Monday 20 December 2010

LATAR BELAKANG PERILAKU SEKS BEBAS DAN PERKEMBANGANNYA DALAM POLA KEHIDUPAN MASYARAKAT

LATAR BELAKANG PERILAKU SEKS BEBAS DAN PERKEMBANGANNYA DALAM POLA KEHIDUPAN MASYARAKAT

Oleh Abdul Syani



I. Latar Belakang Perilaku Seks Bebas
Seks pada hakekatnya merupakan dorongan narluri alamiah tentang
kepuasan syahwat. Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas
mengatakan bahwa seks itu adalah istilah lain dari Jenis kelamin yang
membedakan antara pria dan wanita. Jika kedua jenis seks ini
bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku seks dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan
menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan
bahwa seks merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan
hasrat birahi pihak lain. Akan tetapi sebagai manusia yang beragama,
berbudaya, beradab dan bermoral, seks merupakan dorongan emosi
cinta suci yang dibutuhkan dalam angka mencapai kepuasan nurani
dan memantapkan kelangsungan keturunannya. Tegasnya, orang yang
ingin mendapatkan cinta dan keturunan, maka ia akan melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya.
Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa
mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Perilaku seks
sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan batas
kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks.
Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai
dan norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang
seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk
dibicarakan secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap
belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup
pembicaraan tentang seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka
sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang
seks. Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur sedemikian rupa
dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran moralitas,
dengan tujuan agar dorongan perilaku seks yang alamiah ini dalam
prakteknya sesuai dengan batas-batas kehormatan dan kemanusiaan.
Biasanya hubungan intim antara dua orang lawan jenis cenderung
3
bersifat emosional primer, dan apabila terpisah atau mendapat
hambatan, maka keduanya akan merasa terganggu atau kehilangan
jati dirinya.
Berbeda dengan hubungan intim yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
modern, biasanya cenderung bersifat rasional sekunder.
Anak-anak yang mulai tumbuh remaja lebih suka berbicara seks
dikalangan teman-temannya. Jika hubungan intim itu terpisah atau
mendapat hambatan, maka mereka tidak akan kehilangan jati diri
dan lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam
lingkungan pergaulan lainnya. Lembaga keluarga yang bersifat
universal dan multi fungsional, baik pengawasan sosial, pendidikan
keagamaan dan moral, memelihara, perlindungan dan rekreasi
terhadap anggota-anggota keluarganya, dalam berhadapan dengan
proses modernitas sosial, cenderung kehilangan fungsinya. Sebagai
konsekuensi proses sosialisasi norma-norma yang berhubungan
batas-batas pola dan etika pergaulan semakin berkurang, maka
pengaruh pola pergaulan bebas cenderung lebih dominan merasuk
kedalam kebiasaan baru. Seks sebagai kebutuhan manusia yang
alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi
oleh dorongan naluri seks secara subyektif. Akibatnya sering terjadi
penyimpangan dan pelanggaran perilaku seks di luar batas hak-hak
kehormatan dan tata susila kemanusiaan.
Latar belakang terjadinya perilaku seks bebas pada umumnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Gagalnya sosialisasi norma-norma dalam keluarga, terutama
keyakinan agama dan moralitas;
2. Semakin terbukanya peluang pergaulan bebas; setara dengan
kuantitas pengetahuan tentang perilaku seks pada lingkungan
sosial dan kelompok pertemanan;
3. Kekosongan aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam kehidupan
sehari-hari;
4. Sensitifitas penyerapan dan penghayatan terhadap struktur
pergaulan dan seks bebas relatif tinggi;
5. Rendahnya konsistensi pewarisan contoh perilaku tokoh-tokoh
masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang berwenang;
6. Rendahnya keperdulian dan kontrol sosial masyarakat;
7. Adanya kemudahan dalam mengantisipasi resiko kehamilan;
8. Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dan resiko
penyakit berbahaya;
9. Sikap perilaku dan busana yang mengundang desakan seks;
10. Kesepian, berpisah dengan pasangan terlalu lama, atau
karena keinginan untuk menikmati sensasi seks di luar
rutinitas rumah tangga;
