Fenomena anak yang meminta-minta di tpu ujung berung Disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah “Perspektif Perkembangan Dalam Mengatasi Masalah-Masalah Pada Anak dan Remaja”.
Dosen Pengampu: Dr. Sutji
Oleh:
Kelompok I:
Grestin Sandy R (19042008005)
Airin Triwahyuni (190420080018)
Fitri Ricania Sukaputri (190420080026)
Vina Oktaviana (190420080046)
MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, persoalan pekerja anak dan kelangsungan pendidikannya belakangan ini kembali mencuat karena dipicu situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Anak adalah aset bangsa yang sangat berharga, karena ditangan anak-anak tersebut estafet keberadaan bangsa di masa datang terletak. Namun sebagai aset berharga, tidak semua anak memperoleh haknya untuk dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya anak pada umumnya. Hal ini salah satunya dialami oleh anak jalanan yang karena satu dan lain hal haknya sebagai anak tidak dapat terpenuhi dengan baik. Di beberapa wilayah banyak dijumpai kumpulan anak-anak usia sekolah yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkeliaran di jalan-jalan atau tempat umum lainnya. Mereka berkeliaran untuk mencari nafkah atau mencari tambahan uang saku dengan berbagai cara, misalnya menjadi penjual koran, pengamen, tukang parkir, pedagang asongan dan sebagainya.
Stigma yang diberikan masyarakat kepada anak jalanan disebabkan dalam kehidupannya di jalanan, baik secara pribadi maupun kelompok mereka berupaya mengembangkan sub kultur dengan norma dan nilai yang berbeda dari yang berlaku secara umum. Di satu sisi mungkin positif karena dapat melindungi keberadaan mereka, tapi di sisi lainnya negatif. Hal ini disebabkan dari norma dan nilai yang tumbuh tersebut, justru menyimpang dari norma dan nilai yang berlaku secara umum. Disamping itu juga muncul perilaku sosial yang anormatif, seperti acuh tak acuh, dan sikap curiga yang berlebihan pada orang di luar kelompoknya, susah diatur, liar, reaktif, sensitif, bebas dan cenderung hanya bergaul atau berinteraksi dengan kelompoknya, masa bodoh, dll.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap fenomena anak jalanan. Faktor makro yang memunculkan masalah tersebut yaitu; pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, partisipasi sekolah pada anak usia sekolah yang memunculkan drop-out. Sedangkan masalah mikro di dalamnya tercakup; ajakan teman, desakan orang tua untuk mencari nafkah, rumah tangga yang tidak harmonis, anak dengan orang tua single parent, dan ketidakpuasan terhadap sekolah atau guru.
Salah satu yang termasuk anak jalanan yaitu anak-anak yang meminta-minta di tempat-tempat umum (lampu merah, tempat pemakaman dan lain-lain). Pemilihan anak yang meminta-minta di TPU Ujung Berung sebagai tempat untuk melakukan observasi dan interview didasarkan pada pertimbangan bahwa pada lingkungan yang ada di sekitar TPU Ujung Berung ini cukup homogen dalam hal tingkat pendidikan dan kondisi tempat tinggal para anak-anak yang meminta-minta dibandingkan jika pada anak jalanan. Lingkungan anak jalanan lebih heterogen dan sangat bervariasi seperti ada anak yang masih sekolah dan ada pula yang sudah tidak bersekolah lagi. Selain itu pada anak jalanan ada yang memang membutuhkan uang namun banyak juga yang hanya karena ikut-ikutan saja, tempat tinggal yang saling berjauhan dan mungkin ada yang mengkoordinir mereka. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan tersebut anak yang meminta-minta di TPU Ujung Berunglah yang dijadikan sebagai lokasi observasi dan interview karena karakteristik dari anak-anak cukup sama (homogen) antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, didapatkan informasi bahwa di area TPU (Tempat Pemakaman Umum) Ujung Berung ini banyak anak-anak usia sekolah yang meminta-minta di area makam saat sore hari ketika pulang sekolah bahkan hal tersebut juga terjadi apabila ada yang dimakamkan ketika jam anak sekolah. Alasan anak-anak tersebut melakukan pekerjaan meminta-meminta pada dasarnya adalah adanya ajakan dari temannya yang juga meminta-minta baik teman sekolah maupun teman bermainnya. Pada umumnya mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka bersekolah di sekolah yang mendapat subsidi dari pemerintah. Biasanya orangtua mereka mengeluarkan biaya untuk seragam dan uang saku. Uang yang mereka dapatkan digunakan untuk tambahan uang saku mereka dan membantu orangtua untuk membeli kebutuhan pokok. Uang yang mereka peroleh setiap harinya kurang lebih Rp. 2.000,- sampai dengan Rp. 5.000,- pada hari biasa, apabila ada yang meninggal kurang lebih Rp. 20.000,- dan meningkat pada hari raya yaitu mencapai Rp. 100.000,-.
