Monday 20 December 2010

Minangkabau dalam Sejarah dan Tambo

Minangkabau dalam Sejarah dan Tambo

Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalam tambo terdapat dua hal; (1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung. (2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan. Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina.
Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang Mualim, Kambiang Hutan. Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunya seorang penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai. Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai
dan melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri kelarasan Bodi Caniago.
Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung. Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah;
(1) Kerajaan Pasumayan Koto Batu,
(2) Kerajaan Pariangan Padang Panjang
(3) Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
(4) Kerajaan Bungo Sitangkai
(5) Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir
(6) Kerajaan Pagaruyung. Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya.
Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi kawasan kerajaan Pagaruyung. Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal, yaitu dari Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punya berbagai variasi, karena setiap nagari punya tambo. Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan pilihan. Untuk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya. Namun pada umumnya tambo menguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.
Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai
orang Minangkabau. Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi. Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan itu dianggap ;orang kurang ; atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula. Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus masuk ke dalam Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah upacara pernikahan usai diselenggarakan, maka marahpulai/suami tinggal di rumah istrinya. Sungguhpun ia bertempat kediaman di rumah sang isteri, bukan berarti ia menjadi kepala keluarga dirumah isterinya. Dirumah isterinya berkedudukan sebagai semenda (urang sumando), dimana ia memiliki duo local residence, suatu istilah yang diberikan oleh seorang antropolog yang bernama Mordock. Hal ini disebabkan bahwa masing-masing suami isterinya itu tetap berada dalam kaum dan sukunya masing-masing. Pasangan suami isteri yang menikah bukan berarti dengan terjadinya pernikahan, salah satu pihak masuk kedalam suku atau marga pasangannya, seperti yang terjadi pada suku di tanah Batak.
Namun ia tetap berada pada suku dan kaum masing-masing. Untuk menggambarkan bahwa suami tidak langsung seketika masuk dalam keluarga isterinya, maka lazimnya pada masa dahulu, setelah si anak dara melakukan kewajibannya mengantarkan nasi sebagaimana yang telah diulas pada bab Menjalan Mintuo, marahpulai tetap berdiam diri dirumahnya dulu sampai ada pihak anak dara dating menjemput untuk tinggal dirumah anak dara. Pada masa dahulu, marahpulai beberapa setelah pernikahannya berturut dijemput oleh keluarga isterinya agar ia bermalam dirumah isterinya dan pada waktu subuh kembali kerumah orang tuanya. Pola kebiasaan ini merupakan pembelajaran bagi marahpulai, bahwa ia tidak boleh melupakan begitu saja rumah asal/rumah kaum/sukunya.
Bukankah ia semata sebagai tamu abadi dikeluarga isterinya, yaitu orang yang berkedudukan sebagai urang sumando yang dihormati, bagai manatiang air di-dulang. Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan “abu diatas tunggul”, dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun apabila karena kedudukan dan status sosialnya yang kuat, maka ia tidak diperlakukan semena-mena bagai abu diatas tunggul itu.
Bukankah arti menjemput yang diberikan kepadanya menunjukkan bahwa ia sangat dihargai dan dhormati. Oleh karena itu, seandainya ia dihormati namun ia haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya. Perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan gembira bercampur menjadi satu. Oleh karena itulah perlu dilakukan Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang.
Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;
Sigai mancari anau, Anau tatap sigai baranjak
Datang dek bajapuik
Pai jo baanta
Ayam putieh tabang siang
Basuluah matoari
Bagalanggang mato rang banyak.
Arinya :
Tangga mencari enau
Enau tetap tangga berpindah
Datang karena dijemput
Pergi dengan diantar
Ayam putih terbang siang
Bersuluh matahari.
Bergelanggang mata orang banyak.
Bergelanggang (disaksikan) mata orang banyak. Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minang “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya. Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya.
Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah ketentuan adat Minang. Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang adalah surau. Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber dinamika pria Minang, sehingga mereka menjadi perantau atau pengembara yang tangguh. Kenyataan ini dihayati dan diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka yang bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar. Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak wanita.
Anak-anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau-surau, belajar silat, bergaul dengan pria dalam segala tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara keras dan jantan). Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya. Pada dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya. Sekalipun di rumah gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari.
Hal ini merupakan salah satu dasar dari ajaran moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak mengenal ajaran pergaulan bebas, walau antara saudara kandung sendiri. Kehidupan keluarga yang seperti ini, diperkirakan telah melahirkan watak perantau bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang bagi wanita Minang, mereka menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam mendidik anak-anak dan dalam mengendalikan harta pusaka. Dengan adanya ketentuan domisili-matrilokal ini, mengharuskan para suami bersikap hati-hati karena akan selalu mendapat sorotan dari keluarga istri.Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang Sumando mereka. Ada beberapa klasifikasi yang menggambarkan Urang Sumando, antara lain :

1. Urang sumando ninik mamak ; yaitu seseorang yang memperoleh sebutan terhormat karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak keluarga istri.
2. Urang sumando langau hijau (lalat hijau), yaitu sesuai dengan tingkah polah perangai mereka, yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan meninggalkan anak dimana-mana.
3. Urang Sumando Kacang Miang”, yaitu urang Sumando” yang kerjanya hanya mengganggu ketentraman tetangga karena menghasut dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat mengganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing dan lainnya.
Di Minangkabau berlaku pepatah ; '
“Kaluak paku kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan dibimbing urang kampung dipatenggangkan“.
4. “Urang Sumando Lapiak Buruak (tikar buruk), yaitu, jika seorang suami sampai lupa kepada kemenakan dan kampung halamannya sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak dan istrinya saja, maka suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri sebagai yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan tikar pandan yang lusuh di rumah istrinya.
5. Urang Sumando apak paja”, yang artinya hanya berfungsi sebagai pejantan biasa. Bagi suami atau “Rang Sumando” yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri. Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando lapiak buruak yang menjadi “orang pandie” di rumah istrinya.
Dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan mamak. Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah melahirkan pula jenis. “Rang Sumando”, bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai “Rang Sumando Gadang Malendo”, yang tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakannya.

No comments:

Post a Comment