4
11. Tersedianya lokalisasi atau legalitas pekerja seks.
Berdasarkan alasan tersebut, maka semakin terbukalah pergaulan
bebas antara pria dan wanita, baik bagi kalangan remaja maupun
kalangan yang sudah berumah tangga. Hal ini dimungkinkan karena
sosialisasi norma dalam keluarga tidak efektif, sementara cabang
hubungan pergaulan dengan berbagai pola perilaku seks di luar rumah
meningkat yang kemudian mendominasi pembentukan kepribadian
baru. Kalangan remaja pada umumnya lebih sensitif menyerap
struktur pergaulan bebas dalam kehidupan masyarakat. Bagi suami
isteri yang bekerja di luar rumah, tidak mustahil semakin banyak
meninggalkan norma-norma dan tradisi keluarga sebelumnya,
kemudian dituntut untuk menyesuaikan diri dalam sistem pergaulan
baru, termasuk pergaulan intim dengan lawan jenis dalam peroses
penyelesaian pekerjaan. Kondisi pergaulan semacam ini seseorang tidak
hanya mungkin menjauh dari perhitungan nilai harmonisasi keluarga,
akan tetapi selanjutnya semakin terdorong untuk mengejar karier
dalam perhitungan ekonomis material. Kenyataan ini secara implisit
melembaga, dimaklumi, lumrah, dan bahkan merupakan kebutuhan
baru bagi sebagian besar keluarga dalam masyarakat modern.
Kebutuhan baru ini menuntut seseorang untuk membentuk sistem
pergaulan modernitas yang cenderung meminimalisasi ikatan moral
dan kepedulian terhadap hukum-hukum agama. Sementara di pihak
lain, jajaran pemegang status terhormat sebagai sumber pewarisan
norma, seperti penegak hukum, para pemimpin formal, tokoh
masyarakat dan agama, ternyata tidak mampu berperan dengan
contoh-contoh perilaku yang sesuai dengan statusnya. Sebagai
konsekuensinya adalah membuka peluang untuk mencari kebebasan
di luar rumah. Khususnya dalam pergaulan lawan jenis pada
lingkungan bebas norma dan rendahnya kontrol sosial, cenderung
mengundang hasrat dan kebutuhan seks seraya menerapkannya secara
bebas.
Bagi kalangan remaja, seks merupakan indikasi kedewasaan yang
normal, akan tetapi karena mereka tidak cukup mengetahui secara
utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau mereka
menafsirkan seks semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi,
tak perduli resiko. Kendatipun secara sembunyi-sembunyi mereka
merespon gosip tentang seks diantara kelompoknya, mereka menganggap
seks sebagai bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan remaja. Kelakar pornografi merupakan kepuasan tersendiri,
sehinga mereka semakin terdorong untuk lebih dekat mengenal
lika-liku seks sesungguhnya. Jika immajinasi seks ini memperoleh
tanggapan yang sama dari pasangannya, maka tidak mustahil kalau
harapan-harapan indah yang termuat dalam konsep seks ini benarbenar
dilakukan.
5
II. Popularitas Perilaku Seks Bebas dalam kehidupan masyarakat
Pupulernya perilaku seks di luar nikah, karena adanya tekanan dari
teman-temannya atau mungkin dari pasangannya sendiri. Kemudian
disusul oleh dorongan kebutuhan nafsu seks secara emosional, di
samping karena rendahnya pemahaman tentang makna cinta dan
rasa keingintahuan yang tinggi tentang seks. Beberapa hasil
penelitian mengungkapkan bahwa gadis melakukan seks di luar nikah
karena tekanan teman-temannya sesama wanita. Teman-temannya
mengatakan bahwa:
"Semua gadis modern melakukannya, kalau tidak, ya.., termasuk gadir kampungan";
"Jaman sekarang tak ada lagi perawan-perawanan, nikmati saja hidup ini dengan
keindahan".
Dengan demikian Ia melakukannya hanya untuk membuktikan
bahwa iapun sama normalnya dengan kelompok teman modernnya
yang telah terperangkap dalam penyimpangan moral. Ia ingin tetap
diterima oleh kelompok temannya secara berlebihan, sehingga
mengalahkan kepribadian dan citra diri. Pengakuan lain, bahwa
melakukan seks dengan alasan agar cinta pasangannya semakin
kuat, dan apabila aku tidak melakukannya, berarti aku tidak bisa
menunjukkan bukti cintaku kepadanya.
