Desain sebagai Simbol: Menggugat Istana Presiden
Oleh: Jamaludin Wiartakusumah
DALAM waktu tidak lama lagi bangsa kita akan mengadakan hajatan nasional, yaitu memilih warga negara untuk dijadikan kepala negara dan berkantor di Istana Presiden di kawasan Gambir, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, beberapa puluh meter dari Tugu Monumen Nasional (Monas).
BANGSA kita, entah siapa yang memulai, menyebut dua bangunan di kawasan Gambir yang sekarang dijadikan kantor (dan kediaman resmi atau rumah dinas) presiden itu dengan nama mentereng dan gagah: Istana Negara dan Istana Merdeka.
Barangkali tanpa sadar, penamaan itu, di balik kekaguman khas bangsa inferior, secara langsung menjadi ironi bagi bangsa Indonesia. Mari sejenak lupakan “kebanggaan nasional” terhadap kedua gedung megah itu dan cobalah menggunakan cara pandang seperti ini: kedua gedung itu dulunya adalah kediaman atau rumah dinas sekaligus kantor gubernur jenderal pemerintah kolonial Belanda. Para gubernur jenderal itu bersemayam di sana sebagai perpanjangan tangan Kerajaan Belanda nun di Eropa sana untuk melaksanakan administrasi pemerintahan negara jajahan bernama Hindia Belanda.
Ironisnya, sekarang bangunan itu dipakai sebagai kantor dan kediaman resmi Presiden Republik Indonesia, presiden dari negara yang merdeka dan berdaulat. Yang membedakan zaman penjajahan dan kemerdekaan hanya orangnya: presiden sekarang adalah saudara sebangsa se-Tanah Air, sedangkan gubernur jenderal adalah orang asing. Gedungnya tetap itu-itu juga. Sepertinya tak pernah terlintas dalam pikiran nasionalis atau kebangsaan kita pertanyaan seperti ini: Apa betul, kepala negara bangsa sendiri yang adalah lambang negara merdeka berkantor di bekas kediaman dan kantor gembong penjajah negeri ini?
Seolah-olah presiden yang berkantor di sana hanya meneruskan apa yang pernah dilakukan pemerintahan kolonial dulu dalam pengertian negatif: menjalankan pemerintahan dengan kecenderungan untuk menindas rakyat Indonesia, atau bertindak seperti layaknya gubernur jenderal yang cenderung mengisap dan menjajah. Atau paling tidak, memiliki nuansa kolonial dan feodal. Dan, malangnya, kali ini, rakyat yang “dijajah” adalah bangsa sendiri.
Bangunan dan fungsi simbolis
Secara umum, selain mengakomodasi keperluan praktis sesuai penggunaan atau tujuan suatu bangunan didirikan, bangunan didesain dengan karakteristik tertentu sehingga memiliki makna simbolis yang tugasnya merepresentasi fungsi praktis tadi ke dalam bentuk-bentuk desain yang penuh muatan citra visual.
Ketika Indonesia merdeka, Bung Karno menggunakan gedung itu untuk kantor sekaligus kediamannya yang barangkali dengan satu tujuan: memberi tempat yang layak bagi kepala negara yang baru merdeka yang sayangnya hanya sejajar dengan gubernur jenderal. Seharusnya lebih tinggi karena gubernur jenderal hanya pemerintahan satelit alias perpanjangan tangan penguasa pusat yang dalam hal ini Ratu Belanda. Untuk memikirkan kantor dan kediaman presiden Indonesia, waktu itu, sepertinya belum terbayangkan. Yang ada adalah membangun monumen baru yang melambangkan atau mencerminkan perjuangan kemerdekaan bangsa.