Kondisi tersebut didukung dengan tidak adanya aturan yang diberikan oleh orangtuanya di dalam rumah. Pada umumnya orangtua membiarkan anaknya meminta-minta dan bahkan ada yang menyuruh anaknya meminta-minta. Hal tersebut terjadi karena adanya desakan faktor ekonomi. Hasil uang yang didapatkan anak-anak tersebut digunakan sebagai uang saku dan membantu orangtua membeli kebutuhan sehari-hari. Dari perilaku meminta-minta yang dilakukan anak-anak tersebut, beberapa dari mereka ada yang merasa malu dan merasa bersalah namun ada juga anak yang tidak merasa bersalah dan mengganggap meminta-minta adalah suatu hal yang baik.
Anak yang menilai hal yang dilakukan (perilaku meminta-minta) adalah hal yang baik dikarenakan mereka beranggapan dengan meminta-minta mereka dapat membeli buku sendiri dan membantu orangtua. Penilaian anak-anak mengenai apakah perilaku meminta-minta adalah hal yang baik atau buruk termasuk ke dalam konsep moral. Moral berhubungan dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat. Nilai-nilai moral yang dimiliki oleh anak diperoleh secara bertahap sesuai dengan taraf perkembangannya, yang mana menimbulkan kesadaran-kesadaran dan pengertian akan apa, mengapa dan bagaimana sesuatu perbuatan itu dilakukan.
Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gunarsa (1992:38) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak. Bagaimanapun lingkungan sangat penting dalam meningkatkan kemampuan anak dalam melakukan penalaran moral, sehingga perkembangan moral yang dimiliki senantiasa berkembang sesuai dengan harapan dan nilai-nilai masyarakat pada umumnya.
Fenomena tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lassaigne (dalam Monks, 1981) mengenai pengaruh orang tua dan kelompok teman sebaya pada pendapat remaja mengenai moral, bahwa remaja membutuhkan baik orang tua maupun teman sebaya sebagai penasehat dan pembimbing.
Kehidupan meminta-minta tentunya akan mempunyai dampak terhadap perkembangan kepribadian anak. Anak akan berperilaku sesuai dengan apa yang dia lihat sehari-hari, apa yang menurut kelompoknya dianggap baik dan apa yang dapat digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga tidak jarang sesuatu yang dianggap salah dan terlarang dalam masyarakat menjadi hal yang biasa dalam kehidupannya.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa di dalam perkembangannya menuju ke tahap yang berikutnya, individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. Gunarsa (1992 : 38) mengatakan bahwa tingkah laku bermoral adalah suatu yang diperoleh atau dipelajari dari luar dirinya dan tentu saja faktor-faktor tersebut berada di luar dirinya. Realitas pengalaman yang dihadapi tersebut, akan membangun skema kognitif yang unik dari anak jalanan tentang lingkungan dengan perilakunya. Realitas yang dimaksud adalah bagaimana mereka mendapatkan perlakuan dari lingkungan dan bagaimana peran yang harus dipilih (role taking) ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penilaian anak-anak tersebut mengenai apa yang mereka lakukan (meminta-minta) kaitannya dengan pembentukan perilaku mereka serta apa yang mempengaruhi mereka sehingga menampilkan tingkah laku tersebut?
