Batas desa sudah tampak. ”Anda memasuki Desa Sukolilo”. Demikian sambutan pertama yang tertera pada dua tembok putih yang mengapit jalan aspal yang sudah tak rata. Setelah berkendaraan selama lebih kurang 40 menit ke arah selatan ibu kota Kabupaten Pati, Jawa Tengah, akhirnya saya dan dua teman sampai juga di tanah para Sedulur Sikep.
Di sini, sekitar 200 kepala keluarga komunitas Sikep atau lebih dikenal dengan masyarakat Samin tinggal. Mereka adalah pengikut Samin Surosentiko alias Raden Kohar (1859-1914), pencetus gerakan sosial melawan Belanda dengan cara menentang segala aturan dan kewajiban yang dibuat pemerintah kolonial kala itu, di antaranya menolak membayar pajak.
Beberapa ciri/identitas perlawanan digunakan sejak zaman Belanda, seperti tidak bersekolah, tidak memakai peci, tetapi memakai ikat kepala (mirip orang Jawa zaman dahulu), tak memakai celana panjang (tetapi memilih celana selutut), tidak berpoligami, tidak berdagang, dan menolak kapitalisme.
Hingga akhir Oktober lalu, atau lebih dari 100 tahun kemudian, ciri-ciri itu masih bertahan. Bocah-bocah Sikep tak mengikuti pendidikan formal meski bukan berarti mereka tak terdidik. Celana selutut dan ikat kepala pun masih terlihat. Prinsip siji kanggo salawase atau satu untuk selamanya masih diucapkan setiap anggota Komunitas Sikep ketika ditanya mengenai perkawinan.
Mereka pun tetap tidak berdagang, konsisten hidup sebagai petani. Maka, tak heran saat beberapa waktu lalu mereka meradang saat sebagian lahannya di lereng Pegunungan Kendeng bakal ditambang dan dijadikan lahan pabrik semen oleh PT Semen Gresik. Mereka hidup berdampingan dan harmonis dengan alam dan sesama. Kejujuran dan kebenaran adalah nilai utama dan ajaran tata laku keseharian yang turun-temurun diwariskan leluhur.
Seorang tokoh muda Sedulur Sikep, Gunretno, mengungkapkan, ada lima prinsip dasar (adeg-adeg) yang ditanamkan sejak kecil, yakni jangan memiliki perasaan drengki srei, panasten, dakwen, kemeren. Selain itu, mereka juga selalu diajarkan untuk tidak bertindak bedog colong, pethil jumput, dan nemu.
Orang Sikep tidak boleh memiliki rasa dengki, iri, selalu curiga.
Orang Sikep tidak boleh mencuri (bedhog colong), mengambil sesuatu yang bukan haknya (methil), dan bahkan menemukan sesuatu yang bukan miliknya (nemu).
Menurut Gunretno, ajaran itu masih dipegang teguh Sedulur Sikep. Ini setidaknya tergambar ketika beberapa waktu lalu seorang Sedulur Sikep menemukan kalung emas di tengah jalan. Kalung itu tidak diambil, tetapi malah ditutupi dengan batu agar tidak dilihat orang yang bukan pemiliknya. Sedulur Sikep itu kemudian mencari tahu pemilik perhiasan, lalu memberitahukan lokasi kalung itu.
Suasana aman sangat kentara di lingkungan mereka. Rumah kosong ditinggal begitu saja dengan pintu terbuka. Tamu tidak akan kehilangan barang meskipun tertinggal. Pemilik rumah akan menyimpannya, kemudian dikembalikan ketika yang bersangkutan datang kembali.
Gunretno juga menegaskan, tak pernah ada pencurian di komunitasnya. Ia pun bahkan belum pernah mendengar ada warga Sikep yang didapati berbuat kriminal, baik dalam lingkungannya maupun ketika mereka keluar dari komunitasnya. Orang disebut telah keluar dari Sedulur Sikep ketika memutuskan untuk sekolah, berdagang, dan melakukan hal-hal yang dilarang leluhur.
”Setahu saya, baru dua kali ada Sedulur Sikep yang berurusan polisi. Yang pertama, dulu ketika Mbah Samin ditangkap Belanda karena menolak membayar pajak dan tahun lalu ketika beberapa warga ditangkap polisi saat aksi menolak pembangunan pabrik semen,” ujar Gunretno.
Tahun lalu polisi menangkap sembilan warga yang diduga terlibat aksi penyanderaan kendaraan roda empat dalam aksi penolakan pabrik semen di Pati. Penangkapan itu membuat penolakan kian mengental sampai akhirnya PT Semen Gresik membatalkan peletakan batu pertama pembangunan pabrik dan merelokasinya ke Tuban, Jawa Timur.
Bagaimana jika ada yang melanggar adeg-adeg itu? Menurut Gunretno, masyarakat Sikep tak akan menjatuhkan sanksi apa pun. Namun, rata-rata pelanggar adeg-adeg akan malu sendiri. ”Orang mungkin hanya menjadi tidak percaya lagi,” ujarnya.
Begitu kentalnya ajaran itu melekat di kaum Sikep. Karjo (23) dan Agus Purwanto (20), misalnya, tak pernah berpikir untuk berbuat di luar apa yang diajarkan orangtuanya. Pilihan profesi tetap petani. Sikap hidup yang diupayakan sejauh mungkin menghindari drengki srei, dakwen panasten, dan methil jumput serta nemu.
Karjo bahkan sangat menyadari pilihan profesinya sebagai petani tidak menjanjikan kekayaan duniawi (sugih bondho). ”Kami ini disuruh sugih eling (selalu ingat/waspada),” ujar Karjo lagi.