Kecuali itu, karena mereka telah beribu-ribu kali memperoleh
informasi tentang kehebatan dan kedahsyatan seks itu, baik dari
pergaulan sehari-hari maupun dari mass media, seperti televisi, film,
show, majalah dan brosur-brosur porno yang cenderung mengagungkan
kehidupan seks inkonvensional, dimana terdapat kemudahan untuk
berkencan intim, berpegangan, berpelukan, meraba, dan bahkan
tidur bersama. Gosip-gosip seks secara bertubi-tubi dan secara
berantai telah membakar rasa penasaran mereka terhadap seks,
sehingga timbul pertanyaan dalam hayal mereka:
"seperti apa sih rasanya seks itu"?,
"apa benar sedahsyat yang dikatakan orang"?
Dalam perasaan penasasan, mereka akhirnya mencari tahu sendiri
dengan riset partisipatif. Setelah seks itu ditemukan dalam praktek,
lalu semuanya terjawab dan ternyata sesuai dengan hipotesis, sehingga
terbentuklah perilaku yang namanya KETAGIHAN. Kalangan pencinta
seks ini berpikir bahwa:
6
"kalau sudah basah, sekalian mandi saja; sekali terlanjur, lebih baik seterusnya".
Mantan perawan sekali nge-seks, sama artinya melakukan 6 atau 7
kali, toh perawan tak akan kembali, mengapa harus dibatasi? Di
sinilah awal mulanya tumbuh pernyataan perang dari mereka terhadap
segala macam norma yang membatasi kebebasan seks.
Secara teoritis memang hubungan cinta ada yang bersifat platonis,
yaitu cinta tanpa unsur nafsu badaniah terhadap kekasihnya. Cinta
semacam ini pada perinsipnya mengandung semangat "apa yang dapat
aku lakukan untukmu". Akan tetapi secara umum dalam
perkembangannya, seks lebih didambakan secara fisik, ketimbang
hubungan cinta dan kasih sayang. Sebagian pihak menganggap
hubungan cinta dianggap sebagai alasan untuk memperoleh kepuasan
seks semata. Di sinilah seks menjadi kepanjangan dari perasaan cinta.
Kisah cinta yang konvensional dianggap tidak variatif, cengeng,
ketinggalan jaman dan tidak jantan.
Menanggapi perkembangan pemahaman pola kehidupan seks tersebut,
dapat diasumsikan bahwa orang masa kini cenderung "lebih cepat
jatuh seks ketimbang jatuh cinta". Cinta dan seks dikondisikan
sebagai wujud sikap dan perilaku majemuk yang sekaligus mengandung
unsur nilai persahabatan, pergaulan intim, menikmati kebersamaan,
kasih sayang, hubungan seks, dan saling mempercayai antar
sesama lawan jenisnya tanpa batas yang tegas.
Dalam hubungan seks pada umumnya terdapat proses kesepakatan
bahwa masing-masing pelaku berbuat secara sukarela dan bebas dari
ikatan norma atau jaminan resiko jangka panjang. Semua perilaku
seks disepakati sebagai sebuah kemerdekaan yang bebas dari tuntutan
moral. Hubungan cinta cenderung tidak konsisten, tergantung kapan
datangnya letupan perasaan kebutuhan seksual. Keperdulian terhadap
kepentingan dan kegelisahan orang lain sering diwujudkan dalam katakata
dan tindakan yang semu sebagai dalih atau muslihat untuk
memperoleh hubungan seks. Kata-kata yang mengatasnamakan cinta
sering dilontarkan sebagai jebakan yang sebenarnya mengandung
unsur pemaksaan. Beberapa contoh pernyataan yang umum
dilontarkan untuk memperoleh kesepakatan hubungan seks, misalnya:
"Aku sudah terlalu lama menunggu, kalau malam ini kamu menolak, lupakan saja
semuanya".
"Aku bawa kondom sutra kok, tidak ada masalah".
"Kamu kan bagian dari hidupku, dan aku bagian dari hidupmu, ayo dong!".
"Toh tak ada bedanya isteri dan calon isteri. Kita toh siap kawin kalau ada apa-apa".