2. Bagaimana efek dari perilaku meminta-minta untuk perkembangan anak-anak tersebut?
BAB II
KAJIAN TEORITIS (KONDISI IDEAL)
Perkembangan adalah suatu proses. Setiap tahap memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar dapat dipergunakan pada tahap kehidupan selanjutnya.
Menurut Erikson, anak yang berada pada usia middle childhood (6-12 tahun) berada pada tahap Genital-Locomotor Stage dan tahap Latency. Pada tahap Genital-Locomotor, seorang anak diharapkan mulai dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara mandiri tanpa orangtuanya. Apabila anak berhasil malakukan hal ini maka anak akan mendapatkan sense of initiative. Sedangkan apabila anak tidak berhasil memenuhi tuntutan lingkungan untuk mulai lepas dari orangtuanya maka ia akan mendapatkan perasaan sense of guilt. Kemudian pada tahap Latency, seorang anak diharapkan untuk mulai melakukan tugas-tugas sederhana sebagaimana orang dewasa mampu lakukan. Dan apabila seorang anak dapat melakukan hal ini maka ia akan mendapatkan sense of industry. Namun apabila anak merasa bahwa ia tidak dapat mememenuhi tuntutan masyarakat tersebut maka ia akan merasakan sense of inferiority.
Tahapan-tahapan diatas adalah proses yang secara umum dialami seorang individu sepanjang hidupnya. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang berbeda-beda pada setiap tahapan perkembangan usia (infancy, childhood, middle childhood, dst) dibutuhkan kemampuan yang berbeda.
Berdasarkan penjelasan singkat diatas dapat dilihat bahwa secara umum tugas perkembangan pada masa middle childhood adalah mendapatkan sense of initiative dan sense of industry. Kedua hal ini adalah tuntutan masyarakat secara umum terhadap anak usia 6 -12 tahun.
Keluarga adalah lingkungan pertama yang paling berperan dalam perkembangan anak. Anak berinteraksi dengan keluarganya (ibu, ayah, saudara kakak, adik, dan lain-lain) dalam kehidupan kesehariannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga memiliki pengaruh yang besar tehadap seorang anak.
Selain itu usia middle childhood (6-12 tahun) biasanya dikatakan juga usia sekolah karena pada usia inilah anak mulai masuk sekolah. Anak yang sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sekarang mulai diharapkan untuk belajar di sekolah. Sehingga lingkungan lain yang sekiranya berpengaruh pada anak usia ini adalah sekolah.
Anak yang mulai berinteraksi dengan orang-orang diluar rumahnya dan bermain di luar rumah akan mulai mengenal kelompok lain yaitu peer group. Pada usia inilah anak mulai melakukan memandang dirinya melalui perbandingan dengan orang lain (social comparison).
Meskipun lingkungan memiliki peranan yang penting bagi seorang anak namun anak merupakan sebuah unit individu yang memiliki dinamika tersendiri. Aspek-aspek penting dalam diri anak saling terkait dan saling berinteraksi, yaitu aspek biologis, kognitif, dan sosioemosional.
Secara fisik, anak usia middle childhood telah memiliki otot-otot yang memungkinkannya untuk melakukan eksplorasi di lingkungannya. Anak mulai dapat mencoba melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik, seperti berolahraga dan bermain di luar rumah. Hal ini sangat membantu anak dalam memenuhi tugas perkembangannya untuk mempelajari tugas-tugas sederhana seperti orang dewasa lakukan dan apabila berhasil akan menumbuhkan perasaan sense of industry. Anak yang tidak sehat dan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah akan kehilangan kesempatan untuk mulai berinteraksi di luar rumah tanpa orangtua dan mengelami kesulitan untuk memperlajari kemampuan-kemampuan baru yang dapat menumbuhkan perasaan sense of industry-nya.
