Agama Pascamodern? : Pandangan Zygmunt Bauman tentang Agama [1]
oleh Hendar Putranto
Tesis Bauman: Fundamentalisme religius adalah bentuk pasca modern dari agama yang lahir dari rahim pasca modernitas, membawa pesan tentang ketidak-cukupan manusia sebagai individu (bukan sebagai spesies) dan kebebasan yang meresahkan sekaligus membebani, menyingkapkan borok-borok masyarakat dan menawarkan diagnosanya sendiri, serta mengajak kita untuk kembali ke pemahaman literer atas agama guna memulihkan rasa aman ontologis di dunia hic et nunc.
Dalam paper singkat 5 halaman ini, saya akan memaparkan secara kikir fenomena agama dan kritik Zygmunt Bauman terhadap agama-agama (agama dimengerti dalam terminologi modern) dalam 4 langkah, yaitu:
1) Upaya mendefinisikan agama adalah hal yang mustahil (menurut perspektif pascamodern)
2) Agama adalah proklamasi kesadaran tentang ‘ketidakcukupan manusia’ (human insufficiency)
3) Modernitas adalah melakukan segala sesuatunya tanpa campur tangan Tuhan (humanisme) dan secara khusus (modernitas) mengembangkan dan menerapkan sejumlah strategi untuk memisahkan ‘kematian’ dari pemaknaan religius. Sementara itu, pascamodernitas menggelorakan pemenuhan potensi pribadi yang bisa dijangkau oleh semua individu yang seiring sejalan dengan budaya konsumtif.
4) Fundamentalisme sebagai bentuk pascamodern dari agama
1) Bagaimana selama ini kita mendefinisikan agama? Jujur saja, ‘agama’ termasuk konsep yang tidak mudah didefinisikan. Para pemikir berhaluan pascamodern pun setuju bahwa mendefinisikan agama berarti menyingkapkan sekaligus menyembunyikan sama banyaknya. Tidak seperti ambisi kaum modernis yang mencoba menaruh segala sesuatu (pengalaman utamanya) dalam laci-laci kategori, terlalu sering jejak-jejak pengalaman mrucut keluar dari kerangkeng bahasa atau konsep yang kita buat dan kita pakai untuk mengurung mereka, dan pengalaman beragama termasuk salah satunya. Bahkan, para sosiolog agama pun dalam mendiskusikan agama terkadang hanya bisa menunjuk pada sejumlah konsep yang sama kaburnya dengan agama, seperti ‘yang suci’, ‘yang transendental,’ ‘yang mempesona’, atau ‘yang menakjubkan’ (Rudolf Otto, 1959, the ‘tremendous’). Selanjutnya kita bisa bertanya, mengapa kita repot-repot membicarakan soal mendefinisikan agama? Bagi Bauman, ‘definisi rasional’ dari fenomena religius yang menjadi obsesi dari para pembuat definisi merupakan langkah antisipasi sebelum memasuki kawasan pasca-modern yang tidak cukup ‘siap’ menjawab pertanyaan-pertanyaan sentral yang diajukan oleh para sosiolog dan sejarawan agama, seperti: apakah dunia yang kita tinggali sekarang ini lebih atau kurang religius daripada yang dulu? Apakah kita menyaksikan bangkrutnya atau ajegnya atau kebangkitan religiositas? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini, ada 2 model definisi agama yang bisa menjadi strategi / pendekatan. Pertama: ahistoris, dengan mengaitkan agama dengan karakternya yang universal, abadi dan tak lagi bisa dipertanyakan kesahihannya, apalagi relevansinya (contoh: definisi yang dibuat Jeffrey C. Alexander, 1993). Kedua, kebalikan dari yang pertama, religiositas diukur secara kuantitatif-statistik, sepersis kita mengukur lingkar pinggang kita (contoh: definisi yang diajukan Bernard Barber dan Alan Segal). Jadi, entah mau didefinisikan sebagai ‘yang transendental’ atau ‘yang ultim’ karakter agama tetaplah elusif, dalam pengertian aplikasi praktis dari definisi yang dibuat. Demi singkatnya, ada 2 pelajaran yang bisa kita ambil menyangkut pendefinisian agama, yaitu: (1) We are also learning to live with the revelation that one cannot articulate all one knows, and that to understand –to know how to go on—does not always require the availability of a verbalized precept (hlm. 57) dan (2) religiosity is, after all, nothing else but the intuition of the limits to what we, the humans, being humans, may do and comprehend (hlm. 58)
2) Apa sebenarnya hakikat agama? Apa yang mau diwartakannya?
