Monday, 20 December 2010

KEMANDIRIAN RAKYAT KECIL MEMBANGUN DESA

BAB I
KEMANDIRIAN RAKYAT KECIL MEMBANGUN DESA
Latar Belakang
Upaya perjuangan dan pembangunan yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia,
pemerintah dan masyarakat selama lebih dari lima puluh delapan tahun sungguh sangat
luar biasa. Indonesia yang terdiri atas suku, agama dan latar belakang yang sangat
berbeda-beda telah berhasil menjadi satu bangsa yang kuat dan bersatu dalam satu negara
kesatuan Republik Indonesia.
Dalam era globalisasi yang maha dahsyat dewasa ini, bangsa Indonesia
menghadapi tantangan luar biasa pula. Tantangan ini tidak saja ditujukan kepada
masyarakat perkotaan yang relatif mudah dijangkau, tetapi juga terhadap masyarakat
pedesaaan dengan ciri-ciri tradisionalnya yang ketat dan penghargaannya terhadap nilainilai
budaya dan keagaaman yang tinggi. Masyarakat pedesaan yang sederhana dan hidup
dalam alam damai dan lingkungan yang indah juga tergoda oleh hiruk pikuknya imingiming
global yang merambah kehidupannya di pedesaan itu.
Perkembangan yang cepat di wilayah perkotaan dengan segala bentuk
pandangannya yang modern, kemampuannya yang relatif tinggi, fasilitas yang melimpah,
jumlah anggota keluarga yang relatif kecil karena sudah mengikuti KB, mampu
mengembangkan diri menjadi manusia modern, kaya, berpandangan global dan bisa
dengan mudah mengikuti gaya dan kehidupan masyarakat modern. Sementara sebagian
lain yang mutu dan tingkat pendidikannya rendah, kesempatannya terbatas, justru
bertambah miskin, tertinggal atau makin menghadapi kesenjangan yang sangat
mengerikan.
Kemajuan itu ikut pula mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, arah dan
langkah-langkah perubahan sosial masyarakat desa yang sederhana. Tidak dapat
dipungkiri bahwa masyarakat kota mempunyai alasan yang wajar untuk ikut
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat desa karena mereka
umumnya mempunyai sumbangan lebih tinggi dibanding masyarakat pedesaan dengan
kemampuan produksi yang rendah. Masyarakat kota mengurangi ketergantungannya
kepada masyarakat desa dengan memanfaatkan kelemahan masyarakat desa itu.
Karena pelatihan dan pendidikan merupakan kebutuhan pokok keluarga modern,
maka bersamaan dengan perkembangan modernisasi itu tumbuh pusat-pusat pelatihan
dan pendidikan baru, seperti kursus-kursus, sekolah dasar, sekolah menengah dan
perguruan tinggi perguruan tinggi. Pertumbuhan itu mula-mula dilakukan di daerah
perkotaan di wilayah pemukiman. Tetapi karena tanah yang sempit dan biaya perluasan
mahal, pusat-pusat pendidikan dan pelatihan itu banyak yang dipindahkan ke daerah
pedesaan atau daerah yang semula daerah pedesaan.
Pada mulanya, masyarakat desa yang sederhana menyambut “kedatangan
modernisasi” itu dengan gembira. Secara spontan dan ikhlas mereka memberikan
sumbangan yang besar terhadap upaya pembangunan dan sumber daya manusia tersebut.
Ada yang hanya menjadi penonton, ada pula yang ikut berpartisipasi merombak rumah
menjadi tempat pondokan untuk menolong para mahasiswa yang berasal dari berbagai
penjuru tanah air.
Pada dasarnya, kemajuan di banyak perguruan tinggi atau pusat-pusat pendidikan
di daerah pedesaan itu mengundang kesempatan wirausaha. Namun pada umumnya
masyarakat pedesaan bersifat pasif tidak melihat atau karena kelemahannya “lengah”
akan adanya kesempatan emas yang terbuka lebar. Kelemahan yang “katanya” bisa
diselesaikan dengan pendekatan ekonomi kelompok atau koperasi hanya berdering sangat
tipis di telinga para penduduk di sekitar kampus.
Andai saja koperasi dalam lingkungan sekolah, perguruan tinggi maupun
pesantren dapat dimanfaatkan dengan memenuhi selera kebutuhan masyarakat sekitar.
Tapi kenyataannya, banyak koperasi mahasiswa hanya menjadi sambilan tidak menarik
dan koperasi karyawan hanya diurus oleh pegawai dengan cara yang birokratis. Padahal,
koperasi yang berhasil bisa mempunyai omset berlimpah dan bisa menjadi agen penyalur
dari perusahaan-perusahaan besar.
Melihat kesempatan ini, biasanya masyarakat kota segera melompat mengambil
kesempatan itu. Dengan iming-iming dana melimpah, mereka membabat habis
pemukinan atau tanah disekitar kampus atau pusat-pusat pendidikan dengan mendirikan
rumah makan dan pusat-pusat pertokoan untuk melayani siswa maupun civitas
akademika yang berkembang pesat di daerah itu.
Lain halnya dengan masyarakat desa yang tinggal di dekat lingkungan pesantren.
Peran kyai dan elite pesantren dengan fasilitas kredible moralnya, mampu bertahan serta
mempertahankan pranata sosial yang kondusif dalam suasana damai dan penuh
kebersamaan, diterima masyarakat sebagai tuntunan yang dianggap cocok. Mereka
membawa masyarakat menghadapi godaan globalisasi dan modernitas yang dahsyat
dengan kearifan, ketenangan dan teknik komunikasi yang akomodatif dan secara mulus
menempatkan diri dalam perubahan sosial itu. Kemampuan ini menempatkan mereka
sebagai pemimpin kharismatik yang sangat disegani dengan kekuatan-kekuatan
supranatural dan pesan-pesannya dianggap sangat benar sehingga apapun yang
disampaikannya dianggap kredibel dan benar-benar diikuti secara fanatik.
Kemampuan ini, apabila dikembangkan secara tepat dapat membantu
pembangunan manusia modern dengan kemampuan perkotaan yang maju dan modern
tetapi tetap kental dengan landasan moral religius yang padat. Sumber daya manusia
dengan kualitas ini akan sangat berguna sebagai lapisan bangsa yang sanggup menjadi
benteng moral religius dan kekuatan landasan bangsa.
Pemberdayaan masyarakat desa
Melihat potensi yang masih tersembunyi itu bangsa ini mempunyai kekuatan
untuk membangun keluarga sejahtera secara mandiri dan sekaligus mengentaskan
penduduk daerah pedesaan dari lembah kemiskinan. Upaya pemberdayaan masyarakat
desa menjadi masyarakat yang mandiri harus dimulai dengan pengembangan sumber
daya yang diikuti dengan partisipasi penuh dari seluruh masyarakat dan keluarga yang
menjadi sasaran. Kegagalan pemberdayaan sumber daya manusia dan kegagalan
mengikutsertakan sebanyak mungkin keluarga dan masyarakat kurang mampu yang
menjadi sasaran, akan berakhir fatal.
Semakin melembaganya partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan akan
bermuara pada swakelola daerah secara mandiri. Meskipun demikian, konsep mandiri
bukanlah suatu konsep yang sempit dan statis, sekadar menempatkan kemampuan
masyarakat lokal untuk membiayai pembangunan. Dalam konteks pembangunan daerah
secara mandiri atau keswadayaan mengandung arti lebih luas daripada sekadar
perimbangan tanggung jawab pembiayaan pembangunan. Konsep mandiri berarti
perimbangan kekuatan antara masyarakat lokal (daerah) dan negara dalam menentukan
arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam memberdayakan masyarakat lokal, selain dilakukan reorientasi peran
pemerintah pusat, juga secara sistematis dan konsisten melakukan penyadaran terhadap
masyarakat lokal melalui isu-isu lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
mereka. Upaya yang dilakukan lebih bersifat partisipatoris sehingga mampu
menumbuhkan kemampuan masyarakat lokal. Strategi lain adalah melakukan tekanan
secara politik terhadap institusi-institusi lokal seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif
khususnya menyangkut fungsional kinerja mereka. Tekanan ini dimaksudkan untuk
mendorong perbaikan-perbaikan pada kinerja institusi-institusi formal tersebut agar
mampu merespons, merencanakan serta melaksanakan aspirasi-aspirasi yang berkembang
di kalangan masyarakat.
Kebersamaan pemerintah pusat dan rakyat akan mampu memberi kesempatan
masyarakat untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Kegairahan itu didukung
dengan upaya bersama secara berkesinambungan. Karena itu, dalam upaya pengentasan
kemiskinan yang akan digalakkan, pengembangan peta wilayah yang akurat akan
memberi makna kepada para penguasa otonomi daerah dengan sentuhan yang mengena
hati rakyat banyak.
Rakyat harus melihat bahwa otonomi daerah adalah untuk memperbaiki nasib
rakyat, melalui kesempatan membangun yang diberikan kepada rakyat. Otonomi bukan
sekedar untuk menaikkan pendapatan daerah, seperti biaya pembuatan surat sertifikat
tanah, atau memberi kesempatan para pejabatnya mendapat honor lebih tinggi, jalan-jalan
ke luar negeri atas beban rakyat banyak, atau membangun dengan mengorbankan gaji
guru atau karyawan kecil lainnya, tetapi harus berarti membantu rakyat menghidupkan
aset-aset “mati” untuk bisa dipergunakan dalam rangka partisipasi mereka dalam
pembangunan yang menguntungkan dirinya dan meningkatkan pendapatannya dalam
kerangka persatuan dalam lingkungan keluarganya, dalam lingkungan desanya, dalam
rangka ketenangan berusaha di desa dan wilayahnya.
Karena itu, seluruh keluarga di daerah tersebut harus diajak bergabung dalam
kelompok-kelompok yang setiap anggotanya harus menjadi penggerak anggota kelompok
lain yang dianggap lemah. Pendekatan ini akan memberikan kekuatan yang “maha
dahsyat” karena semua pihak bisa ikut bermain sebagai pemimpin dan pelaksana yang
dinamis.
Disamping itu perlu dikembangkan tahapan-tahapan yang bisa dilakukan dengan
mudah. Kemudahan ini harus bisa diukur oleh setiap peserta, sehingga masing-masing
pihak bisa ikut dalam proses perkembangan secara aktif. Pengembangan keluarga
sejahtera yang diperkenalkan oleh BKKBN pada tahun 1996 merupakan suatu contoh
yang dapat dianut untuk memberi kesempatan setiap keluarga berkembang dari keadaan
pra sejahtera menjadi keluarga sejhatera I, kemudia menjadi keluarga sejahtera II,
keluarga sejahtera III dan akhirnya menjadi keluarga sejhatera III plus.
Kemandirian Perempuan
Salah satu upaya menyadarkan dan mendidik keluarga Indonesia yang tergolong
pra sejahtera dan sejahtera I ini, pada tahun 1994 diluncurkan program gerakan keluarga
sadar menabung melalui Takesra (Tabungan Keluarga Sejahtera). Tiap-tiap keluarga
mendapat bantuan sebesar Rp 2000. Selanjutnya oleh kader-kader pembangunan di desa
mereka diberikan berbagai pelatihan dan petunjuk untuk berusaha maju dan membangun
keluarga yang semula hidup dalam bidang pertanian tradisional menjadi keluarga yang
hidup dalam alam maju, industrial dan mandiri sehingga kebiasaan baru dengan
kesadaran menabung dilanjutkan dengan kebiasaan untuk belajar, bekerja dan akhirnya
untuk bekerja keras.
Pada gilirannya setiap peserta yang berminat untuk ikut belajar berusaha dalam
bidang ekonomi produktif diberikan pinjaman dengan bunga murah. Sebagian kecil dari
pinjaman itu, yaitu minimal sebesar 10 persen, ditambahkan sebagai pemupukan modal
dalam Takesra. Besarnya Tabungan Takesra itu kemudian dikaitkan sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan pinjaman Kredit Usaha Keluarga Sejahtera atau Kukesra.
Dari program Takesra-Kukesra ini, bermunculanlah bibit-bibit pengusaha baru
yang tergabung dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera
(UPPKS). Dan bibit pengusaha baru itu adalah kaum Ibu yang telah memanfaatkan kredit
Kukesra sampai akhir Februari 2002 sebanyak 10.467.392 atau sekitar 500.000 kelompok
UPPKS. Diantaranya lahir ribuan keluarga yang telah dapat mengembangkan usahanya
sedemikian pesat dan melanjutkan berbagai kegiatan usaha dengan dukungan pembinaan
dan kredit yang sifatnya makin mandiri. Bermacam bentuk skim kredit untuk
pemberdayaan ekonomi kecil pun bermunculan. Seperti, Kredit Pengembangan
Kemitraan Usaha (KPKU), Kredit Penerapan Teknologi Tepat Guna dan Pengentasan
Kemiskinan (KPTTG-Taskin) yang semua prosedurnya diupayakan lebih mudah.
Sesuai dengan kematangan para peserta anggota kelompok dan karena pemerintah
mulai mengatur program-program untuk keluarga sangat miskin dengan JPS (Jaring
Pengaman Sosial) dan program-program kompensasi lainnya -- seperti beras OPK
(Operasi Pasar Khusus) dan BBM (Bahan Bakar Minyak)- program-program KPKU dan
KPTTG-TASKIN digabungkan dengan program baru lainnya seperti Kukesra Mandiri
dan PUNDI (Pusaka Mandiri) yang lebih berorientasi pasar. Selain itu, dikembangkan
pula fasilitas dukungan dengan sistem “jemput bola”.
Dengan fasilitas ini, Yayasan Damandiri bekerjasama dengan unit keuangan
pedesaan atau lembaga keuangan mikro seperti Bank BPD, BPR dan Bank Bukopin,
mendatangi calon nasabah melakukan pembinaan dan memberikan dukungan kredit
untuk perluasan usaha. Dengan demikian, peran birokrasi BKKBN dan Yayasan akan
makin terbatas pada upaya menyiapkan dan membina kelompok maupun anggota UPPKS
serta merekomendasikannya pada lembaga keuangan mikro.
Beragam dukungan yang diberikan guna mengentaskan kemiskinan keluarga
Indonesia, khususnya pemberdayaan kaum perempuan ini, penulis coba paparkan dalam
bentuk opini dan mencoba memaparkan kebangkitan rakyat kecil dipedesan agar tidak
memiliki ketergantungan pada masyarakat perkotaan. Justru, masyarakat di perkotaanlah
yang sebenarnya harus bekerjasama dengan masyarakat desa. Kelemahan masyarakat
desa inilah yang hendaknya ditangkap oleh tokoh-tokoh penggerak desa lainnya dalam
buku ini, sebagai bentuk kewasapadaan membangun kemandirian dalam keluarga dan
berlanjut menjadi investasi kemandirian pada masyarakat sekitar.
Pada akhirnya, kunci keberhasilan kemandirian masyarakat terletak pada
ketekunan dan bagaimana mereka mau belajar dari kegagalan. Semua itu tidak lepas pula
dari kebersamaan pemerintah pusat dan rakyat yang berkesinambungan, sehingga mampu
menciptakan kegairahan masyarakat untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada.



1
HARAPAN BARU UNTUK KELUARGA
TERTINGGAL
Upaya pembangunan bertahap dan berkelanjutan dimasa lalu telah berhasil
menurunkan tingkat kemiskinan dari sekitar 60 persen pada awal tahun 1970-an
menjadi sekitar 11 persen pada akhir tahun 1996. Pada tahun 1990-an penurunan
jumlah dan prosentase penduduk miskin itu makin lambat. Pada awal krisis tahun
1997-1998 jumlah dan prosentase penduduk miskin itu meningkat kembali. Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin sempat
melonjak menjadi 49,5 juta atau 24 persen. Dengan intervensi yang gegap gempita
oleh berbagai kalangan jumlah itu menurun kembali pada tahun 2000 menjadi 33,2
juta atau 16,07 persen.
Untuk menanggapi masalah itu, pada tanggal 16 Oktober 2001, Kantor Menko
Kesra mengadakan pertemuan untuk menindaklanjuti upaya yang telah dilakukan di
masa lalu. Pertemuan itu dihadiri antara lain oleh para ahli, pelaksana dan pejabat teras
dari berbagai Departemen, Instansi Pemerintah, Bank dan Pimpinan LSM, khususnya
para pejabat atau aktifis yang selama ini ikut bersama-sama menangani upaya
pengentasan kemiskinan. Pertemuan itu dipimpin langsung oleh Menko Kesra yang
didampingi oleh Menko Ekuin dan para pejabat teras lainnya.
Dengan tekun pertemuan yang sangat memberi harapan baru bagi keluarga dan
penduduk miskin itu mendengarkan paparan yang menarik dari para penanggung
jawab dan pelaksana dari upaya pengentasan kemiskinan di masa lalu. Deputi Bidang
Regional dan Sumberdaya Alam, Bappenas, Dr. Dedi M. Masykur Riyadi,
memaparkan program IDT yang dimulai pada sekitar tahun 1993, serta program
‘rescue’ Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilaksanakan pada akhir abad yang lalu.
Penulis yang juga hadir dalam pertemuan itu, mencoba memaparkan secara kronologis
falsafah dan upaya pemberdayaan keluarga yang dimulai dengan program KB,
UPPKS, Takesra, Kukesra, Pundi dan Kukesra Mandiri.
Pada siang harinya mantan Menteri Koperasi dan UKM., Aktifis LSM yang
gigih, Dr. Adi Sasono, menjelaskan secara gamblang upaya untuk menolong para
petani dengan Kredit Usaha Tani atau KUT yang jumlahnya sangat kecil dibanding
dengan kucuran dana kepada para Konglomerat untuk BLBI yang heboh itu. Akhirnya
Direktur Utama BRI, Drs. Lujito, menutup acara Pertemuan Round Table sehari itu
dengan paparan bagaimana Bank BRI menyalurkan dana kepada para petani yang ada
di pedesaan di seluruh Indonesia.
Seperti kita ketahui program pembangunan yang dimulai secara sistematis
sekitar awal tahun 1970-an pada awalnya mempunyai dampak langsung yang sangat
menonjol terhadap penurunan jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan. Pada akhir
tahun 1980-an dampak itu makin melambat dan pada awal tahun 1990-an dampak itu
hampir tidak kelihatan lagi. Melihat gelagat itu, pada tahun 1992 pemerintah
2
melaksanakan program khusus untuk mendukung secara langsung penduduk miskin.
Tulisan ini adalah bagian pertama dari pertemuan yang menarik itu.
Upaya dukungan langsung itu mulai diwujudkan pada tahun 1993 melalui
program Inpres Desa Tertinggal (IDT), yang karena keterbatasan dana pemerintah,
hanya dilakukan pada sekitar 22.000 desa yang penduduknya sangat miskin. Menurut
paparan Dr. Dedi M. Masykur Riyadi, program untuk setiap desa adalah berupa (i)
bantuan modal usaha, (ii) bantuan pendampingan, dan (iii) bantuan Pembangunan
Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). Fokus dari bantuan itu adalah untuk
merangsang peningkatan pendapatan atau ‘income generating’ dari penduduk miskin
itu.
Untuk mendukung upaya peningkatan pendapatan bagi para penduduk miskin,
kepada setiap desa diberikan bantuan dana pemberdayaan untuk bisa mulai melakukan
usaha ekonomi produktip. Jumlah dana yang dijanjikan untuk setiap desa adalah Rp.
60 juta. Dana itu tidak diberikan secara kontan, tetapi dicicil pemberiannya selama
tiga tahun dalam rangka pembelajaran. Dijanjikan bahwa dana yang dikucurkan
kepada setiap desa tidak akan ditarik kembali oleh pemerintah, tetapi menjadi dana
bergulir untuk dimanfaatkan kelompok penduduk miskin di setiap desa IDT yang
bersangkutan.
Bantuan P3DT diberikan oleh pemerintah kepada setiap desa sebesar Rp. 120
juta untuk desa-desa di pulau Jawa, dan Rp. 130 juta untuk desa-desa di luar pulau
Jawa. Bantuan itu untuk memperkuat kemampuan produksi dan pemasaran hasil usaha
masyarakat serta memperkuat prasarana yang ada.
Pada tahapan berikutnya, untuk mempercepat upaya pengentasan kemiskinan
yang sudah dimulai dengan program IDT tersebut, diberikan juga bantuan untuk
memperkuat dukungan kecamatan dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
Dukungan ini secara khusus diharapkan dapat memperkuat dukungan kelembagaan
dan aparat birokrasi terhadap kelancaran usaha-usaha yang dilakukan oleh penduduk
miskin.
Program IDT itu telah berhasil mengentaskan banyak penduduk miskin dengan
menjadikannya sebagai pengusaha kecil, ikut bergerak dalam koperasi di desanya,
atau bahkan menjadi pengusaha menengah yang berbobot.
Upaya pemberdayaan keluarga telah dimulai dengan program KB pada tahun
1970. Sejak awal, pasangan usia subur diajak ber-KB dan bersama-sama
mengembangkan Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS).
Untuk menggalang solidaritas dan partisipasi aktip masyarakat dalam gerakan itu, para
akseptor diajak bergabung dalam Kelompok Akseptor KB.
Dalam kelompoknya, masing-masing peserta KB diajak saling belajar dan
mengembangkan kegiatan yang berguna. Setahap demi tahap dan sabar diharapkan
mereka bisa mengembangkan cita-cita norma keluarga kecil yang bahagia dan
sejahtera. Dengan menggunakan kontrasepsi secara setia, memelihara kesehatan ibu
3
dan anak-anaknya dengan baik, para peserta KB mulai bisa membangun keluarga kecil
yang sehat.
Dengan hasil-hasil bersama yang makin membesarkan hati itu para peserta
dalam setiap kelompoknya mulai melakukan kegiatan yang bersifat pendidikan dan
ekonomi. Mereka melakukan kegiatan membina anak-anak balitanya, mencari
beasiswa untuk anak-anaknya, serta belajar bersama dalam usaha ekonomi produktip
agar bisa menjadi keluarga yang sejahtera. Mereka merubah kelompoknya menjadi
kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA). Untuk
memberi kesempatan keluarga-keluarga yang belum menjadi peserta KB ikut
bergabung, kelompok-kelompok yang ada itu dikembangkan menjadi kelompok
Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) yang keanggotaannya
bersifat terbuka.
Dalam kelompok-kelompok ini gagasan pemberdayaan ekonomi keluarga yang
secara khusus ditujukan kepada keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I,
terutama karena alasan ekonomi, makin menggebu. Pada saat program IDT
diluncurkan untuk 22.000 desa, diputuskan agar untuk desa yang tidak tercakup, yaitu
desa non IDT, sekitar 43.000 desa, intensifikasi program pemberdayaan keluarga
harus bisa menjadi gantinya atau menjadi suplemennya.
Karena itu, mulai tanggal 2 Oktober 1995 keluarga-keluarga yang bergabung
dalam kelompok-kelompok UPPKS diajak belajar menabung. Upaya ini mengalami
kesukaran karena keluarga miskin tidak mempunyai semangat dan modal untuk mulai
menabung. Pada tanggal 15 Januari 1996 didirikan Yayasan Dana Sejahtera
Mandiri (Damandiri) untuk memberi dukungan terhadap upaya pemberdayaan
keluarga yang sangat mulia itu. Mulai saat pendiriannya Yayasan memberi bantuan
kepada setiap keluarga miskin modal awal sebesar Rp. 2.000,- untuk menabung dalam
Tabungan Keluarga Sejahtera atau Takesra yang dikelola Bank BNI.
Dengan tabungan Takesra sebesar Rp. 2.000,-, setiap keluarga dapat
meminjam modal usaha pada Bank BNI berupa “Kredit Usaha Keluarga Sejahtera”
atau “Kukesra” sebesar sepuluh kali tabungannya. Dari pinjaman sebesar Rp. 20.000,-
sebesar 10 persen ditabung kembali, sehingga tabungannya menjadi Rp. 4.000,-. Kalau
pinjaman sudah lunas, maka yang bersangkutan dapat meminjam 10 kali tabungannya.
Pinjaman baru menjadi Rp. 40.000,-. Selanjutnya 10 persen ditabung lagi, dan menjadi
dasar untuk pinjaman berikutnya. Begitu seterusnya sampai putaran yang kelima
dengan pinjaman sebesar Rp. 320.000,- untuk setiap anggota.
Kegiatan yang sudah berlangsung selama lebih dari lima tahun itu berjalan
dengan relatip sukses. Pada bulan Juli 2001, menurut laporan Bank BNI, jumlah
penabung telah mencapai sekitar 13.022.122 keluarga dengan jumlah tabungan
Takesra sebesar Rp. 241.761.154.809,- atau Rp. 241 milyar lebih. Jumlah keluarga
pebabung yang memanfaatkan kredit Kukesra adalah 10.524.538 atau 10,5 juta
keluarga dengan jumlah kredit seluruhnya berjumlah Rp. 1.651.975.180.000,- atau
Rp. 1,6 trilliun lebih.
4
Dari sekitar 10,5 juta keluarga yang menikmati kredit Kukesra itu banyak
juga yang telah berhasil dengan baik. Mereka membutuhkan jumlah dana yang lebih
besar. Oleh karena itu mulai tahun 1997-1998 telah dikembangkan program baru yang
disebut Kredit Pengembangan Kemitraan Usaha (KPKU) dan Kredit Pengembangan
Tehnologi Tepat Guna untuk Pengentasan Kemiskinan (KPTTG)-Taskin yang bisa
memberikan kredit dengan jumlah dana yang lebih besar. KPKU dan KPTTG-Taskin
ini mendapat dukungan dana dari Yayasan Dakab dan Yayasan Damandiri.
Program yang kedua itu mulai menggunakan mekanisme otonomi daerah, yaitu
dengan dibentuknya Tim Terpadu di daerah, yang tugasnya memutuskan kelayakan
para nasabah atau kelompoknya. Penyaluran dana kepada para pimpinan kelompok
dilakukan oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD) sesuai dengan persyarakatan
yang disepakati.
Pengalaman dengan KPTTG-Taskin itu diperkaya dengan percobaan
pembinaan yang dilakukan oleh aparat atau lembaga swasta yang ada di daerah atau
aparat bank pelaksana, yaitu bersama Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusamba dan
BPR Artha Huda Abadi. Kedua BPR tersebut mendampingi dan membina
nasabahnya disertai penyaluran kredit dengan sistem jemput bola dengan bunga
pasar. Bentuk dukungan pembinaan dan pemberdayaan yang baru ini dinamakan
Pembinaan Usaha Keluarga Sejatera Mandiri atau Pusaka Mandiri atau Pundi.
Atas dasar pengalaman itu maka Program Pundi, sesuai dengan arahan Ibu Presiden
RI, telah dikembangkan ke Kawasan Timur Indonesia (KTI) melalui Bank-bank
Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Bukopin.