Secara kognitif anak middle childhood berada pada tahapan concrete operational (menurut Piaget). Meskipun anak sudah dapat membayangkan suatu proses tanpa perlu melihat secara nyata proses tersebut namun hal ini masih terbatas pada hal-hal yang bersifat konkrit. Tahapan perkembangan kognitif sebenarnya menggambarkan bagaimana seseorang akan memecahkan persoalan yang ia hadapi. Semakin tinggi tahapan perkembangan kognitif seseorang maka ia akan dapat membuat penyelesaian masalah dengan semakin baik. Sekolah adalah satu sarana yang dapat meningkatkan perkembangan kognitif. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa anak yang mengikuti sekolah lebih baik dalam hal perkembangan kognitif dibandingkan dengan anak yang tidak mengikuti sekolah. Namun perlu diingat bahwa sekolah bukan hanya meningkatkan perkembangan kognitif. Sekolah adalah agen sosialisasi yang tidak hanya memberikan pelajaran mengenai materi kognitif namun juga mengajarkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, strategi-strategi dan kemampuan penyelesaian masalah. Anak juga diajarkan untuk mematuhi aturan, melakukan kerjasama dengan temen sekolahnya . Dari sini dapat disimpulkan bahwa sekolah juga berpengaruh pada perkembangan sosial dan emosional anak. Sekolah juga mempersiapkan anak untuk dapat hidup secara mandiri secara ekonomi dan mendapatkan pekerjaan.
Anak sudah mulai memiliki sense of self semenjak lahir. Ada beberapa aspek self yang berkembang pada diri anak pada usia middle childhood. Salah satunya adalah morality. Proses intenalisasi nilai yang berlangsung selama masa kanak-kanak berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut pada masa dewasa. Piaget mengatakan bahwa pada usia preschool anak belum menunjukan perhatian dan kesadaran terhadap aturan. Lalu pada usia 5-10 tahun, anak mulai mengembangkan kesadaran yang kuat terhadap aturan.
Moralitas adalah satu set prinsip-prinsip atau idealisme-idealisme yang dapat membantu seseorang untuk 1) membedakan benar dan salah; 2) bertingkah laku berdasarkan prinsip tersebut; 3) merasa bangga apabila bisa bertingkah laku sesuai dengan standar dan merasa malu atau merasa bersalah apabila tidak berhasil.
Tiga komponen dari moralitas adalah :
a. Komponen Afektif : komponen yang berisi perasaan-perasaan seputar tingkah laku yang berdasarkan pada standar moralitas.
b. Komponen Kognitif : bagaimana mengkonseptualisasikan benar dan salah dan memutuskan bagaimana bertingkah laku.
c. Komponen Behavioral : merefleksikan bagaimana kita bertingkah laku ketika menghadapi godaan untuk berbohong, curang, atau untuk melanggar standar moral kita
Pada awalnya moralitas seorang anak merupakan hasil dari cara anak menghindari hukuman dari figur otoritas atau untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Aturan-aturan tersebut kemudian terinternalisasi ke dalam diri anak dan menjadi bagian dari dirinya, moralitas dirinya.
Tahapan perkembangan moral menurut Kohlberg adalah sbb :
1. Preconventional Morality : Aturan masih merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dan belum terinternalisasi
a. Tahap 1 : Punishment and Obidience Orientation masih sangat bergantung pada konsekwensi dari suatu tingkah laku
b. Tahap 2 : Naïve Hedonism mematuhi aturan agar mendapatkan suatu reward atau medapatkan kepuasan pribadi.
