Monday, 20 December 2010

Sedulur Sikep: Perlawanan Tanpa Huru Hara

Sedulur Sikep: Perlawanan Tanpa Huru Hara



Petang menjelang. Ufuk barat yang berbatas hutan jati benderang oleh warna merah ketika kami, saya dan Kahono, memasuki gerbang kampung Blimbing, Sambongrejo, Blora, Jawa Tengah. Kampung kecil ini tampak senyap menyambut sore. Satu dua keluarga tampak bercengkrama di beranda rumah. Oleh dua perempuan paruh baya yang tengah mencari kutu rambut, kami ditunjukkan rumah sesepuh kampung. “Belakang situ, lewat jembatan ada rumah besar berlantai keramik,” kata salah satunya dengan bahasa Jawa ngoko (kasar). Sejenak saya terdiam…inikah kampung kediaman masyarakat penganut saminisme? Orang-orang yang saling menyebut sedulur dan berbahasa jawa kasar pada sesamanya, tidak beragama dan enggan membayar pajak seperti digambarkan dalam banyak buku?
Ada tiga rumah besar di sana. Arsitekturnya serupa; lantai ditinggikan, berdinding kayu seluruhnya dan berderet memanjang ke belakang seolah beberapa rumah ukuran sedang disambung menjadi satu. Model “serotong” atau “bekuk lulang”, itu yang kami tahu kemudian. Ketika kami mengetuk rumah pertama, terdengar sapaan dari beranda rumah kedua. “Cari siapa, Mas?”. Sesosok lelaki tua bertubuh kecil tersenyum ramah. “Mbah Karmidi. Apa benar di sini rumah beliau” tanya saya dalam bahasa Jawa halus. “O, saya sendiri. Mari sini, rumah saya yang sebelah sini,” jawabnya dalam logat halus juga, sembari melangkah turun menyambut kami. Sosoknya berbalut celana tanggung hitam menutup kaki setinggi lutut, atasan kaus lengan pendek warna biru gelap dan kepala dibebat udeng (ikat kepala) warna hitam dengan stilir batik di bagian pinggirnya. “Mari masuk,” dengan ramah beliau membimbing kami memasuki rumahnya.
Karmidi Karsodihardjo (81), kami menyapanya Mbah Midi, adalah salah seorang sesepuh masyarakat Samin di kabupaten Blora, terutama di desa Sambongrejo, kecamatan Sambong. Saya mengetahui nama beliau dari sebuah artikel yang dituliskan tiga tahun lalu di sebuah majalah bulanan terbitan Jakarta. Kampung Blimbing adalah salah satu kantung komunitas Samin yang cukup besar di kabupaten Blora. Menurut penuturan Mbah Midi kemudian, sekurangnya ada 200 kepala keluarga penganut Samin di kampung ini.
Merunut sejarahnya, Samin adalah ajaran yang menumbuhkan inspirasi perlawanan kultural pada penjajah Belanda pada paruh akhir tahun 1800-an, sebuah fragmen sejarah yang kerap disebut Geger Samin Di kampung Blimbing inilah kami bertemu dengan salah seorang pewarisnya.
********
Menurut Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya The Samin Movement (1960), ajaran Samin tumbuh tahun 1890-an dan berakar di Randublatung, sebuah kota kecamatan kecil yang dikelilingi lebat hutan jati 25 kilometer sebelah tenggara kota Blora. Mulanya ajaran ini disiarkan oleh Samin Surasentiko,—dari namanya pula ajaran dan gerakan tersebut kemudian mendapatkan sebutan Samin–seorang petani jelata dan buta aksara kelahiran Ploso Kedhiren, kecamatan Randublatung, Blora tahun 1859. Konon, sosok ini sebenarnya adalah seorang bangsawan bernama Raden Kohar yang kemudian menyamar menjadi rakyat jelata untuk menyebarkan ajaran yang disebutnya “agama Jawa” atau “agama Adam”. Mulai tahun 1890, Samin Surasentiko (saat itu usia 31 tahun) mulai menyebarkan ajarannya kepada orang-orang sedesanya.