Pengalaman yang berhasil dari dua BPR, BPD-BPD dan Bukopin,
mengajarkan kepada kita bahwa penyaluran bantuan atau kredit untuk keluarga
miskin harus dilakukan oleh lembaga keuangan pedesaan dan dapat diberikan
dengan bunga pasar biasa. Agunan untuk bantuan kredit adalah pengakuan atas
kelayakan usaha, atau didukung oleh Pemerintah Daerah, atau oleh Lembaga Lain
yang peduli terhadap pemberdayaan keluarga dan penduduk miskin. Setiap kelompok
keluarga miskin memerlukan bantuan pembinaan dan pendampingan yang bisa
dilakukan oleh aparat daerah, aparat bank atau petugas yang ditunjuk langsung untuk
itu. Agar ada hubungan yang erat dengan dukungan kredit, para pembina atau
pendamping harus berorientasi bisnis dan bertanggung jawab kepada masing-masing
Bank Penyalur. Untuk merangsang partisipasi nasabah, harus diberikan insentip yang
menarik dan sekaligus mendidik serta memperbaiki lingkungan yang ada. Pengalaman
mengajarkan bahwa usaha ini harus berkelanjutan dan konsisten. (Prof. Dr. Haryono
Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan).(A1/B2/D1)
5
BERTAHAP MEMBANGUN KELUARGA
Sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia sangat sadar bahwa keadaan sumber daya
manusianya sangat lemah. Oleh karena itu dalam setiap langkah pembangunan kita
berusaha keras untuk. memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap upaya
pembangunan sumber daya manusia tersebut.
Dalam rangkaian pembangunan yang berkelanjutan pada tahun 1970-an. upaya itu
dilakukan secara sistematis dalam tahapan-tahapan yang teratur untuk
mengembangkan sumber daya manusia sebagai pemrakarsa, penggerak dan pembina
pembangunan. Karena luasnya cakupan pembangunan tersebut. pemerintah
beranggapan bahwa upaya itu harus dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat
secara terpadu. Untuk itu pemerintah berupaya dengan sungguh-sungguh melengkapi
upaya pengembangan sumber daya manusia itu dengan mempersiapkan dan
membangun lembaga-lembaga pemerintah dan institusi masyarakat secara luas.
Pengembangan kelembagaan masyarakat itu dilakukan dengan pendekatan
pemberdayaan masyarakat dan keluarga sebagai awal dari upaya menumbuhkan
institusi masyarakat yang kuat, profesional dan tersebar luas dikalangan masyarakat
sendiri. Untuk. mempercepat proses pemberdayaan itu dilakukan berbagai latihan
yang dipadukan dengan upaya pemberdayaan sumber daya manusianya. Dalam
kegiatan tersebut ada kalanya institusi masyarakat itu langsung dibentuk dengan
menunjuk. para pemimpinnya yang "dipinjam" dari aparat birokrasi.
Peminjaman tersebut ada kalanya disadari. tetapi ada kalanya juga “kebablasan"
dengan pengertian bahwa lembaga masyarakat itu ditangkap pengertiannya harus
dipimpin oleh aparat yang berasal dari birokrasi "supaya dapat dikendalikan".
Dalam konteks pemberdayaan keluarga di Indonesia sejak. tahun 1960-an, lebih
khusus lagi dalam konteks kesejahteraan reproduksi dan KB kesehatan, pendidikan.
dan kemampuan ekonomi, dapat dikatakan terbagi menjadi 5 (lima) tahapan, sebagai
berikut.
Pertama. tahun 1945-1970: Pengembangan prakarsa, tekad
komitmen dan awal dari gagasan
pengembangan sdm
Kedua, tahun l970-an: Pengembangan program dan
lembaga
pelaksana seluruh Indonesia
Ketiga, tahun 1980-an: Pengembangan dasar-dasar hokum
untul melakukan keterpaduan
dukungan pada
institusi keluarga dan masyarakat
secara menyeluruh dan terpadu
6
Keempat, tahun 1990-an: Pengembangan dukungan terpadu.
makin bersifat holistik serta
pengembangan institusi yang
makin mandiri
Kelima, tahun 2000-an Pengembangan dukungan yang
makin
tehnis bersifat ekonomi dan religius
untuk menghadapi modernisasi dan
globalisasi.
Secara terperinci dalam setiap tahap itu bisa dihasilkan hal-hal antara lain sebagai
berikut:
Tahap pertama, antara tahun 1945-1970. Tahapan yang dimulai sejak Indonesia
menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan awal dari
segala-galanya. Kita menyadari bahwa pembangunan memerlukan sumber daya
manusia yang tangguh. Tetapi karena penjajahan ternyata jumlah dan kualitas SDM
yang kita miliki tidak memadai. Secara politis dikembangkan komitmen untuk
mengembangkan SDM yang disertai dengan pengembangan sekolah-sekolah dan
berbagai universitas.
Pada tahap kedua, tahun 1970-an, gagasan-gagasan awal itu diterjemahkan lebih
lanjut dalam komitmen dan program untuk. bidang-bidang kesehatan. KB. pendidikan.
dan perhatian yang luas terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Programprogram
itu diterjemahkan dalam tahapan-tahapan pembangunan yang berkelanjutan.
Pada saat itu muncul upaya untuk mengikutsertakan masyarakat secara luas dalam
berbagai upaya dalam bidang sosial kemasyarakatan. Salah satu program yang
kemudian menjadi sangat penting adalah program KB yang pada perkembangan
berikutnya telah berhasil menjadi suatu gerakan pemberdayaan keluarga secara
terpadu dan luas.
Pada tahap tersebut hampir semua Departemen dan Instansi dalam
lingkunganpemerintah mulai mengembangkan komitmen dan program yang intinya
adalah memberikan dukungan agar sebanyak-banyaknya keluarga ikut terjun dalam
upaya program KB dan yang terkait. Dengan cara demikian maka pengembangan
sumber daya manusia mulai ditangani secara sistematis yaitu bahwa penduduk harus
sehat. mempunyai kesempatan untuk belajar dan menikmati kesempatan kerja yang
mulai terbuka.
Upaya program KB yang dikaitkan dengan berbagai upaya lainnya itu dikembangkan
untuk menolong para ibu dan keluarganya. yang pada umumnya miskin dan buta
huruf, untuk. meningkatkan dan memelihara kesehatan reproduksi, menyekolahkan
anak-anaknya. dan bekerja keras mempergunakan kesempatan pembangunan yang
mulai terbuka.
Pada akhir tahapan ini ternyata upaya KB. kesehatan dan pendidikan. dengan berbagai
7
Program Inpresnya. ternyata mendapat perhatian yang sangat luas dari masyarakat.
Banyak sekali keluarga mengikuti berbagai program yang selama tahun 1970-an
dicoba diusahakan secara terpadu tersebut. Bahkan dirasakan adanya keperluan untuk
memberikan dukungan "ketetapan hukum” yang lebih kuat agar keterpaduan dan
dukungan pemerintah itu makin mengarah pada penciptaan dan pembinaan SDM yang
handal dan mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Pada tahapan 1980-an pemerintah bersama masyarakat mulai mengisi lembagalembaga
dan institusi masyarakat pada tahun 1970-an itu dengan program-program
yang relatip gegap gempita. Masyarakat sendiri menyambut program-program dan
kegiatan itu dengan gerakan terpadu melalui lembaga-lembaga pedesaan dengan
antusiasme yang sangat tinggi.
Gerakan terpadu itu menghasilkan sukses yang menggembirakan. Kelembagaan yang
ada dalam masyarakat sendiri makin luas. Masyarakat mulai melahirkan programprogram
yang sifatnya makin mandiri dan dibiayai oleh masyarakat sendiri. Bahk.an
mulai timbul unit-unit swasta yang memberikan pelayanan secara komersial mandiri.
Aktivitas yang semula hanya bergerak dalam bidang kesehatan dan pendidikan mulai
meluas ke bidang KB. Pelayanan dalam jalur komersial itu disertai makin tingginya
kesadaran dan peningkatan mutu pelayanannya.
Pada akhir tahun 1980-an, 8 Juni 1989, Indonesia memperoleh penghargaan
dunia dalam bidang Kependudukan dengan diberikannya World Population Award
kepada Presiden Rl oleh Sekjen PBB. serta heberapa penghargaan lain dari berbagai
lembaga swasta.
Tahapan tahun 1990-an diawali dengan kesadaran yang sangat tinggi dalam bidang
KB. kesehatan dan pendidikan. termasuk wajib belajar yang semula hanya pada
tingkat SD dikembangkan lebih lanjut sampai ke tingk.at SLTP.
Pada awal atau pertengahan tahun semhilanpuluhan itu dapat disepakati UUD
tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera serta UU tentang Kesehatan. kedua
UUD' itu diikuti segera dengan beberapa Peraturan Pemerintah yang mengatur
kegiatan
operasional bidang-bidang yang relevan.
Pada tahun itu pula Indonesia memainkan peran yang sangat penting dalam kancah
dunia. baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang KB. Namun mulai
dirasakan bahwa para peserta yang sudah bertahun-tahun ber-KB belum secara penuh
merasakan keadaan yang lebih baik. Tingkat kemiskinan yang ditahun 1970-an dan di
tahun 1980-an menurun dengan cukup signifikan makin menunjukkan tingkat
penurunan yang"stalling" atau melamban. Pemerintah kemudian mulai menggagas
upaya khusus untuk- mengentaslcan kemiskinan itu berupa duk.ungan kepada
komunitas yang mempunyai daerah-daerah atau kelompok. masyarakat yang berhasil
dalam berbagai program pembangunan.
Gagasan penghargaan kepada komunitas itu k.emudian makin muncul setelah
disyahkannya UUD tentang kependudukan dan keluarga sejahtera yang menunjukkan
8
diperluk.annya pemberdayaan seluruh fungsi keluarga yang secara jelas disebutkan
dalam PP yang dikeluarkan atas dasar UU nomor 10 tahun 1994.
Pada tahun 1990-an mulai muncul gagasan pemberdayaan ekonomi keluarga yang
sepantasnya harus dilanjutkan sekarang dengan lebih gegap gempita. Tahapan tahun
2000-an menempatkan keluarga dalam dunia yang sangat menantang. yaitu
menghadapi era globalisasi yang modern. Negara-negara di dunia hampir tidak
mempunyai batas. sehingga setiap keluarga harus memperkuat dirinya dan sekaligus
mendapat dukungan dari lembaga-lembaga formal dan informal yang ada di
sekitarnya. seperti pesantren. kumpulan para sesepuh. dan lembaga ekonomi keuangan
yang dekat dengan lingkungannya untuk bisa bertahan.
Keluarga akan menghadapi tantangan ekonomi yang sangat berat. rumit serta Maha,
sehingga suami isteri harus dua-duanya mengambil peran yang sangat aktif dalam
ekonomi mikro agar keluarganya tetap dapat bertahan dari tantangan modernisasi dan
globalisasi itu. Pada saat yang bersamaan keluarga menghadapi tantangan benturan
tata nilai antar daerah dan antar negara yang bisa rumit. sehinggga diperlukan
dukungan lembaga-lembaga keagamaan. lembaga adat atau dukungan para sesepuh
kalau ingin tetap bisa bertahan dalam tata nilai asli yang dimodernisasir dari suku dan
bangsanya.
Karena tantangan yang bertubi-tubi itu bisa muncul kebanggaan dan kerinduan akan
tata nilai tradisional yang memberikan kedamaian dan ketenangan dalam setiap diri
individu atau keluarganya. Tantangan keluarga besar yang sedang berubah menjadi
keluarga batih dan mulai tumbuh subur di tahun 1990-an akan makin menonjol. tetapi
dipihak lain keluarga batih yang mendapat tantangan glohal itu menimbulkan
kerinduan karena mulai akan dirasakan adanya kesunyian pada keluarga batih yang
bergolak dalam riuh rendahnya benturan peradaban antar bangsa yang kadang-kadang
sukar dicerna sendiri.
Karena itu hari-hari besar atau hari libur mulai menjadi forum untuk mengenang
kembali nostalgia itu. Sehingga keluarga secara tidak sadar berkumpul kembali
dengan kerabat sesamanya untuk mengenang masa-masa indah sistem kekerabatan
extended famili. Kerinduan awal yang semula bersifat formal akan menjadi suatu
kerinduan budaya yang bisa saja menghasilkan tontonan-tontonan menarik karena
muncul gagasan-gagasan modernisasi dari berbagai sistem yang tertuang dalam segi
praktis dan mudah diikuti.
Perbenturan yang awalnya menimbulkan efek tontonan akan makin lama makin
mangabur dan muncul sebagai kultur baru yang dapat diterima secara wajar-wajar
saja. Disisi lain perbenturan itu bisa juga berubah menjadi benturan yang mempunyai
efek konflik fisik. dan mental. Akhirnya dalam tahapan berikutnya benturan itu akan
meleleh dan membaur menuju keseimbangan baru menjadi suatu kesatuan yang
mungkin pada awalnya tidak harmoni,. penuh dengan kecurigaan, tetapi akhirnya akan
menyatu menjadi suatu keseimbangan budaya baru dengan kelembagaan modern dan
maju.
9
Efek-efek awal itu akan bisa terasa berat dan keluarga yang kokoh akan sangat
berperan untuk membangun jati diri dan kekuatan daya tahan yang ampuh. Semoga
tahapan-tahapan yang berjalan dengan cepat itu dapat dihadapi oleh keluarga
Indonesia dengan aman dan baik. (Prof. Dr. Haryono .Suyono, Pengamat Masalah
.Sosia1 kemasyarakatan]-kel uarga- Tahapan-1 6200)2.
10
MENUJU KB MANDIRI
Saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) program KB di Istana Negara,
Jakarta, 30 Januari 2002 , Presiden Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri
didampingi Menteri Kesehatan, Menteri Agama dan Kepala BKKBN, menyampaikan
pidato pembekalan dengan gaya keibuan yang meyakinkan, beliau menyampaikan
lima hal pokok yang perlu mendapat perhatian dan tindak lanjut seluruh peserta
Rakernas.
Pertama, beliau menyampaikan pengakuan simpatik yang sekaligus dapat
dianggap sebagai penghargaan kepada para pejuang dan pekerja KB di seluruh
Indonesia atas keberhasilan menurunkan pertumbuhan penduduk dari angka diatas 2
persen pada tahun 1970-an menjadi sekitar 1,4 persen menurut hasil Sensus
Penduduk tahun 2000. Biarpun, secara kelakar, beliau merasa risau menghadapi
banyaknya anak-anak yang selalu dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Namun lebih
dari itu, beliau menyatakan bahwa, program KB Nasional, bagaimanapun penting
artinya bagi pelaksanaan dan keberhasilan program-program pembangunan. Program
itu merupakan bagian penting dari upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia
yang merupakan titik sentral pembangunan.
Pengakuan, atau katakanlah “pemberian penghargaan”, itu sangat penting
karena selama beberapa tahun terakhir ini lembaga dan para sukarelawan gerakan KB
agak terombang-ambing, dan tidak bisa mengerti seakan diperlakukan sebagai habis
manis sepah dibuang. Pada masa keadaan pertumbuhan dan kualitas penduduk
sangat rawan, seluruh kekuatan pembangunan diajak bekerja keras meyakinkan semua
pihak bahwa pembangunan keluarga dan penduduk itu sangat perlu karena akan
menentukan masa depan bangsa.
Para pemimpin, formal dan pemimpin masyarakat luas, para petugas, para
ulama dari segala agama, para pemimpin wanita, tua muda dan bahkan generasi muda,
tidak terkecuali para cendekiawan, dengan tidak kenal lelah diajak berjuang
menanggung malu dan caci maki memperjuangkan visi yang semula nampak sebagai
menentang arus, tetapi memang diyakini benar dan berguna untuk kejayaan masa
depan bangsa.
Penghargaan demi penghargaan, baik datang dari dalam negeri maupun luar negeri
diberikan kepada bangsa ini. Penghargaan itu bukan saja dalam bentuk wacana, atau
trophy, tetapi dengan penuh kesungguhan negara-negara sahabat mengirimkan
utusannya untuk belajar ke negeri kita. Tidak kurang dari Presiden, Perdana Menteri,
Menteri, pejabat senior, bahkan petugas lapangan berdatangan menyisihkan waktu dan
terang-terangan belajar mendalami cara-cara pemerintah bekerja sama dengan
masyarakat membangun kebersamaan membantu keluarga memberdayakan dirinya.
Mereka juga kagum dan dengan penuh ketekunan meniru bagaimana dalam keadaan
miskin bangsa kita bisa membangun jaringan pelayanan informasi dan medis yang
sangat profesional. Tidak kurang dari 35 – 40 juta pasangan usia subur yang ada di
seluruh pelosok Indonesia mendapat informasi tentang KB dan reproduksi sehat yang
11
biasanya sangat “saru” dan “tabu”, bisa disampaikan kepada masyarakat dengan
senyum dan lapang dada.
Hanya beberapa ribu dokter dan tidak lebih dari 8.000 bidan, pada saat-saat awal
program KB, dengan tidak kenal lelah harus bekerja keras melayani calon peserta KB
yang biasanya sangat awam tentang masalah yang sesungguhnya sangat rumit itu.
Tidak kurang dari 35 – 40 juta pasangan subur mendapat pelayanan medis, di klinik,
bahkan di desa-desa dengan fasilitas minim, dilayani dengan cucuran keringat, tidak
kenal lelah dan sangat profesional sehingga menghasilkan kebahagiaan dan
kesejahteraan dengan hampir tidak ada korban yang berarti.
Kedua, beliau mengingatkan bahwa salah satu pelajaran yang sangat berharga selama
kita menggeluti masalah kependudukan dan KB adalah bahwa jumlah sumber daya
manusia yang besar merupakan kekuatan pembangunan ternyata hanya mengandung
kebenaran bila kondisi tersebut disertai faktor kualitas dan penyebaran yang merata.
Beliau menambahkan bahwa tanpa kondisi itu manusia tidak bisa tampil dalam peran
dan fungsinya sebagai sumber daya, malah bisa menjadi beban.
Beliau menganjurkan, biarpun pengertian ini mulai disadari masyarakat, tetapi kita
perlu terus menanamkan pengertian itu kepada masyarakat bahwa selaku pelaku
pembangunan, sebenarnya masyarakat secara langsung menikmati hasil-hasil
pembangunan.
Dibagian lain dari pidatonya beliau meminta kita semua untuk waspada bahwa dewasa
ini berkembang nilai-nilai baru dalam masyarakat. Pengaruh gaya hidup, peningkatan
kesejahteraan dan arus komunikasi yang deras bisa saja mempengaruhi keyakinan kita
terhadap cita-cita Norma Keluarga Kecil Yang Bahagia dan Sejahtera. Biarpun nilainilai
baru ini berkembang dalam masyarakat yang terbatas, namun beliau
mengingatkan untuk diwaspadai. Perkembangan baru itu bisa saja mendorong lahirnya
cita baru, yaitu keluarga besar tetapi sejahtera.
Ketiga, sebagai pelaku, masyarakat sangat berkepentingan untuk terwujudnya
keluarga yang berkualitas. Dengan cara pikir tersebut Ibu Megawati Soekarnoputri
menekankan bahwa Pemerintah tidak harus menggelar program KB secara besarbesaran,
tetapi masyarakat harus lebih banyak mengambil prakarsa untuk
melanjutkan pengembangkan Program KB itu. Dengan pernyataan ini beliau
mempersilahkan masyarakat luas untuk mengambil prakarsa yang lebih besar untuk
melanjutkan penanganan program KB-nya sendiri.
Ada beberapa alasan kenapa beliau memberikan kesempatan kepada masyarakat luas
untuk mengambil prakarsa yang lebih besar. Gara-gara krisis keuangan yang berlanjut
menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, krisis multidimensi yang belum selesai
sekarang ini, hampir pasti keadaan dunia, maupun keadaan kita, belum bisa bertambah
baik. Di negara-negara besar masih terjadi goncangan-goncangan yang sangat
mengganggu. Amerika, Jepang dan banyak negara besar yang selama ini menjadi
donor membantu aktivitas KB di Indonesia mempunyai banyak masalah di negaranya
sendiri. Keadaan itu kurang menguntungkan, lebih-lebih lagi kita sendiri mempunyai
kesulitan ekonomi yang yang sangat besar dan belum dapat kita selesaikan.
12
Kita bersyukur bahwa pembangunan jaringan pelayanan KB selama ini selalu kita
kaitkan dengan pelayanan dan rujukan melalui klinik-klinik yang dikelola oleh
Departemen Kesehatan. Pelayanan itu tidak pernah di pindah tangankan kepada
BKKBN atau menjadi lembaga BKKBN seperti terjadi di beberapa negara tetangga,
biarpun kalau mau, kemampuan untuk itu bisa dilakukan dimasa lalu. Dengan
demikian, para peserta KB yang berasal dari keluarga kurang mampu, keluarga pra
sejahtera dan keluarga sejahtera I, atau keluarga yang kurang beruntung, masih bisa
ditolong pemerintah melalui pelayanan khusus, bahkan kalau perlu dibebaskan dari
pembayaran apapun. Pelayanan itu tetap bisa dilakukan melalui pelayanan kesehatan
terpadu di klinik, rumah sakit atau pelayanan kesehatan khusus lain yang tersedia
untuk itu. Bahkan, kalau perlu peserta-peserta KB seperti itu bisa dijamin dengan
pelayanan “super khusus” seperti pelayanan yang didukung dengan dana kompensasi
BBM atau program lain seperti itu.
Dalam program yang makin mandiri, BKKBN dapat bertindak sebagai fasilitator dan
advokator yang mendorong dikembangkannya pelayanan informasi dan medis yang
terhormat, mudah di akses, profesional, dan “merangsang” sehingga para peserta KB
yang mampu tidak merasa disisihkan atau “boleh lagi tidak ber -KB” mengikuti pola
lama reproduksi kurang sehat. Dengan dukungan komunikasi yang sejuk, para peserta
akan tidak merasakan “adanya kenaikan harga”, seperti umumnya keadaan yang
terjadi sekarang, tetapi justru “mendapat kehormatan” bisa memilih secara
demokratis pelayanan untuk dirinya sendiri melalui program KB Mandiri yang
bermutu.
Keempat, Ibu Megawati Soekarnoputri juga menegaskan bahwa lingkup pengertian
keberhasilan program KB beberapa waktu terakhir ini mengalami pemekaran. Namun
beliau mengingatkan bahwa kondisi dan kemampuan pemerintah berubah. Dalam
kondisi yang lebih mampu di masa lalu dimungkinkan disambungkannya program KB
dengan program-program lain seperti mengkaitkan program KB dengan berbagai
skema pengentasan kemiskinan, program peningkatan ekonomi rumah tangga,
pendidikan dan lain-lain. Namun, dengan pemahaman kondisi, beliau merasa
bijaksana kalau segera dibangun kiat baru dalam penyelenggaraan program KB
(dalam arti luas) seperti itu dengan hasil yang harus sama efektifnya.
Kita bersyukur bahwa anjuran mencari dan membangun kiat baru itu beliau lontarkan
bersamaan dengan dorongan semangat dan pemberian kesempatan yang makin besar
kepada swasta dan LSM untuk membangun program yang mandiri. Kita mengetahui
bahwa pembangunan keluarga sejahtera dimasa lalu telah dikaitkan dengan berbagai
upaya pemberdayaan keluarga sejahtera, termasuk langkah-langkah konkrit membantu
keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I belajar menabung dengan Tabungan
Takesra dan belajar berusaha secara bertahap dalam program Kukesra. Disamping itu
pemerintah dengan gencar juga membantu keluarga kurang mampu dengan skim
pengentasan kemiskinan lain untuk makin mandiri. Kita ingat betapa pemerintah
mendorong kemandirian melalui pelaksanaan program IDT pada tahun 1993/1994.
Kita juga mengetahui betapa berbagai Departemen dan Instansi ikut terjun langsung di
masa sebelumnya.
13
Memang tidak semua usaha itu berhasil menciptakan jaringan yang mandiri. Tetapi
sesungguhnya tidak sedikit kelompok-kelompok yang siap untuk mandiri. Salah satu
syaratnya adalah bahwa pemerintah harus mengambil sikap yang terus memihak
keluarga kurang mampu di segala jaringannya. Tidak boleh lagi pemerintah
menjadikan keluarga kurang mampu sebagai “proyeknya”. Secara konsekuen
pemerintah harus mendukung langkah “reinventing Government” atau
“mewirausahakan birokrasi” yang mengayomi, mendukung, memberdayakan dan
memperkenalkan kelompok-kelompok yang berhasil kepada pelayanan jaringan
swasta yang ada. Dilain pihak meneruskan bantuan pemberdayaan untuk kelompokkelompok
yang masih memerlukan bantuan penuh.
Sebagian besar keluarga miskin, keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I,
terutama yang telah menjadi peserta KB telah belajar menabung dengan Takesra dan
belajar usaha dengan bantuan dana Kukesra melalui BKKBN, Yayasan Damandiri,
PT Bank BNI dan PT Pos Indonesia serta jajarannya. Sesuai dengan kebijaksanaan
yang digariskan oleh Ibu Presiden, kelompok yang berhasil dan lulus dari program ini
harus segera diantarkan untuk bergabung dalam Skim-skim lanjutan seperti Kukesra
Mandiri, Pundi, Pundi Kencana, Warung JK, Warung Sudara, koperasi atau jaringan
swasta mandiri lainnya. Hantaran bagi yang telah siap mandiri itu harus dilakukan
dengan dukungan yang penuh legawa dan berlanjut.
Kelima, untuk gagasan-gagasan itu Ibu Megawati Soekarnoputri memberikan kata
kuncinya. Dalam melaksanakan tugas-tugas ini BKKBN harus melakukan koordinasi.
Dalam pidato singkat itu beliau ulangi kata kunci tersebut dengan tegas, koordinasi.
Koordinasi itu harus dimulai sejak tingkat perencanaan, persiapan, pelaksanaan,
bahkan hingga tingkat pengendalian dan evaluasinya.
Selanjutnya Ibu Megawati Soekarnoputri “memukul gong” limakali. Dengan simbul
pukulan itu beliau mengajak semua peserta untuk melangkah tegar dengan lima
pedoman pokok tersebut. Semoga dengan peta hasil pendataan 2001, BKKBN bisa
mengerahkan bantuan untuk para peserta KB di seluruh Indonesia yang sedang
berjuang membangun keluarga sejahtera dengan dukungan komitmen pemerintah yang
kuat dan kerjasama akrab dari masyarakat yang penuh kedamaian. (Prof. Dr. Haryono
Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). kbmandiri-222002.