2. Conventional Morality : seseorang berusaha mematuhi aturan agar mendapatkan social approval
a. Tahap 3 : Good Boy or Good Girl
b. Tahap 4 : Social Order-Maintaining Morality
3. Postconventional Morality
a. The Social contract orientation
b. Morality of individual Principles of conscience
Penjelasan singkat di atas memberikan gambaran bahwa moralitas adalah suatu bentuk tingkah laku adaptif manusia. Bagaimana seseorang dapat bertahan di masyarakat. Bagaimana seseorang berusaha untuk dapat diterima di masyarakat. Dan bagaimana aturan-aturan tersebut terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri seseorang dan mempengaruhi cara ia memandang dirinya dan bertingkah laku.
Anak usia middle childhood sedang memperlajari bagaimana dapat bertahan di luar rumah tanpa bantuan orangtuanya. Aturan yang telah dipelajarinya dirumah akan mendapatkan berbagai macam cobaan dan mungkin juga tambahan.
Selain dari orangtua, peer juga merupakan agen sosialisasi moralitas. Terutama pada anak usia middle childhood yang mulai mengenal peer. Hal ini akan semakin memuncak pada masa remaja. Peer adalah sosok yang tidak mengancam (tidak seperti orangtua yang bisa memberikan hukuman) sehingga diskusi mengenai topik-topik moralitas dengan peer akan membuat anak semakin aktif dalam proses pembentukan moralitasnya.
Kohlberg menyatakan ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan moral anak, yaitu :
1. Interaksi dengan teman sebaya.
Kohlberg sepakat dengan Piaget bahwa interaksi dengan teman sebaya memiliki pengaruh yang lebih besar pada perkembangan moral anak daripada pemaksaan aturan oleh orangtua. Interaksi ini dapat berupa proses modeling atau transactive interaction. Transactive interaction adalah pertukaran reasoning mengenai moralitas. Asimilasi dan akomodasi dapat menjadi hasil dari transactive interaction.
Sedangkan pemberian nilai-nilai oleh orangtua akan dipandang sebagai hal yang tidak menyenangkan dan akan menimbulkan penolakan pada anak ataupun remaja.
2. Pendidikan lanjutan.
Individu yang mengikuti pendidikan tinggi biasanya memiliki reasoning mengenai moralitas yang lebih kompleks dibandingkan dengan individu yang pendidikannya lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena (1) pendidikan mengakomodasi perkembangan kognitif (2) memberikan kesempatan untuk melihat perpektif yang berbeda-beda dan konflik moralitas.
3. Pengaruh budaya
Misalnya, lingkungan yang demokratis, yang memberikan kesempatan untuk berdiskusi memberikan kesempatan untuk moral berkembang.
Moralitas sebagai produk dari social learning (dan social information processing)
Albert Bandura (1986, 1991) dan Walter Mischel (1974) menyatakan bahwa tingkah laku moral dipelajari dengan cara yang sama sebagaimana tingkah laku sosial yang lain. Burton (1976), menyatakan karakter moral tidak selalu konsisten pada semua situasi, bahkan pada orang dewasa yang telah matang sekalipun. Konsistensi dari ketiga komponen moral semakin kuat seiring dengan usia.
Seorang yang secara moral reasoning (kognitif) dan moral affect (afektif) mendukung pada tingkah laku moral yang baik ternyata masih sangat mungkin melakukan tingkah laku yang melanggar standar moralnya tersebut. Situasi yang berbeda memberikan efek yang berbeda. Yang penting adalah bagaimana tetap bertahan pada standar moral seseorang pada situasi apapun. Social learning theory berusaha menjawab pertanyaan ini .
1. Reinforcement sebagai determinan atas tingkah laku moral
Orangtua yang hangat dan memberikan pujian pada saat anaknya bertingkah laku baik akan membantu proses internalisasi nilai-nilai pada anak. Dengan memberikan reinforcement bahwa mereka adalah anak yang jujur, bertanggungjawab, dan lain-lain maka anak akan menjadikan psychological dimension tersebut menjadi bagian dari self-concept mereka.