Mengutip Leszek Kolakowski (1982), Bauman mengatakan bahwa agama bukanlah ‘sekumpulan pernyataan tentang Tuhan, penyelenggaraan Ilahi, surga dan neraka, namun … kesadaran tentang ketidakcukupan manusia, yang dihayati dalam penerimaan akan kelemahan…”. Mengingat ketegangan antara rasa aman ontologis (Giddens, 1990) dan kecemasan eksistensial, pesan yang dibawa agama mungkin mau menjawab kedua-duanya. Namun lebih sering agama mencoba menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia tentang tujuan hidupnya. Hanya saja, sayangnya, kesibukan dan rutinitas harian yang dijalani manusia amat jarang mencuatkan gugus pertanyaan ‘fundamental dan eskatologis’ itu. Keresahan akan ‘hidup abadi, hidup sesudah mati’ tidaklah datang secara alamiah. Tawaran dan janji eskatologis agama ‘harus dimasukkan ke dalam Lebenswelt individu alih-alih terlahir atau sudah ada sejak awal mulanya.’ Bauman dengan demikian menolak dorongan religius yang bersifat alamiah dalam diri manusia, dan bahkan mengatakan bahwa ‘genealogi’ dorongan itu merupakan strategi, entah gereja, entah filsuf atau sosiolog modern yang dengan caranya masing-masing mencoba meyakinkan kita bahwa modern and postmodern concerns itu mempunyai hakikat religius.
3) Apa yang ditawarkan modernitas & pascamodernitas terhadap agama?
Mengutip John Carrol, Bauman mengatakan bahwa perlu dikembangkan strategi alternatif untuk menyiasati hidup ini, strategi berjudul humanisme yaitu dengan menegakkan ‘tatanan manusia’ (human order) di bumi, di mana kebebasan dan kebahagiaan meraja, tanpa perlu bersandar lagi di pilar-pilar transendental atau supernatural—an entirely human order. Modernitas mencemooh apa yang oleh kekristenan diperjuangkan. Modernitas dengan humanismenya tidak menyibukkan diri dengan urusan hidup nanti (life-after-death), tetapi memfokuskan diri pada hidup di sini dan sekarang, serta mengatur dan mengelola gugus kegiatan dengan narasi berbeda-beda dan strategi-strategi serta kerangka nilai yang beraneka ragam. Satu contoh paling mencolok yang menjadi perhatian Bauman adalah bagaimana modernitas memisahkan (detach) ‘kesadaran tentang mortalitas’ (yang menjadi salah satu tema ‘bisnis’ besar agama-agama) dari signifikansi religiusnya dengan cara mengembangkan 3 strategi pokok yang saling terkait yaitu: (1) kematian di-spesialisasi, dimasukkan ke ruang wacana khusus, dan tidak diumbar ceritanya ‘di depan anak-anak’, mirip dengan pornografi; (2) ancaman besar dan menyeluruh kematian atas kehidupan sudah dicacah-cacah dan difragmentasi sedemikian rupa sehingga kini kematian ‘hanya’ dipandang sebagai ancaman-ancaman kecil terhadap survivalitas (ancaman kolesterol, junk-food, sex tanpa kondom à resiko AIDS, lubang ozon, bensin bertimbal, dll) yang kesemuanya ini (masih) bisa di-manage dan diprediksi (sehingga praktis bisa dikontrol) oleh para ahli dan ditemukan solusinya; (3) kematian seperti digambarkan di no. 2 tadi sudah tidak lagi (atau kurang) menimbulkan rasa gentar dan horor pada diri manusia karena sudah menjadi konsumsi sehari-hari, ditayangkan berulang-ulang di TV (‘as seen on TV’), film dan video, dan menjadi tema permainan (game) dan karenanya, betapapun nampak berbahaya namun toh menyenangkan (‘dangerous perhaps, but amusing, and amusing because dangerous’, hlm. 66). Karena kematian dan hidup-sesudah-mati tidak lagi menjadi tema eskatologis yang eksklusif dibicarakan agama, lalu ke manakah fokus perhatian dan keresahan manusia bergeser? Jawab Bauman, pada identitas individu, yang menjadi sumber ketidakpastian, kebelumpernahselesaian (incompleteness), dan keresahan eksistensial yang harus dihadapi dan yang paling sering menyibukkan pikiran kita. Sebagai konsekuensinya, manusia pascamodern tidak lagi membutuhkan ceramah-ceramah keagamaan, dan kotbah-kotbah panjang tentang surga dan neraka. Mereka membutuhkan bimbingan konseling yang disediakan oleh para pakar identitas dan motivator, ‘teachers of experience’ (hlm. 69) untuk membantu mereka mengkonstruksi identitas agar lebih cocok dengan ‘permintaan pasar’ dan untuk mengintensifkan sensasi kebertubuhan (istilahnya: pleasure-seeker dan sensation-gatherer).