14
MELAKSANAKAN AMANAT RAKYAT
Di penghujung tahun 2001, bangsa Indonesia melaksanakan tiga kegiatan yang
sangat penting secara serentak. Pertama, Sidang Tahunan MPR 2001 dengan diawali
peristiwa saling dorong yang menghebohkan. Kedua, Sidang CGI (Consultative Group
on Indonesia) yang untuk pertama kalinya diadakan di Jakarta. Dan ketiga,
melaksanakan satu kegiatan kecil yang bermakna, yaitu meresmikan penyerahan
kredit untuk para Ibu-ibu sebagai pelaku ekonomi kerakyatan yang membumi di
wilayah Karesidenan Surakarta, di Sragen, Jawa Tengah.
Ketiga kegiatan itu sengaja kita catat karena ketiganya merupakan tanggapan yang
positip terhadap amanat penderitaan rakyat. Amanat itu harus diperhatikan dan
diselesaikan secara serentak karena selama tiga tahun ini, semenjak krisis moneter
yang kemudian berkepanjangan menjadi krisis multidemensi yang kompleks, rakyat
tidak sabar lagi menunggu. Mereka sudah demikian terpuruk, tingkat kemiskinan yang
pernah menurun justru meningkat kembali. Tidak itu saja, kelangkaan programprogram
dan kegiatan pembangunan yang diperdebatkan dengan hangat di lembagalembaga
formal, media massa, telah menjadikan rakyat di pedesaan rindu. Mereka
menginginkan agar berbagai kegiatan yang nampaknya berskala “raksasa” itu segera
diturunkan dan disampaikan kepada rakyat di pedesaan. Makin lama berbagai
rancangan kegiatan itu dibicarakan, makin membuat rakyat banyak tidak yakin lagi
kapan hasil perdebatan itu membumi ke desa mereka.
Mereka mempunyai perasaan yang campur aduk. Mereka gembira nasibnya
dibicarakan dalam Sidang Tahunan MPR, sampai-sampai dibela dengan saling dorong
dan adu argumentasi yang sangat sengit. Tetapi mereka tidak rela dan malu kalau
dengan alasan membela rakyat kita harus mengembangkan budaya baru saling
berantem antar saudara sendiri. Mereka sedih kalau kepentingan daerah tidak didengar
lagi, sampai-sampai ada yang menganjurkan “korek kuping” dulu sebelum sidang.
Tetapi mereka tidak yakin kalau anggota MPR dari daerahnya tidak berjuang di
Sidang yang terhormat itu. Mereka minta bahwa perjuangan itu tetap dilakukan
dengan penuh keakraban, kedamaian dan persatuan yang menyejukkan. Mereka
memerlukan suasana itu untuk bisa tetap hidup biarpun dalam keterbatasan, tetapi bisa
terus membangun dengan apa yang mereka miliki di daerah, dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat yang penuh kedamaian.
Dalam kesedihan itu mereka sadar bahwa bangsa ini harus mengurangi hutang. Tetapi
mereka juga menyadari bahwa bangsa ini sudah begitu terpuruk karena mereka
merasakannya dengan jelas di desanya, di kampungnya, dan pada dirinya sendiri.
Mereka sadar bahwa untuk itu pemerintah masih terpaksa harus berhutang untuk
membangkitkan kembali perekonomian nasional. Oleh karena itu mereka sangat
gembira mendengar penuturan Menko Perekonomian, Prof. Dr. Dorojatun Kuntjoro
Jakti, bahwa kita berhasil mendapatkan kepercayaan negara-negara donor dengan
pinjaman baru sebesar Rp. 31 triliun. Mereka mencatat dengan penuh harapan bahwa
sebagian dari pinjaman itu akan disediakan untuk melanjutkan upaya pengentasan
kemiskinan.
15
Pada tingkat lapangan, di wilayah bekas Karesidenan Surakarta, di Kabupaten Daerah
Tingkat II Sragen, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP), dengan
didampingi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sragen dan Wakil Ketua I Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri (Yayasan Damandiri), meresmikan dan menyerahkan akad kredit
dari Bank Bukopin dan Bank BPD, dengan dana dari Yayasan Damandiri, untuk para
ibu-ibu yang siap maju. Lima tahun lalu sebagian besar Ibu-ibu tersebut adalah
keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I atau keluarga miskin, yang sekarang telah
makin maju dan bergabung dalam Jaringan Perempuan Untuk Usaha Kecil (Jarpuk)
atau Jaringan Warung Ibu Mandiri (Riung Iman). Dengan kredit modal kerja yang
diterima itu mereka akan memperluas Jaringan Warung Sudara YIS.
Bagi Ibu-ibu maju tersebut, peristiwa itu mereka sambut dengan penuh antusias karena
mereka sadar bahwa hanya dengan bekerja keras mereka bisa membangun
keluarganya dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Banyak dari Ibu-ibu yang
hadir dalam peristiwa bersejarah itu telah belajar menabung dan mengikuti pelatihan
berbagai instansi. Mereka juga telah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) yang sifatnya profesional sebagai bekal
menyiapkan diri menjadi usahawan mandiri yang sanggup bersaing.
Mereka juga telah mengikuti berbagai upaya dengan skim yang berbeda-beda. Untuk
melepaskan diri dari lembah kemiskinan banyak dari mereka telah pernah menerima
hibah atau bantuan. Mereka mengakui bahwa bantuan itu biasanya tidak
berkelanjutan. Biasanya tidak cukup untuk melepaskan diri dari lembah kemiskinan.
Pengalaman dengan sistem dukungan kredit yang bertahap, pelatihan dan
pendampingan yang konsisten, dapat dianggap sebagai cara yang lebih mantap.
Perkenalan dengan lembaga keuangan pedesaan dapat dianggap sangat mendidik dan
memberi kesempatan untuk bekerja keras karena setiap peserta harus sadar bahwa
mereka sedang berhutang. Mereka sadar bahwa seseorang yang berhutang harus
membayar lunas agar hidupnya tenang dan sejahtera, di dunia dan di akherat nanti.
Pengalaman para Ibu yang dibina oleh YIS tersebut sangat mirip dengan pengalaman
dari kelompok lain yang dibina oleh para Dosen dari Universitas Negeri Sebelas Maret
(UNS) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Surakarta (STIES) di Solo. Ibu Irah yang
sekarang mahir membuat tas merasa yakin bahwa dengan pembinaan yang
berkelanjutan dan ikhlas, serta tambahan modal seperlunya, usaha yang digelutinya
akan makin maju. Bapak, Ibu Listianto dan keluarganya, yang sekarang bergelut
menciptakan peralatan kecil dari kaca-kaca dengan ukiran berseni, makin yakin bahwa
usaha yang ditekuni selama ini bisa menarik pembeli dan bisa dipasarkan sampai ke
manca negara.
Dengan pengalaman itu, peresmian akad kredit yang sederhana dari Bank atau
Lembaga Keuangan di lapangan itu, memberi bukti bahwa keluarga tertinggal,
keluarga yang semula miskin, tidak harus diperlakukan seperti pengemis yang dijejali
dengan hibah. Mereka bisa dan merasa sangat terhormat apabila diperlakukan seperti
layaknya pengusaha yang mandiri, pendampingan profesional dan kesempatan kredit
dengan bunga pasar dari lembaga keuangan atau Bank yang akrab dan memihak
kepada mereka. Mereka menghormati para pendukung dari lembaga keuangan di
daerah yang akrab dengan persoalan yang mereka hadapi.
16
Mudah-mudahan dua peristiwa nasional dan internasional di Jakarta ini, segera
diikuti dengan langkah-langkah nyata di daerah seperti di Sragen tersebut. Dan
dukungan untuk pengentasan kemiskinan segera disalurkan kepada rakyat secara tepat
melalui lembaga keuangan di daerah yang akrab dan betul-betul memihak keluarga
miskin. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati langkah-langkah mulia untuk
memberdayakan keluarga miskin di Indonesia itu. Semoga. (Prof. Dr. Haryono
Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)
17
MEWUJUDKAN INDUSTRI KELUARGA
Selama satu bulan di bulan Juni 2002 secara berturut-turut telah diadakan Seminar dan
Pertemuan untuk memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang secara resmi
diperingati setiap tanggal 29 Juni . Peringatan Harganas 2002 yang diresmikan Ibu
Presiden Megawati Soekarno Putri di Gorontalo membahas berbagai tantangan dalam
menghadapi era globalisasi, keluarga Indonesia harus menyiapkan diri dengan
menghidupkan seluruh fungsi keluarganya dan membangun kekuatan industri atau
kekuatan ekonomi keluarga di desa tempat tinggalnya. Keluarga Indonesia yang tidak
seluruhnya mampu mandiri harus dipersiapkan menjadi keluarga mandiri dengan
pemberdayaan yang utuh agar setiap anggota dapat memberikan sumbangan dalam
pembangunan.
Di daerah perkotaan, khususnya di DKI Jakarta, telah mulai dikembangkan
Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) dengan memanfaatkan
institusi kemasyarakatan di kelurahan-kelurahan secara langsung. Program itu
mengambil basis masyarakat Rukun Warga (RW) dan masyarakat Rukun Tetangga
(RT). Untuk keperluan itu pada tingkat kelurahan dibentuk suatu institusi baru yang
dinamakan Dewan Kelurahan atau populer dengan singkatan Dekel yang bertindak
sebagai penampung aspirasi masyarakat yang ada di tingkat akar rumput. Lembaga
Dekel dianggap sebagai sebuah langkah maju dan bijak yang diambil Pemerintah
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam menyikapi perubahan-perubahan
otonomi dewasa ini.
Secara khusus program ini menyikapi Undang-Undang Nomor 34 tahun 1999
tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia
Jakarta, dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2001, yaitu dengan
membentuk dan memberi kesempatan kepada setiap Dekel ikut menentukan warna
pembangunan yang ada di wilayah kelurahan, RW dan RT-nya. Dekel itu menampung
program, membantu melaksanakan program dan sekaligus ikut bertindak sebagai
pengawas dari berbagai upaya pembangunan di tingkat RT dan RW.
Pada tingkat pedesaan, selama ini ada organisasi yang kuat dan berakar dikalangan
ibu-ibu, yaitu PKK yang dulu merupakan singkatan dari Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga. Dalam pendekatan reformasi, singkatan itu diubah artinya menjadi
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga yang intinya bertugas menjadi wadah untuk
memberikan dukungan aktif terhadap upaya pemberdayaan keluarga-keluarga,
terutama keluarga kurang mampu yang ada di pedesaan.
Pada masa lalu PKK mempunyai sepuluh program pokok antara lain dalam bidang
kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial pada umumnya. Sekarang, Ketua
Umum Tim Penggerak PKK Pusat telah memberi kepercayaan kepada setiap pengurus
PKK di daerah untuk mengembangkan program yang cocok dengan perkembangan
daerahnya, sehingga satu PKK dengan PKK lain tidak mempunyai program yang
seragam karena tidak ada program yang diarahkan dari atas lagi. Sifat program, seperti
halnya Dekel di daerah perkotaan, adalah menampung apa yang menjadi permintaan
18
masyarakat di tingkat akar rumput atau di tingkat pedesaan. Program-program PKK
itu diharapkan lebih banyak mengarah kepada bagaimana keluarga-keluarga yang ada
di daerah dapat memanfaatkan kemampuan, ketersediaan materi dan permintaan yang
ada pada tingkat pedesaan. Keluarga di pedesaan diharapkan mengembangkan industri
di desanya masing-masing sebagai kekuatan komplementer terhadap bidang pertanian.
Dalam rangka pengembangan dan pemberdayaan keluarga di seluruh Indonesia ada
baiknya lembaga-lembaga seperti Dekel dan PKK ini bergerak antisipatif dan dibantu
untuk menolong keluarga-keluarga kurang mampu mempersiapkan diri dengan
berbagai program dan kegiatan yang mengarah pada usaha menolong keluarga itu.
Karena kedekatan mereka dengan masyarakat dan keluarga pedesaan, maka lembaga
seperti Dekel dan PKK dapat menampung aspirasi yang berkembang di tingkat
perkotaan atau di tingkat pedesaan. Mereka sekaligus dapat pula menjadi advokator
yang merangsang berkembangnya motivasi untuk mengembangkan demand baru
yang banyak manfaatnya untuk pengembangan keluarga yang sejahtera dan mandiri.
Untuk menjadikan lembaga-lembaga menjadi kekuatan pembangunan ekonomi yang
paripurna, diharapkan setiap desa dilengkapi dengan lembaga keuangan mikro
sehingga kemampuan advokasinya lengkap dengan dukungan pendanaan yang kuat.
Advokasi mereka dapat betul-betul membantu pemberdayaan ekonomi atau industri
kerakyatan di tingkat pedesaan dan di tingkat perkampungan di kota-kota.
Pembentukan atau pengadaan lembaga keuangan mikro di tingkat pedesaan itu dapat
diserahkan atau bekerja sama dengan pemerintah daerah atau di provinsi yang
bersangkutan dan bank-bank yang ada di daerah tersebut.
Lembaga keuangan mikro yang sekaligus dikaitkan dengan bank adalah agar keluarga
yang mungkin saja mempergunakan jasa lembaga keuangan mikro di kemudian hari
dapat dituntun dan diarahkan untuk bisa langsung mempergunakan kekuatan dan jasa
Bank yang dananya bisa berasal dari sumber-sumber masyarakat dan sumber lainnya.
Dengan cara demikian, masyarakat dapat melaksanakan kegiatan dengan basis yang
makin kuat karena di masa depan tidak seorang pun boleh menganggur.
Setiap keluarga dalam fungsinya sebagai kekuatan ekonomi kerakyatan dapat
diarahkan untuk makin dekat dengan lembaga keuangan mikro yang ada di daerahnya.
Sebaliknya setiap lembaga keuangan dapat diarahkan untuk memihak keluarga kurang
mampu dengan diwajibkan memberikan syarat-syarat khusus untuk penyaluran
dananya. Misalnya, diberikan dengan dua syarat utama, yaitu berapa banyak
masyarakat dan anggota keluarga kurang mampu yang diuntungkan dan berapa besar
dana lembaga itu bisa menolong keluarga kurang mampu yang mau bekerja, baik
secara langsung maupun dengan dengan cara bekerja pada orang yang mempunyai
pengalaman usaha sendiri.
Kedua syarat itu akan memberi kesempatan kepada para anggota keluarga kurang
mampu untuk mendapatkan kesempatan kerja, baik langsung sebagai nasabah atat
tidak langsung ikut serta pada mereka yang telah mempunyai usaha yang tingkat
produktifitasnya tinggi. Bekerja langsung bagi keluarga kurang mampu artinya setiap
keluarga mempunyai usaha mandiri akan memberi makna yang sama dengan bekerja
pada keluarga atau usaha lain yang akan mempekerjakan anggota keluarga kurang
19
mampu. Dengan arahan tersebut lembaga keuangan mikro akan menjadi pelengkap
yang baik sekali di tingkat pedesaan. Setiap keluarga berpartisipasi aktip dalam
pembangunan industri keluarga di pedesaan tanpa kendala kekurangan modal. (Prof.
Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-Pengantar-
Harganas-172002.
20
DARI PENERIMA TITIPAN SAMPAI TOSERBA
Upaya pendekatan pemberdayaan sumber daya manusia secara langsung harus
diarahkan kepada keluarga kurang mampu. Upaya itu terkenal sebagai pendekatan
Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk menolong keluarga miskin di 22.800 desa
tertinggal. Pada desa lain, sekitar 43.000 desa yang dianggap tidak tertinggal,
dilakukan upaya lain secara serentak dengan dukungan Yayasan Damandiri untuk
menolong keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I. Upaya tersebut bersifat
rangsangan membangun gerakan pemberdayaan mandiri melalui latihan menabung
Takesra dan latihan kewirausahaan dengan dukungan kredit Kukesra. Disamping itu
banyak program lain yang mengantar keluarga miskin seperti Program P4K melalui
Departemen Pertanian dan Program KUBE melalui Departemen Sosial.
Dalam pengembangannya program itu diteruskan dengan dukungan lain oleh
berbagai instansi dan lembaga swadaya masyarakat. Sebagaimana gerakan massal
pada umumnya, yang kadang-kadang terhambat jaminan komitmen dan
kelangsungannya, upaya-upaya itu tidak membawa hasil yang seragam. Ada daerahdaerah
maju karena mempunyai kepemimpinan lokal yang kuat komitmennya dan
meneruskan program itu dengan sumber daya dan sumber dananya sendiri secara
mandiri. Di daerah-daerah seperti ini masyarakat beruntung karena proses belajarnya
mendapat bimbingan dan pendampingan yang berkelanjutan. Hasilnya nyata, bukan
saja kepuasan fisik banyak keluarga kurang mampu yang berhasil mandiri, tetapi para
pelaku dan para pendampingnya mendapat kepuasan batin bahwa amal ibadahnya
diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa kesejahteraan yang lebih baik dari
masyarakat yang ditolongnya.
Di daerah-daerah yang komitmen dan kepemimpinan lokalnya relatip rendah
atau tidak berkesinambungan, masyarakat dan keluarga kurang mampu biasanya
mandeg ditengah jalan, dan programnya gagal. Keluarga kurang mampu yang baru
bergerak dan belajar wirausaha biasanya tidak akan atau belum siap menghadapi badai
persaingan dan cemoohan atas kualitas produksi dan pelayanannya yang sederhana.
Usaha itu biasanya segera mandeg karena para pesertanya putus asa, kembali hidup
miskin dengan melanjutkan kehidupan seadanya, termasuk kalau terpaksa
mengeluarkan anaknya dari sekolah untuk membantu mencari nafkah dengan “nrimo”
atas upah sebagai buruh harian yang sangat murah.
Namun, apapun hasilnya, ada pula luberan yang menarik dan bisa diangkat
sebagai titik-titik terang untuk mendorong dan melanjutkan proses pemberdayaan
mandiri. Dorongan ini harus terus dipelihara dan selalu disegarkan agar masyarakat
akhirnya bisa dan berkesempatan mengatatasi persoalannya secara mandiri. Dengan
upaya mandiri itu diharapkan uluran tangan pemerintah akan memperkuat usaha itu.
Kita tidak boleh berkecil hati, karena dimasa lalu, tingkat kemiskinan pernah
mencapai 11 persen pada tahun 1966. Ini berarti, kalau mau, kita bisa mengerem
tingkat kemiskinan itu dan menurunkannya menjadi lebih kecil lagi.
Sejak empat tahun lalu, lebih-lebih dalam alam otonomi daerah akhir-akhir ini,
Yayasan Damandiri secara gencar berusaha melanjutkan upaya pemberdayaan mandiri
21
itu dengan merangkul Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Bukopin, Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) dan lembaga keuangan pedesaan lainnya. Dalam
pendekatan itu diharapkan bahwa otonomi daerah memungkinkan pimpinan daerah
untuk dengan dukungan pemerintah pusat mengembangkan strategi sederhana yang
bisa dilaksanakan oleh rakyat banyak dengan mudah atau strategi yang tidak
merugikan para pelaksana Bank tetapi juga sangat mempermudah keluarga kurang
mampu mengembangkan pemberdayaan dan kewirausahaan secara mandiri.
Kisah Ibu Sugiono
Tersebutlah kisah menarik dari (sebut saja) Ibu Sugiono dari Malang. Ibu
yang baik ini adalah isteri dari seorang pegawai negeri yang tekun dan rajin, bernama
Bapak Sugiyono.Dimasa lalu, sebagai pemimpin keluarga dan pegawai negeri
golongan menengah yang baik, Bapak Sugiono selalu mengajak isterinya mengikuti
pertemuan Dharma Wanita di kantornya. Sebagai isteri pegawai negeri yang tinggal di
kampung, Ibu Sugiono dianggap sebagai seorang “tokoh elite” yang berpengaruh di
kampungnya. Karena itu Ibu Sugiono juga ikut serta dalam gerakan PKK di
kampungnya dengan rajin.
Di kantor suaminya, Ibu Sugiono bukan tokoh nomor satu dalam lingkungan
Dharma Wanita, karena ada isteri kepala bagian dan kepala dinasnya yang dianggap
senior. Tetapi di kampungnya, Ibu Sugiono sangat dihormati, dituakan dan dianggap
sebagai tokoh dan dipilih sebagai orang nomor dua yang dianggap pantas
mendampingi isteri kepala desa sebagai, katakanlah, Ketua Harian PKK-nya. Sebagai
tokoh yang disegani, Ibu Sugiono selalu mengikuti gerakan pengentasan kemiskinan
melalui pemberdayaan keluarga atau kursus-kursus kewirausahaan yang diadakan
organisasinya. Dia menjadi salah satu pemimpin kelompok yang tugasnya mengantar
anggota keluarga kurang mampu melepaskan dirinya dari lembah kemiskinan.
Pada waktu kelompok di desa mulai membentuk kegiatan ekonomi produktif,
kelompoknya melalui anggotanya mulai membuka usaha warung-warung kecil di
masing-masing kampung atau RT-nya. Sebagai ketua kelompok, Ibu Sugiono, jika
kebetulan ke kota mengikuti pertemuan ibu-ibu dimana suaminya bekerja, selalu
menampung titipan belanja kebutuhan warung-warung anggota kelompoknya di toko
yang lebih besar. Harga barang kebutuhan di toko yang lebih besar itu, karena
seringnya Ibu Sugiono berbelanja, lebih murah dibanding di toko lainnya. Ibu Sugiono
dianggap pembeli besar untuk warung-warung binaan organisasi PKK-nya.
Kebiasaan menjadi penampung titipan ini, pada saat krisis ekonomi melanda
tanah air kita, sangat menolong rakyat di desa mendapatkan barang-barang dengan
harga yang relatip lebih murah. Tetapi kebiasaan ini menimbulkan juga ide bagi Ibu
Sugiono untuk membuka “warung grosir” di rumahnya sendiri. Ibu Sugiono pusing
mencari modal untuk melaksanakan ide ini dan mempergunakan kesempatan yang
terbuka. Sebagai pegawai negeri, gaji bulanan suaminya hanya cukup untuk keperluan
sehari-hari dan tidak ada sisa untuk tabungan, apalagi untuk membuka warung sendiri.
Gerakan pemberdayaan mandiri dengan dukungan Bank Bukopin dan
Yayasan Damandiri membuka kesempatan program “Pundi” dan “Warung Sudara”
22
sebagai kelanjutan program Kukesra atau program pemberdayaan lain sebagai
kesempatan bagi ibu-ibu yang mampu membantu pemberdayaan secara mandiri,
antara lain melalui jaringan warung semacam itu. Untuk mempergunakan kesempatan
Program Pundi dan Program Warung Sudara itu keluarga Sugiono yang mewarisi
rumah dan tanah di desa itu dianjurkan untuk menyempurnakan surat-surat rumah dan
tanahnya menjadi sertifikat resmi. Untuk itu Bank dan Pemda setempat telah diajak
membantu percepatan proses pengurusan surat-surat itu.
Dengan modal surat sertifikat rumah dan tanah yang resmi itu, satu tahun yang
lalu, Ibu Sugiono dibantu mendapatkan pinjaman dana Pundi Bank Bukopin melalui
Koperasi Swamitra Dinoyo, yang berdekatan dengan kantor suaminya. Dari Swamitra
Dinoyo itu Ibu Sugiono mendapatkan kredit pertama untuk mulai membuka warung
pribadi yang kecil di halaman rumahnya sendiri.
Kesempatan yang terbuka itu dipergunakan dengan baik dan usahanya melaju
dengan cepat. Dalam waktu yang sangat singkat warung kecil itu berubah menjadi
pusat grosir untuk para anggota di kampungnya dan Ibu Sugiono terpaksa harus
dibantu oleh anak-anak perempuan muda DO SLTP dan DO SMU di kampungnya
melayani warung-warung kecil dan masyarakat sekitarnya. Setelah pinjaman
pertamanya lunas, Ibu Sugiono berhak mendapat pinjaman kedua yang lebih besar.
Dengan pinjaman yang lebih besar itu sejak sebulan lalu, Ibu Sugiono telah
membangun warung yang lebih besar di halaman rumahnya, suatu toko serba ada atau
Toserba “Ibu Ono”, “selalu sedia apa saja” yang dibutuhkan masyarakat di
kampungnya. Ibu Sugiono, isteri seorang pegawai negeri yang sederhana, telah
berubah dari sekedar penolong menampung titipan belanja para anggota binaannya
keluarga kurang mampu, sekarang telah menjadi penolong, pengusaha Toserba yang
terhormat dengan jaringan warung Sudara yang sebelumnya adalah keluarga kurang
mampu. Pengetasan kemiskinan bisa dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan
penuh komitmen aparat yang luwes dan memihak mereka.
Dari Warisan sampai Jasa Foto Kopi
Kasus Ibu Sugiono bukan satu-satunya “kebangkitan” Ibu-ibu di Desa dalam
proses pemberdayaan secara mandiri. Ibu Karto yang rumahnya tidak terlalu jauh dari
Pasar Dinoyo juga merupakan seorang pahlawan pengentasan kemiskinan yang tidak
tercatat di kantor manapun. Ibu Karto kebetulan mempunyai rumah di pinggir jalan.
Sebagai rumah warisan yang letaknya dipinggir jalan Ibu Karto sudah lama menerima
godaan untuk menjual rumah itu kepada investor yang selalu berseliweran
menawarkan kompensasi yang menggiurkan. Ibu Karto yang suaminya bekerja
seadanya memang tidak miskin, tetapi juga tidak kaya. Ibu Karto selalu di rumah
semasa muda momong anak-anaknya dan mengantar anak-anak itu bersekolah
seadanya. Setelah anak bertambah besar memang terasa sangat berat karena biaya
sekolah anak-anaknya bertambah besar dan penghasilan suaminya makin tidak
memadai untuk hidup selayaknya. Godaan untuk menjual rumah dan tanahnya yang
terletak di pinggir jalan makin menjadi-jadi. Tetapi karena rumah dan tanah itu adalah
warisan, ibu Karto dan suaminya takut kepada kedua orang tuanya yang mewarisi
rumah dan tanah itu kepadanya yang harus diturunkan kepada anak cucunya kelak.
23
Dalam gerakan pemberdayaan keluarga secara mandiri Pundi dan Warung
Sudara yang dilaksanakan oleh Bank Bukopin dengan dukungan dana dari yayasan
Damandiri, ibu Karto diberikan kesempatan untuk membuka usaha dengan dukungan
kredit dari Bank. Ibu Karto merasa tidak mampu membuka usaha, karena tidak cukup
sekolah dan anak-anaknya relatip masih kecil dan pak Karto sendiri sibuk sebagai
karyawan suatu usaha swasta yang segan untuk ditinggalkannya.
Dengan bimbingan seperlunya dianjurkan kepada Ibu Karto untuk membuka
usaha foto kopi dan dianjurkan untuk mengajak anak-anak tanggung drop out SLTP
atau SMU yang ada di desanya. Setelah diskusi dan perundingan yang matang, maka
akhirnya keluarga Karto, khususnya Ibu Karto sepakat untuk membuka usaha itu di
rumahnya. Ibu Karto dengan agunan rumah dan tanah warisan orang tuanya, Ibu Karto
diberi pinjaman oleh Swamitra Dinoyo untuk membuka Warung Pelayanan Foto Kopi
di rumahnya. Untuk itu bagian depan rumahnya disulap menjadi warung yang
melayani foto kopi itu.