2. Peran punishment dalam pembentukan moral prohibition
Meskipun me-reinforce tingkah laku yang baik dapat meningkatkan frekwensi tingkah laku yang sesuai dengan norma, orangtua seringkali lupa memuji anak yang berhasil menahan godaan untuk tidak bertingkahlaku melanggar norma. Punishment dapat membentuk moral prohibition. Namun punishment yang seperti apa? Martin Hoffman’s (1988) penjelasan mengenai mengapa timgkah laku tersebut salah sangat membantu dalam efektivitas hukuman. Melalui penjelasan akan terjadi internal attribution. Mereka akan merasa bersalah, melanggar konsep diri mereka yang positif apabila melanggar standar tersebut. Sedangkan tanpa penjelasan, yang terjadi adalah external attribution. Dimana tingkah laku sesuai norma hanya dilakukan apabila figure otoritas ada di sekitarnya.
Dalam rangka menginternalisasikan nilai-nilai benar dan salah dan kemudian membentuk self control maka perlu diberikan penjelasan agar seorang anak mengetahui mengapa suatu tingkah laku adalah salah dan mengapa ia seharusnya merasa bersalah pada saat melakukan tindakan tersebut.
3. Efek social model pada moral behavior anak
Anak yang memberikan contoh secara pasif yaitu dengan tidak melakukan tindakan melanggar norma ternyata berpengaruh pada pembentukan moral behavior anak. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak tersebut menyatakan dengan jelas bahwa ia tidak melanggar aturan dan mengetahui mengapa ia tidak melanggar aturan tersebut.
BAB III
ANALISA PERBANDINGAN ANTARA KONDISI IDEAL DAN KONDISI REAL
Berdasarkan hasil analisa dari data yang diperoleh di lapangan bahwa dari tugas perkembangan anak pada usia sekolah dapat dilihat dari aspek perkembangan segi biologis, anak usia sekolah (middle childhood) sudah mulai berkembang yang artinya tubuhnya sudah cukup kuat untuk melakukan eksplorasi lingkungan. Sedangkan dilihat dari segi kognitif, anak-anak usia sekolah (middle childhood) mulai dapat membedakan antar diri dengan orang di luar dirinya sehingga sudah dapat membuat social comparison. Mereka juga mulai dapat mengeksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman-pengalaman (pengalaman budaya), hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta menunjukan potensi yang nyata. Apabila dilihat segi sosioemosional, anak-anak tersebut sudah mulai mengembangkan konsep diri yang berhubungan dengan siapa dirinya, kemampuan yang dimiliki, kelebihan, kekurangan mengenai penilaian lingkungan terhadap perilakunya. Ketiga aspek tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar (orangtua, teman bermain, sekolah) dalam mendukung pembentukan perilaku anak.
Anak usia middle-childhood yang memang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebaya karena sudah memasuki masa pendidikan formal, justru menjadi sangat terpengaruh oleh teman-teman sebaya mereka (peers).
Kondisi-kondisi di atas merupakan kondisi ideal untuk perkembangan pada anak usia sekolah (middle childhood). Sementara kondisi real yang terjadi di area TPU Ujung Berung, anak-anak usia sekolah meminta-minta di area makam saat sore hari ketika pulang sekolah bahkan hal tersebut juga terjadi apabila ada yang dimakamkan ketika jam anak sekolah.
Kondisi real yang terjadi di area TPU Ujung Berung tidak sesuai dengan tugas perkembangan usia mereka dimana seharusnya lebih memfokuskan diri untuk belajar di sekolah serta mengeksplorasi potensi diri. Kondisi di mana anak-anak usia sekolah lebih banyak meminta-minta di TPU daripada berada di sekolah akan membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi bakat dan potensi yang dimiliki.
Sedangkan dilihat dari prinsip-prinsip perkembangan yang ada, bahwa setiap anak memiliki bakat dalam dirinya dan bagaimana dukungan lingkungan terhadap hal tersebut. Anak-anak yang mengemis di TPU, bakat yang ia miliki yang seharusnya dapat dieksplorasi namun hal ini tidak terjadi ketika yang ia ketahui dan pahami hanya dengan meminta-minta. Hal tersebut didukung oleh lingkungan sekitar dengan cara memberikan uang kepada anak-anak tersebut sehingga terjadi penguatan dalam perilakunya.