7
"Aku bisa saja dengan gadis lain, tapi aku hanya membutuhkan persatuan jiwa raga
dengan engkau seorang".
"Jika kamu benar-benar cinta, maka kamu tak akan tega menyiksa aku".
Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya bermaksud agar pasangannya
tidak menunda-nunda hubungan seks yang dituntutnya. Jika
kebutuhan terpenuhi, maka sementara waktu berikutnya hubungan
komunikasi dan interaksi antar sesamanya menghambar. Dalam
kondisi demikian biasanya timbul pikiran-pikiran rasional,
perhitungan-perhitungan masa depan (what nexs), dan tuntutan
aktualisasi diri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
III. Karakteristik dan Pola Perkembangan Perilaku Seks Bebas
dalam Kehidupan Masyarakat
Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa perilaku seks pranikah
terpisah dari ukuran moral; artinya sah-sah saja sepanjang
dilakukan atas dasar kebutuhan bersama. Ukuran moral berbicara
tatkala hubungan seks terjadi melalui pemaksaan fisik. Seks
pernikahan secara formal dilakukan sebagai suatu dalih umum
lantaran sebelumnya terdapat hambatan atau kesulitan untuk mempeloleh
seks. Keserasian seks dalam rumah tangga diperhitungkan
melalui kuantitas pengalaman coba-coba bermain seks tersendiri
dengan berganti-ganti pasangan. Sedangkan kualitas keserasian seks
yang menyatu dalam kehidupan bersama antara dua pribadi yang utuh,
bersatu dalam pembinaan dan tanggungjawab keluarga berdasarkan
rambu-rambu hukum agama, moral dan budaya, dianggap sebagai
tapal batas penghalang kenikmatan hubungan seks.
Pola pikir dan perhitungan pria terhadap hubungan seks, cenderung
tidak didasarkan pada penilaian baik buruknya pribadi dan perilaku
pasangannya secara keseluruhan, atau jaminan kesetiaan hidup
bersama dalam perspektif masa depan, melainkan diukur semata-mata
karena selera tertarik dari segi fisik yang indah, montok dan menggiurkan.
Sementara dipihak wanita masa kini seolah memberikan
reaksi yang positif dengan sengaja bersikap, berperilaku (termasuk
mode busana) yang secara nyata menonjolkan dan membuka bagianbagian
tubuh yang diketahui mengundang birahi. Kalau diketahui
karakteristik pria lebih merupakan gejala badaniah yang didorong
oleh gemuruh seks yang dangkal, sementara wanita cenderung
memberikan peluang, maka meskipun pria sebagai sumber inisiatif
penekan dalam melakukan serentetan pendekatan seks melalui
pegangan tangan, ciuman, memeluk dan mencumbu; bukan berarti
8
sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab, tetapi pihak
wanita juga menentukan tingkat intimitas batas kepantasan
hubungan seks mereka. Oleh karena itu dalam perkembangan
hubungan intim itu, lagi-lagi pihak wanita menyerah dan mengizinkan
pria untuk memenuhi tuntutan seksnya, lantaran iapun sesungguhnya
mempunyai deru-gelora nafsu seks tersendiri. Sebab bila puncak birahi
keduanya telah seimbang, maka hampir tak ada orang yang sanggup
menolak keinginan hubungan seksnya, baik dengan alasan-alasan
rasional maupun alasan-alasan moral, dosa ataupun sanksi sosial.
Dalam perburuan seks, kaum pria cenderung bersifat lebih independen
dan interaktif dalam posisi meminta dan menekan (memaksa),
sehingga tanpa disadari terjadi eksploitasi perilaku seks yang
kemudian mengaburkan makna cinta dan seks. Pihak wanita sendiri
memberikan reaksi seks dalam posisi terikat (dependen) dan tak
mampu menolak tuntutan seks. Keterikatan wanita dalam perilaku
seks masa kini cenderung salah kaprah menanggapi makna mitos
cinta sejati yang berarti "rela memberikan segalanya". Hal ini justeru
diartikan sebagai proses kompromi seks yang saling merelakan segala
yang berharga demi sebuah kenikmatan seks. Oleh karena itu nilai
pengorbanan, harga diri dan penyesalan, akibat hubungan seks
tersebut semaksimal mungkin ditiadakan. Artinya kebebasan seks
cenderung dipandang sebagai perilaku pemuasan nafsu yang
melahirkan kenikmatan belaka, dan melupakan realitas negatif akibat
dari seks itu sendiri.