Dengan usaha foto kopi itu Ibu Karto mengubah warisan yang diterima dari
orang tuanya, suatu aset yang tadinya mati, atau relatip mempunyai nilai ekonomi
sangat rendah karena hanya ditempati oleh Pak Karto dengan keluarganya, sekarang
telah menjadi aset hidup yang mengubah kehidupan Ibu Karto yang tadinya ketakutan
karena budget untuk memelihara keluarganya bertambah besar, sekarang hidup rukun
dan makmur karena telah mempunyai usaha foto kopi yang laris. Ibu Karto telah ikut
menolong tiga anak remaja perempuan drop out SLTP dan SMU bekerja secara penuh
di warung foto kopinya. Bank Bukopin dengan Swamitra Dinoyo telah berhasil
membantu keluarga Karto mengubah aset matinya menjadi modal kerja yang
menghidupi dan mengentaskan keluarga miskin di sekitarnya.
Mudah-mudahan hal-hal yang nampaknya kecil tetapi sangat menyentuh hati
nurani rakyat kecil itu mendapat perhatian Ibu Presiden Megawati Soekarnoputri
bersama para Menterinya yang sekarang ini sedang giat menyegarkan kembali
semangat membangun secara mandiri dan sekaligus mengatasi kemiskinan di negara
yang sesungguhnya kaya ini. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial
Kemasyarakatan). – MiskinAset-3032002.
24
PERSAHABATAN LANSIA
Banyak kalangan menolak modernisasi karena dengan itu akan kehilangan ciri
ketimuran yang penuh dengan persahabatan. Untuk melindungi dirinya, orangorang
semacam itu terutama penduduk negara berkembang yang percaya bahwa
masa lampau penuh dengan keakraban dan kepadatan budaya, menolak
pembangunan yang diperkirakan akan mempertipis solidaritas dan
persahabatan itu. Ada kalanya mereka menolak didirikannya sekolah di sekitar
perkampungan. Alasannya, kalau sekolah itu harus didirikan, terpaksa sekolah
itu harus didirikan di tengah sawah yang jauh dari permukiman. Padahal, di
tengah kampung masih banyak tanah kosong yang bisa dijadikan pusat
pendidikan dan sekaligus pusat peradaban baru.
Karena itu di desa-desa tertinggal, termasuk di sekitar 22.000 desa yang tergolong desa sangat
miskin, tidak banyak dijumpai sekolah-sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama,
sekolah menengah kejuruan (SMK) atau sekolah menengah umum (SMU). Alasannya cukup
menggelitik, karena para pejabat menyatakan bahwa di desa itu tidak banyak murid-muridnya
yang sekolah, biarpun anak-anak usia sekolah sama banyaknya dibandingkan dengan anak
usia sekolah di desa yang tidak miskin.
Dengan adanya krisis keuangan sekitar tahun 1997, dan yang berlanjut menjadi krisis
ekonomi yang berkepanjangan, dapat diperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin
meningkat dan anak-anak yang tidak sekolah juga pasti meningkat. Bahkan kalau
penduduk miskin asli tidak bertambah, pasti ada tambahan penduduk miskin yang
mungkin bukan berasal dari keluarga yang sebelumnya sudah miskin, tetapi adalah
dari keluarga-keluarga yang semula justru tidak miskin. Mereka itu umumnya adalah
pekerja-pekerja yang kehilangan pekerjaannya karena industri atau usaha dimana
mereka bekerja terpaksa tutup karena terbelit hutang, atau karena usaha-usaha dimana
mereka itu bekerja mempergunakan banyak sekali bahan baku yang berasal dari luar
negeri.
Proses penanganan kemiskinan di masa lalu mengkonsentrasikan diri pada upaya
menolong mereka yang sudah terlanjur miskin, yaitu orang tua dan mereka yang
dianggap bertanggung jawab dalam setiap keluarganya. Dengan makin maraknya
program pengentasan kemiskinan, tiba waktunya untuk mengubah strategi
pengentasan kemiskinan dengan lebih banyak berkonsentrasi pada upaya
pemberdayaan generasi muda, terutama anak-anak perempuan dari keluarga yang
dianggap kurang mampu itu.
Cara ini dipandang lebih efektif, terutama kalau dibandingkan dengan pemberian
dukungan kepada keluarga lain yang sudah sangat tua dan tidak mampu lagi bergerak
secara lincah atau jompo. Lain halnya kalau orang tua itu masih segar bugar, usia
berkisar antara 50 – 60 tahun dan secara fisik intelektual masih segar, berpikiran jernih
dan cemerlang. Orang-orang semacam ini ada dimana-mana, di desa yang sangat
miskin atau di desa yang dianggap tidak terlalu miskin. Dengan adanya Hari
Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei dan Hari Lanjut tanggal 29
Mei, kita pantas merenung bagaimana kedua kekuatan maha besar itu bisa
25
“dikawinkan” dalam suatu sinergi yang menguntungkan masa kini dan masa depan
yang lebih gemilang.
Karena itu dalam suasana bulan Mei yang penuh hari bersejarah itu, lebih-lebih pada
Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei, kekuatan potensi
bangsa itu harus dipadukan menjadi kekuatan maha besar untuk mendorong
bangkitnya bangsa yang memang besar ini. Kekuatan pendidikan yang mulai tahun ini
menempuh pendekatan “Broad-Based Education” yang mempersiapkan anak didik
supaya bisa siap untuk bekerja. Pendekatan ini mirip seperti pendekatan SMK Negeri
di Malang yang dilaksanakan dengan sangat baik. Disamping itu para lansia, yang
tanggal 16 Mei 2002 lalu berkumpul di Jakarta, telah menyepakati suatu keyakinan
bahwa yang masih potensial akan tetap melanjutkan pengabdiannya kepada tanah air,
Nusa dan bangsanya.
Untuk mengembangkan BBE itu para lansia dapat menjadi “pagar peduli” yang
sekaligus mengembangkan suasana “persahabatan yang dinamik” untuk merangsang
peningkatan kemampuan usaha anak-anak bangsa yang ada di sekolah-sekolah itu.
Para lansia dapat mengatur bersama bagaimana membantu anak-anak itu
meningkatkan kemampuannya dalam olah usaha dengan membuka usaha di sekitar
pusat-pusat pendidikan yang ada. Ini harus dimulai dengan kemauan para lansia yang
tinggi untuk terlebih dulu belajar pada Universitas Usia Ketiga. Selanjutnya mereka
bisa terjun aktif dalam pengabdian sesama agar makin lapang jalan para lansia itu
menuju sorga.
Sementara itu kelompok atau keluarga-keluarga lansia yang menjadi pagar peduli atau
pagar persahabatan itu dapat dikembangkan menjadi keluarga yang sejahtera dan
berhasil. Keluarga yang berhasil itu, ditambah dengan kelompok-kelompok baru akan
saling melakukan pembinaan kepada anak-anak didik yang harus dititipkan oleh
sekolahnya kepada usaha atau kepada warungnya sehingga para lansia yang mengasuh
warung atau usaha dapat secara intensif ikut mendidik anak-anak itu untuk menguasai
secara praktis bidang usaha yang diperlukannya untuk mengasah kemampuan
intelektualnya di masa depan.
Dukungan dari para lansia dengan usahanya itu akan sangat bermakna untuk
memperluas dan mempertajam kegiatan usaha dalam olah BBE yang tidak harus
diadakan di sekolah, tetapi bisa diadakan di kampung atau di rumah-rumah di sekitar
sekolah atau di sekitar kampus. Dengan cara demikian, generasi muda, anak-anak dan
gurunya, akan menjadi lebih terkait dalam persahabatan yang menjadikan keluarga di
sekitar sekolahnya dengan dunia usaha yang digelutinya bisa menjadi idola yang
dihormati. Sebaliknya sekolah sebagai lahan untuk mendidik anak-anak mereka bisa
menjadi suatu sahabat yang menguntungkan, dan sekolah tidak harus ditolak
kehadirannya di desa, tidak harus didirikan di tengah sawah yang tidak ada
penghuninya. (Prof. DR. Haryono Suyono, Pengamat Sosial Kemasyarakatan)-
Pengantar Pagar Peduli-2052002
26
MENYONGSONG KARIER KEDUA MELALUI
PENGABDIAN DAN USAHA PRODUKTIF
Peringatan Hari Lansia Nasional setiap tanggal 29 Mei menjadi
renungan apa yang dapat dikerjakan untuk menolong para lansia menyongsong
karier kedua melalui pengabdian dan usaha produtif yang berguna untuk anak
cucu, nusa dan bangsanya.
Dengan perkembangan ekonomi dan industri yang bertambah baik, sejak akhir
abad ke 19 negara-negara Eropa dan Amerika Utara berhasil memperbaiki
kesejahteraan rakyatnya. Akibatnya struktur penduduk bertambah tua. Usia harapan
hidupnya secara perlahan dan sistematis makin menakjubkan. Penduduk dengan usia
harapan hidup diatas 65 tahun atau diatas 70 tahun, bahkan diatas 80 tahun,
bertambah banyak.
Negara-negara berkembang biarpun tidak mengulangi pengalaman
industrialisasi seperti negara-negara di Eropa, bisa berubah struktur penduduknya
melalui program pembangunan, khususnya perbaikan dalam bidang kesehatan dan
keluarga berencana. Struktur penduduknya juga bertambah tua. Melihat
perkembangan itu, pada tahun 1990 PBB sepakat menjadikan tanggal 1 Oktober
sebagai Hari Lanjut Usia Internasional untuk meningkatkan perhatian dan
komitmen mendukung penduduk usia lanjut.
Sebagai salah satu anggota negara-negara berkembang yang mengalami
perubahan struktur penduduk karena pembangunan, Indonesia tidak terlalu
ketinggalan. Bangsa kita telah berhasil menyepakati suatu Undang-Undang tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia pada akhir tahun 1998, dan kita telah sepakat pula
menjadikan tanggal 29 Mei sebagai Hari Lanjut Usia Nasional. Apabila tidak
diingatkan hari penting itu bisa lewat tanpa kesan. Padahal dengan jumlah warga
lanjut usia, berusia 60 tahun atau lebih, sekitar 15 - 17 juta jiwa, para lansia bisa
berbuat banyak untuk nusa dan bangsanya.
Peningkatan Jumlah Lansia
Dalam sensus penduduk 2000 yang lalu tercatat kenaikan jumlah penduduk
lansia yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan semua kategori usia lainnya.
Perubahan struktur yang umumnya terjadi di negara-negara maju juga terjadi di
Indonesia. Sehingga penggarapan dan pelayanan penduduk atau warga usia lanjut
disini harus diubah karena kita berharap masa depan bangsa adalah masa depan suatu
masyarakat Indonesia baru yang bermoral, menghargai orang tua dan
mengusahakan masa tua itu sejahtera. Oleh karena itu perhatian kepada para
lansia harus mencerminkan nilai-nilai luhur masyarakat yang bermoral tersebut.
Perhatian itu harus dimulai dari setiap keluarga dimana “insan yang lansia” harus
bisa menikmati hidup masa tua yang tentram karena berada dalam lingkungan
keluarga yang akrab, penuh rasa cinta, perdamaian dan ketentraman lahir dan batin.
Dalam suasana seperti itu, para sesepuh atau lansia, yang mungkin saja secara fisik
27
tidak bisa banyak berbuat, harus diusahakan tetap merasa dihormati dan dibutuhkan
karena dianggap memiliki wibawa, kearifan, dan kemampuan dukungan mental dan
spiritual yang tinggi menyejukkan
28
Karena itu kita harus bisa menyiapkan keluarga untuk mampu menjadi lembaga
pertama dan utama dalam mengembangkan budaya hormat pada orang tua. Untuk
itu keluarga harus bisa menumbuhkan budaya perlindungan kepada lansianya.
Keluarga harus bisa memberdayakan dan membekali anak-anak dan cucu-cucunya
dengan budaya itu. Untuk itu setiap keluarga harus dibantu untuk mampu mandiri
dengan dukungan pemberdayaan agar bisa memberi penghargaan dan kesempatan
kepada lansia untuk tetap bahagia dan sejahtera dalam lingkungan keluarganya.
Disamping itu lansia yang memerlukan perhatian dan pelayanan keluarga yang
memadai, harus didukung oleh keluarga dan masyarakat yang peduli, pemerintah yang
tanggap, tenaga pendamping yang trampil, dan dukungan lain yang lebih terpadu. Untuk
itu diperlukan upaya untuk menyiapkan dan mendidik tenaga pendamping yang
profesional dan mandiri, baik dalam lingkungan keluarga atau lembaga-lembaga yang
dikembangkan untuk itu. Penyediaan tenaga seperti ini perlu terus dipacu dan
dikembangkan secara wajar agar dicapai keandalan yang memadai.
Lansia Potensial
Mempersiapkan diri untuk menjadi lansia yang sejahtera dan tetap peduli
terhadap masyarakat sekitarnya sesungguhnya harus dimulai pada usia yang sangat
dini. Masa anak-anak dalam kandungan, semasa usia balita, dan semasa remaja,
haruslah menjadi awal dari persiapan untuk menjadi lansia sejahtera untuk waktu yang
relatif lama. Perhatian terhadap kesehatan janin, anak-anak dan remaja adalah sama
pentingnya dengan perhatian terhadap pembekalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
tehnologi. Anak-anak harus sehat karena tubuh mereka diperlukan untuk bertahan
menjadi lansia andalan yang harus sehat wal’afiat sampai usia yang sangat tinggi.
Anak-anak kita harus juga mendapat bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang
mencukupi karena dalam usia kerja mereka harus mempunyai pendapatan yang cukup
agar bisa menabung dalam jumlah yang memadai untuk biaya menjadi lansia sejahtera
untuk waktu yang lama.
Persiapan menabung untuk hari tua itu sangat diperlukan karena generasi muda
sekarang harus hidup dalam dunia baru dimasa depan dengan proporsi lansia yang
makin membengkak. Adalah tidak adil apabila lansia masa depan yang jumlahnya
sangat tinggi harus membebankan kehidupannya yang panjang kepada anak cucu, yang
pada waktu yang bersamaan harus berjuang untuk menghidupi keluarga barunya.
Dimasa datang dependency ratio lansia naik menjadi sangat tinggi. Untuk mengurangi
beban keluarga, terutama beban penduduk usia kerja, harus dikembangkan tiga
kebijaksanaan dan langkah-langkah konkrit sebagai berikut. Pertama, bagi lansia
yang mampu dan masih kuat mental fisiknya, bisa memperoleh kesempatan untuk tetap
bekerja, atau mendapat kesempatan kerja baru sesuai dengan kemampuannya, agar bisa
membiayai kehidupannya secara mandiri. Kedua, bagi yang fisik dan mentalnya tidak
kuat lagi, harus mempunyai dukungan tabungan yang cukup, yang dikembangkan
selama masa kerjanya, agar tidak membebani anak cucunya. Ketiga, lansia yang tidak
mampu harus menjadi tanggungan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
29
bersama-sama dijamin oleh pemerintah dan masyarakat dalam bentuk subsidi silang
yang saling meringankan.
Bila dilihat secara prosentase, peningkatan angkatan kerja penduduk lansia lebih
tinggi dibandingkan dengan peningkatan angkatan kerja laki-laki sebesar 19,4 persen
atau rata-rata 3,8 persen setiap tahun. Sedangkan peningkatan angkatan kerja penduduk
lansia perempuan sebesar 26,3 persen atau rata-rata 5,2 persen per tahun. Ini berarti
bahwa pelayanan untuk para lansia yang diselenggarakan di Panti-panti menjadi tidak
mencukupi.
Agar para lansia dapat menikmati hari tuanya dari uang tabungan, dan tetap
peduli terhadap masyarakat sekitarnya, harus didukung dengan semacam asuransi.
Untuk itu perlu dikembangkan gerakan menabung dengan gegap gempita. Setiap
penduduk pada usia kerja harus menyisihkan sebagian dari pendapatannya pada
tabungan wajib atau semacam “social security saving” , atau “social insuranc e” yang
dikelola oleh pemerintah dan masyarakat dengan jaminan yang aman. Setiap penduduk
harus mempunyai semacam “social security number” yang menjadi tanda pengenal
untuk mendapat jaminan pada hari tuanya. Pembayaran iuran social security saving itu
dapat dibebankan kepada para pengusaha secara gotong royong sehingga tidak
memberatkan setiap penduduk yang sedang bekerja.
Selain itu, agar para lansia yang masih mampu dapat melanjutkan kerja atau
mencari kerja baru sesuai dengan kemampuannya, perlu dilakukan persiapan-persiapan
yang memadai. Untuk mempersiapkan para lansia tersebut, salah satu gagasan
gemilang telah muncul dari Drs. Titus K. Kurniadi, dari Organisasi Lansia Wulan
(Warga Usia Lanjut). Gagasan yang diusulkan itu adalah bahwa semua warga
menjelang usia lanjut dianjurkan mempersiapkan diri dengan baik, secara sadar dan
sungguh-sungguh, agar tetap bisa bekerja pada usia lanjut sesuai dengan
kemampuannya. Beliau mengusulkan adanya “Universitas Usia Ketiga”. Ada baiknya
“Universitas” ini diikuti o leh setiap penduduk, khususnya mereka yang bekerja pada
“pekerjaan formal” mulai usia 45-50 tahun, yaitu pada saat yang bersangkutan
masih aktip bekerja. Para calon lansia bisa berlatih mempersiapkan kegiatan baru yang
mungkin dapat dilakukan dengan dukungan fisik dan mental yang lebih ringan dalam
masa lansia yang bisa panjang. Mereka mempersiapkan diri untuk, kalau perlu, berubah
profesi dengan menggeluti sesuatu yang baru dan cocok dengan kondisi fisik maupun
kemampuannya pada usia lanjut tersebut. Mereka bahkan dapat meraih karier baru
yang lebih gemilang dalam kehidupan yang baru itu.
Belajar, Bekerja dan Mandiri
Sementara itu, sejak tanggal 2 Mei 2002 lalu pemerintah telah mencanangkan
Gerakan Nasional Peningkatan Mutu Pendidikan di seluruh Indonesia. Sebelumnya
sejak bulan Januari 2002 Yayasan Damandiri terlebih dulu menggelar gerakan
Peningkatan Mutu Pendidikan dengan judul yang sama sekaligus disertai ajakan
30
untuk Belajar Mandiri sebagai upaya mengembangkan budaya baru “Belajar, Bekerja
dan Membangun secara Mandiri”.
Bersamaan dengan upaya Belajar Mandiri yang merupakan “gerakan
Damandiri peduli” itu, dan dilaksanakan bersama dengan Yayasan Indonesia Damai
Sejahtera (Indra), mulai tahun ini Departemen Pendidikan Nasional mencanangkan
pula pendekatan pendidikan yang berorientasi bekerja dan disebut sebagai pendekatan
“Broad -Based Education” dengan dukungan “School -Based Management” yang
mengharuskan setiap sekolah menata sendiri urusan rumah tangganya, lengkap dengan
pengaturan kurikulum, basis-basis pendidikan kejuruan yang diambil anak-anak didik
yang diasuhnya dan upaya meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran di
sekolahnya.
Tantangan itu bisa merupakan salah satu “kesempatan usaha” yang dapat
dilakukan oleh para lansia, terutama “setelah m engikuti ‘kuliah’ pada universitas usia
ketiga”. Para lansia, terutama yang tempat kediamannya berdekatan dengan sekolahsekolah,
atau universitas, dapat menggalang kerjasama dengan lembaga pendidikan di
dekat tempat tinggalnya dengan menjadikan sekolah dan tempat sekitarnya sebagai
pusat-pusat pengembangan dan pembangunan baru. Caranya adalah dengan
menciptakan dan melaksanakan kegiatan usaha produktif baru yang sekaligus dikaitkan
dengan menjadikan tempat usaha itu sebagai lahan untuk praktek para siswa atau
mahasiswa. Dalam lahan itu para lansia bisa ikut serta menjadi penghantar mulia, yaitu
“guru untuk kegiatan pendidikan yang berorientasi BBE” tersebut.
Keikut sertaan pada Universitas Usia Ketiga dapat sekaligus merupakan
persiapan untuk menggeluti profesi baru yang sangat mulia itu. Kemampuan daya yang
dimiliki dapat merupakan aset, yang mungkin saja sekarang masih mati, tetapi dapat
dihidupkan untuk dikembangkan menjadi suatu kekuatan baru membangun tempattempat
baru yang strategis di sekitar sekolah atau universitas di sekitar kampung
halamannya, atau di pedesaan yang tanpa kegiatan itu akan langka pembangunan.
Secara operasional, para lansia dapat bersama-sama dan bekerja sama dengan
para guru, saling tolong menolong membimbing para siswa yang bersekolah di
rumahnya, di perusahaannya, atau di bengkelnya, menjadi tenaga pengajar baru yang
melengkapi dirinya dengan pengetahuan kewirausahaan yang lebih lengkap, dan
dapat dipraktekkan di bengkel atau tempat usaha di rumahnya. Dengan cara demikian,
setiap sekolah tidak harus susah-susah membangun prasarana BBE-nya sendiri-sendiri,
tetapi para lansia dapat menjadi potensi kependidikan yang luar biasa dahsyatnya.
Semoga mendapat perhatian dan berhasil. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat
Masalah Sosial Kemasyarakatan) – Lansia-1852002
31
MEMPERSIAPKAN KARIER KEDUA
Tanggal 29 Mei yang selalu diperingati sebagai Hari Lanjut Usia (Lansia)
merupakan suatu kebahagiaan tersendiri karena di tahun 2002 ini, para lansia Indonesia
minimal sudah mempunyai UU tentang Kesejahteraan Lansia. Dengan UU yang telah
berumur empat tahun itu kita berharap segera diciptakan langkah-langkah konkrit oleh
pemerintah untuk membangun suasana yang kondusif agar para lansia yang masih
mampu bisa tetap memberikan kontribusinya dan mereka yang kurang mampu mendapat
bantuan yang diperlukannya.
Memang suasana sekarang serba salah. Dengan adanya krisis keuangan sekitar
tahun 1997, yang berlanjut menjadi krisis ekonomi berkepanjangan, dapat diperkirakan
bahwa jumlah penduduk miskin meningkat. Dengan sendirinya keluarga lansia yang
menderita juga pasti meningkat. Bahkan kalau penduduk lansia miskin asli tidak
bertambah, pasti ada tambahan penduduk miskin yang mungkin bukan berasal dari
keluarga yang sebelumnya sudah miskin, tetapi adalah dari keluarga-keluarga yang
semula justru tidak miskin. Bagi lansia yang kehilangan pekerjaan karena pensiun atau
karena tidak mampu lagi bekerja kasar dengan ototnya, kemiskinan baru itu sudah lebih
pasti.
Keadaan lansia seperti ini tidak banyak kita pikirkan di masa lalu karena jumlah mereka
yang tua atau lansia tidak seberapa. Tetapi dengan makin baiknya tingkat kesehatan dan
keberhasilan KB yang menonjol, jumlah lansia membengkak dengan sangat cepat.
Jumlah lansia yang kehilangan pekerjaan formalnya menjadi makin besar dan mereka
yang tidak ingin bekerja dengan otot juga makin tinggi.
Disamping itu pekerjaan pertanian makin juga menyusut dan dianggap makin tidak
mencukupi tuntutan lapangan kerja masyarakat yang ada di pedesaan. Para ibu yang
biasanya banyak bekerja dirumah karena jumlah anak yang banyak, atau membantu
suaminya di sawah, juga makin kekurangan pekerjaan karena anak-anak bersekolah dan
tidak memerlukan penanganan yang terlampau rumit. Karena berbagai alasan pertanian
itu belum berubah menjadi industri. Proses industrialisasi yang bersifat mikro tidak
segera tumbuh di daerah pedesaan, sehingga suasana perkampungan, terutama di musim
kering, atau saat-saat penduduk tidak mengolah sawah, suasana menjadi bertambah
“sepi” dan lenggang.
Dalam keadaan seperti itu Yayasan Damandiri mengembangkan suatu gagasan yang
secara pelahan telah dilaksanakan di beberapa daerah dengan baik melalui berbagai
mitra kerja Yayasan di lapangan. Salah satu pengalaman yang menarik adalah usaha
yang dilakukan oleh Ibu Sri Budarningsih dari Desa Mantingan di Jepara. Ibu yang
sekarang masih sangat aktif sebagai Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak ini adalah
seorang ibu yang sangat menaruh perhatian terhadap masyarakat sekitarnya, sekaligus
mampu mengembangkan karier keduanya sebelum memasuki usia pensiun dan suaminya
pensiun terlebih dulu.
32
Sejak dua tahun terakhir ini, Ibu Sri Budarningsih mempersiapkan rumahnya menjadi
lahan industri mengikuti gerak masyarakat sekitarnya dalam bidang meubelair, ukir atau
pembuatan akhir dari meubelair yang memang terkenal di wilayah Jepara.
Karena suaminya seorang pegawai dan Ibu sendiri adalah seorang pegawai, maka
dihimpunlah ibu-ibu petani di sekitarnya untuk bersama-sama belajar mengampelas
kursi meja dan segala macam pekerjaan perkayuan. Dipilihnya pemasok dari beberapa
wilayah yang sanggup mengirim bahan mebel bermutu setengah jadi yang memerlukan
pekerjaan penghalusan yang rapih dan berkualitas.
Sebagai guru taman kanak-kanak, Ibu Sri dengan telaten mengundang tukang yang ahli
untuk memberi pelajaran kepada Ibu-ibu yang diajaknya bergabung dalam usaha rumah
tangga yang mulai ditekuninya itu. Untuk modal awal Ibu Sri Budarningsih meminjam
dana dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusamba yang didukung oleh Yayasan
Damandiri. Dana awal itu dipergunakannya untuk modal membeli peralatan sederhana
dan bahan-bahan untuk ampelas, pelitur dan segala sesuatu yang diperlukan untuk
pekerjaan penghalusan meubelair itu.
Dengan pilihan bahan mebel setengah jadi yang sangat berkualitas dan dengan kesabaran
para ibu-ibu yang semula isteri para petani di sekitar rumahnya itu, para pekerja
menggarap “finishing” meubelair di tempat usahanya dengan kecermatan yang sangat
tinggi. Bisa diduga hasilnya sungguh sangat menakjubkan. Karyanya di senangi oleh
para pedagang yang ada di daerah Jepara pada umumnya.
Dengan modal tambahan dari BPR Nusamba Ibu Sri Budarningsih kemudian membuka
“show room” sendiri dirumahnya. Anaknya yang sudah selesai kuliah di Institute Seni
Indonesia (ISI) yang semula bekerja di tempat lain ditariknya untuk membantu
usahanya yang bertambah maju, sementara dia sendiri tetap bekerja sebagai Kepala
Taman Kanak-kanak. Secara teratur dia menggeluti usahanya setelah jam kerja atau pada
hari Sabtu dan Minggu.