Benar, bahwa pemerintahan harus disimbolkan oleh suatu bangunan yang memiliki karakteristik yang di samping gagah dan berwibawa, juga harus monumental. Untuk keperluan itu, bangunan istana presiden (Istana Merdeka dan Istana Negara) sudah tepat. Tetapi, ketika bangunan itu adalah bangunan peninggalan pemerintah kolonial, karakteristik kolonialismenya akan terus menempel pada bangunan oleh fakta sejarah: bangunan itu didirikan semata untuk kepentingan pemerintah kolonial dalam rangka mengatur negeri jajahan. Arsitek dan para gubernur jenderal Belanda waktu itu pastinya tidak pernah berpikir bahwa suatu saat gedung ini akan menjadi lambang Pemerintah Indonesia yang berdaulat adil dan makmur, tapi semata untuk keperluan merepresentasikan pemerintahan kolonialisme Belanda yang berkuasa terhadap tanah jajahannya, melambangkan kejayaan kerajaan Belanda, dan menunjukkan betapa bangsa Belanda adalah bangsa superior.
Barangkali dari cerita di atas bisa dipahami-dengan pikiran suudzon atau ultranasionalis super sayap kanan-pantas saja kebijakan-kebijakan yang pernah dibuat di sana belum banyak artinya dalam upaya menyentuh kepentingan rakyat banyak seperti yang dituangkan di dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya.
Rakyat tidak benar-benar merdeka. Bilapun merdeka, kemerdekaan itu dipahami sebagai hal yang rada semena-mena. Sekali Merdeka, Merdeka Sekali! Bila itu benar, jangan-jangan semua kekusutan yang diderita bangsa ini gara-gara salah memilih simbol itu: presiden masih berkantor dan berumah dinas di bangunan buatan pemerintah kolonial.
Tapi, ada yang menarik. Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dibangun kantor presiden di sekitar Istana Negara yang diberi nama Bina Graha dengan langgam arsitektur modern tapi berinterior dengan ciri lokal, misalnya, dengan meja kerja Pak Harto yang penuh ukiran model Jepara. Ia memiliki peran simbolik: pemerintah bermaksud membangun negara dan bangsa dengan cara modern menuju masyarakat Indonesia modern, tapi dengan isi nasionalisme Indonesia. Sayang sekali faham Modernisme ini anti sejarah, anti masa lalu, dan hanya mengajarkan makna tunggal dan keseragaman, sementara Indonesia terdiri dari ratusan budaya suku-bangsa yang hingar bingar dengan sejarah masing-masing yang beragam dan panjang.
Nama dan kantor presiden: istana?
Orang Amerika-dalam kasus ini-seperti orang Sunda: memberi julukan pada gedung paling penting di masing-masing wilayahnya tidak dengan bahasa mentereng, cukup dengan bahasa sehari-hari yang akrab dan sederhana. Orang Amerika cukup dengan White House, untuk menunjuk rumah dinas merangkap kantor presidennya hanya karena bangunan seluruhnya bercat putih, tidak dengan nama White Palace, misalnya. sementara Kantor Gubernur Jawa Barat cukup dengan Gedung Sate, padahal semua orang tahu di gedung itu tidak ada dan mungkin tidak akan diizinkan orang jualan sate, paling di seberang jalannya. Terlepas dari bahwa kantor itu mungkin sekarang menjadi tempat menyate anggaran yang aslinya untuk kesejahteraan rakyat Jabar, julukan itu, menurut kuncen Bandung, Haryoto Kunto (1996), berasal dari ciri khas gedung yang dipuncaknya terdapat enam kotak besi berwarna hitam yang tersusun pada sebatang besi penangkal petir. Ya, mirip sate. Konon kotak besi hitam itu melambangkan jumlah dana yang dipakai pemerintah kolonial Belanda untuk membangun gedung itu. Bila satu kotak melambangkan satu juta gulden, berarti biaya pembangunan Gedung Sate menghabiskan enam juta gulden. Dari simbol sate itu saja kita memahami bahwa bangunan karya arsitek Ir J Gerber yang dibangun pada tahun 1920 itu dibangun oleh dan untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda dalam rangka memperkokoh posisinya sebagai penjajah terhadap Ibu Pertiwi. Istana Merdeka, Istana Negara di Jakarta, Istana Bogor, dan Gedug Sate serta gedung-gedung yang dibangun pemerintah kolonial Belanda tetap merupakan bangunan kolonial meskipun dihuni atau dipakai oleh bangsa sendiri. Mereka tidak akan pernah menjadi lambang kemerdekaan bangsa.