Berangkat dari titik ini, Bauman menimba inspirasi dari perkataan Abraham Maslow (1964) bahwa ‘organized religion can be thought of as an effort to communicate peak-experiences to non-peakers.’ Insight ini lalu dipakai untuk melihat paralelnya dengan hasrat individu untuk mencapai pengalaman-pengalaman puncak, pengalaman melampaui diri, yang tidak hanya menjadi privilese ‘santo-santa’ dari agama-agama teistik, namun, oleh budaya pascamodern, berada dalam jangkauan setiap individu, bisa ditarget secara realistis dan bisa dilatihkan. Berbeda dari asumsi agama-agama yang merayakan ketidakcukupan dan kelemahan diri manusia, strategi pasca modern mengagung-agungkan the full development of human inner psychological and bodily resources and presumes infinite human potency (hlm. 70). Pengalaman ecstasy quasi religius ini akan bekerja dengan lebih dahsyat lagi jika ‘diimbangi’ dengan hasrat konsumsi yang tak pernah surut yang tak henti-hentinya digelorakan dan dipuja-puji oleh budaya konsumtif.
4) Bagaimana dengan fenomena fundamentalisme religius?
Bagi Bauman, fundamentalisme adalah ‘a specifically postmodern form of religion, born of internal contradictions of postmodern life, of the specifically postmodern form in which the insufficiency of man and the vanity of dreams to take human fate under human control are revealed.’ (hlm. 72). Sejalan dengan fundamentalisme religius adalah fundamentalisme konsumen (pasar). Ibaratnya, kaum fundamentalis adalah orang-orang yang tidak kebagian tiket masuk ke pesta konsumen. Kaum fundamentalisme religius maupun fundamentalisme konsumen sama-sama tertoreh (‘hidden injuries of class’) luka yang menganga antara diri yang tak cukup dengan janji-janji kecukupan diri dan percaya-diri, yang ditawarkan oleh baik agama maupun sistem pasar kapitalisme lewat iklan-iklan belanjanya. Karenanya, pesona dari gerakan fundamentalis adalah janji-janji yang lain, yaitu pembebasan individu dari deraan aneka macam sajian pilihan yang serba tak pasti apakah beracun atau tidak. Fundamentalisme menjanjikan pengembangan daya-daya tak terbatas dari kelompok yang –jika benar-benar dioptimalkan—dapat menggantikan (menjadi kompensasi) dari ketidakcukupan diri masing-masing individu anggotanya, dan dengan demikian dapat menjadi pembenaran dari subordinasi kebebasan individu di bawah aturan main yang digariskan kelompok. Dalam pengertian ini, fundamentalisme religius adalah bagian dari solusi totaliter atau proto-totaliter yang dalam perjalanan sejarah selalu ditawarkan kepada mereka yang mengalami kebebasan sebagai beban yang terlalu berat untuk dipikul sendirian. Fundamentalisme menjadi tawaran alternatif rasionalitas yang menjawab kebutuhan warga masyarakat pascamodern, yang mencari pegangan di tengah kesimpang-siuran pilihan dan situasi-situasi yang membuat seseorang harus memilih, dengan menjadi jangkar keamanan dan kepastian untuk (hampir) seluruh aspek kehidupan, a compleat mappa vitae (hlm. 75).
Tanggapan dan kritik:
1) Jika dibahasakan secara lugas, pandangan Bauman tentang fenomena agama dan religiositas mau menarik perhatian kita pada segi kesementaraan, kontingensi dan fokus pada dunia sini (imanensi) dari agama. Selain itu, juga menonjol segi praktis-pragmatis dalam deskripsi sosiologis atas fenomena agama- agama, dan kuat pula terasakan nuansa humanisnya. Kritik Bauman terhadap agama-agama yang bekerja dan berwacana di level metafisis, eskatologis dan “other-worldly oriented” dan kurang memberi perhatian pada ‘this-worldly concerns’ bisa dipahami dan kita terima karena, seperti ditegaskan oleh A. Sudiarja [2], ‘zaman ini menuntut pembuktian yang bersifat pragmatis. Kebenaran suatu ajaran (dalam hal ini ajaran agama) mestilah dibuktikan lewat kiprahnya dalam kehidupan sosial, bukan lewat pernyataan-pernyataan teologis. Mengulang-ulang pernyataan mengenai relevansi agama di zaman modern tanpa kegiatan nyata hanya akan memberi kesan tentang obsesi yang masih diderita agama.’ Akan tetapi, sejauh agama dimengerti sebagai tanggapan manusia (yang sendirinya bersifat terbatas, tidak cukup diri, culturally and spatially bounded) atas Realitas yang melampaui dirinya, apapun namanya itu (Realitas sejati, ultimate Reality, Tuhan, dan lain-lain), kita juga tetap perlu memberikan ruang dan waktu permenungan atas ‘keyakinan dasariah keagamaan’ seperti diungkapkan John Hick [3] dalam God Has Many Names (1980).