Dengan sentuhan berkualitas dari anaknya yang berbakat seni, produknya makin
menunjukkan kekhususan dan kualitas yang menonjol. Beruntunglah keluarga Ibu
Purninati karena produknya ketahuan pembeli dari luar negeri, khususnya dari Malaysia
dan Brunei Darusalam yang kemudian tertarik dengan sentuhan seni dan tangan halus
para ibu yang mengerjakan karya-karya yang bermutu tersebut.
Dengan masukan tambahan berupa sentuhan khas Malaysia dan Brunei serta keaslian
ukiran Jepara, produk dari Ibu Sri Budarningsih sekarang menjadi dambaan masyarakat
Malaysia dan Brunei dan dia secara teratur menjadi pamasok dari toko-toko mebel yang
ada di negara jiran itu.
Komitmen dan dukungan dari Ibu Sri Budarningsih, yang calon lansia, dengan usahanya
yang tekun ternyata membawa hasil yang sangat bermakna. Ibu Sri Budarningsih akan
33
memasuki masa pensiun dengan karier baru sebagai “juragan” atau pemimpin pabrik
“finsihing” dari mebel-mebel antik yang mempunyai pasaran internasional. (Prof. Dr.
Haryono Suyono, Pengamat Sosial Kemasyarakatan)-Pengantar-PersiapanLansia-
2752002.
34
KAMPUS DAN OTONOMI DAERAH
Dalam semangat membangun secara mandiri, otonomi daerah yang mulai marak, dan upaya
beberapa kampus untuk mulai mengembangkan diri menjadi lembaga pendidikan yang otonom,
perlu dikembangkan strategi praktis yang mudah dilaksanakan. Proses pengembangan itu tidak
mudah. Umumnya orang berpikir muluk-muluk dan ingin segera mendapatkan uang yang
banyak. Kita harus realistik. Kita harus tidak malu menyusun strategi dan mengambil langkahlangkah
nyata yang sederhana. Kita harus bisa mengembangkan pendekatan ekonomis tanpa
mengorbankan kualitas akademis. Kita harus tetap memberi kesempatan anak-anak berbakat dari
keluarga kurang mampu untuk bisa mengikuti pendidikan tinggi dengan kualitas prima.
Berbagai universitas harus sanggup makin dekat dengan rakyat dan pemerintah
daerahnya. Kampus harus berpikir besar tetapi tidak malu mengambil langkah sederhana
tetapi strategis untuk lebih aktip mengembangkan daerahnya. Pengembangan daerah ini
pada saatnya akan menghasilkan kekuatan “snow ball” yang maha besar dan tidak ada
seorangpun yang sanggup menghentikannya. Apabila kekuatan itu sudah datang, pasti
akan mampu menopang kehidupan kampus yang mandiri.
Berbagai universitas yang selama ini telah memberi kesempatan pada mahasiswa
potensial dari keluarga kurang mampu, harus makin gencar menarik simpati berbagai
pihak yang sejalan. Universitas seperti itu harus membuka kesempatan yang bisa
menarik minat para investor sepanjang tahun untuk terjun ke kampus mencari dan atau
mendidik kader untuk perusahaannya. Kalau perlu para investor itu diberi kesempatan
“mengambil”mahasiswa potensial yang hampir jadi setiap waktu dengan penggantian
beasiswa dan imbalan sumbangan untuk kampus yang memadai. Dengan cara demikian,
kampus harus secara proaktip mencari dan mengajak investor untuk membantu mendidik
tenaga potensial yang segera bisa membantu pengembangan dunia usaha dalam
kerjasama yang saling menguntungkan.
Pemerintah daerah, serta seluruh aparatnya, dan keluarga-keluarga yang berada
di sekitar kampus bisa diajak ikut serta mengembangkan kehidupan kampus yang
nyaman dan penuh kreativitas. Wilayah sekitar kampus, bahkan wilayah kota dimana
universitas itu berada harus menjadi suatu wilayah yang “gila kampus”. Ada upaya
menjadikan kampus sebagai pusat pengembangan ekonomi perkotaan atau pusat
pengembangan ekonomi daerah.
Untuk itu para dosen dan mahasiswa harus makin peduli terhadap kehidupan
pemerintahan daerah dan terhadap kehidupan masyarakat setempat. Di pusat-pusat kota
dirangsang pengembangan suasana cinta kampus seperti adanya toko khusus atau
bagian-bagian toko yang menyediakan tanda mata yang berbau kampus, toko-toko yang
dikelola atau dimiripkan suasana kampus, restoran dengan suasana dan tarip kampus,
bukan untuk mahasiswa saja, tetapi juga dibuka untuk pembeli biasa yang mungkin
kepingin mempunyai “cita rasa kampus” atau kepingin ketemu dosen dan mahasiswa.
35
Di kecamatan-kecamatan dipilih desa atau dukuh yang diberi label serta dibina
oleh kampus. Para dosen dan mahasiswa pada hari-hari tertentu berkunjung ke SD,
SLTP, atau SMU setempat untuk berbincang-bincang dengan para siswanya. Bisa juga
para dosen dan mahasiswa berkunjung ke desa untuk bertemu dengan rakyat biasa dan
membantu pemberdayaan keluarga miskin yang ada di desa tersebut. Bisa juga para
dosen dan mahasiswa mengadakan kegiatan olah raga atau kegiatan apapun yang
mempunyai sifat bisa mendekatkan diri dengan masyarakat desa setempat.
Kedekatan dan kepedulian seperti ini harus makin menjadikan suatu kota dimana
kampus itu berada makin menyatu dan makin mempunyai visi bersama atau shared
vision untuk hidup makin mandiri. Gagasan otonomi dan upaya menyatu dengan
masyarakat itu bisa disegarkan dengan memberi warna baru kepada kegiatan Kuliah
Kerja Nyata atau Kuliah Kerja Usaha. Kegiatan yang pernah sangat populer itu harus
diberi daya tarik baru. Hal-hal yang baik bisa makin dikembangkan dan hal-hal yang
kurang berguna dihilangkan. Para mahasiswa harus bebas memilih masyarakat dimana
mereka akan menyatu dan menyatakan kepeduliannya dengan program nyata. Para dosen
dapat melakukan pembinaan seperti halnya dalam kuliah-kuliah dimuka kelas. Mereka
bisa memberikan banyak contoh lapangan, memberi bekal tentang adanya kendala yang
bisa atau harus dihadapi mahasiswa dalam program menyatu dengan masyarakat.
Masyarakat sendiri dapat mengembangkan prakarsa untuk “menjemput bola”
dengan mengundang partisipasi dosen dan mahasiswa yang dipilih untuk ikut serta
dalam kegiatan pembangunan di kampungnya. Proses demokrasi dalam arti langkah
nyata dapat mulai dipraktekkan bukan untuk saling caci maki, tetapi untuk bersamasama
mengembangkan partisipasi dalam pembangunan menurut pilihan yang bebas.
Dengan cara demikian setiap universitas akan mendapat pengayaan dan para
mahasiswa akan menimba pengalaman lapangan jauh sebelum yang bersangkutan lulus.
Masyarakat sendiri akan mendapat manfaat dari berbagai masukan ilmiah yang
disumbangkan para dosen dan mahasiswa dengan ongkos yang relatip sangat minimal.
Apabila usaha ini berhasil, tidak mustahil kehidupan masyarakat kota atau
kabupaten dalam pengembangan kehidupan yang makin mandiri dapat dilakukan secara
sinergi. Masing-masing pihak akan mendapat keuntungan yang memuaskan. Masyarakat
yang makin maju hampir pasti akan menjadi incaran para investor. Sebaliknya
universitas yang makin mengenal masyarakatnya akan makin dicintai oleh para
mahaiswa dan menjadi incaran calon-calon mahasiswa dari berbagai sekolah yang ada.
Mudah-mudahan pikiran-pikiran sederhana ini bisa merangsang pengembangan
strategi yang menyentuh hati nurani rakyat. Mudah-mudahan ada manfaatnya untuk
menggalang kebersamaan dan kepedulian yang mengantar lembaga pendidikan tinggi
makin mandiri dan dicintai rakyat. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah
Sosial Kemasyarakatan). – Pengantar-Kampus-1092001.

LELANG KEPEDULIAN UNTUK PEMBERDAYAAN
KELUARGA
Pada awal tahun sembilanpuluhan disepakati UU tentang
Kependudukan dan Keluarga Sejahtera serta UU tentang Kesehatan.
Kedua UU itu segera diikuti dengan beberapa Peraturan Pemerintah yang
mengatur kegiatan operasional bidang-bidang yang relevan.
Pada tahun itu pula Indonesia memainkan peran yang sangat penting dalam
kancah dunia, baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang KB. Namun mulai
dirasakan bahwa para peserta yang sudah bertahun-tahun ber-KB yang dengan tuntunan
para pengasuh dan pembinanya telah menjadi peserta KB yang setia belum merasakan
keadaan yang lebih baik.
Tingkat kemiskinan yang ditahun 1970-an dan di tahun 1980- an menurun dengan
cukup signifikan makin menonjol kan tingkat penurunan yang "stalling" atau
melamban. Pemerintah kemudian mulai menggagas upaya khusus untuk mengentaskan
kemiskinan berupa dukungan kepada komunitas yang mempunyai daerah-daerah atau
kelompok masyarakat yang berhasil dalam berbagai program pembangunan. Disamping
itu diusahakan pula dukungan khusus untuk pengentasan kemiskinan bagi daerah-daerah
yang relatif sangat miskin.
Pemberdayaan Ekonomi Keluarga
Gagasan penghargaan kepada komunitas itu makin marak setelah disyahkannyaUUD
tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera yang menunjukkan diperlukannya
pemberdayaan seluruh fungsi keluarga yang secara jelas disebutkan dalam PP yang
dikeluarkan atas dasar PP nomor 10 tahun 1994.
Fungsi-fungsi keluarga yang menjadi dasar proses pemberdayaan keluarga
itu adalah sebagai berikut:
þ Fungsi keagamaan
þ Fungsi kehudayaan
þ Fungsi cinta kasih
þ Fungsi perlindungan
þ Fungsi reproduksi
þ Fungsi pendidikan
þ Fungsi ekonomi
þ Fungsi lingkungan
Selama ini telah banyak diberikan dukungan pemberdayaan untuk fungsifungsi
keagamaan. budaya dan perlindungan atau cinta kasih dan reproduksi. namun
terbatas pada bimbingan oleh para Ulama dan para Pemimpin Agama. Untuk
meningkatkan peran keluarga, program-program makin diarahkan untuk memberdayakan
keluarga dengan memberi kesempatan kepada masyarakat mengambil prakarsa melalui
peningkatan mutu program masyarakat sendiri. Kesempatan ini berbeda dengan program
masa lalu yang prakarsanya banyak dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat diharapkan
mengatur dan memahami tujuan program-program itu dalam konteks hak dan kewajiban
reproduksi dan pemeliharaan generasi untuk masa depan yang lebih baik.
Untuk memberikan dukungan terhadap fungsi-fungsi pendidikan. ekonomi
dan lingkungan. pemerintah memberikan dukungan yang makin kuat. Proses dukungan
untuk pendidikan dan ekonomi sekaligus juga diarahkan untuk memberikan duk.ungan
terhadap upaya pengentasan kemiskinan secara terpadu.
Karena sifat keterpaduan tersebut. maka pemerintah secara khusus
mengadakan berbagai upaya pengentasan kemiskinan melalui program yang ditahun
1993-1994 disebut Program Inpres Desa Tertinggal untuk desa-desa yang dipandang
sangat miskin.
Pada awal tahun 1994 pemerintah mengadakan pendataan untuk
memmpersiapkan pemberdayaan fungsi-fungsi keluarga yang ada. Untuk
menterjemahkan seluruh fungsi keluarga tersebut setelah mengadakan berbagai seminar,
antara lain dengan Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI), pemerintah mengeluarkan 23
indikator sederhana yang bersifat "mutable" atau bisa diubah sendiri oleh yang
bersangkutan.
Dari pendataan tersebut dapat diketahui tanda-tanda keluarga yang kalau
dibiarkan bisa jatuh miskin. Tanda-tanda itu disebut dengan istilah keluarga pra
sejahtera dan keluarga sejahtera I. Dari pendataan dapat dik.etahui bahwa biarpun di
desa IDT jumlah k.eluarga dengan tanda-tanda itu proporsinya di setiap desa rata-rata
lebih tinggi, tetapi jumlah untuk seluruh desa non IDT ternyata lebih besar karena jumlah
desa yang lebih banyak.
Karena Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) disediakan untuk. desa-desa
IDT saja. pemerintah segera mengembangkan program untuk desa-desa non IDT.
Karena dana pemerintah tidak tersedia. maka pemerintah segera merangsang partisipasi
masyarakat untuk mengembangkan program dengan dana masyarakat. Untuk itu di
berbagai daerah segera diadakan apa yang disebut gerakan lantainisasi atau gerakan
plesterisasi. untuk menolong keluarga yang rumahnya sangat sederhana dan boleh
disebut tidak layak huni karena lantainya tanah, dindingnya berlubang dan atapnya sangat
tidak sehat kalau hujan tiba. Di beberapa daerah gerakan lantainisasi ini berkembang pula
menjadi gerakan perbaikan rumah secara utuh yang kadang-kadang disebut sebagai
gerakan Aladin, untuk memperbaiki atap, lantai dan dinding rumah yang dipandang
tidak layak huni.
Karena tidak setiap keluarga bisa memenuhi kebutuhan akan semen dan alat
bantu lainnya untuk keperluan lantainisasi atau aladinisasi itu maka dikembangkan upaya
gotong royong antar anggota masyarakat membantu mereka dengan semen pasir dan
dikerjakan gotong royong beramai-ramai antar anggota tetangga dalam suatu kampung
atau RT.
Keberhasilan lantainisasi ini sangat menarik. Banyak rumah secara beramairamai
dirapikan oleh anggota masyarakat sehingga keadaan keluarga yang miskin itu
makin lama makin membaik.. Mereka juga sangat berterima kasih karena gerakan itu
menyadarkan masyarakat luas akan pentingnya hidup gotong royong dengan sesamanya
dalam lingkungan yang penuh kedamaian dan kebersamaan.
Gerakan lantainisasi ini kemudian dikembangkan makin luas untuk.
membantu setiap keluarga miskin agar mempunyai usaha kecil-kecilan agar bisa
membebaskan diri dari lembah kemiskinan secara lestari. Untuk itu dibutuhkan biaya
yang tidak sedikit dan harus dipikul secara gotong royong. Agar upaya itu dapat dipikul
bersama, maka kemudian diadakan gerakan masyarakat untuk merangsang partisipasi
yang tulus. Gerakan itu disebut Lelang Kepedulian atau Lelang Peduli.
Hasil lelang di setiap daerah itu kemudian diperbantukan pada keluarga
miskin dan masyarakat setempat untuk menuntaskan pengentasan kemiskinan untuk
daerah yang bersangkutan. Upaya yang dilakukan adalah dengan melanjutkan lantainisasi
atau plesterisasi dan pemberian modal kepada keluarga miskin.
Keluarga Mandiri
Seiring dengan adanya lelang kepedulian itu maka para konglomerat juga
merasa terpanggil dan ikut serta memberikan bantuannya melalui berbagai perusahaan di
daerah-daerah. Dengan gerakan yang marak, maka tujuan pembangunan keluarga kecil
yang sejahtera dan mandiri herkembang menjadi keluarga berkualitas dan mandiri,
termasuk makin besarnya dukungan terhadap upaya pembangunan sumber daya manusia
dengan adanya wajib belajar.
Karena harus melayani gerakan yang luas di daerah-daerah itu para
pengusaha yang mempunyai kantor pusat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Semarang dan sebagainya merasa kikuk. Akhirnya mereka mengusulkan kepada Presiden
untuk membentuk suatu lembaga penampung di kantor pusat Jakarta yang berbentuk
Yayasan agar tidak. menjadi lembaga birokrasi yang kaku. Merek.a juga mengusulkan
agar Bapak HM. Soeharto sendiri berkenan mengetuai Yayasan tersebut. Maka pada
akhir tahun 1995 tersebut disepakati pendirian Yayasan Damandiri untuk membantu
sekitar 11.2 juta keluarga miskin di desa-desa non IDT.
Selanjutnya dikembangkan peranan Yayasan Damandiri untuk membantu
pengentasan keluarga miskin di desa-desa non IDT tersebut dengan proses mandiri
dengan dana yang berasal dari para pengusaha maupun para simpatisan lainnya. Proses
itu dilakukan dengan mengajak mereka belajar menabung dalam tabungan yang
dinamakan Tabungan Keluarga Sejahtera atau Takesra. Untuk. itu para pengusaha
memberikan sumbangan sebesar Rp. 23 milyar untul mengisi tabungan awal para
keluarga miskin masing-masing sebesar Rp. 2.000,- per keluarga.
Tabungan awal Rp. 2.000.- itu diberikan kepada sekitar 11,2 juta eluarga.
Setiap keluarga yang menerima tabungan diharapkan diberdayakan dan dikembangkan
untuk mampu terus mengisi tabungan masing-masing secara mandiri. Pekerjaan yang
nampaknya sederhana itu tidak mudah. Untuk mengajak sekitar 11.2 juta k.eluarga itu
menabung dibutuhkan waktu lebih dari satu tahun. padahal BKKBN pada waktu itu
mempunyai nama dan alamat dari seluruh iceluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I
itu. Gerakan tabungan itu sekaligus sejalan dengan upaya lelang kepedulian dan
kebersamaan yang tetap dikembangkan di setiap desa yang dianggap mempunyai
penduduk atau keluarga yang dianggap kurang mampu.
Upaya gerakan sadar manabung itu secara resmi dimulai pada tanggal 2
Oktober 1995 dengan upacara resmi di Istana Negara. Upaya ini mendapat dukungan
pemberitaan secara besar-besaran dalam berhagai media massa nasional maupun
internasional. Mereka yang sudah mempunyai tabungan diberikan kesempatan untuk
meminjam dana dengan bunga rendah mulai dari Rp. 20.000. Kalau pinjaman dengan
bunga hanya 6% itu telah dilunasi atau minimal 75% dilunasi, maka keluarga yang
bersangkutan bisa mendapat pinjaman baru sebesar duakali lipat pinjaman pertama atau
Rp. 40.000. K alau pinjaman ini sudah 75% ini dilunasi. maka mereka bisa meminjam
duakali lipat pinjam Rp. 40.000.-. yaitu sebesar Rp. 80.000, begitu seterusnya. Pinjaman
ini dinamakan Kredit Usaha Eeluarga Sejahtera atau Kukesra.
Laporan Bank BNI bulan Maret 2002 menggambarkan bahwa kegiatan
Takesra dan Kukesra tetap berjalan dengan baik. Jumlah keluarga pra sejahtera dan
keluarga sejahtera I atau keluarga kurang mampu yang mempunyai tabungan Takesra
pada bulan Februari 2002 adalah 13.099.413 keluarga dengan nilai tabungan sebesar
Rp. 213.891. 729.347 (dua ratus tigabelas milyar delapan ratus semhilanpuluh satu
juta tujuhratus duapuluh sembilan ribu tigaratus empatpuluh tujuh rupiah).
Para peserta keluarga k.urang mampu itu bergabung dalam 631.040
kelompok dan sebagian besar memanfaatkan k.redit Kukesra untuk usaha-usaha ekonomi
produktif dalam lingkungan kelompok atau desanya masing-masing. Jumlah keluarga
yang memanfaatkan kredit Kukesra sampai akhir Februari 2002 adalah sebanyak
10.467.392 keluarga dengan jumlah kredit Kukesra sebesar Rp. 1.741.090.520.000
(Satu trilliun tujuhratus empatpulah satu milyar sembilanpuluh juta limaratus
duapuluh ribu rupiah).
Dana tabungan setiap nasabah itu tersimpan rapi pada Bank BNI dan
menjadi bagian dari pemupukan modal untuk para peserta yang telah makin mampu
mengambil kredit Kukesra. Dari pengalaman itu diperoleh gambaran bahwa Lelang
Kepedulian telah berubah menjadi usaha dengan dukungan kredit mikro yang menarik.
(Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-Keluarga-
862002.
MENGHIDUPKAN ASET MATI KELUARGA
MISKIN
Pemerintah bertekad mempercepat upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Melalui
gerakan dan program terpadu yang mantap, pendampingan dan pembinaan yang
sekaligus disertai penyediaan dana sekitar Rp 20 miliar, diharapkan dapat menurunkan
dari tingkat kemiskinan sekitar 19 persen tahun ini (2002) menjadi sekitar 14 persen pada
tahun 2004. Upaya pengentasan kemiskinan ini disampaikan Menko Kesra, Yusuf Kalla
di depan sejumlah wartawan usai Sidang Kabinet beberapa waktu lalu.
Kita sangat menaruh harapan bahwa upaya itu akan segera dilaksanakan karena
rakyat sudah sangat menunggu uluran tangan pemerintah yang nyata dalam bidang ini.
Tahun 1996 merupakan tingkat kemiskinan yang yang mencapai titik paling rendah.
Sekitar 11 persen dari seluruh penduduk yang ada, pernah naik hingga 40 persen karena
krisis multidemensi yang luar biasa. Kita juga mengetahui bahwa dari peta penduduk
miskin yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat daerah-daerah yang begitu
parah. Sehingga, dengan usaha yang sangat ketat pun tidak mungkin jumlah penduduk
miskin itu diturunkan demikian drastis. Tetapi kita juga mengetahui bahwa ada daerahdaerah
dimana penduduk dan keluarga yang ada relatip mudah dapat dirangsang secara
mandiri menurunkan tingkat kemiskinan di daerahnya.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang selama 32 tahun
telah berhasil membantu masyarakat menurunkan tingkat kelahiran mendasarkan
kerjanya pada peta keluarga yang cukup akurat. Dalam tujuh tahun terakhir peta keluarga
itu dilengkapi dengan informasi tentang ciri-ciri keluarga yang makin lengkap melalui
pendataan yang berkesinambungan. Sejak tahun 2000 lalu, hampir 47 juta keluarga dari
seluruh Indonesia secara terperinci telah dapat disusun dalam peta keluarga milik
BKKBN, termasuk indikator kasar keluarga miskin atau keluarga pra sejahtera dan
keluarga sejahtera I. Peta itu dapat dipergunakan sebagai pedoman berbagai instansi dan
lembaga masyarakat untuk mengembangkan program-program yang sesuai dengan
kondisi dan pilihan sasaran yang tepat. Peta itu dapat pula dipergunakan untuk membantu
setiap keluarga mengentaskan dirinya dari lembah kemiskinan.
Aset mati
Harapan mengucurnya dana sebesar Rp. 20 trilliun kiranya tidak membuat para
pelaksana di lapangan menunggu jatuhnya durian runtuh secara berlebihan. Alangkah
baiknya apabila pemerintah daerah dalam era otonomi ini, meluangkan waktu,
menyediakan tenaga dan dana untuk memperluas dan meningkatkan penggunaan peta itu
untuk membantu masyarakat dan keluarga kurang mampu melepaskan diri dari lembah
kemiskinan dengan menggali sumber-sumber daya yang ada di lapangan. Berdasarkan
peta yang ada, pemerintah daerah dapat memperbaiki pelayanan yang memungkinkan
masyarakat desa mendapatkan kemudahan agar keluarga kurang mampu dapat
melepaskan diri dari lembah kemiskinan, antara lain dengan memanfaatkan “aset-aset
tidur atau aset-aset mati” (dead capital) yang dimiliki masyarakat di desa atau di daerah.
Di pedesaan sangat banyak aset-aset berharga yang dibiarkan tidur, mati, atau
setengah mati dan tidak menghasilkan. Sebut saja salah satu contoh pengalaman Karsono
dari Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dengan lima orang saudaranya Karsono
mendapat warisan rumah, sawah dan ladang dari orang tuanya. Pada waktu orang tuanya
masih muda, rumah, sawah dan ladang itu menjamin kehidupan yang sangat sejahtera
untuk orang tua dan anak-anaknya, barangkali juga bagi kakek dan neneknya. Hasil
sawah dan ladang lebih dari cukup untuk menghidupi anak-anak semasa masih kecil.
Tetapi karena “merasa cukup” itu, oleh orang tuanya Karsono dan adik-adiknya tidak
dikirim ke sekolah dengan tuntas. Hanya Karsono sempat menjadi “jebolan-SMU” (DOSMU)
di kecamatannya. Adik-adiknya hanya tamat SLTP, bahkan dua orang adik
perempuannya, hanya sampai kelas I SLTP di desanya. Orang tua mereka menganggap
bahwa anak-anak desa tidak perlu sekolah karena akhirnya mereka akan membantu orang
tuanya menggarap sawah dan ladangnya saja.
Begitu kedua orang tuanya meninggal dunia, Karsono menikah dan adik-adiknya
juga satu demi satu menikah, sehingga peninggalan orang tua terasa makin sempit untuk
menghidupi keluarga yang bertambah besar. Apalagi sawah yang mereka warisi adalah
sawah tadah hujan dan ladang milik mereka hanya menghasilkan buah-buahan hasil
tumbuhan alamiah yang bersifat musiman. Keluarga sejahtera yang semula memancar
dari keluarga orang tua Karsono makin meredup dan berubah menjadi keluarga kurang
mampu yang menyedihkan. Biarpun secara fisik keluarga itu masih mempunyai rumah,
sawah, dan ladang luas yang menghasilkan, hasil warisan itu tidak bisa menjamin hidup
keluarga Karsono dan adik-adiknya sepanjang tahun. Dalam musim kering, harta warisan
itu bisa dikatakan “mati” dan hampir tidak berharga karena tidak menghasilkan sesuatu
untuk menopang hidup keluarga Karsono, adik-adik, ipar dan keponakannya. Mereka pun
tidak berani menjual harta warisan karena takut terkena kutukan nenek moyang.
Satu tahun yang lalu keluarga Karsono mendengar kabar tentang program
pemberdayaan Pundi dari Yayasan Damandiri yang memberi kesempatan bimbingan
dan dukungan kredit untuk mengembangkan wirausaha bagi kelompok-kelompok
keluarga kurang mampu yang bersemangat maju. Dengan persetujuan Karsono sebagai
kepala keluarga, seluruh keluarga sepakat untuk menghidupkan “aset setengah mati”
yang dimiliki oleh keluarga dari warisan orang tuanya itu. Warisan itu diurus
kelengkapan dokumen dan surat-surat resminya. Warisan yang dilengkapi dengan suratsurat
resmi itu menjadi aset hak milik yang disepakati oleh keluarga untuk tidak dipecah
dan dijual belikan agar tetap menjadi satu kesatuan yang cukup besar dan mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi.