Pengikut Samin meyakini bahwa jauh sebelum kedatangan orang-orang asing, dari Cina, India, Arab dan Eropa, dengan membawa ajaran agama masing-masing, di Jawa sudah terdapat agama tersendiri. “Ya agama Jawa itu. Agama Adam,” ujar Mbah Karmidi menerangkan. Keyakinan ini menekankan perlunya dua nilai utama dalam kehidupan, yakni kejujuran dan kebenaran. Inti ajaran Samin yang mengatur tata laku keseharian diabstraksikan dalam konsep Pandom Urip (Petunjuk Hidup) yang mencakup “angger-angger pratikel” (hukum tindak tanduk), “angger-angger pengucap“ (hukum berbicara), serta “angger-angger lakonana” (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan). Hukum yang pertama berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong.” Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.
Hukum ke dua berbunyi “Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga bundhelane ana pitu.” Maknanya, orang harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain yang mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna. Hukum yang paling akhir berbunyi “Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni.” Warga Samin senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “ bagaikan orang mati dalam hidup”.
Adapun yang menarik ialah bagaimana filosofi agama Adam ini membentuk logika berpikir dalam benak orang Samin yang bisa terlihat dari pemaknaan bahasanya. Misalnya seorang Samin ditanya “umur kakek berapa?” Ia akan menjawab “Satu untuk selamanya”. Artinya umur manusia itu satu. Umur adalah hidup dan hidup adalah nyawa. Manusia hanya punya satu umur dan nyawa. Juga yang aneh dalam tradisi bertamu, mereka tidak mengenal kata monggo (kata yang mempersilahkan tamu untuk duduk atau masuk), karena menurutnya mereka jika seseorang ingin duduk, yah duduk saja. Juga bagi orang Samin tak perlu menyatakan terimakasih (matur nuwun dalam bahasa Jawanya) karena pihak pemberi memberikan sesuatu berdasarkan kemauannya sendiri, bukan berdasarkan permintaan dari seseorang lainnya.
Logika pemaknaan bahasa yang lugas inilah yang membawa gerakan spiritual ini menjadi sebentuk perlawanan pada kesewang-wenangan penjajahan. Beberapa tahun sebelum munculnya gerakan Samin, pemerintah kolonial Belanda melakukan pematokan paksa lahan-lahan pertanian milik rakyat Blora untuk perluasan lahan hutan jati. Rakyat tidak bisa berbuat banyak, juga ketika mereka dibebani pajak atas tanah, ternak dan air serta pembatasan pemanfaatan hasil hutan oleh Belanda pada awal tahun 1900-an. Tindakan ini menyudutkan rakyat pada kehidupan yang penuh tekanan dan ketidakberdayaan. Pada kondisi sosial seperti itulah ajaran Samin datang, seolah membawa penawar.
Sejalan dengan ajaran dasar Samin yang menyatakan “Jawa adalah hak orang Jawa”, dan pandangan bahwa manusia diciptakan setara, tidak ada hak untuk mengungguli satu di atas yang lain, maka pengikut Samin menolak adanya perbedaan status dalam masyarakat dan penjajahan. Mereka tidak mengakui jabatan struktural dan hirarki sosial, yang salah satunya diekspresikan dengan menolak berbahasa krama (Jawa halus) dan saling menyebut sesamanya “sedulur” (saudara). Dengan ajaran Samin para petani jelata seolah menemukan bahasa bersama untuk melawan tindakan sewenang-wenang pemerintah kolonial.
Alih-alih melakukan gerakan bersenjata, para pengikut Samin mewujudkan perlawanan mereka dengan penolakan membayar pajak, mangkir dari kewajiban meronda dan kerja bakti. Aksi ini dilengkapi dengan pembangkangan kultural berupa penolakan menggunakan bahasa krama (Jawa halus), baik pada sesama mereka maupun perangkat pemerintah kolonial Belanda, termasuk pamong desa dan mandor hutan. Geger samin pun dimulai.