Istana Negara, dengan demikian, selamanya akan berlaku sebagai lambang kolonialisasi terhadap bumi pertiwi-bukan dan maaf-maaf saja-ia tidak akan pernah berhasil untuk dipakai sebagai simbol kemerdekaan bangsa di Nusantara. Monumen Nasional (Monas) yang dibangun atas gagasan cemerlang Bung Karno-untuk membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa merdeka-sepertinya tidak terlalu berhasil untuk hadir sebagai simbol yang mewakili perjuangan kemerdekaan bangsa karena beberapa ratus meter darinya ada gedung bekas kediaman dan kantor gubernur jenderal yang ironisnya sekarang dijadikan kantor (dan kediaman resmi) kepala negara. Istana gubernur jenderal itu seperti meredam kewibawaan (untuk tidak mengatakan melecehkan) Monas. Menjadi ironi yang tiada habisnya. Seperti kondisi sekarang, kedaulatan bangsa yang selalu dirongrong oleh badan-badan dunia. Seperti kondisi RI yang takut tidak bisa hidup sehingga tiap tahun minta utang pada IMF, CGI, atau lembaga dunia lain dan tidak marah ketika negara tetangga memberi kritikan yang berlebihan dan cenderung sok menggurui yang wilayahnya-bila dibanding Indonesia-hanya seluas sebuah kabupaten.
Nama Istana Merdeka menjadi ironi terhadap diri bangsa Indonesia dan gedung itu sendiri: yang merdeka adalah gedung itu sendiri, bukan rakyat Indonesia. Gedung itu tetap tegak dan malah dipelihara dengan rapi melebihi barak tentara penjaga negara serta berdiri gagah di tengah bangsa yang dulu dijajah penghuninya. Yang dulu diperjuangkan ternyata hanyalah mengusir orang bule dari negeri ini, tidak serta merta menghancurkan atau mengurangi citra kolonial yang menempel pada begitu banyak artefak peninggalan kolonialisme. Barangkali tidak menjadi masalah penting dan mendasar bila gedung-gedung warisan Belanda kita pakai untuk rumah tinggal orang biasa atau kantor lain, tapi bila untuk kantor kepala negara, rasanya tidak cukup membuat bangsa ini tegak dengan status kemerdekaannya yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa para pahlawan 45.
Kita berani merebut kemerdekaan, kita berani merebut gedung. Tapi kita belum berani menciptakan ikon baru yang maha penting bagi kemerdekaan bangsa yang sesungguhnya: kantor dan rumah dinas kepala negara dan kepala provinsi yang mencerminkan sebuah karakter bangsa besar bernama Indonesia yang konon sangat kental dengan budaya luhur termasuk dalam seni bangunan.
Alangkah eloknya jika seorang Presiden RI berkantor dalam gedung dengan langgam bangunan yang dimiliki oleh bangsanya sendiri. Supaya kesan pusat yang berlambangkan bangunan kolonial seperti sekarang, tidak lagi memberi kesan “menjajah” daerah yang umumnya hadir dalam bentuk langgam arsitektur lokal yang telah disesuaikan dengan kebutuhan. Terlepas dari kaidah kepantasan menurut kaca mata Barat, terlepas dari intelektualitas estetika klasik hasil adopsi dari Barat yang nyata-nyata “menindas” dan “meminggirkan” langgam bangunan warisan leluhur bangsa yang sesungguhnya merupakan jati diri atau identitas bangsa yang merdeka. Untuk bangunan kantor presiden, begitu banyak langgam yang dimiliki tiap daerah di Nusantara, tinggal memilih atau mencampurnya kalau perlu, atau memilih salah satu berdasar karakter yang paling mewakili seperti terpilihnya bahasa Melayu Riau yang lalu dijadikan bahasa persatuan: Bahasa Indonesia. Kita bisa, kalau mau!
Jamaludin Wiartakusumah Alumnus Magister Desain ITB Dosen Jurusan Desain Itenas
Sumber: Kompas, Minggu 18 Mei 2003
No comments:
Post a Comment