Dengan dukungan surat-surat resmi itu keluarga Karsono telah “menghidupkan”
aset warisan orang tuanya menjadi potensi ekonomi yang berharga. Dengan surat-surat
berharga itu keluarga Karsono pergi ke Bank Bukopin di Semarang meminjam uang
untuk membeli dua sepeda motor guna membangun “perusahaan angkutan” di desanya.
Usaha angkutan itu melayani rakyat yang membutuhkan bantuan angkutan dari desa ke
kota sekitarnya dengan fasilitas “ojeg” di desanya. Karsono dan adik laki-lakinya menjadi
pemimpin dan sekaligus pelaksana operasinya.
Karena kerajinannya, pinjaman dengan agunan rumah, sawah dan ladang itu
dengan mudah dapat dicicil dari penghasilan ojeg selama musim tidak sibuk di sawahnya.
Bahkan kalau dia dan adiknya sibuk di sawah, kegiatan “perusahaannya” dapat
diteruskan oleh pemuda lain di desanya. Dengan cara itu rakyat dan masyarakat yang
selama ini “te rpaksa tidur” karena miskin, atau secara ekonomis tidak ada fasilitas, bisa
dibangkitkan semangat dan kerjanya untuk ikut dalam pembangunan.
Partisipasi perempuan
Program Pundi, pembinaan usaha keluarga sejahtera mandiri, yang memberi
perhatian khusus kepada keluarga, para ibu atau perempuan untuk ikut dalam usaha
ekonomi produktip, menggelitik isteri dan adik-adik perempuan Karsono. Sebagian dari
hasil ojeg dipergunakan untuk usaha jual sayuran dan buah-buahan segar di pasar-pasar.
Pada suatu saat mereka mengetahui bahwa berjualan biasa kurang memberi hasil nilai
tambah yang bermakna. Mereka ingin menjadi “supplier” yang melayani pedagang
seperti dirinya di pasar. Untuk itu diperlukan modal yang lebih besar. Sebagai nasabah
Bank Bukopin mereka juga mendengar bahwa untuk itu Program Pundi di Semarang bisa
juga melayani hal-hal kecil seperti itu di Koperasi Swamitra binaan Bank Bukopin.
Ibu Karsono bersama adiknya segera berkunjung ke Koperasi Swamitra di pasar
Karangayu, Semarang, suatu koperasi binaan Bank Bukopin Cabang Semarang. Mereka
mencari informasi bagaimana memperoleh pinjaman untuk memperluas usaha menjadi
“supplier” melayani pedagang sayur dan buah di pasar-pasar.
Oleh petugas yang luwes mereka diberi informasi bahwa setiap nasabah anggota
bisa meminjam uang dari lembaga koperasi swamitra itu asalkan usahanya dinilai
produktip, mempunyai agunan yang cukup, sanggup membayar cicilan dan bunga secara
teratur. Dengan informasi itu isteri dan adik ipar Karsono kemudian meminta kerjasama
suaminya untuk menyetujui penggunaan sepeda motor sebagai agunan untuk usahanya
itu. Suami yang bijak setuju karena mengerti bahwa sepeda motor yang dipergunakan
sebagai agunan untuk pinjaman isterinya kepada kopersai swamitra, seperti juga sawah
dan ladang yang dipergunakan sebagai agunan pinjaman untuk sepeda motornya, tidak
perlu diserahkan kepada Bank. Cukup suratnya saja yang diserahkan dan sepeda motor
itu tetap dapat dimanfaatkan sebagai ojeg untuk menjamin kelangsungan usahanya
sehari-hari.
Dengan persetujuan itu ibu Karsono kembali kepada koperasi swamitra untuk
memproses pinjamannya. Dengan kecepatan yang tinggi petugas yang bertanggung jawab
menyepakati permintaan itu dan segera akan mengadakan penelitian atau survey
lapangan. Survey lapangan itu adalah untuk memotret sepeda motor yang sedang
dioperasionalkan oleh pak Karsono, aset yang sebenarnya secara ekonomi sudah sangat
produktip, ternyata “surat sepeda motor” itu “bisa dihidupkan” juga menjadi agunan
untuk keperluan isterinya. Survey itu juga termasuk mengecek tempat usaha di pasar,
sumber sayuran yang dibeli dan mungkin saja harus bangun pagi-pagi sebelum jam 03.00
pagi untuk mengikuti operasi lapangan membeli sayur dan membagikan sayur dan buahbuahan
segar kepada para langganan di pasar-pasar. Menurut informasi, antara survey
lapangan dan keputusan mulai mengalirnya dana itu harus bisa selesai tidak lebih dari
satu minggu. Setelah itu, kalau upaya itu dianggap secara ekonomis bisa dipertanggung
jawabkan, Ibu Karsono akan mendapat kepastian diterima sebagai nasabah swamitra dan
dianggap layak menerima kredit sesuai nilai taksir agunan sepeda motor tersebut.
Kepadanya dapat diberikan kredit dan secara resmi menjadi keluarga swamitra yang
dibina oleh Bank.
Usaha yang dicontohkan oleh kegiatan pak Karsono dengan keluarganya itu
adalah upaya menghidupkan “aset mati atau aset setengah mati” yang ternyata bisa
meningkatkan partisipasi rakyat dalam pengembangan wirausaha. Dengan contoh
sederhana itu ternyata pengembangan kewirausahaan tidak harus diperlukan modal yang
sangat besar dari pemerintah karena di pedesaan tersedia aset yang selama ini potensial
tetapi belum seluruhnya dihidupkan dengan kemudahan dari pemerintah daerah. Dengan
kemudahan seperti penyederhanaan urusan surat-surat tanah, sertifikat hak milik, dan
bantuan lainnya, surat-surat itu akan mempermudah pemilik menghidupkan asetnya
menjadi agunan untuk pinjaman keperluan pengembangan ekonomi rakyat kepada Bank.
Karena itu, dalam upaya pengentasan kemiskinan yang akan digalakkan,
pengembangan peta wilayah yang akurat akan memberi makna kepada para penguasa
otonomi daerah dengan sentuhan yang mengena hati rakyat banyak. Rakyat harus melihat
bahwa otonomi daerah adalah untuk memperbaiki nasib rakyat, melalui kesempatan
membangun yang diberikan kepada rakyat. Otonomi bukan sekedar untuk menaikkan
pendapatan daerah, seperti biaya pembuatan surat sertifikat tanah, atau memberi
kesempatan para pejabatnya mendapat honor lebih tinggi, jalan-jalan ke luar negeri atas
beban rakyat, atau membangun dengan mengorbankan gaji guru atau karyawan kecil
lainnya, tetapi harus berarti membantu rakyat menghidupkan aset-aset yang “setengah
mati” untuk bisa dipergunakan dalam rangka partisipasi dalam pembangunan yang
menguntungkan dirinya dan meningkatkan pendapatannya dalam kerangka persatuan
dalam lingkungan keluarganya, lingkungan desanya dalam rangka ketenangan berusaha
di desa dan wilayahnya.
Mudah-mudahan hal-hal yang nampaknya sederhana tetapi sangay strategis dan
menyentuh hati nurani rakyat kecil itu mendapat perhatian Ibu Presiden Megawati
Soekarnoputri bersama para Menterinya, para Gubernur, para Bupati dan Walikota, serta
kekuatan pembangunan lainnya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita
sekalian. (Prof. Dr Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan) –Aset-
Miskin-2332002.
SULITNYA MENGAWALI USAHA MANDIRI
Melalui berbagai program pembangunan pemerintah, masyarakat dan keluarga
Indonesia telah berusaha melepaskan diri dari lembah kemiskinan. Namun, karena
masalah kemiskinan adalah suatu persoalan yang sangat berat, setiap usaha tidak selalu
berhasil dengan mulus. Usaha-usaha itu ada yang berhasil mengangkat sebagian dari
keluarga yang menderita, tetapi ada juga yang sama sekali gagal. Pada tahun 1993
pemerintah, dan masyarakat, mulai melakukan beberapa langkah strategis secara
serentak. Di desa-desa tertinggal dilakukan upaya terpadu pengentasan kemiskinan
dengan suatu program yang disebut Inpres Desa Tertingal (IDT). Di desa yang relatip
tidak tertinggal dikembangkan upaya lain, yaitu Program Takesra dan Kukesra.
Biarpun program itu tidak seluruhnya berhasil karena berbagai alasan, ada
beberapa hal yang menarik untuk kita simak bersama. Salah satu phenomena yang
menonjol adalah bahwa penyediaan dana saja tidak akan bisa menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh keluarga pra sejahtera atau keluarga sejahtera I atau
keluarga miskin yang ada. Mereka banyak sekali mempunyai keterbatasan atau
menghadapi masalah sosial kemasyarakatan yang biasanya tidak mendukung.
Apabila mereka bisa menghasilkan suatu produk tertentu, karena keahlian yang
sangat terbatas, umumnya mereka hanya mampu menghasilkan produk-produk yang
mutunya sangat rendah dan tidak bisa menarik banyak konsumen. Akibatnya produk itu
tidak laku di jual di pasar, bahkan tidak laku di jual di pasar lokal sekalipun. Karena itu
mereka sangat memerlukan pendamping untuk mencapai tingkat produk yang layak jual.
Andaikan mereka mampu memproduksi sesuatu barang, terutama yang cara
membuatnya mereka pelajari dari berbagai kursus yang banyak diselenggarakan oleh
PKK atau organisasi lain semacam itu, umumnya sukar dijual. Alasannya sangat
sederhana. Para peserta kursus biasanya mendapat “guru” yang orientasinya bukan pasar,
tetapi keahliannya sendiri. Karena orientasinya adalah keahlian sendiri, atau keahlian
gurunya, maka hasil produk itu tidak selalu menarik pasar, sehingga barang hasil produk
itu tidak atau kurang laku jual. Kalau laku jual biasanya mempunyai nilai tambah yang
sangat rendah.
Hal lain yang menarik adalah bahwa andaikan mereka termasuk “ahli” dan
mampu memproduksi barang yang layak jual karena kualitas yang memadai, keahlian
yang mereka miliki biasanya hanya dimiliki oleh satu orang, atau keahlian yang dimiliki
oleh sedikit sekali orang atau anggota keluarganya, sehingga kemampuan produksinya
juga sangat terbatas. Karena itu “pasar” yang dapat mereka layani juga menjadi sangat
terbatas sehingga usaha yang mereka tekuni tidak akan mampu mengangkat seluruh
keluarga dan anggotanya terlepas dari lembah kemiskinan yang telah menyeret mereka
bertahun-tahun lamanya.
Kemungkinan lain tidak kalah menariknya. Andaikan mereka mampu
menghasilkan produk dengan kualitas lumayan, dan jumlahnya bisa banyak, tetapi
pasarnya terbatas, maka keahlian itu tidak banyak gunanya. Mereka bisa terbentur pada
upaya memperluas pasar yang biasanya tidak bisa mereka lakukan sendiri. Untuk
meminta bantuan pihak lain, biasanya tidak ada yang siap membantu pemasaran itu.
Kalau toh ada yang membantu, mereka akan meminta imbalan yang tidak mungkin
dibayar oleh keluarga miskin yang baru bangkit tersebut. Sungguh sangat dilematis.
Usaha yang muncul dari Program IDT maupun program awal Takesra Kukesra,
karena menyangkut keluarga yang sangat miskin, umumnya mempunyai basis pedesaan,
pertanian atau hasil-hasil lain yang berasal dari produk pertanian. Produk-produk
semacam itu, disamping pasarnya lokal, nilai tambahnya juga sangat kecil. Produkproduk
yang mereka kerjakan juga sangat terpengaruh oleh musim, atau bahan baku yang
relatip terbatas pada musim. Karena keterbatasan bahan baku tersebut, pada umumnya
mereka mendapat kesukaran memperluas produksi atau pemasaran. Perluasan produksi
akan membutuhkan bahan baku yang sumbernya tidak lagi ada di desanya. Perolehan
bahan baku semacam yang lebih banyak memerlukan dukungan jaringan yang luas dan
modal yang lebih besar dibandingkan dengan modal yang disediakan dalam program.
Namun kita tidak perlu pesimis. Program-program IDT maupun Takesra Kukesra,
yang umumnya berbasis komunitas, masih menyisakan keperyaan diri yang lumayan.
Banyak dari kelompok-kelompok yang dibina oleh program ini sekarang tumbuh menjadi
kelompok bisnis yang lumayan. Modal awal Takesra, Tabungan Keluarga Sejahtera, yang
semula hanya Rp. 2000,- per keluarga dan diikuti oleh hanya ribuan keluarga, sekarang
telah berkembang menjadi program yang sangat besar. Tidak kurang dari 13 juta keluarga
telah ikut dalam program ini dengan tabungan lebih dari Rp. 240 milyar.
Keluarga-keluarga itu, yang semula mulai belajar bekerja dengan pinjaman modal
sangat kecil, yaitu sebesar Rp. 20.000,-, kemudian kalau sudah membayar baru bisa naik
pinjamannya menjadi Rp. 40.000,-, naik lagi menjadi Rp. 80.000,- dan akhinrya naik
pada tahap ke lima menjadi Rp. 320.000,-, sekarang telah berhasil menyerap dana
pinjaman sebesar lebih dari Rp. 1,6 trilliun. Banyak kelompok-kelompok yang berhasil
dan meneruskan pinjamannya serta memperoleh pembinaan usahanya dari program
lanjutan, yaitu program Kukesra Mandiri atau program PUNDI.
Dalam program lanjutan itu para Ibu anggota kelompok tidak lagi harus
membatasi pinjamannya pada jumlah Rp. 320.000,- saja, tetapi bisa naik menjadi Rp. 1
juta, bahkan sudah ada yang mempunyai pinjaman sebesar Rp. 5 juta. Mereka yang
sangat berhasil telah ada yang mempunyai pinjaman untuk modal dan perluasan usahanya
dengan jumlah pinjaman lebih dari Rp. 15 juta.
Dengan bimbingan yang makin profesional dan modal yang makin besar ternyata
keluarga yang berhasil itu mempunyai tingkat solidaritas yang tinggi. Umumnya mereka
segera mengajak saudara atau teman lain yang belum bekerja atau mempunyai nasib yang
serupa. Dengan cara itu keluarga miskin secara langsung ikut mengentaskan keluarga
miskin lainnya. Program pengentasan kemiskinan menjadi suatu gerakan yang menarik
dan mengikut sertakan seluruh lapisan masyarakat. Kapan anda bergabung dengan usaha
yang sangat mulia itu? (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial
Kemasyarakatan) – Pengantar-8102001
INVESTASI UNTUK MANDIRI
Melalui berbagai program pembangunan, pemerintah, masyarakat dan keluarga
Indonesia telah berusaha melepaskan diri dari lembah kemiskinan. Namun, karena
masalah kemiskinan adalah suatu persoalan yang sangat berat, setiap usaha tidak selalu
berhasil dengan mulus. Usaha-usaha itu ada yang berhasil mengangkat sebagian dari
keluarga yang menderita, tetapi ada juga yang sama sekali gagal. Sejak orde baru upaya
itu telah menjadi bagian yang sangat penting dari upaya pembangunan. Pada periode orde
reformasi hal serupa juga dilakukan dengan berbagai pendekatan, termasuk pemberian
santunan kompensasi BBM. Namun pengalaman membuktikan bahwa jumlah keluarga
dan penduduk miskin tetap bertambah, bahkan keberhasilan mengurangi jumlah
penduduk miskin seakan selalu berlomba dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin
yang baru.
Biarpun berbagai program yang disebutkan diatas tidak seluruhnya berhasil
karena berbagai alasan, ada beberapa hal yang menarik untuk kita simak bersama. Salah
satu fenomena yang menonjol adalah bahwa penyediaan dana saja tidak akan bisa
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh keluarga pra sejahtera atau keluarga
sejahtera I atau keluarga miskin yang ada, atau keluarga kurang mampu. Mereka banyak
sekali mempunyai keterbatasan atau menghadapi masalah sosial kemasyarakatan yang
biasanya tidak mendukung, yaitu faktor manusia yang kualitasnya rendah, faktor
lingkungan yang tidak selalu bersahabat, dan kemampuan usaha yang sangat terbatas.
Karena faktor manusia dengan kemampuan usaha yang sangat terbatas itu, apabila
mereka bisa menghasilkan suatu produk tertentu, umumnya produk yang dihasilkan itu
mutunya sangat rendah dan tidak bisa menarik jumlah konsumen yang memadai.
Akibatnya jumlah produk yang laku di jual di pasar tidak seimbang dengan ongkos
produksi. Karena itu mereka sangat memerlukan tenaga yang mempunyai tingkat
produktifitas dan kemampuan yang memadai serta mampu pula membaca kebutuhan
pasar. Dalam keadaan belum ada sumber daya yang memenuhi persyaratan, maka
dibutuhkan pendamping untuk mencapai tingkat produk yang layak jual.
Andaikan mereka mampu memproduksi sesuatu barang, terutama yang cara
membuatnya mereka pelajari dari berbagai kursus yang banyak diselenggarakan oleh
PKK atau organisasi lain semacam itu di masa lalu, umumnya juga sukar dijual.
Alasannya sangat sederhana. Para peserta kursus biasanya mendapat “g uru” yang
orientasinya bukan pasar, tetapi keahliannya sendiri. Karena orientasinya adalah keahlian
sendiri, atau keahlian gurunya, maka hasil produk itu tidak selalu menarik pasar,
sehingga barang hasil produk itu tidak atau kurang laku jual. Kalau laku jual biasanya
mempunyai nilai tambah yang sangat rendah.
Karena itu dibutuhkan tenaga ahli yang mampu memproduksi barang yang layak
jual karena kualitasnya baik dan dibutuhkan. Para produsennya harus mempunyai
keahlian yang luas. Disamping itu, untuk memelihara kontinuitas, keahlian itu tidak
hanya dimiliki oleh satu orang, atau oleh beberapa orang dalam satu keluarga, tetapi oleh
banyak orang di desa atau daerah yang sama. Dibutuhkan suatu critical mass tertentu
agar usaha kecil di suatu desa, di suatu kecamatan, atau di suatu kabupaten, dapat tetap
melayani pasar dengan tingkat kelangsungan yang lestari serta bisa menyajikan suatu
jenis produk dengan kualitas yang konsisten.
Usaha itu harus memberi kemungkinan bahwa suatu kelompok usaha kecil, atau
suatu usaha di desa, mampu menghasilkan produk dengan kualitas lumayan atau baik,
dan jumlahnya bisa banyak, kontinue, sehingga pasarnya tidak terbatas dan bisa
diandalkan. Untuk itu perlu dikembangkan sumber daya manusia yang mempunyai
keahlian dan ketrampilan yang tinggi dan jumlahnya juga cukup. Pengertian inilah yang
kemudian cocok dengan tekad pemerintah yang mulai tahun ini memperkenalkan sistem
pendekatan pendidikan berbasis luas atau Broad-Base Education (BBE) Approach.
Pendekatan BBE ini mengharuskan upaya pendidikan diarahkan memberikan
pembekalan yang memadai pada manusianya, pada upaya agar setiap siswa mengenal
lingkungannya, mengetahui dengan mendalam kemampuan lingkungannya, kebutuhan
lingkungannya, dan bagaimana masyarakat yang ada dalam lingkungan itu menghendaki
kebutuhannya dapat dipenuhi. Menanggapi arahan pendekatan pendidikan tersebut,
Yayasan Damandiri, yang selama enam tahun ini telah bekerja sama dengan pemerintah
memberdayakan keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, atau keluarga kurang
mampu, tetap ingin melanjutkan upaya yang sudah ada itu. Upaya lanjutan ini sekaligus
merupakan upaya pemberdayaan remaja yang sudah dirintis sejak tahun 1999 yang lalu,
yaitu upaya dukungan pemberdayaan untuk remaja anak-anak keluarga kurang mampu
untuk makin tenang bersekolah pada pendidikan menengah dan bisa melanjutkan pada
pendidikan tinggi, atau memberikan bekal kepada para remaja untuk bisa mandiri,
ringkasnya memberikan bekal kepada remaja untuk belajar mandiri agar tidak
mengulangi ketidak mampuan yang dialami orang tuanya.
Dilihat secara menyeluruh diketahui bahwa jumlah terbanyak remaja usia sekolah
yang tidak sekolah adalah remaja usia SMU. Dari seluruh remaja usia SMU, yang tidak
sekolah mencapai jumlah lebih dari 60 persen. Hampir pasti sebagian terbesar dari remaja
itu adalah anak keluarga kurang mampu. Oleh karena itu upaya yang dilakukan Yayasan
Damandiri, melalui Yayasan Indra dan mitra kerjanya, dengan dukungan Menteri
Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan
Kepala BKKBN, pada tingkat awal adalah mengusahakan agar anak-anak keluarga
kurang mampu yang sudah ada di sekolah, di SMU, SMK, atau Madrasah Aliyah, tetap
bisa bertahan. Pada bagian lainnya, adalah mengusahakan agar anak-anak keluarga
kurang mampu yang menonjol di sekolahnya dapat didukung dengan sikap masyarakat
yang positip, perhatian, komitmen, dan tingkah laku yang memihak kepada mereka. Kita
harapkan juga agar orang tuanya mempunyai komitmen dan kepercayaan untuk
memberikan dorongan moril dan motivasi agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan
pada jenjang yang lebih tinggi.
Mulai bulan Maret 2002, dengan kerjasama Menteri Pendidikan Nasional dan
jajarannya, Yayasan Damandiri membantu SMU, SMK, dan MA meningkatkan mutu
remaja siswa-siswa anak keluarga kurang mampu agar bisa berusaha mengembangkan
kemampuannya dengan makin rajin belajar. Kalau mereka menonjol dan bisa melebihi
kemampuan diatas rata-rata teman-temannya se Kabupaten, kepada mereka diberikan
dukungan Tabungan Damandiri dengan jumlah tabungan masing-masing Rp. 300.000,.
Dana tersebut dapat dipergunakan untuk biaya ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru
atau untuk biaya kursus ketrampilan kalau tidak bisa melanjutkan pendidikan pada
jenjang yang lebih tinggi. (Prof. Haryono Suyono, Pengamat Sosial Kemasyarakatan)-
PengantarBM-432002
MEMBANTU PARA IBU MEMBANGUN KOPERASI
Program Pemberdayaan Keluarga dalam bidang ekonomi yang sejak tahun 1995
diselenggarakan oleh BKKBN dengan dukungan Yayasan Damandiri telah menghasilkan
tidak kurang dari 600.000 kelompok kader usaha keluarga di seluruh Indonesia. Sebagian
besar kader-kader itu masih sederhana dan perlu pembinaan lebih lanjut untuk bisa
mandiri. Sebagian lainnya sudah agak maju dan dengan sentuhan sedikit saja bisa
melanjutkan usahanya secara mandiri. Kelompok kedua ini memerlukan bantuan dan
pendampingan untuk melanjutkan usaha dalam kelompoknya dan sebagian lagi bisa
langsung membuka usaha sendiri secara mandiri.
Di Kabupaten Sragen, yang letaknya tidak jauh dari kota Solo, akhir-akhir ini
mulai ada usaha sistematis yang mendapat dukungan dari Bupatinya untuk membantu
para ibu dalam kelompok-kelompok itu mengembangkan usahanya secara mandiri.
Bahkan beberapa waktu lalu Menteri Pemberdayaan Perempuan, Ibu Sri Redjeki
Sumarjoto, SH., berkunjung ke Sragen meresmikan gerakan pemberdayaan ekonomi
kaum ibu itu. Peresmian itu merangsang kaum ibu yang semula telah bergerak dalam
kelompok-kelompok kecil itu makin memperkuat tali kerjasamanya dalam bentuk ikatan
koperasi yang berbadan hukum lebih kokoh. Dengan bentuk badan hukum koperasi itu
mereka mengharapkan mendapat pembinaan sistematis dan lebih sungguh-sungguh dari
berbagai lembaga pembangunan lainnya.
Masyarakat dan keluarga Kabupaten Sragen yang dekat kota Solo dan hidupnya
kecukupan bisa saja berbelanja dengan mudah dan membeli keperluan sehari-harinya di
pasar maupun di toko-toko yang menawarkan segala macam barang kebutuhan dengan
harga yang cukup bersaing. Ada toko-toko yang eksklusif menawarkan segala macam
barang kebutuhan sehari-hari dengan harga yang sangat bersaing. Mereka bisa menikmati
barang-barang yang ditawarkan dengan harga pabrik atau setidak-tidaknya mempunyai
harga yang jauh lebih murah. Ada juga toko-toko yang memberikan penawaran istimewa
dengan memberikan korting yang sangat tinggi seakan-akan barang-barang itu milik
sendiri yang dijual sama dengan ongkos produksinya saja.
Namun masyarakat kurang mampu atau hidupnya pas-pasan tidak bisa dengan
mudah menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang lebih mampu itu. Mereka
harus mengatur keadaan ekonomi rumah tangganya dengan sangat hati-hati dan kalau
perlu terpaksa mengikuti selera yang disajikan oleh pelayanan warung-warung kecil yang
ada di sekitar rumahnya. Bahkan tidak jarang mereka terkadang terpaksa harus membeli
dengan sistem mencicil karena anggaran rumah tangganya tidak mencukupi. Jumlah
keluarga dengan pola hidup seperti ini tidak sedikit.
Karena variasi yang demikian itu, Kabupaten Sragen bisa menjadi suatu ajang
pengembangan kesempatan usaha berbagai kelompok masyarakat. Salah satu usaha
bersama yang bisa dikembangkan adalah usaha keluarga dari ibu-ibu yang bergerak
dalam bidang-bidang yang sangat sederhana sekedar untuk mengembangkan dukungan
hidup keluarganya. Disamping itu Sragen juga menjanjikan kesempatan kepada para
pedagang untuk mengembangkan usaha di pedesaan sekitar tempat tinggalnya masingmasing
melayani kebutuhan masyarakat yang ternyata masih melimpah.
Kegiatan Ibu Sederhana
Yayasan Yekti Insan Sejahtera (YIS) yang selama ini bergerak membantu
pemberdayaan kaum ibu di Solo, Sragen dan kabupaten sekitarnya, selama beberapa
waktu belakangan ini sedang giat membantu para ibu di Sragen untuk mengembangkan
koperasi swadaya masyarakat tersebut diatas dengan nama yang sama yaitu Koperasi
Swadaya Masyarakat Yekti Insan Sejahtera atau KSM-YIS.
Pembentukan koperasi di Sragen tersebut adalah sebagai wadah pembelajaran
sekaligus pemberdayaan dari para pengurus dan anggotanya secara terpadu. Gagasan
pembentukan koperasi ini berawal dari pengalaman Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS)
yang selama ini bekerja sama dengan BKKBN memberdayakan para ibu-ibu yang
awalnya adalah para peserta keluarga berencana. Para ibu-ibu itu kemudian diajak
bergabung dalam kelompok-kelompok. Dalam kelompok itu mereka diberi pelatihan
untuk usaha kecil-kecilan di lingkungan RT dan RW-nya. Setelah mendapatkan
bimbingan kewirausahaan para ibu itu diberi kesempatan untuk praktek dalam usaha
yang bernilai ekonomi produktif.