Salah satu bentuk perlawanan mereka yang terkenal adalah melalui pemaknaan bahasa. Sebagai contoh seorang aparat desa di masa tahun 1900-an meminta agar orang Samin membayar pajak sewa tanah yang digarapnya. Lalu orang Samin menggali tanahnya serta memasukkan uang ke lubang serta menutup kembali. “mengapa kamu menguburkan uang di dalam tanah?” tanya aparat desa itu. Orang Samin itu menjawab “tanah itu milik bumi, jadi saya harus bayar sewa tanah pada bumi, bukan pada penjajah”. Seorang wartawan yang berkunjung ke Rembang pada Desember 1914 juga pernah mencatat peristiwa seorang patih yang sedang memeriksa seorang Samin di pengadilan karena dirinya tak mau membayar pajak.
+ “Kamu masih hutang 90 sen kepada negara”
- saya tak hutang kepada negara”
+ “Tapi kamu mesti bayar pajak.”
- “Wong Sikep (yaitu orang Samin) tak kenal pajak
+ “Apa kamu gila atau pura-pura gila? “
- “Saya tidak gila dan juga tidak pura-pura gila”
+ “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?”
- Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Kenapa negara tak habis-habis minta uang?”
+ Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak cukup uang, tak mungkin merawat jalan-jalan dengan baik.”
- “Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu menganggu kami, kami akan membetulkannya sendiri.”
+ Jadi kamu tak mau bayar pajak?”
- Wong Sikep tak kenal pajak.”
Selain itu masyarakat Samin seringkali didenda atau masuk penjara karena dianggap sebagai pencuri kayu di hutan jati. Menurut pemerintah mereka adalah pencuri, tapi bagi orang Samin hutan jati tumbuh di bumi, sedangkan bumi adalah milik orang banyak. Sangat wajar jika siapapun boleh mengambil dan menebangnya untuk kepentingan tertentu.
Dalam waktu singkat ajaran spiritual Samin dan bentuk perlawanan kulturalnya tersebar di kalangan petani di sepanjang pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan, saat ini mencakup wilayah Blora, Pati, Kudus, Grobogan, Rembang, Sragen di Jawa Tengah dan sebagian Bojonegoro dan Madiun di Jawa Timur. Pada tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro dan berlipat menjadi lebih dari 5000 orang di tahun 1907.
Seiring makin meluas dan intensifnya gerakan Samin, pada tahun 1907 pemerintah Belanda melalui Asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo, menangkap Surosentiko dan beberapa tokoh gerakan ini. Mereka diasingkan ke Padang, dimana Samin Surosentiko meninggal pada tahun 1914. Secara sistematis mereka juga melakukan pencitraan buruk pada komunitas Samin sebagai kelompok yang suka membangkang dan bertabiat serta berbahasa kasar. Citra inilah yang kemudian melekat menjadi konotasi kata “samin” dan terwariskan ke beberapa generasi setelahnya. Sesudah tahun 1930 tidak terdapat pemberitaan tentang orang Samin. Baru pada tahun 1950 orang Samin kembali dibicarakan, terutama saat seorang bekas anggota Panitia Pemilihan Umum tahun 1955 untuk kabupaten Blora menginformasikan bahwa jumlah pemilih Samin mencapai 40.000 orang. Perhatian terhadap masyarakat Samin mulai marak dengan adanya upaya dari pemerintah RI untuk memasyarakatkan kaum Samin.