Aspek fisik mereka tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Hal ini jugalah yang menyebabkan mereka dapat lebih banyak melakukan eksplorasi dengan lingkungan dengan bermain dan melakukan kegiatan fisik lainnya di luar rumah (TPU). Namun, aspek fisik yang telah cukup berjalan dengan optimal ini tidak dibarengi oleh aspek sosioemosional dan aspek kognitif. Setiap anak memiliki struktur kognitif atau kemampuan pikir yang berbeda-beda. Artinya anak dalam menyikapi permasalahan juga berbeda-beda. Berdasarkan dari hasil wawancara yang didapatkan bahwa ada sebagian anak (2 dari 4 anak) lebih menyukai meminta-minta di TPU dibandingkan dengan pergi ke sekolah. Anak-anak yang lebih memilih untuk meminta-minta daripada sekolah memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk belajar tentang kerjasama di sekolah dibandingkan dengan anak yang bersekolah. Sekolah merupakan suatu wadah yang memberikan kesempatan anak-anak untuk saling berinteraksi dan bekerjasama. Selain sekolah, peran teman sebaya (peers) juga berperan dalam perkembangan sosioemosional anak yang pada usia middle-childhood yang telah memasuki usia sekolah. Perkembangan sosioemosional ini akan mengarah pada pembentukan sense of self dalam diri anak. Salah satu aspek self pada anak usia middle-childhood yang berkembang adalah moralitas. Selain orangtua dan sekolah, peers juga merupakan agen sosialisasi moralitas. Dimana berdasarkan data yang ada, diperoleh bahwa pada awalnya anak-anak yang melakukan kegiatan meminta-minta di area TPU tersebut dikarenakan mengikuti ajakan teman-temannya yang melakukan kegiatan yang sama. Hasil yang diperoleh ini senada yang dikemukakan oleh Kohlberg yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak salah satu diantaranya adalah interkasi dengan teman sebaya.
Komponen moralitas sendiri terdiri atas tiga bagian yaitu kognitif, afektif dan tingkah laku juga akan saling berinteraksi dalam membentuk perilaku anak-anak apakah sesuai atau menyimpang dengan standar moral yang ada. Aspek kognitif digunakan untuk menilai perilaku baik atau buruk, aspek afektif digunakan untuk menilai apakah ada perasaan bersalah (malu) atau justru merasa bangga (senang) ketika melakukan sesuatu dan yang terakhir aspek tingkah laku, dimana apakah perilaku yang akhirnya dilakukan oleh anak sudah sejalan atau tidak dengan kognitif dan afektif yang mereka miliki. Aspek kognitif dalam menilai perilaku baik atau buruk, salah satu diantaranya dipengaruhi oleh tahapan perkembangan kognitif dari masing-masing anak. Tahapan perkembangan kognitif terbentuk bisa dari lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga (orangtua). Lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga dari anak-anak yang meminta-minta di TPU justru tidak melarang dan tidak menjelaskan bahwa perilaku meminta-minta yang mereka lakukan tersebut salah, bahkan lingkungan keluarga (orangtua) menyuruh anak-anaknya untuk meminta-minta agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak adanya larangan dan penjelasan sama sekali bahkan anak-anak justru disuruh untuk meminta-minta di TPU yang dikaitkan pula bahwa tahap perkembangan kognitif pada usia middle-childhood berada pada tahap concrete-operasional yang menilai segala sesuatu berdasarkan hal yang konkret saja menyebabkan dalam diri anak terbentuk bahwa perilaku meminta-minta ini adalah hal yang baik. Aspek afektif (emosi) yang menimbulkan perasaan bersalah atau bangga ketika melakukan sesuatu dapat dipengaruhi oleh relasi sosial yang terjalin antara orangtua dan anak. Orangtua yang selalu memberikan pujian ketika anak melakukan perilaku yang sudah sesuai dengan standar moral yang ada sehingga anak akan merasa bangga dan memberikan hukuman ketika anak melakukan