Yang Tercatat dan Yang Terlupakan tentang Nagari
Suryadi
Dosen & peneliti di Leiden Univeristy, Belanda
Saya tidak tahu dari bahasa apa persisnya kata pinjaman nagorij dalam bahasa Belanda. Itulah salah sartu dari ratusan kata pinjaman dalam bahasa Belanda yang diambil dari bahasa-bahasa Nusantara. Bukan tidak mungkin kata itu berasal dari kata nagari dalam bahasa Minangkabau yang secara konseptual memang unik dan jarang didapat padanannya dalam konsep geopolitik tradisional di daerah-daerah lain di Indonesia.
Mungkin oleh sebab itu seorang L.C. Westenenk (1872-1930) tertarik kepada konsep geopolitik tradisional Minangkabau yang disebut nagari itu. Walau Asisten Resident Agam itu identik dengan penumpasan Pemberontakan Pajak di Kamang tahun 1908 – dalam Syair Perang Kamang karya Haji Ahmad Marzuki namanya disebut ‘Tuan Siteneng’ – tapi ia berjasa menulis sebuah buku tentang nagari, dan itulah satu-satu referensi tertulis yang terlengkap mengenai sistem ‘republik-republik kecil’ Minangkabau yang khas itu.
Buku yang saya maksud adalah karya Westenenk, De Minangkabausche Nagari (Padang: Bäumer & Co., 1913), sebuah referensi ilmiah klasik tentang nagari Minangkabau yang sampai sekarang sulit dicari bandingannya. Agaknya buku itu perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, walau mungkin terasa sangat terlambat. Karya Westenenk itu menjadi rujukan penting banyak penelitian antropologis mengenai Minangkabau pada masa-masa sesudahnya.
Nagari di Minangkabau seringkali hanya tercatat dalam tradisi lisan kita. Perubahan budaya Minangkabau dan dunia, mungkin akan mengaburkan pemahaman kita tentangnya, jika kita tidak berusaha menuliskannya untuk generasi Minang masa kini dan mendatang. Mungkin orang Minangkabau begitu hapal dengan ungkapan adat: “Nagari baampek suku; babalai bamusajik; balabuah batapian”. Tapi lebih dari itu kita tak banyak tahu tentang nagari-nagari yang eksis dalam masyarakat matrilineal terbesar di dunia ini. Kita jarang mendapatkan catatan tertulis yang lengkap mengenai perjalanan sejarah sebuah nagari. Aspek-aspek yang mana dari nagari yang masih bertahan dan yang mana yang sudah berubah? Konsep ideal nagari hanya ada dalam tradisi lisan Minangkabau, sedangkan dalam realitas sistem geopolitik tradisional Minangkabau itu terus berubah. Sayangnya kita lupa bahwa tradisi lisan itu, jika tidak dibukukan, bisa hilang dalam perjalanan waktu.
Penelitian-penelitian tentang nagari di Minangkabau memang sudah pernah dilakukan, tapi belum mencapai seluruh nagari. Penelitian yang mendalam mengenai satu nagari saja juga masih jarang dilakukan orang. Padahal penelitian seperti ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek mengenai suatu nagari, mengingat bahwa sebuah nagari unik dan berbeda dengan nagari lainnya karena faktor “adat salingka nagari”. Salah satu dari sedikit contoh dari penelitian yang memfokuskan perhatian pada nagari tertentu dilakukan oleh Harsja W. Bachtiar di tahun 1980-an tentang Nagari Taram. Yang saya maksud adalah artikelnya, “Nagari Taram: A Minangkabau village community”, dimuat dalam: Koentjaraningrat (ed.), Villages in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1967: 348-385). Contoh penelitian yang mendalam seperti yang dilakukan Harsja ini, yang terfokus pada satu nagari saja, perlu dilanjutkan dengan mengambil objek nagari-nagari lainnya di Minangkabau.
Sekitar tahun 1979 dilakukan pula penulisan monograf banyak nagari. Tapi monograf-monograf itu hanya penuh dengan catatan tentang luas sawah, panjang jalan, banyak rumah dan jumlah ternak di suatu nagari. Di awal tahun 1980-an pernah pula terbit suatu majalah yang berjudul Nagari, tapi majalah itu hanya bertahan terbit sekitar tiga tahun saja.
Apa yang hendak saya katakan adalah bahwa penelitian yang mendalam tentang nagari di Minangkabau oleh peneliti Indonesia sendiri, khususnya para ilmuwan Minangkabau, belum mendalam dan belum banyak dilakukan. Anehnya, beberapa orang peneliti asing, seperti Westenenk, justru menunjukkan ketertarikan mereka kepada konsep nagari di Minangkabau dan bagaimana konsep itu mempengaruhi pranata kehidupan orang Minangkabau sendiri.