Perilaku seks bebas, tak terkecuali perselingkuhan kaum pria dan
wanita berumah tangga, dipandang sebagai kesenangan hidup tanpa
ikatan, sehingga patut dijadikan kebutuhan permanen. Resiko
perilaku seks bebas, seperti kehamilan dan tercemarnya nama baik
keluarga tidak lagi menakutkan, disamping karena peristiwa ini
sudah biasa terjadi, juga karena kehamilan dapat dicegah melalui
kebebasan penggunaan kontrasepsi (paling tidak, kondom sutra).
Kebiasaan seks bebas dapat mengakibatkan orang semakin tidak
mampu menahan birahinya yang sewaktu-waktu mendesak, sehingga
tidak mustahil terjadi perkosaan di mana-mana sebagaimana diketahui
cenderung meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Dari segi sosial-psikologis, perilaku seks bebas dianggap tidak
mendatangkan beban tanggungjawab yang besar, dan tidak pula
dirasakan sebagai pencemaran terhadap tradisi adat dan moral.
Tentang kemungkinan terjadi depresi karena perasaan berdosa,
penyesalan atau rasa takut terjangkitnya penyakit kelamin, semuanya
tidak termasuk dalam perhitungan. Persepsi masyarakat terhadap
perilaku seks cenderung menghalalkan seks atas dasar argumen saling
9
suka, saling cinta, dan saling membutuhkan. Kondisi semacam ini
mengisyaratkan suatu pengakuan terhadap penyelewengan hubungan
(love affair) atau perselingkuhan, baik sebelum atau sesudah menikah.
Kondisi ini kemudian menempatkan posisi hubungan intimitas seks
manusia mendekati persamaannya dengan perilaku seks pada binatang.
Meskipun perilaku seks semacam ini masih tersembunyi, akan
tetapi secara realistik diam-diam diakui, terutama bagi mereka yang
tak mampu menahan nafsu seksnya dalam jangka waktu tertentu.
Mungkin karena kesepian, atau karena terperangkap dalam perkawinan
yang tak bahagia, bisa juga karena ingin menikmati sensasi seks di
luar rutinitas rumah tangga. Gejala ini kemudian mendorong
timbulnya gerakan sosial (social movement) dari kolektifitas kelompok
untuk menegakkan pola perilaku seks bebas. Meskipun secara
terselubung dalam jangka waktu tertentu, tetapi lama kelamaan
akan membawa perubahan perilaku yang diakui oleh seluruh lapisan
masyarakat sebagai suatu kelaziman. Sepanjang hubungan seks itu
masih dalam kerangka jaminan kepentingan bersama dengan sedikit
mungkin beban tanggungjawab atas syarat-syarat kontrak sosialnya,
maka selama itu pula rutinitas hubungan seks akan berlangsung
sebagai suatu kelaziman dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang ideal, tentu semua
tindakan itu dapat dikategorikan sebagai jalan pintas yang mengotorkan
jiwa, pikiran dan fisik, karena mau tak mau ada perasaan tak
layak, kotor, berdosa dan pengaruh negatifnya, baik terhadap
hubungan perkawinan maupun terhadap masa depan remaja. Semua
tindakan itu dapat menurunkan kesucian dan kemulyaan perkawinan,
di samping dapat merusak sumber daya generasi muda. Perilaku seks
bebas dapat membentuk struktur kemasyarakatan dalam status sosial
yang rendah dalam kehidupan masyarakat.
---------------------------------
* Disampaikan pada Seminar, Lokakarya dan Rapat Tahunan BKSPTN
Bagian Barat yang diselenggarakan oleh Fisip Unila, pada tanggal 20-22
Maret 2003.
** Dosen tetap Fisip Unila.
10
LATAR BELAKANG PERILAKU SEKS BEBAS
DAN PERKEMBANGANNYA DALAM POLA
KEHIDUPAN MASYARAKAT
OLEH
ABDUL SYANI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2000

No comments:

Post a Comment