Bagi Karjo, belajar dari kenyataan dan kehidupan adalah sekolah yang sebenarnya. Belajar nrimo, berupaya mencapai keinginan yang terukur, dijalaninya beberapa tahun belakangan. Ia menceritakan upayanya saat ingin memiliki telepon genggam dan sepeda motor. Saat itu ia menebar 200 pancing di sungai selama 16 hari untuk membeli telepon genggam.
”Saya juga pernah merantau ke Kalimantan selama 2,5 bulan. Terkumpul uang Rp 5,5 juta. Saat sudah mendapat hasil yang cukup untuk membeli sepeda motor, saya pulang,” kata Karjo, yang pernah bekerja sebagai pencari emas. Ia menambahkan, ”Sekarang saya lagi kosong, tak punya keinginan apa-apa.”
Kritis dan paham hukum
Meski setiap hari bergulat dengan lumpur dan tanah, tidak berarti membuat Sedulur Sikep tak mengikuti perkembangan politik dan hukum di negeri ini. Sedulur Sikep tak ketinggalan isu, bahkan ketika bicara penegakan hukum, perilaku pejabat, dan pemilu.
Bincang-bincang kritis rasanya sangat biasa dijumpai di Sukolilo. Warga sadar akan persoalan demokrasi, negara, dan kesejahteraan. Tak cuma di rumah Gunretno, ungkapan kritis juga bergaung di Omah Kendeng. Rumah berbentuk limas yang didirikan sebagai pusat kegiatan bagi warga lereng Pegunungan Kendeng di Dukuh Ledok, Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Pati. Rumah pusat perlawanan masyarakat Sikep dan warga sekitarnya.
Seperti terjadi pada Sabtu (24/10), lima pemuda Sikep tengah duduk melingkar di atas anyaman bambu yang digelar di lantai batu Omah Kendeng. Mereka duduk persis di bawah rangka utama rumah, di bawah tiang kayu jati yang berdiri menyangga bangunan seluas lebih dari 100 meter itu. Tidak lupa, sebotol kendi hitam (tempat air minum) menemani obrolan itu.
Silih berganti warga yang datang dan pergi. Kian malam obrolan kian seru, terutama ketika Slamet, warga setempat bukan Sikep, turut bergabung di Omah Kendeng. Slamet mempertanyakan gagasan kesejahteraan versi pejabat negara. Ia mengkritik pejabat pemerintah yang seolah tahu bagaimana menyejahterakan rakyat.
”Rerasan” semakin gayeng (meriah) ketika bicara kemerdekaan. Slamet dan yang lain merasa belum merdeka, terutama ketika mereka merasa hanya menjadi buruh di negeri sendiri dan terusik di tanah sendiri. Rencana pembangunan pabrik semen di lahan mereka dirasa mengusik hak atas kepemilikan tanah mereka.
Icuk, salah satu anak tokoh Sikep Mbah Tarno (almarhum), mengkritik pejabat yang memaknai merdeka sebagai merdhil koyone. Artinya, seorang ketika menjadi pejabat bukannya memikirkan warganya, tetapi mencari keuntungan untuk menutup modal yang sudah dikeluarkan.
Banyak nilai leluhur yang dilupakan, terutama oleh orang-orang politik yang dinilainya tega ”memolitiki” bangsa sendiri. ”Kamardikan kuwi kudu iso naati perikemanusiaan. La, wong karo bangsane dhewe dho tegel-tegelan kok dikon nindakake perikemanusiaan (Merdeka itu seharusnya bisa menaati perikemanusiaan. Akan tetapi, bagaimana, dengan bangsa sendiri saja tega kok disuruh berperikemanusiaan),” kata Icuk.
Dalam hal penegakan hukum, Icuk bahkan memuji pemerintah kolonial Belanda. ”Zaman Belanda kuwi ono wong mek godhong jati wae ditahan. Nek saiki, pencurian, ojo kok godhonge, dangkelane wae entek,” kata dia.
Artinya, pada zaman Belanda orang yang mencuri daun jati saja ditahan. Beda dengan sekarang, apalagi cuma daunnya, bahkan pencurian hingga ke akar-akar jati (dangkelane) pun tidak ditahan. Bagi Icuk, dalam hal penegakan hukum, Belanda jauh lebih tegas.
Saat ini, tambahnya, pembuat undang-undang (UU) justru menjadi pelanggar UU. Pembuat UU justru mengajari orang yang tak mengerti UU untuk melanggarnya.
Apa yang dapat dipelajari dari Sedulur Sikep? Mengapa masyarakat Sikep relatif patuh pada ajaran leluhur meski tak pernah menjadi hukum tertulis. Ojo bedhog colong, methil, bahkan nemu. Ojo drengki srei, panasten, dakwen, dan kemeren.
Membayangkan masyarakat mengadopsi nilai-nilai Samin barangkali merupakan hal yang mustahil. Yang menarik dan dapat diambil hikmahnya adalah ketika setiap individu memahami hukum tak tertulis itu dan berupaya menerapkannya.
Asep Rahmat Fajar, peneliti Indonesia Legal Roundtable yang sedang menempuh studi di International Institute for Sociology Law di Spanyol, menjelaskan, gap antara aturan tertulis dan pelaksanaannya seperti yang ada saat ini lebih disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pembangunan subyek hukum (manusia). Padahal, penerapan hukum membutuhkan budaya hukum yang terpatri di dalam masyarakat.
http://cetak.kompas.com/read/2009/11/03/03221139/sedulur.sikep.memandang.negara.dan.penegakan.hukum
No comments:
Post a Comment