari mana? Bagaimana?" tanyaku seperti tembakan semi otomatik.

"Namanya ..." ia tertegun sebentar, " ... Kayatun."

Ia berhenti sebentar. Memandang penuh penyelidikan kepadaku.

"Ia anak carik desa yang merawat saya waktu luka-luka."

"Hlo, Dik Gun pernah luka, toh?"

"Kesikat watermanteli (sejenis senapan mesin-red) Mas, di selatan Bantul."

"O."

"Ia waktu itu pelajar SMP hampir tamat."

"Jadi seorang 'war bride' to?"

Ia jadi kemalu-maluan lagi.

"Perkawinannya di mana? Besar-besaran?"

Ia tak segera menjawab. Aku menunggu dengan sabar sambil minum beberapa teguk lagi.

"Ayah-ibu tidak setuju, Mas."

"O, karena apa?"

"Karena ia anak desa."

"Hlo!"

"Biarpun pelajar SMP, tapi di mata mereka tetap anak desa.

Merendahkan martabat keluarga."

"Jadi bagaimana?"

"Saya paksakan," ia minum lagi, merenung. "Hubungan antara mereka dan saya terputus. Mereka masih bangga akan martabat mereka. Saya juga mengerti, tapi saya tak dapat mengingkari kasih dan terima kasih."

"Masakan mereka tak bisa memaafkan?"

Lama ia terdiam. Aku minum sambil terus melirik kepadanya.

"Mereka baru-baru ini berkirim surat, rupa-rupanya mau menerima saya kembali, tetapi saya belum dapat melupakan perkataan-perkataan keras yang telah terluncur."

"Allaa, jangan begitu keras kepala, Dik Gun! Sama Belanda bisa damai kok sama ayah-ibu mau ngotot! Kan tidak sewajarnya."

"Akan saya pikirkan, Mas. Saya sudah terlanjur menempuh jalan sendiri. Sesungguhnya sejak.umur 16 tahun saya telah menempuh jalan sendiri, akar-akar telah tercabut dari bumi kekeluargaan."

"Lalu pindah ke Jakarta bagaimana?"

"Setelah kawin saya pergi sendirian ke Jakarta, meneruskan sekolah. Tapi setelah tamat SMA, berat Mas. Entah karena saya bukan potongan sarjana, atau karena asrama yang rame. Pendeknya hidup saya kacau, Mas. LJang KUDP (Kantor Urusan Demobilisan Pelajar) tidak cukup untuk di Jakarta. Mas tahu sendiri."

Aku mengangguk-angguk sangat setuju lalu minum lagi.

"Dalam pada itu sang istri minta dijemput."

"Sudah semestinya," aku mengangguk-angguk lagi seperti gajah.

"Ia lulus ngetik, lalu bekerja."

"Emansipasi wanita!" aku menyela.

"Saya sendiri berusaha belajar terus di Fakultet Hukum, meskipun sudah dua tahun belum propaedeuse. Di samping itu mencatut kain batik dari Yogya. Tetapi istri saya hamil, lalu tak dapat bekerja terus. Kesukaran keuangan timbul. Lalu ini keluar lagi," ia menepuk-nepuk pistol di dalam sakunya.

"Saya sudah putus asa, Mas." Ia memandang dengan liar kepada jam di dinding.

"Saya mau pulang Mas!"

"Kok kesusu benar, toh."

Ia tak menjawab. Berdiri. Melemparkan pandang liar lagi kepadajam, kemudian memandang penuh permintaan kepadaku.

"Tadi pamitnya ke mana?" tanyaku tenang.

"Mengambil bidan, Mas. Bidannya sudah saya kirim ke rumah. Saya bermaksud mencari tambah uang untuk membiayai kelahiran bayi," perkataan-perkataannya mengalir keluar.

Aku berdiri sekarang.

"Sudah tua hamilnya?"

"Setiap saat bisa keluar!"

"Mari!" kataku sambil mengeluarkan dompet.

Rumahnya terletak di gang yang sempit, becek dan bau. Di muka pintu bambu itu ia berdiri sejurus. Nyala lampu minyak menyorot ke luar. Kami berpandang-pandangan. Dari dalam jelas kedengaran tangis bayi. Sesaat kemudian kami sudah ada di dalam
rumah.

Jam 11.00 malam aku minta diri. Aku cuma sebentar menjenguk istrinya dari pintu karena dipaksa-paksanya. Dengan bangga ia mendukung putra sulungnya ke luar kamar tidur ke ruangan satunya, yang merangkap jadi kamar tamu, kamar makan dan dapur.

"Dik Gun," aku memulai pidatoku. "Saya ucapkan selamat kepada kamu berdua atas kelahiran putramu yang pertama. Mudah-mudahan ia tidak akan mengalami kesukaran-kesukaran angkatan kita sekarang ini."

Palguno, Raden Ngabehi Palguno, putra seorang bangsawan pensiunan bupati, berdiri di tengah-tengah ruangan bambu itu, besar, perkasa dan bahagia. Bayinya kecil, merah dan cengeng terbaring pada urat-urat lengan bapaknya yang kukuh.

"Sebentar Mas," ia masuk sebentar; kembali tanpa bayi. Ia berdiri di depanku. Batuk-batuk kecil.

"Mas, maukah Mas Nug membantu saya seperti waktu di front MKS?"

Dan aku teringat waktu seorang prajurit muda gemetar mengalami perploncoan tembakan di sampingku. Kini ia mengharapkan lagi bantuan pada saat-saat genting. Dan kesukarannya sekarang lebih besar. Sebagai orang normal aku merasa bangga, bahwa masih ada orang yang menaruh kepercayaan sebegitu besar kepadaku.

"Baik, Dik, baik!" aku mengangguk-angguk lagi dan mengulurkan tangan kananku.

Tangan kanannya cepat-cepat dimasukkan ke dalam saku kanan celananya. Tangan kananku sudah mau kuturunkan lagi, ketika ia mengeluarkan tangannya itu dan mengacungkannya kepadaku. Di dalam tangan itu tergenggam Vickers Jepang yang sudah tua, karatan dan tak berwadah peluru. Tetapi sebaliknya dengan tadi, bukan larasnya yang bertujuan kepadaku, melainkan popornya.



14-3-1954

No comments:

Post a Comment