Mungkin sudah saatnya membuat deskripsi yang komprehensif tentang setiap nagari di Minangkabau. Baru-baru ini saya berbincang-bincang dengan Hasril Chaniago di Padang yang sangat berminat menulis ensiklopedi nagari-nagari di Minangkabau. Saya kira usul itu perlu didukung, khususnya oleh Pemerintah Daerah Propinsi Sumatra Barat. Ensiklopedi itu disusun berdasarkan pemikiran bahwa setiap nagari punya keunikan. Satu per satu nagari di Minangkabau akan dideskripsikan. Dalam ensiklopedi itu akan dicatat berbagai unsur yang ada dalam sebuah nagari: unsur geografis, demokrafis, seni budaya, kuliner, peninggalan sejarah dan lain sebagainya. Juga akan dicatat siapa saja tokoh regional, nasional atau internasional yang menonjol di suatu nagari.
Saya kira perlu diperbanyak media yang mengekspos nagari dengan segala keunikan sekaligus perubahannya. Penerbitan media cetak seperti tabloid Nagari ini patut kira sambut gembira karena kehadirannya jelas akan memberi semangat tertentu pada gerakan kembali ke nagari yang telah dicanangkan oleh Pemda Sumatra Barat. Dalam media seperti ini seyogianya disediakan rubrik khusus dimana siapa saja yang berminat dapat menulis berbagai aspek mengenai nagari-nagari di Minangkabau, dari segi geografis, kebudayaan, kesenian dan lain sebagainya. Diharapkan distribusi media seperti ini melebar sampai ke rantau, sehingga media seperti ini menjadi jembatan bagi perantau Minang dengan kampung halamannya, sekaligus untuk mengetahui fenomena yang terjadi di kampung halaman sendiri.
Melalui media seperti ini dapat pula dituangkan kembali catatan-catatan historis mengenai nagari tertentu yang mungkin bermanfaat bagi benerasi Minang masa kini untuk mengetahui sejarah kebudayaan negeri mereka. Misalnya, di Perpustakaan Universitas Leiden banyak tersimpan manuskrip schooschriften – meminjam istilah Ph S van Ronkel – mengenai unsur-unsur kebudayaan nagari-nagari tertentu yang dicatat di akhir abad ke19, misalnya naskah “Adat kawin di Pariaman” (Or.5828/VRSC 675), “Adat bertoenangan dan kawin di Matoea I & II (Or.6007a.b/VRSC 680), “Adat perempoean hamil didalam negeri Matoea” (Or.6006/VRSC 682), “Hal perempoean di Tandjoeng Ampaloe” (Or.5999/VRSC 687), “Pada menjatakan toroen mandi anak di Padang” (Or.6001/VRSC 685), “Pada menjatakan orang kawin di Padang” (Or.6004/VRSC 679), “Tjakap2-Rampai2 orang di negeri Manindjau”(Or.5905/VRSC 558), “Tjeritera anak-anak orang kampoeng di Kota Gedang” (Or.6049/VRSC 546), “Dari hal orang beranak di Kota Gedang” (Or.6005/VRSC 681), “Dari hal orang kawin di Kota Gedang” (Or.6002/VRSC 678) dan lain sebagainya. Naskah-naskah klasik itu perlu diperkenalkan kembali kepada generasi Minangkabau masa kini sehingga mereka memperoleh pengetahuan tentang unsur-unsur kebudayaan nagari-nagari di Minangkabau pada masa lampau.
Di zaman Belanda dulu beberapa nagari di Minangkabau malah memiliki media cetak sendiri, seperti Berito Koto Gadang: soerat chabar ini dikeloearkan bagi keperloean anak negeri Koto Gadang (1929), Soeara Matoer: orgaan oentoek kemadjoean negeri Matoeri dan daerahnja, (1927) atau yang berskala rantau seperti Saraso-samaloe : orgaan Sarikat Minangkabau-Pariaman dan Vereeniging Jong Pariaman-Padang Saraso-samalu (1923). Media-media tersebut menjadi sarana komunikasi anak nagari dan menjadi jembatan penghubung antara mereka yang berada di rantau dengan yang tinggal di kampung. Media-media baru seperti tabloid Nagari tentu dapat merevitalisasi peran itu dan bisa menjadi referensi tersendiri bagi orang-orang yang ingin mengetahui keunikan tiap-tiap nagari di Minangkabau. Ini mengingatkan saya pada kaset rekaman Rabab Pariaman, “Jalan Kuliliang Bilang Nagari”, yang didendangkan Amir Hosen, produksi Tanama Record. ***
Tabloid Nagari, edisi II, Tahun I, 24 Agustus - 06 September 2010, hlm. 3.
No comments:
Post a Comment