Persitiwa kudeta bersenjata 1965, yang lazim dibahasakan sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa rezim Orde Baru, seolah menjadi titik balik bagi orang-orang samin. Saminisme dituding oleh pemerintah sama seperti komunisme yang ateis, karena dalam ajarannya tidak dikenal adanya konsep Tuhan yang Maha Titah. Menurut ajaran samin, kekuasaan dan kehendak untuk menentukan segala sesuatu sepenuhnya terletak pada kehendak manusia. Tudingan “ateis” itu rupanya cukup efektif untuk merangkul warga samin untuk menjadi anggota masyarakat “normal”. Pada tahun 1968, tiga tahun setelah peristiwa 1965, tercatat 78 pasang pengantin warga samin di Klopodhuwur, salah satu pusat gerakan samin di Blora, menikah dengan tatacara agama Islam. Kejadian ini terkait dengan dilaksanakannya P3.A atau Pilot Project Pembinaan Mental dan Agama yang dijalankan oleh Djawatan Agama wilayah Jawa Tengah. Konon, sejak peristiwa 1965 itu pula masyarakat samin tidak lagi berbicara ngoko (jawa kasar).
****
Sebagai kumpulan yang memiliki praktek sosial yang tersendiri, apalagi menyempal dari tradisi besar yang dikukuhi umum, pandangan miring dari komunitas lain jamak didapatkan. Terlebih citra lama yang diwarisi masa penjajahan Belanda sebagai komunitas pembangkang, tidak bisa berbahasa (jawa) halus masih acap diterakan pada mereka.
“Sampai saat ini masih ada anggapan kalau orang Sikep pasti bicara ngoko, tidak mau kerja bakti dan tidak bayar pajak. Sekolah pun tidak mau. Pokoknya serba negatif,” kata Pramugi Prawirawijaya (43), anak tunggal Karmidi yang juga tokoh muda komunitas Samin di Blora. Praktek lain yang dipandang miring adalah adat “adang akeh” atau perhelatan perkawinan secara adat samin. Sebelum pernikahan diupacarakan, pasangan tersebut harus sudah saling mengenal dan saling mencintai. Calon pria harus melalui tahapan “nyuwita”, yakni mengabdikan waktu dan tenaganya pada keluarga calon wanita sampai keduanya siap berumah tangga. Tahapan ini juga memberikan kesempatan keluarga calon mertua untuk mengenal tabiat dan sikap hidup calon menantunya, sebab setelah menikah sang menantu akan tinggal bersama mereka jika belum memiliki rumah sendiri. Nyuwita bisa berlangsung hingga satu atau dua tahun dan diakhiri dengan hubungan seksual atau kawin pasangan yang akan menikah. “Setelah kawin baru lapor ke orang tua dan para tetua desa untuk dinikahkan secara adat,” terang Pramugi. “Saya dulu juga pakai nyuwita. Juga bapak saya sewaktu meminang ibu saya, Soemilah,”tambahnya.
Tudingan miring semacam itu tidak ditanggapi secara frontal, misalnya dengan balik menjelek-jelekan orang yang mengolok-olok mereka. Pramugi, dan sebagian besar penganut Samin di Blora, selalu membahasakan dirinya sebagai “orang Sikep” sebagai ganti “orang Samin”. Tapi dia menampik anggapan penggunaan sebutan “sikep” untuk menghindarkan diri dari pencitraan buruk yang terlanjur lekat pada sebutan “samin”. Dia menerangkan bahwa Sikep berarti kaum yang berpegang teguh dan satunya kata dengan perbuatan. Ini merujuk pada pernyataan kesanggupan mereka untuk “ngelakoni” (mengamalkan) ajaran-ajaran Saminisme dalam kehidupan sehari-hari.