Dalam setiap usahanya para ibu didampingi para relawan dari Yayasan agar pada
akhirnya dapat berdiri sendiri secara mandiri. Pendampingan itu dilakukan karena
menurut pengalaman, kalau hanya dengan latihan dan diberikan modal, yang asalnya dari
berbagai sumber, para ibu yang baru belajar itu belum bisa langsung berdiri dalam bidang
usaha secara mandiri.
Dengan pendampingan yang sangat telaten, sebagian dari kelompok-kelompok
ibu-ibu berkembang dengan baik dan bisa diantarkan untuk mendapatkan pinjaman dari
lembaga keuangan seperti BPR dan Bank lainnya dalam jumlah yang mencukupi untuk
usaha yang lebih besar dan mempunyai kesempatan untuk makin mandiri. Ada juga yang
kemudian memunculkan orang-orang tertentu yang sanggup untuk membuka usaha
sendiri secara mandiri. Namun, biarpun segala usaha itu dilakukan dengan tanggung
jawab renteng, dimana setiap anggota mempunyai kewajiban moril untuk tidak
menyusahkan anggota lainnya, masih ada juga anggota yang nakal dan tidak dapat
meneruskan usahanya karena dianggap menganggu keutuhan gotong royong antar
anggota lainnya. Anggota-anggota seperti itu, biarpun jumlahnya sangat sedikit, biasanya
keluar dari kelompok, atau karena alasan-alasan kerikuhan solidaritas, terdesak keluar
dari kelompoknya.
KSM-YIS yang sedang berkembang di Sragen mempunyai keanggotaan terdiri
dari wakil-wakil kelompok yang semula berkembang dalam proses pelatihan sebelumnya.
Kelompok-kelompok yang tadinya telah belajar dengan berbagai skim untuk usaha
mandiri, dan berhasil, sedikit demi sedikit bergabung dalam koperasi yang baru tersebut.
Ini berarti bahwa keanggotaan koperasi adalah keanggotaan yang awalnya dimulai
dengan kelompok yang mempunyai usaha sendiri dengan modal yang relatif kecil
sekedar memenuhi kebutuhan anggota dan masyarakat sekitarnya.
Dengan bergabung dalam koperasi para anggota yang mewakili kelompoknya itu
berharap makin dapat memperoleh dan bertukar pengalaman dengan kelompok lainnya.
Para anggota juga berharap bahwa kekuatan koperasi dapat menjadi pemersatu untuk
mendapatkan akses permodalan yang lebih besar dari Bank, seperti Bank BPR atau
lembaga keuangan lainnya. Para anggota juga berharap dapat memperoleh jaringan
pemasaran dari produk-produk mereka yang lebih luas sehingga kesejahteraan anggota
dari kelompok-kelompok yang diwakilnya bertambah baik.
Koperasi ini semula hanya diikuti oleh anggota yang terbatas dari satu kecamatan.
Pada saat ini telah berkembang dengan pesat dan diikuti oleh lebih dari 136 kelompok
dengan lebih dari 2312 anggota dari 12 kecamatan. Koperasi ini terus menggulirkan
program dan keanggotaannya dengan hati-hati karena ingin menjadi model yang dapat
dikembangkan dengan program yang makin berbobot dan keanggotaan yang penuh
kesadaran dan kebersamaan. Dalam proses pengembangannya koperasi ini menanamkan
pengertian dan tata laksana ekonomi yang sehat, baik ekonomi anggota maupun ekonomi
masyarakat sekitarnya. Tidak kalah pentingnya mereka juga menanamkan tanggung
jawab bersama antar anggota untuk menjamin kehidupan yang lebih langgeng dari
koperasi yang mereka bangun bersama itu.
Karena itu dalam setiap usahanya dalam bidang ekonomi, seperti pengalaman
mereka sebelumnya, mereka mengetrapkan keharusan bagi setiap anggota yang ikut serta
untuk mengikuti latihan usaha sebelum mereka mendapatkan kredit yang diusahakan
melalui koperasi tersebut. Disamping itu, apabila dipandang perlu ada anggota atau
kelompok lain yang lebih berpengalaman untuk membantu mendampingi usaha yang
mereka kembangkan. Dengan cara demikian koperasi itu bertindak sebagai fasilitator dan
sekaligus juga pendamping untuk kelompok anggotanya.
Model pengembangan usaha seperti itu sekaligus memberi kesempatan kepada
setiap kelompok anggotanya untuk belajar mandiri dalam pengelolaan modal, produksi
dan pemasaran dari produksi yang dihasilkannya. Keberhasilan dari usaha-usaha itu akan
meningkatkan rasa percaya diri dari setiap kelompoknya untuk maju dan memberi
dorongan kepada setiap anggota kelompoknya untuk meningkatkan kesejahteraannya
sendiri dengan cara bekerja keras dan hidup gotong royong dengan para anggota lainnya.
Produk Unggulan yang Berkembang
Sebagai suatu koperasi yang belum berumur satu tahun, produk unggulan
koperasi ini masih sangat terbatas. Tetapi dengan mengumpulkan modal dari anggotanya
dalam bentuk simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela, koperasi ini
bercita-cita dan mulai menyalurkan kredit untuk anggotanya. Dengan cara “menjual
saham” kemampuan koperasi ini bertambah tinggi dan mampu memberikan kredit lebih
besar kepada kelompok anggotanya. Selebihnya dari itu setiap kelompok kemudian bisa
memberikan pinjaman kepada anggota kelompoknya dalam jumlah yang lebih besar.
Koperasi juga mulai menjalin kerjasama dengan BPR dan Bank setempat untuk
mendapatkan kepercayaan menjadi perpanjangan tangan dalam memberikan bimbingan
dan penyaluran kredit dengan sistem bagi hasil dan keuntungan bersama. Koperasi
mendapatkan semacam flafond untuk kredit yang bisa diteruskan dan kemudian setiap
kelompok ikut menanda tangani akad kredit dengan Bank yang menyalurkan kredit untuk
kelompok yang dianggap memenuhi syarat. Dengan pengalaman itu koperasi
mengembangkan tiga usaha pokok sebagai berikut, pertama, pelayanan tabungan yang
dibedakan atas dua jenis tabungan yaitu tabungan untuk biaya pendidikan dan tabungan
pemupukan modal biasa yang jangka waktunya diatur secara khusus. Usaha kedua adalah
pemberian kredit kepada anggotanya berdasarkan kesepakatan yang diatur secara khusus
dengan anggotanya. Salah satu syarat unik kredit koperasi ini adalah adanya “agunan
tunjuk” untuk keamanan pinjaman anggotanya. Agunan ini adalah jaminan dengan
menunjuk harta dari pengambil kredit koperasi. Dan yang ketiga adalah produk-produk
pelatihan yang harus diikuti oleh setiap anggota yang ingin mendapatkan kredit usaha.
Pelatihan-pelatihan yang ditawarkan adalah yang erat hubungannya dengan usaha
yang diselenggarakan oleh kelompok yang bergabung dalam koperasi. Pelatihan itu
meliputi topik-topik pelatihan manajemen kelompok swadaya masyarakat yang ditujukan
khusus untuk kelompok yang baru. Diberikan juga pengetahuan dasar tentang tata cara
pengembangan kelompok dan administrasi sederhana tentang kegiatan kelompoknya.
Pelatihan dalam bidang usaha ekonomi produktif mencakup pelatihan tentang
ekonomi rumah tangga yang dimaksudkan untuk menanamkan disiplin anggota dan
kelompoknya dalam mengelola modal, berproduksi dan pemasaran yang disarankan
untuk dikembangkan oleh anggota maupun oleh kelompoknya. Pelatihan usaha kelompok
itu dilengkapi dengan pelatihan tentang usaha kecil yang memerinci lebih lanjut
kebutuhan-kebutuhan lain dalam usaha kecil yang makin mandiri. Pelatihan ini dikaitkan
pula dengan pelatihan tentang usaha untuk mengelola kredit mikro yang sangat
diperlukan bagi setiap anggota atau kelompok apabila suatu ketika harus berurusan
dengan Bank.
Keistimewaan lain dari koperasi ini adalah cita-citanya untuk ikut bergerak dalam
bidang sosial kemasyarakatan, misalnya dengan memberikan pinjaman dengan bunga
sangat ringan untuk anggota yang mempunyai keperluan mengembangkan kesehatan
reproduksi seperti ikut KB, memeriksakan kehamilan dan membiayai kelahiran anaknya.
Bantuan juga diberikan berupa beasiswa untuk anak-anak anggota atau keluarga
kelompok yang dianggap kurang mampu.
Dengan cara-cara pengembangan itu kiranya banyak kelompok yang selama
tigapuluh tahun terakhir ini telah dibina dan dikembangkan oleh BKKBN atau lembagalembaga
pemerintah lainnya bisa dirangsang dan dibantu untuk dikembangkan menjadi
lembaga bersama atau koperasi dengan usaha-usaha ekonomi produktif yang makin
mandiri. Kalau kekuatan lembaga koperasi atau lembaga bersama ini bergerak dengan
bimbingan yang tepat, rasanya kesejahteraan bersama akan segara terwujud. (Prof. Dr.
Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-Sragen-Koperasi-
26102002.
KOPERASI MAHASISWA BERBASIS
MASYARAKAT
Oleh : Haryono Suyono
Dalam era globalisasi yang dahsyat dewasa ini, bangsa Indonesia menghadapi
tantangan yang luar biasa. Tantangan itu tidak saja pada masyarakat perkotaan yang
relatip mudah terjangkau, tetapi juga pada masyarakat pedesaan dengan ciri-ciri
tradisionalnya yang ketat dan penghargaannya terhadap nilai-nilai budaya yang
tinggi. Masyarakat pedesaan yang sederhana, hidup damai dan akrab dengan
lingkungannya juga tergoda oleh hiruk pikuk dan iming-iming globalisasi.
Rektor Universitas Brawijaya yang dilantik kurang dari sebulan lalu, Prof.
Dr. Ir. H. Bambang Guritno, menjawab tantangan global itu dengan sambutan yang
hangat terhadap Pertemuan Forum Komunikasi Koperasi Mahasiswa Indonesia
yang dihadiri oleh hampir 500 peserta di kampusnya. Rektor sadar bahwa pelatihan
dan pendidikan seharusnya merupakan kebutuhan pokok keluarga modern, tetapi
komitmen terhadap masalah ini dan praktek-praktek pengetrapannya masih harus
dipacu. Bersamaan dengan perkembangan modernisasi tidak saja harus diikuti dengan
pertumbuhan pusat-pusat pendidikan tetapi harus dipacu juga usaha perbaikan mutu
serta kepedulian yang sungguh-sungguh kepada masyarakat sekelilingnya.
Pertumbuhan pusat pendidikan yang bermula di perkotaan atau di wilayah
permukiman, hampir pasti karena tanah sempit dan mahal, akan meluas dan pindah ke
daerah pedesaan atau daerah yang semula pedesaan. Ada yang dengan sopan
mempergunakan tanah-tanah atau ladang kosong, yang dianggap kurang ekonomis,
atau mengkonversi sawah kurang produktip menjadi pusat-pusat pendidikan. Ada
pula yang didirikan di tengah-tengah permukiman penduduk yang lahannya murah.
Pada umumnya masyarakat desa yang sederhana menyambut “kedatangan
modernisasi” itu dengan gembira. Dengan ikhlas mereka memberikan sumbangan
terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia yang dianggap penting. Dalam
gegap gempita kemajuan itu sebagian anggota masyarakat desa akan “diam” dan
menjadi penonton yang baik. Sebagian lagi ikut berpartisipasi merombak rumah
kediamannya menjadi tempat pondokan atau fasilitas untuk para mahasiswa dari
berbagai penjuru tanah air.
Disamping itu, masyarakat desa mencoba mempertahankan nilai-nilai luhur
peninggalan nenek moyangnya secara sederhana. Kemajuan di banyak perguruan
tinggi di daerah pedesaan itu mengundang pula kesempatan wirausaha. Namun pada
umumnya masyarakat desa yang pasip tidak melihat, atau karena kelemahanannya
“lengah” akan adanya kesempatan emas yang terbuka lebar itu.
Koperasi dalam lingkungan perguruan tinggi, baik oleh karyawan atau oleh
para mahasiswa segera didirikan dan melengkapi lembaganya dengan warung atau
toko yang diramalkan mendapat sambutan gegap gempita karena memenuhi selera
masyarakatnya. Mereka lupa bahwa pembeli adalah raja yang berbeda-beda
seleranya, sehingga usaha menyamakan selera tidak menarik dan gerakan koperasi
kampus hanya berkembang secara pelahan. Salah satu alasannya adalah karena
koperasi koperasi karyawan hanya diurus oleh pegawai dengan birokrasi yang kaku.
Koperasi mahasiswa mengelola kegiatan dengan cara sambilan yang tidak menarik.
Melihat kesempatan ini, dalam ekonomi terbuka biasanya masyarakat usaha
segera melompat memanfaatkan peluang yang terbuka. Dengan iming-iming dana
mereka babat habis permukiman atau tanah di sekitar kampus yang masih tersisa.
Segera didirikan rumah makan dan pusat-pusat pertokoan untuk melayani siswa,
mahasiswa dan civitas akademika yang berkembang pesat di daerah itu. Rumah dan
tanah penduduk sekitar kampus mereka beli dengan harga murah dan penduduk asli
tergusur keluar dari jalur yang semula mereka nikmati karena maju dan dekat pusat
peradaban baru.
Untuk mengatasi kelemahan itu perlu dipikirkan langkah-langkah yang lebih
strategis, baik menolong penduduk sekitar untuk tetap tidak terusir dari tanah tumpah
darahnya atau dari warisan orang tuanya. Masyarakat sekitar kampus harus diajak
bermitra untuk belajar dan mengembangkan diri menjadi wirausahawan yang bonafid,
belajar membuka usaha melayani para mahasiswa dan seluruh civitas akademika yang
harus saling menerima sebagai keluarga baru yang akrab. Upaya ini sekaligus bisa
menolong sebanyak mungkin mahasiswa untuk belajar wirausaha dengan tekun
dalam berbagai bidang yang luas. Apabila usaha ini berhasil dikembangkan dengan
tepat akan membantu pemberdayaan penduduk desa yang sederhana menjadi
manusia baru dengan kemampuan wirausaha atau pengembangan koperasi yang
maju dan modern.
Program ini sekaligus dapat merupakan awal dari gerakan bangga suka desa
– suatu gerakan pembangunan keluarga modern dalam suasana kota di desa, yaitu
keluarga maju, modern, berbudi pekerti luhur, mempunyai kekuatan moral,
religius dan dinamika kebersamaan gotong royong yang sekaligus mempersatukan
para mahasiswa dan civitas akademika kampus dengan masyarakat sekitarnya secara
damai dalam kebersamaan yang sejahtera.
Koperasi Berwawasan Masyarakat
Melihat potensi yang masih tersembunyi itu, para mahasiswa dan civitas
akademika kampus mempunyai kekuatan untuk membangun keluarga sejahtera secara
mandiri dan sekaligus mengentaskan penduduk di daerah pedesaan di sekitar kampus
dari lembah kemiskinan. Karena itu dipandang perlu mengembangkan kerjasama
antara Yayasan Damandiri dengan berbagai Perguruan Tinggi, khususnya dengan
koperasi mahasiswa untuk bersama masyarakat membentuk kelompok wirausaha
atau koperasi berbasis masyarakat.
Sasaran dan tujuan kerjasama itu adalah membantu masyarakat dan keluarga
kurang mampu yang tinggal di sekitar kampus untuk memberdayakan dirinya
secara mandiri menjadi pelopor pembangunan untuk dirinya, keluarganya, dan
masyarakat sekitarnya. Keberhasilan upaya ini diharapkan dapat menjadi contoh dari
upaya pemberdayaan mandiri, yang dilaksanakan secara mulus karena dilakukan
dengan pendekatan budaya lokal, dengan menghargai harga diri manusia setinggitingginya,
dengan menempatkan setiap sasaran tidak saja sebagai obyek, tetapi
dibantu dengan pemberdayaan yang tulus agar bisa menjadi subyek handal yang bisa
melanjutkan proses pemberdayaan yang mandiri. Agar setiap penduduk berpartisipasi
diusahakan suatu proses pemberdayaan secara bertahap dalam tatanan yang mudah
agar dapat diikuti oleh sebanyak mungkin keluarga kurang mampu.
Gagasan kerjasama ini akan membantu keluarga sekitar kampus dan para
mahasiswa mereposisi peranannya masing-masing dalam pemberdayaan masyarakat
sekitarnya, yaitu dengan ikut sertanya SDM bermutu tinggi yang ada di kampus
mengawal dan mendampingi masyarakat sekitar kampus untuk maju melangkah
dengan penuh keyakinan. Pada tingkat awal para mahasiswa dapat bertindak sebagai
tenaga pendamping, berpraktek sebagai kader pembangunan yang berkualitas tinggi,
berbudi pekerti luhur, menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi tinggi secara
seimbang. Karena berdampingan dengan masyarakat nyata secara langsung, para
mahasiswa akan mempunyai pengalaman, kemampuan serta kesanggupan luas yang
sangat berguna sebagai bekal pelaksana pembangunan dimanapun mereka berada.
Untuk maksud itu diambil langkah-langkah konkrit yang berkesinambungan
antara Kampus dengan Koperasi Mahasiswa untuk dengan komitmen yang tinggi
mengembangkan kerjasama dengan Yayasan Damandiri dan lembaga-lembaga
terkait lainnya. Para mahasiswa dan dosen mengembangkan aliansi dengan berbagai
lembaga lain dan aktor-aktor yang mampu mengadakan sinergy dengan masyarakat
desa yang akan dikembangkan bersama.
Untuk kegiatan ini Koperasi Mahasiswa harus mempunyai komitmen untuk
mengembangkan koperasinya berbasis masyarakat dengan keanggotaan terbuka,
baik anggota dari penduduk setempat atau anggota dari civitas akademika lainnya.
Koperasi mahasiswa harus membuka diri dengan menggandeng anak-anak muda,
khususnya anak-anak remaja dari desa setempat, yang karena alasan kemiskinan,
tidak sempat meneruskan pendidikan pada sekolah menengah umum atau tidak
mampu menjadi mahasiswa.
Kerjasama ini memungkinkan anak-anak muda setempat belajar ketrampilan
kewirausahaan yang memungkinkan mereka mendukung gerakan pemberdayaan
masyarakat berjangka panjang. Kerjasama ini memungkinkan pula dikembangkannya
kegiatan koperasi dengan keanggotaan dan jangkauan yang luas. Apabila koperasi itu
maju, di masa depan bisa mengembangkan cabang-cabang atau kegiatan di tempat
lain yang mempunyai pasar luas. Kerjasama ini memungkinkan anak-anak muda di
desa sekitar kampus lebih menyatu dengan para mahasiswa yang ada sehingga dapat
dipelihara suasana belajar yang lebih kondusif dengan dukungan suasana aman,
damai, sejahtera yang penuh ketenangan.
Disamping itu, anak-anak muda sebagai mitra kerja dapat membaca selera
para mahasiswa dan civitas akademika sebagai konsumen kegiatan koperasi dengan
lebih baik dan mampu mencipta dan menjual produk sesuai dengan selera sasarannya.
Dengan konteks yang sama anak-anak muda di desa itu bisa mengadakan kegiatan
bersama untuk menarik pasar dari luar kampus, misalnya dengan kegiatan olah raga
mingguan, pasar seni mingguan atau kegiatan lain yang bisa menarik minat dari
generasi muda lain di luar kampus. Kegiatan yang laku jual akan meningkatkan
partisipasi anak-anak remaja dalam kerja yang mempunyai nilai produktip.
Karena itu, upaya pemberdayaan masyarakat desa harus dimulai dengan
pengembangan sumber daya manusia yang diikuti dengan partisipasi lengkap dari
seluruh masyarakat dan keluarga yang menjadi sasaran. Kegagalan pemberdayaan
sdm dan kegagalan mengikutsertakan sebanyak mungkin keluarga kurang mampu
menjadi sasaran akan berakhir fatal. Lebih dari itu, karena kita berhubungan dengan
masyarakat dan keluarga kurang mampu, maka dinamika pengembangannya sangat
tergantung kepada bagian yang paling lemah dari sasaran tersebut.
Karena itu seluruh keluarga yang ada di daerah tersebut harus diajak
bergabung dalam kelompok-kelompok koperasi yang setiap anggotanya harus bisa
menjadi penggerak anggota kelompok lain yang dianggap lemah. Pendekatan
kelompok ini akan memberikan kekuatan yang maha dahsyat karena banyak pihak
bisa ikut bermain sebagai pemimpin dan pelaksana yang dinamis.
Pada tingkat awal kelompok dan anggotanya harus bisa mengikuti latihan
kewirausahaan dengan pelatih yang sanggup mengikuti pendekatan pasar dalam
memberikan latihan kepada anggota-anggota kelompok lain yang ada. Selanjutnya
setiap kelompok harus diberi kesempatan mengikuti proses dan berkembang dari
keluarga pra sejahtera menjadi keluarga sejahtera I, selanjutnya menjadi keluarga
sejahtera II dan seterusnya.
Lembaga pedesaan atau mitra kerja kampus atau koperasi mahasiswa harus
bisa membantu melalui latihan, magang, dan atau kegiatan yang mungkin bisa
dipusatkan di lembaga-lembaga desa itu, atau kalau perlu dikirim ke kampus untuk
meninjau pasar dan membaca kebutuhan pasar itu, yaitu kebutuhan para mahasiswa
dan civitas akademika lainnya. Latihan dan atau magang itu harus menghasilkan
jumlah keluarga yang mampu dan makin banyak jumlahnya untuk menjamin agar
pelaksanaan kegiatan dengan mutu produk yang tinggi bisa berkelanjutan.
Kita sungguh bersyukur bahwa Bapak Prof. Dr. Ir Bambang Guritno, Rektor
Unibraw tidak saja menjadi tuan rumah yang baik, tetapi siap bekerjasama dengan
Yayasan Damandiri untuk mengembangkan persahabatan dan pemberdayaan dengan
masyarakat sekitar kampus, membangun bersama mewujudkan kehidupan kampus
yang bersahabat dan bermutu akademis unggul. Semoga kerjasama itu bisa dilakukan
secara terpadu dengan seluruh kekuatan pembangunan yang ada dan berkelanjutan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati usaha yang mulia itu. (Prof. Dr.
Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan) – KopMa-642002.

JARINGAN WARUNG SUDARA
Pada tanggal 5 Nopember 2001 telah diresmikan kerjasama antara Yayasan Indonesia
Damai Sejahtera (Indra) dengan Zakka Group di Tangerang, Esok harinya, tanggal 6
Nopember 2001 dilakukan kerjasama serupa antara Yayasan Indra dan Yayasan
Indonesia Sejahtera (YIS) di Sragen, Jawa Tengah. Selama lebih dua tahun tahun ini
telah dijalin kerjasama antara Yayasan Damandiri dengan Yayasan JK (Jembatan
Kesejahteraan) di Jakarta. Ketiga kerjasama itu adalah untuk membantu Jaringan Warung
yang dikelola oleh para Ibu yang sebelumnya tergolong keluarga tertinggal.
Kegiatan ibu-ibu yang sedang berjuang memberdayakan dirinya ini menarik perhatian
Ibu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP), Ibu Sri Redjeki
Sumaryoto. Apabila tidak ada aral melintang, bersama dengan Bupati Kepala Daerah
Kabupaten Sragen beliau akan menyaksikan peristiwa itu dan sekaligus meresmikan
Jaringan Warung Sudara di Sragen, Jawa Tengah. Seperti halnya Warung JK di
Jabotabek, jaringan warung tersebut adalah jaringan pedagang eceran produk kebutuhan
sehari-hari yang dikelola oleh Ibu-ibu di desa, yang semula termasuk keluarga pra
sejahtera, keluarga sejahtera I, atau keluarga yang bila tidak ditolong akan
dengan mudah jatuh dibawah garis kemiskinan.
Dengan kemauan, kemampuan dan kesempatan yang dibuka pemerintah bersama
beberapa lembaga dan organisasi masyarakat, selama beberapa tahun ini Ibu-ibu di desa
telah tergabung dalam berbagai kelompok di desa. Ada ibu-ibu yang bergabung dalam
Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Ssejahtera (UPPKS), Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga (PKK), atau kelompok lainnya. Dalam kelompok mereka belajar
menabung, pengikuti berbagai latihan, dan pembinaan usaha, secara teratur dan
berkesinambungan, sehingga makin mahir dan mampu mengelola usaha kecil atau
membuka warung sederhana secara mandiri.
Dalam jaringan Warung Sudara para Ibu menjual barang-barang keperluan pokok seharihari.
Pada umumnya para ibu-ibu telah belajar memasarkan kebutuhan pokok itu selama
lima tahun terakhir. Mereka mengetahui kebutuhan masyarakatnya dan mereka tahu pula
bahwa usaha ini saling menguntungkan. Mereka menjaga dan menjamin kelangsungan
aliran produk dengan kualitas yang baik. Dalam latihan sebelumnya mereka dibina oleh
BKKBN atau organisasi wanita setempat dan mendapat dukungan dana kredit Kukesra
yang didukung oleh Yayasan Damandiri, Bank, BPR atau oleh organisasi wanita dan
lembaga lainnya.
Disamping itu, keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I yang dibina oleh BKKBN
dan semula tidak mempunyai pengalaman bisnis, telah dilatih dan didampingi secara
teratur oleh para petugas lapangan KB atau PLKB, dan atau Yayasan Indonesia Sejahtera
(YIS) yang didirikan sejak tahun 1973-1974 lalu. Mereka juga telah ikut serta dalam
berbagai kegiatan organisasi kemasyarakatan lain di desanya. Mereka belajar mengelola
keuangan usaha mikro tersebut karena ikutserta dalam kredit Kukesra.
Mereka menikmati pembinaan yang teratur karena para petugas lapangan memihak
keluarga miskin, terutama para Ibu rumah tangga yang karena ikut KB telah mendapat
kesempatan yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Proses pembinaan yang tidak saja bersifat finansial ekonomis itu berhasil karena juga
mempunyai bobot sosiologis yang kental dengan muatan agamis. Upaya pembinaan itu
diarahkan pada upaya mengembangkan kesejahteraan keluarga secara terpadu. Para
keluarga yang telah menikmati kredit yang relatip kecil pada waktu itu dibimbing agar
mampu mulai mandiri dengan binaan yang lebih profesional.