2) Agama pascamodern: deprivatisasi agama-agama modern?
Asumsi Bauman tentang definisi (implisit: ‘peran’) agama yang semakin elusif, perlu diperiksa kembali, karena pengandaian di belakangnya adalah (1) agama-agama “hanya” menawarkan janji keselamatan pribadi dan hidup abadi “setelah hidup ini” dan (2) sifatnya privat-individualis (dengan kata lain, privatisasi agama: beragama adalah urusan privat dan personal affairs). Padahal, agama tidak cukup hanya didefinisikan seperti itu (tegasnya: yang mengarahkan perhatian dan kesadaran manusia akan yang transenden, yang ultim, yang tremendous), melainkan agama juga perlu dilihat sebagai institusi, tradisi sekaligus orientasi “yang peduli, yang terlibat, yang engaged, yang publik.” Menurut José Casanova [4], proses deprivatisasi dari agama-agama modern bisa mengambil salah satu dari 3 bentuk berikut ini: (1) mobilisasi massa berpanji (simbol-simbol) agama guna mempertahankan cara pandang tradisional atas hidup melawan beraneka macam bentuk penetrasi negara dan pasar; (2) mempertanyakan dan menantang klaim-klaim kebenaran dan kepenuhan hidup yang digembar-gemborkan oleh negara dan pasar; misalnya dengan mempertanyakan dasar pembenaran dari pembangunan proyek nuklir untuk kepentingan militer yang bisa mengancam kehidupan manusia dan lingkungan hidup; (3) dengan kembali mengedepankan keyakinan-keyakinan tradisional mengenai kesejahteraan bersama (common good) untuk melawan teori-teori liberal yang terlalu memberi tekanan pada pemenuhan kebutuhan individu-individu dan memarjinalkan apa yang baik untuk hidup bersama. Isu moralitas tidak bisa disimpan dalam laci pribadi melainkan harus dibawa ke ruang publik guna dicari pendasaran rasionalitasnya secara bersama-sama.
3) Fundamentalisme religius: nasionalisme religius?
Mark Juergensmeyer mempunyai kemiripan pandangan dengan Giddens dalam hal menolak pendefinisian sempit dari fundamentalisme. Dalam bukunya Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius [5], ia berpendapat bahwa ada 3 alasan yang membuatnya menolak untuk menggunakan istilah “kaum fundamentalis” atau “fundamentalisme” karena (1) istilah ini bersifat merendahkan (derogatory), lebih bersifat tuduhan ketimbang penjelasan, lebih sebagai proyeksi kita daripada mendeskripsikan apa yang sesungguhnya; (2) fundamentalisme adalah kategori yang tidak tepat untuk membuat perbandingan lintas kultural sebab istilah ini berawal mula dari sekelompok kaum Protestan konservatif di awal abad ini untuk mendefinisikan apa yang mereka pegang sebagai “dasar-dasar” agama Kristen, termasuk kebenaran mutlak Kitab Suci; (3) fundamentalisme tidak membawa makna politis. Fundamentalisme lebih dikaitkan dengan keyakinan-keyakinan religius semata daripada perhatian yang besar terhadap masyarakat dan dunia. Padahal tidak demikianlah yang ia jumpai dan alami sendiri selama bertahun-tahun bergaul dengan dan juga mewawancarai mereka yang sering dicap sebagai “kaum fundamentalis” itu [6]. Alih-alih memakai istilah fundamentalisme, ia menggunakan istilah nasionalisme religius yang baginya adalah sebuah istilah yang lebih inklusif untuk menyebut orang-orang yang melebur perspektif keagamaan mereka dengan pandangan yang lebih luas tentang politik dan kehidupan sosial bangsa mereka. Kaum nasionalis religius memiliki kepentingan agama sekaligus religius. Bagi mereka tidak ada pemisahan atau pembedaan yang jelas antara agama dan politik (pembedaan atau distinction adalah khas jalan pikiran Barat modern). Kaum nasionalis religius menolak ide-ide sekular namun tidak menolak sama sekali politik sekular, termasuk politik negara bangsa modern. Mereka modern tanpa menjadi modernis. Yang mereka tolak secara tegas adalah nasionalisme sekular yang telah kehilangan nilai-nilai moral dan spiritual. Sebagai kesimpulan, Juergensmeyer mengatakan bahwa harapan-harapan materi yang ditawarkan oleh ideologi sekular sering menyebabkan frustrasi, khususnya di kalangan orang-orang marjinal atau yang dimarjinalkan, karena harapan-harapan itu tidak bisa mereka raih. Sebaliknya, harapan-harapan yang ditawarkan ideologi religius tidaklah mengecewakan sebagaimana ideologi sekular karena harapan-harapan itu tidak dituntut harus diraih di dunia sekarang dan di sini.
No comments:
Post a Comment