“Mau menyebut diri Sikep, atau tetap Samin, kami tetap dituduh tidak beragama. Ateis,” ujar Pramugi mencontohkan. Karena cap tidak beragama ini, penganut Samin kerap mengalami kejadian yang mengesalkan ketika membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pada bagian isian agama, pamong desa yang menangani pembuatan KTP sering kebingungan karena orang Samin bersikeras mengisikan “Adam”. Bukan Islam, Katholik atau Protestan. Juga bukan Hindu, Budha atau Kong Hu Chu, agama-agama resmi yang diakui pemerintah. Jalan tengahnya, si pemohon diminta memilih salah satu nama agama yang diakui untuk dicantumkan dalam KTP-nya. “Agama itu kan seperti pakaian, kita bisa memakai yang mana saja asalkan hati kita tetap pada salah satunya,” pendapat Mbah Midi. ”Saya sendiri pakai Islam. Yang umum,” tambahnya sembari terkekeh. Mbah Midi menilai cap-cap buruk yang melekat pada komunitas Sikep saat ini karena masyarakat umum hanya memiliki pengetahuan sepotong-sepotong ajaran dan kehidupan sosialnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Setyo Agus Widodo, kepala desa Banjarejo yang membawahi dusun Klopodhuwur. “Selama ini pengetahuan orang tentang Samin lebih banyak pada sisi negatifnya saja, misalnya orang pukul rata mengatakan sedulur Samin tidak bisa berbahasa krama atau tidak mau menikah di catatan sipil,” kata Setyo mencontohkan. Kenyataannya, mereka fasih berbahasa Jawa cukup halus. Mereka juga menikah di KUA (Kantor Urusan Agama). Urusan politik pun mereka tidak ketinggalan. “Dulu orang sikep memang dituding alergi politik. Kalaupun ikut pemilihan umum, semua gambar dicoblos semua,” kisah Pramugi. “Sekarang tiap pemilu semua warga ikut. Tapi jarang ada yang bergabung aktif dengan partai politik.” Pramugi sendiri mengaku tidak akan mengikuti pemilu tahun ini. “Saya golput saja. Soalnya banyak pimpinan partai yang saya kenal, dan selalu bilang pilih saya, ya. Saya iyakan saja, meskipun nanti saya tidak mencoblos partainya,” akunya.
Pramugi mengisahkan dalam pemilu 1999, PDIP menang mutlak di kampungnya.”Padahal tidak ada kadernya, tidak ada aktifisnya. Tidak tahu kok jadi seia sekata memilih PDIP,” ujarnya. Padahal dalam pemilu-pemilu sebelumnya Golkar seolah menjadi pilihan tunggal warga Sikep.”Ya, ikut bapaknya saja. Bapaknya kuning ya kuning. Kalau enggak, nanti ditakut-takuti nasibnya akan seperti PKI,” lanjut Pramugi. Yang dimaksud sebagai “bapaknya” ternyata bukan Mbah Midi, melainkan sebutan warga Sikep untuk pemerintah. “Lha memang pemerintah tho yang mengurusi warga, seperti bapak pada anaknya,” tambahnya. Sikap kompromis ini umum di kalangan masyarakat desa, apalagi bagi masyarakat Sikep yang telah kenyang dengan pengalaman dipinggirkan.
Meski mengaku jengkel dengan peminggiran budaya terhadap masyarakatnya, Pramugi tetap memandangnya secara positif. “Stereotip buruk semacam itu bisa dikikis dengan praktek positif,” lontar Pramugi. Ini dibuktikan oleh putra satu-satunya mbah Karmidi itu dengan kerja-kerja sosial yang dilakukannya. Sejak tahun 1978 dirinya menjadi penyuluh pertanian yang gigih di kecamatan Sambong. Atas inisiatifnya memulai gerakan penghijauan dan pembangunan bendungan untuk mencukupi sumber air di desanya, Pramugi menerima penghargaan lingkungan tingkat nasional Kalpataru pada tahun 1997. Prestasi inilah yang membawanya menghadap presiden di Istana Negara. “Lha bupatinya saja belum pernah ke istana, ini anak Sikep dari pelosok dusun malah sudah beberapa kali diundang ke sana,” ujar Pramugi berseloroh.
Dia lantas menunjukkan foto dirinya tengah bersalaman dengan Megawati. Beberapa foto lainnya, yang dibingkai dan digantungkan di dinding ruang tamu, memperlihatkan Pramugi bersama beberapa petinggi negara dan peneliti asing. “Lewat cara ini, orang akan mengenal sisi positif orang Sikep. Kerja keras, jujur dan tidak ragu memperjuangkan kebenaran,” lanjutnya.