perilaku yang bertentangan dengan nilai standar moral sehingga anak akan merasa bersalah (malu) akan menyebabkan anak akan membentuk konsep dalam dirinya bahwa untuk perilaku yang benar ia akan merasa bangga (senang) tetapi jika ia melakukan perilaku yang salah ia akan merasa bersalah (malu). Berdasarkan hasil yang diperoleh, relasi yang terjalin antara anak yang meminta-minta dengan orangtua mereka tidak begitu hangat. Beberapa dari orangtua justru lebih sering menghukum anaknya dan lebih sering berada di luar rumah karena bekerja sehingga anak-anak kurang bisa membedakan apakah ia harus merasa bersalah dan merasa bangga karena melakukan perilaku yang salah. Aspek tingkah laku yang sebelum diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata juga terlebih dahulu harus terinternalisasi dalam diri anak. Jadi meskipun anak menilai perilaku meminta-minta itu salah dan ia merasa malu tetapi tidak terinternalisasi dalam diri anak maka perilaku yang muncul akan tetap meminta-minta. Berdasarkan hasil interview dengan beberapa anak ditemukan bahwa mereka menganggap bahwa perilaku meminta-minta itu salah dan ia merasa malu jika ketahuan oleh teman-teman di sekolah tetapi mereka tetap melakukan perilaku tersebut.
Meskipun anak tahu bahwa meminta-minta itu salah dan merasa malu jika ketahuan namun hal ini tidak terinternalisasi dalam diri mungkin dapat dipengaruhi karena mereka harus tetap melakukannya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal ini juga didukung dengan reward dari lingkungan sekitar yang membuat anak-anak tersebut semakin memperkuat tingkah laku meminta-minta mereka, misalnya dengan mendapatkan uang setiap kali mereka meminta-minta dari para pelayat dan pihak TPU yang kurang tegas melarang anak-anak untuk meminta-minta. Akibatnya adalah nilai-nilai yang terinternalisasi pada diri anak adalah hal yang baik atau menyenangkan dengan mendapatkan uang. Sehingga meskipun anak-anak tersebut tahu bahwa perbuatan mereka tidak benar, tapi tetap melakukannya karena lingkungan yang tidak memberikan punishment secara sosial kepada mereka.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan hasil yang didapatkan di TPU mengenai anak yang meminta-minta dan dikaitkan dengan konsep teoritis yang ada maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri anak-anak adalah nilai bahwa meminta-minta itu baik. Hal ini terjadi karena disebabkan tidak adanya usaha baik dari keluarga, sekolah maupun pihak TPU untuk memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai baik dan buruk sehingga akan terjadi internal attribution yang akan membentuk moral prohibition pada anak-anak. Tidak adanya usaha khususnya dari keluarga sebagai lingkungan yang paling dekat dengan anak untuk memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai baik dan buruk kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orangtua dan tingkat ekonomi yang mengharuskan untuk tetap meminta-minta. Oleh karena itu, hal ini bisa berdampak pada standar nilai yang sudah dianut oleh anak akan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sehingga kemungkinan kedepannya anak akan sulit berinteraksi di luar lingkungannya yang sekarang (area di sekitar TPU) karena anak-anak sudah terbiasa untuk melakukan perilaku meminta-minta yang diperbolehkan di lingkungan sekitar TPU sedangkan di lingkungan lain perilaku meminta-minta ini dianggap melanggar nilai-nilai yang ada.
Dampak lainnya yang kemungkinan akan ditimbulkan di kemudian hari adalah tingkat kognitif anak-anak yang meminta-minta akan berkembang tidak optimal karena anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sekolah dan melakukan aktivitas yang kurang sesuai untuk pemenuhan tugas-tugas perkembangannya.
No comments:
Post a Comment