Kelompok-kelompok yang maju itu besuk pagi siap untuk membuka jaringan Warung
Sudara, yaitu sarana untuk mengembangkan sistem usaha damai sejahtera yang mandiri.
Dalam kegiatan ini mereka akan terjun untuk mendapatkan pembinaan dari lembaga
profesional dan dukungan kredit Sudara yang jumlah dananya relatip lebih besar. Mereka
diharapkan bergabung dalam koperasi dan melanjutkan usahanya dalam bentuk unit
warung berbagai keperluan sehari-hari yang dibutuhkan rakyat sekitar kampungnya
dengan harga terjangkau. Para anggota jaringan ini diharapkan bisa bermitra dengan
pengusaha menengah dan besar yang mampu memasok barang untuk keperluan seharihari
itu.
Berdasarkan pengalaman usaha sebelumnya, termasuk pengalaman Warung JK di
Jabotabek, atau Warung Koppas di Jakarta, mereka tetap diharapkan menjalin kerjasama
dengan anggota sekitarnya sehingga dapat melanjutkan kepercayaan dengan kredit dari
Bank Bukopin atau Bank Pembangunan Daerah, yang didukung Yayasan Damandiri,
dengan tanggung jawab renteng. Kalau sebelumnya mereka bisa memperoleh kredit
dengan jumlah maksimum hanya Rp. 320.000,-, diharapkan dalam skim kredit Sudara ini
keperluan mereka yang wajar dapat dipenuhi.
Keuntungan lain dari rancangan program ini adalah adanya saling kepercayaan dari
semua pihak bahwa dengan kemauan, kesempatan dan kemampuan, diharapkan usaha
kedua belah pihak dapat dilakukan dengan baik. Keuntungan lain adalah bahwa
dukungan dan pembinaan oleh Bank Bukopin dan Bank BPD, menjadikan kegiatan ini
relatip bebas dari birokrasi yang berbelit-belit. Karena itu, diharapkan pembukaan
jaringan warung ini mampu menjadi contoh dan merangsang pembangunan ekonomi
kerakyatan yang padat tenaga. Dengan pendekatan padat tenaga, penduduk miskin di
sekitarnya dapat ikut bekerja dalam usaha jaringan usaha yang makin luas variasinya.
Dengan bekerja dalam berbagai bidang kegiatan itu jumlah penduduk miskin yang
menganggur akan cepat berkurang.
Membangun Warung
Membangun dan memelihara warung tidak mudah. Diperlukan disiplin keras, siap
membuka warung pada pagi buta, menutupnya pada larut senja, dan harus buka lagi
sewaktu pintu rumah diketuk karena ada tetangga membutuhkan sesuatu yang sangat
diperlukannya. Keperluan tetangga itu harus siap dilayani saat itu juga. Pedagang warung
adalah pelayan pejuang yang harus tahan banting, mempunyai semangat tidak pantang
mundur, berjiwa sosial tetapi tetap berorientasi bisnis.
Pengalaman perorangan seorang pedagang warung biasanya bervariasi. Dalam kegiatan
warung ada yang mempunyai warung yang sifatnya mobil, yaitu suatu warung yang
berpindah-pindah dan biasanya terbentuk karena sering menjual dagangannya ke pasar.
Warung-warung yang bersifat mobil itu selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke
tempat lain sesuai dengan kesempatan yang terbuka. Bagi yang berpengalaman positip
dan beruntung adalah mereka yang mendapat perlindugan dari para petugas Satpam di
pasar. Lebih-lebih lagi kalau Satpam itu mengenalnya dan menganggap mereka sebagai
bagian dari keluarga miskin yang harus dilindungi. Tetapi tidak jarang ada pewarung
berpindah-pindah yang selalu dikejar-kejar dan diusir karena dianggap mengganggu lalu
lintas, atau berjualan di muka “warung senior” yang takut kehilangan langganan.
Ada juga pengalaman Yayasan Damandiri selama tiga tahun terakhir ini bekerja sama
dengan Bank Bukopin menolong Koperasi Pedagang Pasar (Koppas) di Jakarta. Dengan
disediakan dana sekitar Rp. 6 milyar ternyata warung-warung kecil yang maju di pasarpasar
itu mendapat manfaat dalam memperluas usahanya.
Pengalaman lain adalah Jaringan Warung JK di Jabotabek yang berhasil. Jaringan
warung ini mendapat dukungan kredit berupa barang dagangan dengan harga bersaing,
sehingga dapat menjual keperluan pokok sehari-hari di kampungnya dengan harga
bersaing. Keuntungan dari penjual adalah tidak harus mencari barang dagangan dengan
harga yang lebih tinggi karena mendapat hantaran dari pusat JK. Para pembeli dengan
sendirinya dapat memperoleh barang keperluannya dengan harga bersaing dan kualitas
yang terjamin.
Menurut catatan ada ribuan Jaringan Warung Ibu Mandiri (Riung Iman) di daerah
karesidenan Solo yang siap untuk dikembangkan. Peresmian hari Selasa besuk
merupakan awal dari pengembangan Warung Sudara di Sragen dan daerah sekitarnya.
Pengembangan ini akan dilakukan dan dikelola bersama oleh Yayasan Indonesia Damai
Sejahtera (Indra) bekerja sama dengan Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS), Pemerintah
Daerah, Bank Bukopin, Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan berbagai lembaga lain di
Sragen. Menurut rencana dalam enam bulan ini akan dikembangkan suatu jaringan
warung Sudara dengan jumlah 1000 warung. Atas dasar keberhasilan dari 1000 warung
itu lebih lanjut akan dikembangkan sekitar 4000 sampai 5000 dalam waktu satu tahun.
Mereka yang mendapat kesempatan utama adalah warung-warung kecil di kampungkampung
yang semula adalah keluarga miskin atau yang memperkerjakan keluarga
miskin di warungnya. Mereka melayani keluarga-keluarga di kampungnya, terutama
keluarga miskin dengan kemudahan, harga bersaing karena pemilik warung tidak
mengambil untung terlalu besar, bahkan kalau perlu mengantarkan keperluan langganan
kerumahnya. Semoga kegiatan yang sangat mulia ini mendapat limpahan rahmat dari
Tuhan Yang Maha Esa. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial
Kemasyrakatan)
DIPERLUKAN LEMBAGA KEUANGAN KELURAHAN
Sejak tahun 2001 Pemda DKI Jakarta telah mengambil prakarsa jitu mengembangkan
Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) yang ditujukan kepada
masyarakat kurang mampu di RT dan RW secara langsung. Program ini dianggap oleh
banyak kalangan merupakan terobosan jitu yang secara langsung memanfaatkan institusi
masyarakat di tingkat kelurahan-kelurahan, yaitu dengan secara langsung mengambil
basis masyarakat Rukun Warga (RW) dan masyarakat Rukun Tetangga (RT).
Oleh banyak kalangan program itu juga dinilai sebagai sebuah langkah maju dan
bijak yang diambil Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam menyikapi
perubahan-perubahan otonomi. Secara khusus program ini menyikapi Undang-Undang
Nomor 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara RI
Jakarta, yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2001, dengan
membentuk suatu Dewan Kelurahan atau disingkat DK atau Dekel. Dekel ini ditugasi
menampung program dan kegiatan yang ada pada tingkat kelurahan.
Pembentukan Dekel dimaksudkan untuk menampung aspirasi masyarakat secara
langsung. Pembentukan Dekel juga merupakan pertanda kepercayaan dari Pemda DKI
Jakarta kepada masyarakat dengan menyerahkan pelaksanaan berbagai kegiatan yang
dibiayai lewat APBD DKI Jakarta langsung kepada masyarakat di tingkat RT/RW
tersebut. Masyarakat juga diberikan kesempatan untuk merumuskan program dan
kegiatan sendiri pada tingkat RT/RW melalui berbagai proposal atau cara-cara lain yang
diatur sendiri oleh masyarakat.
Hanya sayang pembentukan Dekel ini belum disertai dengan pemberdayaan atau
pembentukan Lembaga Keuangan Mikro di tingkat kelurahan atau kecamatan, sehingga
penyaluran dana belum dapat dilakukan dengan cara profesional dan aman. Keluhan ini
antara lain diuraikan sendiri oleh Kepala Bappeda DKI Jakarta, dr. Ritola Tasmaya,
MPH., bahwa masih banyak laporan dari berbagai kelurahan yang penyerapan dananya
masih jauh dari yang diharapkan. Ada pula wakil Camat yang melaporkan bahwa
sesungguhnya ada banyak dana di tingkat kecamatan dan di tingkat kelurahan yang masih
tersisa tetapi belum dapat dihimpun menjadi satu kekuatan yang ampuh untuk
mendukung pemberdayaan masyarakat kurang mampu di daerah yang bersangkutan
karena tidak adanya lembaga keuangan mikro di tingkat kecamatan itu.
Dengan alasan-alasan itulah perlu segera dipikirkan dan dilaksanakan pembentukan
Lembaga Keuangan Mikro, baik dalam bentuk koperasi atau Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) yang ditugasi dan sanggup serta bisa melayani kebutuhan masyarakat di tingkat
RT dan RW secara profesional menurut aturan-aturan perbankan yang memadai.
Pembentukan lembaga keuangan mikro itu bisa dimulai dengan menempatkan Dekel dan
pemerintah kelurahan sebagai sponsor dengan modal yang berasal dari dana yang
diperoleh dari subsidi pemerintah DKI Jakarta. Dana ini bersama dengan dukungan lain
dari Pemerintah Propinsi atau pemerintah kota dapat ditempatkan menjadi dana
pendamping atau dana abadi sebagai kekuatan bank agar kekuatan lembaga keuangan
mikro itu menjadi cukup memadai untuk melayani para nasabahnya dengan kelincahan
yang maksimal.
Bentuk kedua adalah dengan mengusahakan dikembangkannya BPR pada tingkat
kecamatan dan kelurahan yang ditugasi secara khusus untuk menjadi penyalur dana
bergulir untuk pemberdayaan masyarakat itu dengan syarat-syarat yang makin lama
makin maju. Lembaga BPR itu dengan mudah dapat menyalurkan dana dengan aman dan
mengambil (melakukan koleksi) yang bersifat harian sambil melatih nasabah keluarga
kurang mampu untuk makin biasa menghadapi sistem perbankan komersial biasa yang
ada. Dengan makin biasa menghadapi sistem perbankan secara komersial ini, apabila
nanti usahanya maju maka batas kreditnya akan sangat fleksibel karena dapat
memanfaatkan dana pasar yang tersedia secara melimpah di setiap bank.
Pada tingkat awal pembentukan lembaga keuangan mikro itu pemerintah daerah
di kota atau di propinsi dapat ikut serta secara aktif untuk beberapa tahun agar supaya
sasaran keluarga kurang mampu yang menjadi arah penyaluran kredit dapat didekati
dengan pasti dan dana yang disediakan untuk keluarga kurang mampu tidak diserap atau
terserap oleh keluarga yang lebih mampu untuk keperluan lainnya. Bisa juga lembagalembaga
keuangan mikro ini memainkan peran dengan menyalurkan dana kepada usaha
yang sifatnya padat tenaga kerja dengan arahan dan syarat agar tenaga kerja untuk
memperluas usaha itu berasal dari anggota keluarga kurang mampu itu.
Dengan cara demikian lembaga keuangan mikro diarahkan untuk memihak keluarga
kurang mampu dan diwajibkan untuk memberikan syarat-syarat khusus untuk penyaluran
dananya, yaitu pertama, langsung kepada keluarga kurang mampu yang mempunyai
usaha mandiri atau kepada keluarga atau usaha lain yang akan mempekerjakan anggota
keluarga kurang mampu. Dengan arahan tersebut maka lembaga keuangan mikro itu akan
menjadi pelengkap yang baik sekali untuk para anggota Dekel dan pejabat eksekutif
kelurahan dalam memberikan dukungan partisipasi untuk keluarga kurang mampu dan
para anggotanya membebaskan dirinya dari belenggu keterpurukan. Dengan demikian
setiap anggota dapat mengikuti partisipasi aktif masyarakat tanpa adanya kendala
kekurangan modal karena tersedia pada lembaga yang akrab dengan kegiatan mereka
pada tingkat RT dan RW.
Pembentukan lembaga keuangan mikro di tingkat Kecamatan dan Kelurahan itu
hendaknya juga sudah bisa bersambung secara “On -Line” dengan tingkat pusatnya
sehingga gerakan penyaluran dana dapat diikuti dengan mudah oleh kantor pusat Bank
induknya atau dapat dipantau oleh para pengambil keputusan pada tingkat kota, pada
tingkat propinsi atau oleh mereka yang dipercaya untuk mengikuti gerakan
pemberdayaan itu dengan baik. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial
Kemasyarakatan)-(A1/B2/D1)
MEMPERLUAS PEMBERDAYAAN DI NTT
Dalam suasana kemelut pemboman di Bali dan dengan semangat bersama untuk
mempercepat pembangunan di kawasan timur Indonesia, minggu lalu, hampir bersamaan
dengan kunjungan Menteri Pemberdayaan Perempuan di NTT, Pimpinan Yayasan
Damandiri telah diundang oleh Gubernur NTT untuk membantu melanjutkan
pemberdayaan perempuan dan keluarga kurang mampu di seluruh NTT.
Upaya dukungan Yayasan Damandiri dalam pemberdayaan keluarga di seluruh
propinsi NTT telah dimulai sejak tahun 1995 bekerja-sama dengan BKKBN dan Bank
BNI. Program awalnya adalah anjuran kepada keluarga pra sejahtera dan keluarga
sejahtera I untuk belajar menabung. Selama enam tahun, dengan bantuan dana Yayasan
Damandiri sekitar Rp. 733 juta sebagai tabungan awal, sebanyak 362.438 keluarga pra
sejahtera dan keluarga sejahtera I telah belajar menabung dalam tabungan Takesra
melalui Bank BNI. Tabungan mereka telah mencapai sekitar Rp. 3.895.971.894,- yang
tersimpan rapi pada Bank BNI.
Keluarga-keluarga itu juga telah bekerja keras belajar membangun usaha ekonomi
produktip dalam skala mikro. Mereka mendapat kesempatan mengambil kredit Kukesra
secara bertahap sesuai dengan kemampuannya untuk mengembangkan usaha. Jumlah
kredit yang telah dinikmati oleh 12.181 kelompok dengan anggota 263.884 keluarga pada
bulan April 2002 lalu telah mencapai sekitar Rp. 10.523.000.000,-.
Dengan dukungan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi NTT, dalam
pertemuan dengan jajaran pembangunan di Kupang minggu lalu, Yayasan Damandiri
telah sepakat mendukung kelanjutan pemberdayaan yang telah berlangsung lebih dari
lima tahun tersebut. Dukungan yang baru itu akan dimulai melalui program pembinan
yang bersifat terpadu. Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, pemerintah
daerah akan memberikan dukungan fasilitasi melalui berbagai dinas dan lembaga
pembangunan yang ada di NTT. Yayasan Damandiri, bekerja sama dengan Bank
Pembangunan Daerah di NTT dan Bank Bukopin cabang Kupang, akan memberikan
dukungan pembiayaan yang dibutuhkan sesuai dengan kemampuan.
Program pemberdayaan yang pertama akan segera dimulai pada akhir bulan ini
dengan memilih para siswa SMU dan SMK, negeri dan swasta, anak-anak keluarga
kurang mampu. Untuk setiap kabupaten dan kota, yang jumlah seluruhnya ada sebanyak
15 di seluruh NTT, akan dipilih tiga orang anak-anak keluarga kurang mampu untuk
mendapatkan dukungan Bea Belajar Mandiri (BBM). Setiap siswa, khususnya siswa putri
yang menonjol, akan menerima bantuan berupa tabungan sebesar Rp. 300.000,- . Setelah
lulus, tabungan tersebut dapat dijadikan bekal untuk melanjutkan sekolah pada jenjang
yang lebih tinggi, atau mengikuti kursus-kursus, atau untuk bekal bekerja secara mandiri
bersama orang tuanya.
Apabila anak-anak itu beruntung mendapat kesempatan melanjutkan kuliah pada
pendidikan tinggi negeri, biaya SPP- mereka akan ditanggung oleh Yayasan Damandiri
sampai yang bersangkutan selesai dengan pendidikan universitas pilihannya itu. Dengan
cara demikian anak-anak itu diharapkan akan memutus rantai kemiskinan yang diderita
oleh orang tua dan seluruh keluarganya.
Senada dengan upaya pemberdayaan melaui anak-anaknya itu, dari sekitar 12.181
kelompok yang selama enam tahun ini telah belajar usaha ekonomi produktip dan maju,
akan diberi kesempatan untuk melanjutkan usahanya. Bekerja sama dengan Bank
Pembangunan Daerah NTT, dalam acara minggu lalu juga telah ditanda tangani
kerjasama untuk mendukung keluarga yang maju tersebut. Mereka bisa mendapatkan
kesempatan pendampingan dan kredit melalui program Pemberdayaan Keluarga Mandiri
atau PUNDI. Untuk itu, pada tingkat awal, Yayasan Damandiri menyediakan dana
sebesar Rp. 5 milyar melalui Bank Pembangunan Daerah NTT.
Dengan tersedianya dana itu seluruh kesempatan yang ada di NTT bertambah
besar karena dana untuk Kukesra yang sekarang telah berakhir, akan diteruskan pada
tahun 2003 yang akan datang dalam bentuk program lanjutan yang sedang dirumuskan
dengan BKKBN dan Bank BNI.
Disamping kelompok-kelompok yang semula dibina oleh BKKBN, dana PUNDI
juga dapat digunakan oleh kelompok lain yang tujuannya adalah untuk pemberdayaan
ekonomi yang bersifat mikro. Dengan adanya kesempatan itu diharapkan para ibu-ibu
yang sementara ini mengalami kesukaran untuk mendapatkan dukungan pendanaan
dalam rangka mengembangkan upaya-upaya ekonomi skala kecil akan mendapat
kesempatan baru yang menjanjikan.
Untuk memberikan dukungan kepada para “usahawan kecil” belajar usaha yang
mandiri, dengan kerjasama Universitas Nusa Cendana akan disediakan 100 tenaga
pendamping yang terdiri dari mahasiswa semester ke 7 keatas dari berbagai fakultas yang
ada. Tenaga mahasiswa itu akan dikoordinasikan oleh para dosennya dalam
kepemimpinan Rektor Universitas tersebut. Untuk kerjasama itu para mahasiswa akan
mendapat latihan dan pengenalan usaha yang dianggap penting. Sebagai kompensasi,
para mahasiswa akan mendapat dukungan pembayaran SPP-nya selama satu tahun penuh
dari Yayasan Damandiri.
Disamping kelanjutan program yang ada, dikembangkan juga program-program
baru untuk menolong para pedagang kecil yang ada di pasar-pasar. Para pedagang yang
mampu mencicil suatu pinjaman sebesar Rp. 10.000,- setiap hari sedang dipertimbangkan
untuk mendapat pinjaman modal tambahan agar dagangannya bertambah banyak dan
dapat memperluas usahanya dengan mempekerjakan tenaga-tenaga baru yang berasal dari
keluarga kurang mampu. Untuk itu, dismping kerjasama dengan Bank Pembangunan
Daerah, untuk kota Kupang dikembangkan juga kerjasama dengan Bank Bukopin
setempat. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). –
Pengantar-NTT-28102002.
MERASAKAN NIKMAT KEMERDEKAAN
Setelah sekian lama menghirup kemerdekaan, masyarakat di 90 pulau dari sekitar 116
pulau yang ada di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, mulai merasakan denyut
harapan baru dan nikmatnya kemerdekaan. Harapan itu mulai nampak karena dalam
suasana otonomi daerah yang marak dewasa ini, Bupati Pangkep, Gaffar Patappe, dalam
langkahnya yang sigap tidak menanggapi otonomi dengan retorika politik vokal, tetapi
langsung mengambil langkah konkrit yang menyejukkan. Dalam tiga tahun terakhir ini
harapan masa depan masyarakat pulau itu dari hari kehari diwujudkan dengan perbaikan
fasilitas kesehatan, pendidikan dan kesempatan usaha yang justru sangat dibutuhkan oleh
masyarakat luas.
Semula, dengan terbelalak Bupati merasa heran melihat kenapa ibu-ibu yang
sedang mengandung, melahirkan dan menyusui di pulau tidak dilayani oleh para bidan
dengan pelayanan yang memadai padahal fasilitas dianggap cukup. Padahal pedoman
dari atasan sudah jelas, apabila seorang ibu sedang mengandung, dia harus dirawat oleh
bidan dan dokter, minimal empat kali selama masa kandungan. Kalau melahirkan harus
ditolong oleh bidan apabila fasilitas dokter atau rumah bersalin yang memadai memang
tidak ada. Pedoman itu dibuat untuk mencegah dan menurunkan tingkat kematian ibu
hamil dan melahirkan yang memang masih sangat tinggi di Indonesia. Bagi masyarakat
pulau-pulau di Kabupaten Pangkep, pedoman itu hanya baik diatas kertas. Selama
bertahun-tahun, bahkan barangkali selama berabad-abad masyarakat pulau di Pangkep itu
tidak pernah mengenal bidan atau perawatan yang disyaratkan itu.
Dengan memutar otak Bupati menugaskan stafnya untuk menyelidiki kenapa
pelayanan dasar yang sangat sederhana itu tidak dapat dilakukan di pulau-pulau di
Pangkep padahal telah cukup tersedia sarana yang disiapkan oleh pemerintah di
kepulauan itu. Bahkan dilaporkan sarana itu ada sebagian yang justru terbengkelai karena
tidak cukup tenaga yang sanggup melayani di daerah kepulauan yang sangat luas itu.
Tenaga-tenaga yang terdidik banyak terkumpul di daratan dan jarang yang betah tinggal
di kepulauan yang memang memerlukan keakraban tersendiri itu. Banyak alasan yang
dikemukakan kenapa tidak cukup tenaga yang betah dan mau tinggal mengabdi untuk
ibu-ibu dan anak-anak yang tidak berdosa dan ingin tetap sehat di pulau-pulau itu.
Setelah dilakukan penyelidikan secara seksama diketahui bahwa anak-anak gadis
dan para remaja dari pulau selalu kalah bersaing memperebutkan bangku sekolah bidan
atau perawat yang ditawarkan di tingkat kabupaten atau di tingkat propinsi, sehingga
jarang, atau boleh dikata tidak ada tenaga bidan atau perawat yang berasal dari pulau atau
mau kembali ke pulau. Para bidan biasanya datang dari sekolah-sekolah yang ada di kota
atau mereka yang berasal dari daerah perkotaan. Begitu selesai dengan pendidikan
mereka harus menjalani tugas praktek di tempat yang ditentukan, termasuk di pulau.
Tetapi dengan berbagai alasan mereka yang berasal dari kota akan segera mencari jalan
untuk pindah kembali ke kota.
Melihat gelagat yang kurang menguntungkan itu, Bupati Gaffar Patappe
memanfaatkan peluang otonomi daerah dengan jitu. Dipanggilnya gadis-gadis dan remaja
pulau untuk disekolahkan dan mendapat pendidikan dasar perawatan dari instansiinstansi
yang berwewenang. Dengan jalan itu puluhan tenaga baru yang segar dan berasal
dari pulau atau sanggup kembali ke pulau setelah mengikuti pendidikan diambilnya
sesuai dengan kebutuhan. Sebagian dari tenaga-tenaga itu sudah mulai kembali dan
berbakti melayani masyarakatnya di pulau asalnya. Harapan baru untuk masyarakat pulau
di hari kemerdekaan sekarang ini mulai muncul sehingga anak-anak yang kemudian
dilahirkan di pulau akan menikmati pelayanan kebidanan sederhana seperti saudarasaudaranya
yang lain di daratan. Kemerdekaan makin mempunyai makna untuk
masyarakat pulau.
Bupati Gaffar tidak berhenti dengan membenahi bidang kesehatan dasar saja.
Dengan dukungan DPRD-nya, seluruh staf Pemda dikerahkannya untuk mencari
terobosan lain untuk menolong masyarakat pulau yang “belum merdeka” itu. Dugaan
Bupati ternyata benar. Anak-anak usia sekolah dasar, 7-12 tahun dan anak-anak usia
sekolah menengah, 13-18 tahun tidak bersekolah bukan karena tidak ada sekolah.
Memang mereka bekerja keras membantu orang tuanya dengan pekerjaan apa adanya. Di
pulau-pulau ada banyak gedung sekolah, ada sedikit fasilitas sekolah, tetapi langka guru
dan fasilitas pendukungnya.
Seperti halnya bidan dan perawat rumah sakit, guru di pulau merupakan barang
langka. Mereka umumnya merupakan tenaga terdidik yang untuk ikut dalam arus
pendidikan itu harus memenuhi persyaratan tertentu dan bersaing secara ketat di tingkat
kabupaten atau di tingkat propinsi. Anak-anak pulau yang bersekolah seadanya ke kota
tidak mampu bersaing dengan mereka atau bahkan sekolahnya sekedar naik kelas dengan
nilai pas-pasan saja. Untuk bersaing memperebutkan saingan memasuki pendidikan guru
atau pendidikan menuju ke jenjang yang lebih tinggi biasanya anak-anak pulau kalah
bersaing dengan teman-temannya yang berasal dari daratan. Akibatnya tidak ada yang
mampu menjadi guru.
Pemda setempat mengambil langkah strategis bekerjasama dengan perguruan
tinggi setempat untuk secara khusus melatih tenaga guru yang “bahan baku” -nya berasal
dari pulau. Pendidikan dua tahun pertama telah mulai menghasilkan lulusan dan kembali
ke pulau asalnya. Harapan baru mulai muncul karena angkatan pertama ini segera
bebenah dan menjadikan sekolah di pulau berfungsi secara wajar mengantar anak-anak
yang selama ini tidak pernah mengenal bangku sampai tamat SD, atau mulai memasuki
bangku SLTP di daerah pulau asalnya mulai mempunyai harapan baru.
Langkah-langkah konkrit ini dilanjutkan pula dengan membenahi keperluan usaha
dibidang ekonomi yang menjanjikan. Produk dari pulau yang memang mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi mulai dibenahi pemasarannya dengan membangun pasar-pasar baru
yang mudah di akses oleh para nelayan dari pulau. Para pedagang antar pulau mulai
deberikan kesempatan menjadi tuan rumah dari perdagangan yang menguntungkan.
Kemerdekaan yang kita peringati hari ini dengan gegap gempita perlu kita sertai dengan
renungan yang jujur apakah langkah Pemda Pangkep itu sudah juga dikerjakan di daerah
lain. Kalau belum, kiranya tidak usah malu-malu kita belajar dari daerah Pangkep dan
mengetrapkannya di daerah lainnya agar kemerdekaan betul-betul dirasakan di seluruh
tanah air dengan sama nikmatnya. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial
Kemasyarakatan)-Pengantar-Merdeka-1282002

No comments:

Post a Comment