Lepas dari optimisme anaknya, Mbah Midi mengungkapkan kekuatiran dirinya pada tudingan kalangan pemerintah akhir-akhir ini yang mengatakan masyarakat samin terlibat dalam penjarahan hutan jati. Sejak tahun 1997, ketika Indonesia timpang dihantam krisis ekonomi yang masih belum membaik hingga sekarang, hampir 10% dari 89.000 ha lahan hutan jati di Blora gundul akibat penjarahan liar. Pemerintah daerah seringkali menuding masyarakat di sekitar hutan sebagai pelakunya, terutama masyarakat samin. “Memang kami masih mengambil kayu dari hutan, tapi hanya seperlunya. Itupun waktu-waktu tertentu, semisal saat memperbaiki rumah,” ujarnya. “Malah saya yang rugi. Pematang sawah saya ambrol terus diinjak-injak rombongan penjarah kayu jati. Itu terjadi hampir setiap hari,” lanjutnya. Herannya, saya tidak menemukan ada nada geram. Pematang yang ambrol itu diperbaikinya setiap hari, meski pagi harinya ditemukan telah ambrol lagi. “Kok tidak merasa ya. Sudah saya sindir dengan pematang baru setiap hari, kok masih tega juga merusak,” keluh Mbah Midi. Disusul kekehnya yang khas, beliau berucap seolah memberi permakluman,”Dasar orang waras!”
***
Salah satu permasalahan pokok yang dihadapi komunitas Sikep, menurut Mbah Midi, adalah pewarisan ajaran. “Selama ini cara pengajarannya ya lewat gunem (tuturan) dan contoh tindakan. Istilahnya ada tulisan tanpa papan, ada papan di dalam tulisan,” katanya. Sebagian besar generasi tua Sikep memang tidak mengenal baca tulis. “Tidak ada hubungannya dengan pertanian. Asal tahu hitung-menghitung sedikit, sudah cukup,” kata Mbah Midi.
Kini penganut mudanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dibanding generasi sebelumnya.”Malah ada yang kuliah di perguruan tinggi. Kalau saya sendiri, sampai kelas empat SD memutuskan untuk berhenti,” kisah Pramugi. Dan dia memilih jadi petani. “Tapi saya tidak berhenti belajar,” akunya sembari menunjukkan satu lemari penuh koleksi buku. Warso, anak lelaki satu-satunya, merasa cukup sampai lulus SMP. “Aku ingin jadi petani, seperti bapak. Begitu katanya pada saya,” ujar Pramugi. Tapi, faktanya kian sedikit pemuda sikep yang punya pilihan seperti Pramugi dan Warso.
Kehadiran pendidikan formal dan non formal ataupun media massa menawarkan referensi baru mengenai tata cara kehidupan yang lain. Interaksi yang lebih sering dengan dunia luar membuka kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas. Alih-alih menjadi petani, kaum muda samin banyak yang menjatuhkan pilihan untuk bekerja di kota. Di sisi lain, saminisme sebagai sikap agamis memang tidak banyak memberikan peluang pertumbuhan kelembagaannya, yaitu ajaran, pengikut dan organisasi. Maka kemungkinan untuk mengembangkan sistem ajaran dan sistem organisasi yang terkait serta pemeliharaan kesetiaan umat tidak dapat dijalankan secara berkelanjutan.
Budaya saminisme terus meniti jaman. Nilai-nilai tradisinya perlahan ditinggalkan sebagai acuan bertindak komunitas pendukungnya yang gagap dalam serbuan budaya baru. Padahal kerja kultural untuk mengikis citra buruk yang terlanjur lekat belum lagi usai.
(Ditulis untuk Majalah Latitudes, Bali)

No comments:

Post a Comment